• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan pada kulit dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor intrinsik

Merupakan faktor-faktor dari dalam tubuh yang berpengaruh pada proses penuaan kulit, diantaranya (Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003):

a. Keturunan (genetik) b. Rasial

c. Hormonal

2. Faktor ekstrinsik

Berbagai faktor dari luar tubuh yang dapat menyebabkan proses penuaan dini, antara lain:

a. Faktor lingkungan 1. Sinar matahari

Sinar matahari merupakan faktor utama penyebab terjadinya proses penuaan kulit. Penuaan dini yang terjadi akibat paparan sinar matahari disebut sebagai photo aging (dermatoheliosis) (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996). Kulit yang terpapar oleh sinar matahari akan menyerap radiasi sinar UV dan menghasilkan komponen yang berbahaya yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada komponen seluler seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA. Pembentukan ROS tersebut akan menginduksi aktivator protein (AP)-1 yang

merupakan faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen dan meningkatkan penghancuran kolagen dengan memperbanyak enzim yang disebut matriks metalloproteinase (MMPs) (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008).

Radiasi UV juga menyebabkan penurunan pembentukan transforming growth factor (TGF)-beta yang merangsang pembentukan kolagen sehingga pembentukan kolagen menurun (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008). Selain itu, radikal bebas juga dapat dihasilkan polusi udara, asap rokok, paparan dari bahan kimia, dan bahan tambahan pada makanan seperti pengawet, pewarna, dan pelezat (Cunningham, 1998 dan Wasiatmadja, 1997).

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang rendah di daerah pengunungan atau dataran tinggi, ruangan AC, paparan angin, dan suhu dingin akan menyebabkan kulit menjadi kering sehingga mempercepat proses penuaan kulit (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996).

3. Keadaan gizi yang buruk 4. Stress psikologis

5. Pemakaian otot-otot muka yang berulang-ulang dan berlagsung lama 6. Penyakit menahun

7. Kehilangan struktur penunjang kulit yang berlebihan (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

Berbagai masalah dan kelainan kulit dapat timbul pada kulit yang menua, yakni:

1. Kulit kering dan kasar (Pindha IGAS, 2000).

2. Kulit kendur, timbul kerutan, dan lipatan kulit yang nyata (Pindha IGAS, 2000).

3. Bercak pigmentasi (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha IGAS, 2000).

4. Tumor kulit (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha IGAS, 2000).

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyi struktur molekul yang dapat memberikan elektron dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antioksidan larut air seperti natrium metabisulfit dan vitamin C dan antioksidan larut lemak seperti BHT dan BHA (Angela, 2012).

Ada berbagai metode dalam menguji aktivitas antioksidan, beberapa diantaranya adalah dengan meenggunakan metode aktivitas penghambatan radikal superoksida, metode Reducing Power, metode uji kapasitas serapan radikal oksigen, metode tiosianat, dan metode peredaman dengan DPPH (2,2 Diphenyl-1-picrylhidrazyl), dan metode penimbangan (Angela, 2012).

Metode peredaman dengan DPPH merupaka uji aktivitas antioksidan yang paling sering digunakan.Metode ini merupakan metode yang mudah, cepat dan murah serta memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil.DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap.Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005).

Menurut Bois (1958), uji dengan metode peredaman DPPH akan menunjukkan kekuatan aktivitas antioksidan yang ditentukan berdasarkan IC50. Aktivitas antioksidan dikatakan sangat kuat bila nilai IC50 lebih kecil dari 50

μg/ml, kuat bila nilai IC50 antara 50-100 μg/ml, sedang bila nilai IC50 antara

100-150 μg/ml, dan dikatakan lemah bila IC50 antara 151-200 μg/ml (Angela, 2012). 2.6 Mikroemulsi

Konsep mikroemulsi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1940 oleh Hoar dan Schulman.Mikroemulsi adalah dispersi isotropik, stabil secaratermodinamis, transparan, dengan ukuran partikel berkisarantara 5-100 nm, berasal dari pembentukan spontan bagian hidrofobik dan hidrofilik molekul surfaktan. Mikroemulsi tersusunatas air, minyak, dan surfaktan, kadang bersama

dengan kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim, Bae, Mok, dan Park., 2008).

Keunggulan mikroemulsi lainnya adalah mempunyai viskositas yang rendah dan preparasinyamudah (Flanagan dan Singh, 2006) serta menunjukan kecepatan dan efisiensi dalam penetrasi ke dalam kulit. Hal tersebut menjanjikan untuk rute pengiriman transdermal dan dermal yang efisien (Kreilgaard, 2002; Rhee dkk., 2001; Kreilgaard dkk., 2000; Baboota Kohli, Dixit, Shakeel., 2007; Kamal dkk., 2007; Chen dkk., 2007). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan keuntungan dari mikroemulsi untuk rute pengiriman transdermal dan dermal.Pertama, termodinamika terhadap kulit meningkat karena sejumlah besar obat tergabung dalam formulasi.Kedua, peningkatan aktivitas termodinamika obat dapat mendukung partisi ke dalam kulit. Ketiga, sarana mikroemulsi dapat mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan meningkatkan tingkat penetrasi obat melalui kulit dengan bertindak sebagai peningkat permeasi sehingga memungkinkan sejumlah besar obat dapat berpenetrasi karena struktur dan formulasinya dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu danGao, 2008 dan Shetye dkk, 2010).

Pada awalnya, minyak yang digunakan pada pembuatanmikroemulsi berupa hidrokarbon minyak mineral, terutama karena mudah membentuk mikroemulsi dan juga kemurnian sistem hidrokarbon (Flanagan dan Singh, 2006).Akan tetapi, minyak yang memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak rantai sedang lebih banyak memiliki keuntungan tersendiri karena lebih stabil dan memerlukan jumlah surfaktan yang lebih sedikit untuk membentuk mikroemulsi (Yuwanti dkk, 2011).

Surfaktan HLB rendah memudahkan pelarutan komponen larut minyak, surfaktan HLB tinggi akan memudahkan pelarutan komponen larut air. Surfaktan HLB sedang mempunyai polaritas sedang diharapkan dapat berinteraksi dengan kedua surfaktan lainnya, tegangan antar muka menjadi lebih rendah dan memungkinkan pembentukan droplet baru dengan ukuran lebih kecil sehingga diperoleh mikroemulsi yang lebih stabil (Yuwanti dkk, 2011).Campuran penggunaan surfaktan hidofobik dan hidrofilik dapat memperkecil tegangan antar

muka dan ukuran droplet mikroemulsi sehingga memperbaiki stabilitas mikroemulsi yang dihasilkan (Cho Kim, Bae, Mok, dan Park, 2008).

Mikroemulsi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mikroemulsi air dalam minyak (a/m), mikroemulsi minyak dalam air (m/a), dan mikroemulsi

bicontinuous. Jenis mikroemulsi yang terbentuk bergantung pada komposisi pembentuknya.Mikroemulsi minyak dalam air terbentuk karena fraksi dari minyak rendah.Sedangkan mikroemulsi air dalam minyak terjadi ketika fraksi dari air rendah. Sistem mikroemulsi bicontinuous mungkin terjadi jika jumlah air dan minyak hampir sama (Lawrence, 2000).

Mikroemulsi yang stabil ditandai dengan dispersi globul yang seragam dalam fase continue. Namun dapat terjadi penyimpangan dari kondisi tersebut.Disamping itu suatu mikroemulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya. Seperti emulsi, ketidakstabilan mikroemulsi bisa digolongkan sebagai berikut (Fauzy, 2012):

a. Creaming

Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke permukaan mikoemulsi atau jauh ke dasar mikroemulsi tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri (Fauzy, 2012).

b. Flokulasi

Flokulasi adalah agregasi globul menjadi kelompok besar (Fauzy, 2012). c. Coalescence (breaking, cracking)

Coalescence merupakan penggabungan bulatan-bulatan fase dalam (coalesense) dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Sedangkan

pemisahan fase dalam dari mikroemulsi tersebut disebut “pecah” atau “retak”

(cracked). Hal ini bersifat irreversible karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Djajadisastra, 2004).

2.7 Komponen Mikroemulsi

Dokumen terkait