• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI

YANG MENGANDUNG EKSTRAK UMBI TALAS

JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var antiquorum

)

SEBAGAI

ANTI-AGING

.

SKRIPSI

ATHIYAH

1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI

EKSTRAK UMBI TALAS JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var antiquorum

) SEBAGAI

ANTI-AGING

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ATHIYAH

1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Tanda Tangan : :

(4)

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai

Anti-Aging

Disetujui Oleh:

Pembimbing II

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

(5)

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Program Studi : Strata-1- Farmasi

Judul Skrips : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. ( )

Pembimbing II : Afriani Rahma, M.Farm., Apt. ( )

Penguji I : Yuni Anggraeni, M.Farm.,Apt. ( )

Penguji II : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )

Ditetapkan di : Jakarta

(6)

Program Studi : Strata-1- Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai

Anti-Aging.

Umbi Talas Jepang merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai

anti-aging. Umbi talas jepang megandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin A, monogliserida, besi, tarin dan saponin yang berperan dalam menghambat dan memperlambat proses penuaan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan formulasi berupa mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang untuk meningkatkan kemampuan penetrasi ke dalam kulit. Pembuatan mikoemulsi dilakukan menggunakan kombinasi surfaktan tween 80 dan span 80 serta variasi jenis kosurfaktan (propilen glikol, gliserin, etanol, dan polietilen glikol 400) denganberbagaikonsentrasi. Kemudiandihasilkanmikroemulsidengankomposisi 15% tween 80, 23% span 80, 5% polietilen glikol 400, 48,5% minyak zaitun, 0,5% vitamin E, 3% ekstrak umbi talas jepang, dan 5% akuades dengan kecepatan pengadukan ±750 rpm, suhu 31-35 ⁰C selama 30 menit. Hasil evaluasi fisik mikroemulsi menunjukan nilai pH 5,875, nilai viskositas 364 cP dengan tipe aliran Newton, tipe air dalam minyak (a/m), bobot jenis 0,959 g/ml, dan stabil pada suhu ruang (25 ± 2 ⁰C) dan suhu rendah (4 ± 2 ⁰C).

(7)

Program Study : Pharmacy

Title : Formulation and Physical Evaluation of microemulsion of Japanese Taro Tuber Extract (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) as an Anti-Aging agent

Japanese taro tuber is a plant that has potential as an anti-aging angent. Japanese taro tuber consistst of polyphenol compounds, vitamin C, vitamin A, monoglycerides, iron, tarin and saponins that play a role in inhibiting and slowing the aging process. In this research, the development of a microemulsion formulation of the Japanese taro root extract is to increase the ability to penetrate the skin. Microemultion is made by using a combination of surfactants, which are tween 80 and span 80 as well as variations in the type of cosurfactant (propylene glycol, glycerin, ethanol, and polyethylene glycol 400) with various concentrations. The result of the obtained microemulsion had a composition of 15% tween 80, 23% span 80, 5% polyethylene glycol 400, 48.5% olive oil, 0.5% vitamine E, 3% taro root extract, and 5% distilled water with stirring speed at±750 rpm, temperature at 31-35 ⁰C for 30 minutes. Microemulsion physical evaluation results showed that the value of pH was 5.875, viscosity value was 364 cP with the Newton flow type, thewater-in-oil (a / m) type , the specific gravity was 0.959 g / ml, and showed stability at room temperature (25 ± 2 ⁰C) and low temperature ( 4 ± 2 ⁰C).

(8)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Formulasi

dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia

esculenta (L.) Schott var antiquorum) Sebagai Anti-Aging. Penulisan skripsi

ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untk mencapai gelar

Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. dan IbuAfriani Rahma, M.Si., Apt. sebagai

Pembimbing yang telah bersedia memberikan ilmu, waktu, tenaga,

nasehat, serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt danIbuNelly Suryani, M.Si., Ph.D., Apt.sebagai

ketua dansekretarisProgram Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan.

3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Puteri Amelia M.Farm., Apt.sebagai pembimbing akademik yang telah

membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi

permasalahan-permasalahan akademik.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan

bimbingan dan bantuan selamamenempuh pendidikan di Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Abu Yazid dan Almarhumah Ibunda

Siti Barkah,serta adik-adiktersayangHafiz, Qanita, dan Sami dankeluarga

besar yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang,

(9)

rintangan bersama dan tempat berbagi keluh kesah.

8. Sahabat-sahabat tercinta, Laila, Elsa, Annisa, Tiara, Silvia, Karimah,

Sheila, Arini, Puput, Sheila, Meryza, dan teman-teman Farmasi ABCD

yang telah menjadi keluarga kedua yang telah menghabiskan waktu susah

senang bersama.

9. Laboran-laboran yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini

Kak Eris, Kak Lisna, Kak Rani, Kak Tiwi,dan Kak Rahmadi.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian

dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah

SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini,

oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Dan

semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 8 Juli 2015

(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islma Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya

dengan judul:

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI EKSTRAK UMBI

TALAS JEPANG (Colocasiaesculenta (L.) Schott varantiquorum) SEBAGAI

ANTI-AGING

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan

sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 8 Juli 2015

Yang menyatakan,

(Athiyah)

(11)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

DAFTAR ISI ... x

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 TanamanTalasJepang ... 4

2.1.1 Taksonomi ... 4

2.1.2 Kandungan Kimia ... 4

2.2 Kulit ... 5

2.4.1Teori Proses Penuaan ... 11

2.4.2 Proses PenuaanpadaKulit ... 12

2.4.3Faktor-Faktor yang MempengaruhiPenuaanKulit ... 13

2.5Antioksidan ... 14

2.7.4 Poletilen Glikol 400 (PEG 400) ... 19

2.7.5Vitamin E ... 19

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.2.1 Alat ... 21

3.2.2 Bahan ... 21

(12)

3.3.2.2Karakterisasispesifik ... 23

3.3.2.3UjiKelarutan ... 23

3.3.3 MetodeEkstraksi ... 22

3.3.4PenapisanFitokimia ... 23

3.3.5Penetapan Kadar Polifenol Total... 24

3.3.5.1PembuatanLarutanIndukAsamGalat ... 24

3.3.5.2 Penetapan PanjangGelombangMaksimum... 24

3.3.5.3PembuatanKurvaStandar ... 25

3.3.5.4Penentuan Kadar Total SenyawaPolifenol ... 25

3.3.6UjiAntioksidandenganMetode DPPH ... 26

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1DeterminasiTanaman ... 30

4.2Karakterisasi ... 30

4.3PenapisanFitokimia ... 32

4.4Penetapan Kadar Total Polifenol ... 34

4.5UjiAntioksidandenganMetode DPPH ... 37

4.6FormulasiMikroemulsi ... 38

4.7EvaluasiFisikMikroemulsi ... 46

4.7.1PemeriksaanOrganoleptik ... 46

4.7.2 Uji pH ... 47

4.7.3 Uji Viskositas ... 47

4.7.4PenentuanTipeMikroemulsi ... 48

4.7.5PengukuranBobotJenis ... 49

4.7.6 Uji Sentrifugasi ... 49

4.7.7Cycling Test ... 49

4.7.8UjiStabilitas ... 50

BAB 5. PENUTUP ... 54

(13)
(14)

Tabel 2.1 PerbedaanAntara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik ... 13

Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 27

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 31

Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 33

Tabel 4.3 Nilai Absorbansi Standar Asam Galat ... 35

Tabel 4.4 Kadar Total Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 36

Tabel 4.5 Nilai Absorbansi, % Inhibisi, dan IC50 Ekstrak Umbi Talas Jepang .... 37

Tabel 4.6 Hasil Optimasi Formula Sediaan Mikroemulsi ... 41

Tabel 4.7 Hasil Optimasi Kondisi Pemebentukan Mikroemulsi ... 45

Tabel 4.8 Hasil Formula dan Kondisi Terbaik ... 45

Tabel 4.9 HasilPemeriksaanOrganoleptikdanHomogenitas ... 46

Tabel 4.10 Nilai Viskositas Mikroemulsi pada Berbagai Kecepatan ... 48

Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Organoleptik Mikroemulsi pada Cycling Test ... 50

Tabel 4.12 Hasil Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi pada Berbagai Suhu ... 51

(15)

Gambar 2.1 Umbi Talas Jepang ... 4

Gambar 2.2 Struktur Anatomi Kulit ... 5

Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol ... 19

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat ... 36

Gambar 4.2 Bagan Optimasi Pembentukan Mikroemulsi ... 40

Gambar 4.3 Diagram Fase Pseudoterner Mikroemulsi ... 43

(16)

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 55

Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman ... 56

Lampiran 3. Gambar Hasil Penapisan Fitokimia ... 57

Lampiran 4. Perhitungan Parameter Non Spesifik Ekstrak Umbi Talas Jepang 59 Lampiran 5. Perhitungan dan Hasil Penetapan Kadar Total Polifenol ... 60

Lampiran 6. Hasil dan PerhitunganAktivitas Antioksidan ... 63

Lampiran 7. Nilai Viskositas Mikroemusi pada Berbagai Kecepatan ... 66

Lampiran 8. Gambar Hasil Penelitian ... 70

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan telah menjadi masalah tersendiri bagi kaum wanita. Penuaan

merupakan suatu proses multidimensional, yakni mekanisme perusakan dan

perbaikan di dalam tubuh dan sistem tersebut terjadi secara bergantian pada

kecepatan dan saat-saat yang berbeda (Tambayong, 2000). Proses terjadinya

penuaan kulit tidak sama pada setiap orang. Pada orang tertentu proses penuaan

kulit terjadi sesuai dengan usianya sedangkan pada orang lain dapat datang lebih

cepat, keadaan ini disebut sebagai penuaan dini (premature aging). Hal ini

menunjukan bahwa proses penuaan pada setiap individu berbeda, tergantung dari

berbagai faktor yang mempengaruhi dan mempercepat proses penuaan

(Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003). Meskipun proses penuaan adalah

sesuatu yang harus terjadi, namun berbagai usaha untuk mencegah atau

memperlambatnya terus dilakukan. Salah satu bentuk upaya untuk mencegah atau

memperlambat terjadinya proses penuaan dini adalah dengan menggunakan

sediaan kosmetik, berupa anti-aging yang memiliki kemampuan untuk mencegah

atau memperlambat terjadinya proses tersebut (Elsnerdan Howard, 2000 dan

Tranggono dan Latifah, 2007).

Kurun waktu terakhir, banyak dikembangkan penelitian yang berfokus

pada bahan alam, termasuk penelitian di bidang kosmetik. Penggunaan bahan

alami dari tanaman memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah tidak

menyebabkan terjadinya efek samping (Chen, Pearson, dan Gray, 1992; Kahl dan

Kappus, 1993). Salah satu tumbuhan yang telah digunakan oleh masyarakat

sebagai anti-aging adalah talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var

antiquorum. Talas jepang juga biasa digunakan sebagai obat dalam mempercepat

penyembuhan luka sehingga talas jepang dianggap memiliki kemampuan untuk

meregenerasi sel yang rusak. Talas jepang memiliki kandungan polifenol, vitamin

(18)

sebagai anti-aging (Wang, 1983; Lintner dan Sederma, 2015; Sharma dan Arvind

Sharma, 2012; dan Kim, Moon, Seon Yeo, dan Kang, 2010). Hal inilah yang

melatarbelakangi pembuatan sediaan anti-aging dari ekstrak umbi talas jepang.

Kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh molekul obat terutama

yang bersifat hidrofilik (Tranggono dan Latifah, 2007) sehingga ekstrak umbi

talas jepang akan sulit untuk berpenetrasi karena ekstrak talas jepang bersifat

hidrofilik. Zat aktif dalam sediaan harus mampu melewati kulit terutama lapisan

tanduk (stratum korneum) yang merupakan lapisan penghalang utama

(Fatmawaty, Tjendra, Riski, dan Nisa, 2012). Oleh sebab itu perlu dikembangkan

bentuk sediaan yang dapat meningkatkan penetrasinya, diantaranya adalah bentuk

sediaan mikroemulsi.

Produk kosmetik ekstrak umbi talas jepang yang telah beredar adalah

dalam bentuk krim sehingga bentuk mikroemulsi ini merupakan salah satu dari

upaya pengembangan dari produk ekstrak umbi talas jepang. Kosmetik dalam

bentuk mikroemulsi merupakan kosmetik yang mulai dikembangkan di zaman

teknologi yang lebih maju seperti sekarang, karena memiliki sistem penghantaran

baru dan menjanjikan hasil yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan sediaan

topical lainnya, seperti sediaan krim. Mikroemulsi tersusun atas air, minyak, dan

surfaktan, terkadang bersama kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim,

Bae, Mok, dan Park, 2008). Sifat mikroemulsi yang termodinamis dapat

mendukung partisi ke dalam kulit. Sarana mikroemulsi juga dapat mengurangi

penghalang difusi dari stratum korneum dan menunjukan peningkatan efisiensi

dalam penetrasi melalui kulit (Zhu dan Gao, 2008; Shetye dkk, 2010).

Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan sediaan mikroemulsi tipe air

dalam minyak (a/m) dari ekstrak umbi talas jepang dan melihat kestabilannya

secara fisik. Tipe ini dipilih karena zat aktif (fase terdispersi) berifat hidrofil.

Pembuatan mikroemulsi ini dilakukan dengan menggunakan minyak zaitun dan

vitamin E sebagai fase minyak. Pada penelitian ini dilakukan penentuan

konsentrasi kombinasi surfaktan yang digunakan, yakni span 80 dan tween 80

dengan beberapa variasi kosurfaktan, yakni propilen glikol, gliserin, etanol, dan

polietilen glikol (PEG) 400 pada berbagai konsentrasi agar dapat menghasilkan

(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, terdapat masalah yang

harus terselesaikan, yaitu:

1.2.1 Apakah jenis kosurfaktan dan berapa konsentrasi kosurfaktan dan

surfakatan (tween 80 dan span 80) yang dapat membentuk mikroemulsi

tipe air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang?

1.2.2 Apakah produk ekstrak umbi talas jepang dapat dibuat menjadi sediaan

mikroemulsi air dalam minyak (a/m) yang stabil secara fisik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula mikroemulsi

air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan mengevaluasi kestabilan

fisik sediaan.

1.4 Manfaat Peneltian

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai stabilitas fisik

mikroemulsi air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan memberikan

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Talas Jepang

2.1.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Liliopsida

Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Arales

Famili : Araceae

Genus : Colocasia

Spesies : Colocasia esculenta (L.) Schott

Varian : Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum

(Anonim, 2012, p. 376)

Gambar 2.1.Umbi Talas Jepang

[sumber : Bebeja, 2014]

2.1.2 Kandungan Kimia

Umbi talas jepang mengandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin A,

81,40% air; 0,07% lemak; 15, 34% karbohidrat; 0,63% serat; 1,44% protein;

0,013 kalsium; 0,032% fosfat; 0,0015% besi; kalsium oksalat; alkaloid, vitamin

B1.Talas jepang mengandung sejumlah tinggi seng dan asam folat (Irawan,

(21)

(Okamoto, 1967 dalam Wang, 1983), antosianin, karoten, steroid, pati,

glukosamin, galaktosa, glukosa, arabinosa, ribosa, ramnosa, dan glukonolakton

(Wang, 1983).

2.2 Kulit

Kulit merupakan organ terluas penyusun tubuh manusia yang terletak

paling luar dan menutupi seluruh permukaan tubuh (Kumesan, 2013). Luas kulit

orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan (Anwar,

2012).Kulit manusia mempunyai ketebalan yang bervariasi, mulai dari 0,5 mm

hingga 5 mm (Tranggono dan Latifah, 2007).

Secara histologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu lapisan

epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan

subkutis (hipodermis) (Anwar, 2012).

Gambar 2.2.Struktur Anatomi Kulit

[sumber :US National Institute of Health, 2013]

2.2.1 Epidermis

Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang

mempunyai lapisan tertentu. Lapisan ini terdiri dari lima bagian, yakni (Anwar,

(22)

a. Stratum germinativum (stratum basal)

Merupakan lapisan terbawah epidermis.Di dalamnya terdapat sel-sel

melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinasi dan fungsinya hanya

membentuk pigmen-pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel

keratinosit melalui dendrit-dendritnya.Melanin merupakan pigmen utama untuk

warna dari kulit manusia (Hearing, 2005).

b. Stratum spinosum

Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri.Intinya besar dan

oval.Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein

(Tranggono dan Latifah, 2007).Seluruh selnya terikat rapat lewat serat-serat yang

ada pada sitoplasma sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya

berduri.Lapisan ini untuk menahan gesekan dan tekanan dari luar, tebal, dan

terdapat di daerah tubuh yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan

tegangan (Syaifuddin, 2009).

c. Stratum granulosum

Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar,

berinti mengkerut (Tranggono dan Latifah, 2007).Lapisan ini menghalangi

masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk ke dalam tubuh

(Syaifuddin, 2009).

d. Stratum lusidum

Merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, sangat tampak

jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.Antara stratum lusidum dan stratum

granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein’s barrier yang tidak

bisa ditembus (impermeable) (Tranggono dan Latifah, 2007).

e. Stratum korneum

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki

inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit

mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang

tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia (Tranggono

dan Latifah, 2007).

Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik

(23)

2.2.2 Dermis

Dermis merupakan jaringan ikat fibroelastis.Lapisan ini jauh lebih tebal

daripada epidermis(Anwar, 2012).Dermis terutama terdiri dari bahan dasar

serabut kolagen dan elastin, yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat

koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida.Serabut kolagen dapat mencapai

72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis

terdapat adneksa-adneksa kulit, seperti folikel rambut, papilla rambut, kelenjar

keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh

darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan

lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2.3 Subkutis

Lapisan ini ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel lemak

yang membentuk jaringan lemak.Lapisan lemak ini disebutpanikulus adipose

yang berfungsi sebagai cadangan makanan dan bantalan.Di lapisan ini terdapat

ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening (Anwar, 2012).

2.2.4 Fisiologi Kulit

Fungsi kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan yang lainnya di

dalam tubuh manusia, dengan berbagai fungsi antara lain (Anwar, 2012):

a. Fungsi proteksi

Kulit dapat melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan

fisik maupun mekanik. Gangguan fisik misalnya tekanan mekanik, gesekan,

tarikan, panas, dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, dan gangguan

kuman, jamur, bakteri atau virus sedangkan gangguan kimiawi, seperti zat-zat

kimia iritan. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya bantalan

lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang berfungsi

sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan kimia ditanggulangi dengan

adanya lemak permukaan kulit yang berasal dari kelenjarpalit kulit yang

(24)

b. Fungsi absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda

padat.Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit,

begitu pula zat yang larut dalam minyak.Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi

oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan udara, metabolisme, dan jenis

pembawa zat yang menempel di kulit.Absorpsi dapat melalui celah antar sel,

saluran kelenjar atau kelenjar rambut (Anwar, 2012).

c. Fungsi ekskresi

Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau

sisa metabolisme dalam tubuh, misalnya NaCl, urea, asam urat, amonia, dan

sedikit lemak (Anwar, 2012).

d. Fungsi pengindra (sensori)

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan

subkutis.Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan

rangsangan panas diperankan oleh badan Krause.Badan taktil Meissner yang

terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan

Merkel-Renvier yang terletak di epidermis (Anwar, 2012).

e. Fungsi termoregulasi (pengaturan suhu tubuh)

Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan

mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit (Anwar, 2012).

f. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis)

Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal

epidermis.Jumlah melanosit dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan

warna kulit (Anwar, 2012).

g. Fungsi keratinisasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah

bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng

dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas

lebih gepeng dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya

sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mongering

(25)

terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat

melaksanakan fungsinya secara baik (Anwar, 2012).

h. Fungsi produksi vitamin D

Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku

7-dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun, produksi ini masih

lebih rendah dari kebutuhan tubuh (Anwar, 2012).

2.2.5Penetrasi Obat Melalui Kulit

Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya

proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu (Anwar, 2012):

a. Absorpsi transepidermal

Jalur ini merupakan jalur utama bila dibandingkan dengan jalur melalui

kelenjar-kelenjar lainnya karena luas permukaan epidermal 100 sampai 1000 kali

lebih luas dari permukaan kelenjar-kelenjar tersebut.Jalur absorpsi transepidermal

merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur,

yaitu jalur transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati

daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang

antar sel (Anwar, 2012).

Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap.Pertama,

pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi

obat dalam pembawa dan stratum korneum.Kedua, difusi melalui epidermis dan

dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis (Anwar, 2012).

b. Absorpsi transappendageal

Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar

keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga

memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat

fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologis

(26)

2.3 Kosmetik

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 44/Menkes/Permenkes/1998

kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada

bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian

luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik,

mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau

badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu

penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit dibagi menjadi kosmetik

perawatan kulit (skin-care cosmetics), kosmetik untuk mulut (oral cosmetics), dan

wangi-wangian (fragrances) (Mitsui, 1993).

Kosmetik perawatan kulit disebut juga kosmetik wajah dan terutama

digunakan pada wajah (Mitsui, 1993).Kosmetik wajah terdiri dari kosmetik untuk

membersihkan kulit atau cleanser (sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan

freshener), Kosmetik untuk melembabkan kulit atau moisturizer (moisturizing

cream, night cream, anti wrinkle cream), kosmetik untuk menipiskan kulit atau

peeling (scrub cream).Kosmetik anti penuaan atau anti-aging merupakan salah

satu kosmetik perawatan kulit (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah,

2007).

Kosmetik riasan diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit

sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek

psikologis yang baik. Contoh dari kosmetik riasan ini adalah foundation, eye make

up, lipstick, dan rouges (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik perawatan rambut diantaranya adalah shampoo, preparat

perawatan dan gaya rambut (hair styling). Produk yang termasuk didalamnya

yaitu promoter penumbuh rambut dan perawatan kulit kepala dan rambut (Mitsui,

1993).

Kosmetik perawatan mulut diantaranya, yaitu pasta gigi dan produk

(27)

2.4 Penuaan

Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua

makhluk hidup yang meliputi seluruh organ tubuh termasuk kulit (Cunningham,

1998).

2.4.1 Teori Proses Penuaan

Bermacam-macam teori proses penuaan telah dikemukakan para ahli

namun sampai saat ini mekanisme yang pasti belum diketahui. Ada berbagai teori

penuaan, antara lain (Soepardiman, 2003 dan Wasiaatmadja, 1997):

1. Teori Replikasi DNA

Teori ini mengemukakan bahwa terjadinya proses penuaan disebabkan

kematian sel secara perlahanlahan antara lain akibat pengaruh sinar ultraviolet

(sinar matahari) yang merusak sel DNA sehingga mempengaruhi masa hidup sel

(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

2. Teori Kelainan Alat

Proses penuaan terjadi kibat kerusakan DNA yang menyebabkan

terbentuknya molekul-molekul yang tidak sempurna sehingga terjadi kelainan

enzim-enzim intraselular yang mengakibatkan kerusakan atau kematian sel

(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

3. Teori Ikatan Silang

Proses penuaan merupakan akibat dari pembentuan ikatan silang yang

progresif dari protein-protein intraseluler dan interseluler serabut kolagen yang

menyebabkan kolagen kurang lentur dan tidak tegang (Cunningham, 1998;

Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

4. Teori Neuro-Endokrin

Proses menjadi tua diatur oleh organ-organ penghasil hormon seperti timus,

hipotalamus, hipofisis, tiroid yang secara berkaitan mengatur keseimbangan

hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia (Cunningham, 1998;

Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

5. Teori Radikal Bebas

Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya sebagai

(28)

tubuh yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan

sangat reaktif. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus

menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya termasuk menyerang

sel-sel tubuh yang normal. Akibatnya sel-sel akan rusak dan menua serta

mempercepat timbulnya kanker (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan

Wasiatmadja, 1997).

2.4.2 Proses Penuaan pada Kulit

Proses penuaan kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan,

yaitu:

1. Proses Kronologis (Penuaan Intrinsik)

Merupakan proses penuaan fisiologis yang berlangsung secara alamiah,

disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri seperti genetik, hormonal,

dan rasial. Fenomena ini tidak dapat dicegah atau dihindari dan mengakibatkan

perubahan kulit yang menyeluruh sesuai dengan pertambahan usia (Cunningham,

1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

2. Proses penuaan ekstrinsik

Proses ini terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. faktor lingkungan

seperti sinar matahari, kelembaban udara, suhu, dan berbagai faktor eksternal

lainnya dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini.

Perubahan pada kulit terutama terjadi di daerah terpajan seperti kulit wajah

sehingga wajah terlihat lebih tua, tidak sesuai dengan usia yang sebenarnya

(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

Secara garis besar gejala penuaan intrinsik dan penuaan ekstrinsik

(photoaging) dapat dibedakan sebagai berikut (Soepardiman, 2003 dan

(29)

Tabel 2.1 Perbedaan Antara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik

Penuaan Intrinsik Penuaan Ekstrinsik

 Kulit tipis dan halus

 Kulit kering

 Kerut halus, garis ekspresi lebih

dalam

 Kulit kendur

 Dapat timbul tumor jinak

 Kulit menebal dan kasar

 Kulit kering

 Kerut lebih dalam dan nyata

 Bercak pigmentasi tidak teratur

 Pelebaran pembuluh darah

 Dapat timbul tumor jinak, pra

kanker maupun kanker kulit

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Kulit

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan pada kulit

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor intrinsik

Merupakan faktor-faktor dari dalam tubuh yang berpengaruh pada proses

penuaan kulit, diantaranya (Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003):

a. Keturunan (genetik)

b. Rasial

c. Hormonal

2. Faktor ekstrinsik

Berbagai faktor dari luar tubuh yang dapat menyebabkan proses penuaan

dini, antara lain:

a. Faktor lingkungan

1. Sinar matahari

Sinar matahari merupakan faktor utama penyebab terjadinya proses

penuaan kulit. Penuaan dini yang terjadi akibat paparan sinar matahari disebut

sebagai photo aging (dermatoheliosis) (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan

Bemstein, 1996). Kulit yang terpapar oleh sinar matahari akan menyerap

radiasi sinar UV dan menghasilkan komponen yang berbahaya yaitu Reactive

Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada

komponen seluler seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA.

(30)

merupakan faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen dan

meningkatkan penghancuran kolagen dengan memperbanyak enzim yang

disebut matriks metalloproteinase (MMPs) (Helfrich, Sachs, and Voorhees,

2008).

Radiasi UV juga menyebabkan penurunan pembentukan transforming

growth factor (TGF)-beta yang merangsang pembentukan kolagen sehingga

pembentukan kolagen menurun (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008). Selain

itu, radikal bebas juga dapat dihasilkan polusi udara, asap rokok, paparan dari

bahan kimia, dan bahan tambahan pada makanan seperti pengawet, pewarna,

dan pelezat (Cunningham, 1998 dan Wasiatmadja, 1997).

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang rendah di daerah pengunungan atau dataran

tinggi, ruangan AC, paparan angin, dan suhu dingin akan menyebabkan kulit

menjadi kering sehingga mempercepat proses penuaan kulit (Wasiatmadja,

1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996).

3. Keadaan gizi yang buruk

4. Stress psikologis

5. Pemakaian otot-otot muka yang berulang-ulang dan berlagsung lama

6. Penyakit menahun

7. Kehilangan struktur penunjang kulit yang berlebihan (Cunningham, 1998;

Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

Berbagai masalah dan kelainan kulit dapat timbul pada kulit yang menua,

yakni:

1. Kulit kering dan kasar (Pindha IGAS, 2000).

2. Kulit kendur, timbul kerutan, dan lipatan kulit yang nyata (Pindha IGAS,

2000).

3. Bercak pigmentasi (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan

Pindha IGAS, 2000).

4. Tumor kulit (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha

(31)

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyi struktur molekul yang dapat

memberikan elektron dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas

(Kumalaningsih, 2006). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah

terbentuknya radikal. Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antioksidan

larut air seperti natrium metabisulfit dan vitamin C dan antioksidan larut lemak

seperti BHT dan BHA (Angela, 2012).

Ada berbagai metode dalam menguji aktivitas antioksidan, beberapa

diantaranya adalah dengan meenggunakan metode aktivitas penghambatan radikal

superoksida, metode Reducing Power, metode uji kapasitas serapan radikal

oksigen, metode tiosianat, dan metode peredaman dengan DPPH (2,2

Diphenyl-1-picrylhidrazyl), dan metode penimbangan (Angela, 2012).

Metode peredaman dengan DPPH merupaka uji aktivitas antioksidan yang

paling sering digunakan.Metode ini merupakan metode yang mudah, cepat dan

murah serta memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu

radikal stabil.DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm

dengan warna violet gelap.Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron

menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang

sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005).

Menurut Bois (1958), uji dengan metode peredaman DPPH akan

menunjukkan kekuatan aktivitas antioksidan yang ditentukan berdasarkan IC50.

Aktivitas antioksidan dikatakan sangat kuat bila nilai IC50 lebih kecil dari 50

μg/ml, kuat bila nilai IC50 antara 50-100 μg/ml, sedang bila nilai IC50 antara

100-150 μg/ml, dan dikatakan lemah bila IC50 antara 151-200 μg/ml (Angela, 2012).

2.6 Mikroemulsi

Konsep mikroemulsi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1940 oleh

Hoar dan Schulman.Mikroemulsi adalah dispersi isotropik, stabil

secaratermodinamis, transparan, dengan ukuran partikel berkisarantara 5-100 nm,

berasal dari pembentukan spontan bagian hidrofobik dan hidrofilik molekul

(32)

dengan kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim, Bae, Mok, dan Park.,

2008).

Keunggulan mikroemulsi lainnya adalah mempunyai viskositas yang

rendah dan preparasinyamudah (Flanagan dan Singh, 2006) serta menunjukan

kecepatan dan efisiensi dalam penetrasi ke dalam kulit. Hal tersebut menjanjikan

untuk rute pengiriman transdermal dan dermal yang efisien (Kreilgaard, 2002;

Rhee dkk., 2001; Kreilgaard dkk., 2000; Baboota Kohli, Dixit, Shakeel., 2007;

Kamal dkk., 2007; Chen dkk., 2007). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk

menjelaskan keuntungan dari mikroemulsi untuk rute pengiriman transdermal dan

dermal.Pertama, termodinamika terhadap kulit meningkat karena sejumlah besar

obat tergabung dalam formulasi.Kedua, peningkatan aktivitas termodinamika obat

dapat mendukung partisi ke dalam kulit. Ketiga, sarana mikroemulsi dapat

mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan meningkatkan tingkat

penetrasi obat melalui kulit dengan bertindak sebagai peningkat permeasi

sehingga memungkinkan sejumlah besar obat dapat berpenetrasi karena struktur

dan formulasinya dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu danGao, 2008 dan

Shetye dkk, 2010).

Pada awalnya, minyak yang digunakan pada pembuatanmikroemulsi

berupa hidrokarbon minyak mineral, terutama karena mudah membentuk

mikroemulsi dan juga kemurnian sistem hidrokarbon (Flanagan dan Singh,

2006).Akan tetapi, minyak yang memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam

lemak rantai sedang lebih banyak memiliki keuntungan tersendiri karena lebih

stabil dan memerlukan jumlah surfaktan yang lebih sedikit untuk membentuk

mikroemulsi (Yuwanti dkk, 2011).

Surfaktan HLB rendah memudahkan pelarutan komponen larut minyak,

surfaktan HLB tinggi akan memudahkan pelarutan komponen larut air. Surfaktan

HLB sedang mempunyai polaritas sedang diharapkan dapat berinteraksi dengan

kedua surfaktan lainnya, tegangan antar muka menjadi lebih rendah dan

memungkinkan pembentukan droplet baru dengan ukuran lebih kecil sehingga

diperoleh mikroemulsi yang lebih stabil (Yuwanti dkk, 2011).Campuran

(33)

muka dan ukuran droplet mikroemulsi sehingga memperbaiki stabilitas

mikroemulsi yang dihasilkan (Cho Kim, Bae, Mok, dan Park, 2008).

Mikroemulsi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mikroemulsi air dalam

minyak (a/m), mikroemulsi minyak dalam air (m/a), dan mikroemulsi

bicontinuous. Jenis mikroemulsi yang terbentuk bergantung pada komposisi

pembentuknya.Mikroemulsi minyak dalam air terbentuk karena fraksi dari minyak

rendah.Sedangkan mikroemulsi air dalam minyak terjadi ketika fraksi dari air

rendah. Sistem mikroemulsi bicontinuous mungkin terjadi jika jumlah air dan

minyak hampir sama (Lawrence, 2000).

Mikroemulsi yang stabil ditandai dengan dispersi globul yang seragam

dalam fase continue. Namun dapat terjadi penyimpangan dari kondisi

tersebut.Disamping itu suatu mikroemulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh

kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya.

Seperti emulsi, ketidakstabilan mikroemulsi bisa digolongkan sebagai berikut

(Fauzy, 2012):

a. Creaming

Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih

besar untuk naik ke permukaan mikoemulsi atau jauh ke dasar mikroemulsi

tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri (Fauzy, 2012).

b. Flokulasi

Flokulasi adalah agregasi globul menjadi kelompok besar (Fauzy, 2012).

c. Coalescence (breaking, cracking)

Coalescence merupakan penggabungan bulatan-bulatan fase dalam

(coalesense) dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Sedangkan

pemisahan fase dalam dari mikroemulsi tersebut disebut “pecah” atau “retak”

(cracked). Hal ini bersifat irreversible karena lapisan pelindung di sekitar

bulatan-bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Djajadisastra, 2004).

2.7 Komponen Mikroemulsi

2.7.1 Minyak Zaitun

Minyak zaitun merupakan campuran dari gliserida asam lemak.Minyak

(34)

merupakan cairan minyak berwarna jernih atau kuning, transparan.Minyak zaitun

umumnya berfungsi sebagai pembawa berminyak.Aplikasinya biasa digunakan

dalam enema, linimen, salep, plaster, dan sabun (Rowe, Sheskey, dan Quin,

2009).

Minyak zaitun sedikit larut dalam etanol (95%), dapat bercampur dengan

eter, kloroform, petroleum putih (50-70 ºC), dan karbon disulfida. Ketika

didinginkan, minyak zaitun akan menjadi keruh kira-kira pada suhu 10 ºC, dan

menjadi seperti massa mentega pada suhu 0 ºC. Minyak zaitun dapat mengalami

saponifikasi dengan alkali hidroksida.Minyak zaitun cenderung mudah teroksidasi

dan inkompatibel dengan agen pengoksidasi (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

Minyak zaitun digunakan dalam formulasi ini sebagai basis atau pembawa

minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat bagi kesehatan kulit.Minyak

zaitun berkhasiat untuk melembabkan dan menutrisi kulit. Minyak zaitun sangat

kompatibel dengan pH kulit, kaya akan vitamin dan zat-zat bernutrisi lainnya

yang melembutkan dan melindungi kulit (Smaoui, 2012).

2.7.2 Span 80

Span 80 merupakan cairan kental berwarna kuning dengan pH 8. Span 80

merupakan ester sorbitan yang memiliki bau dan rasa yang khas. Span 80 biasa

digunakan sebagai agen pengemulsi, agen pelarut, dan agen pembasah. Span 80

umumnya larut atau terdispersi dalam minyak, larut dalam pelarut organik. Di

dalam air span 80 dapat terdispersi. Span 80 stabil dalam asam maupun basa

lemah. span 80 harus disimpan dalam wadah tertutup, dingin, dan kering. (Rowe,

Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.3 Tween 80

Tween 80 disebut juga sebagai polisorbat 80 (polioksietilen 20 sorbitan

monooleat).Tween 80 memiliki karakteristik cairan berminyak berwarna kuning

pada suhu 25 C dan suhu hangat, serta berasa pahit. Tween 80 larut dalam etanol

dan air, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati.Tween 80 berfungsi

sebagai pengemulsi, surfaktan nonionik, solubilizing agent, agen pensuspensi, dan

(35)

Tween 80 stabil untuk elektrolit dan asam serta basa lemah, saponifikasi

terjadi dengan asam dan basa kuat.Ester asam oleat sestitif terhadap

oksidasi.Tween 80 higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik,

terlindung dari cahaya, dingin, dan kering (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.4 Polietilen Glikol 400 (PEG 400)

Polietilen glikol 400 berwujud cairan kental, jernih, tidak berwarna atau

berwarna sedikit kuning.PEG 400 sedikit berbau serta berasa pahit dan sedikit

membakar.PEG 400 memiliki berat molekul 380-420, titik leleh 6-8 ºC, pH

4,0-7,0 (larutan 5% w/v), massa jenis 1,120 g/cm3 pada suhu 25 ºC. PEG 400 larut

dalam air, aseton, alkohol, benzena, gliserin, dan glikol.PEG 400 stabil secara

kimia dalam udara dan dalam larutan.PEG 400 inkompatibel dengan beberapa

agen pewarna.Aktivitas antibakteri dari antibiotik dikurangi dalam basis polietilen

glikol (penisillin dan basitrasin).PEG400 dapat bereaksi dengan golongan

sulfonamida dan sorbitol.Sulfonamida dapat mengalami kehilangan warna

sedangkan sorbitol dapat diendapkan dari campurannya.Plastik, seperti polietilen,

fenolformaldehid, polivinil klorida, dan membran ester sellulosa (dalam

penyaring) dapat dilembutkan atau tidak larut dengan polietilen glikol. Migrasi

dari polietilen glikol dapat terjadi dari pelapis film tablet, tertama interaksi dengan

komponen inti (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).

2.7.5 Vitamin E (Alpha Tocopherol)

Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol

[sumber :Rowe, Sheskey, and Quin, 2009]

Vitamin E memiliki fungsi sebagai antioksidan dan agen terapi. Vitamin E

merupakan produk alami berupa larutan kental berminyak,jernih, tidak berwarna,

atau berwarna kuning seperti coklat. Vitamin E memiliki titik didih 23 ºC dengan

(36)

aseton, etanol, eter, dan minyak nabati.Vitamin E dioksidasi secara lambat oleh

oksigen atmosfir dan secara cepat oleh garam besi dan perak.Vitamin E harus

disimpan di bawah gas inert, di dalam wadah kedap udara, dingin, kering dan

terlindung dari cahaya.Vitamin E inkompatibel dengan peroksida dan ion metal,

terutama besi, tembaga, dan perak (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).

Vitamin E digunakan dalam formulasi ini sebagai antioksidan untuk

sediaan.Vitamin E juga dapat memelihara stabilitas jaringan ikat di dalam sel

(menjga integritas serat elastin antara dermis dan kolagen sehingga kelenturan dan

(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium

Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Kesehatan

Lingkungan, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Biologi, dan Laboratorium

Steril Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,

Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta. Waktu penelitian dimulai

pada bulan Januari hingga Juni 2015.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi homogenizer (IKA®

RW 20 Digital), spektofotometri UV-Vis (Hitachi), sentrifugator (Eppendorf

SH7R), viskometer (Visco Tester 6R HAAKE), hotplate stirrer, oven (France

Etuves C 3000®), refrigerator (Sanyo Medicool), piknometer (Iwaki pyrex®), pH

meter (Horiba F-52, Jepang), mikroskop optik (Olympus), magnetic stirrer,

mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen),

termometer, tabung eppendorf, tanur, krus silikat, piknometer, termometer, botol

timbang, dan alat gelas (Iwaki pyrex®) lain yang biasa digunakan.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah umbi talas jepang dan ekstrak umbi talas

jepang (CV Rajawali Mas, Indonesia), span 80 (Brataco, Indonesia), tween 80

(Brataco, Indonesia), minyak zaitun (Brataco, Indonesia), polietilen glikol 400

(Brataco, Indonesia), vitamin E (Bronson & Jacobs, Indonesia), akuades (Alam

Kimia, Indonesia), DPPH, metanol pro analisa (Merck, Jerman), Na2CO3 pro

analisa (Sinopharm, China), Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman), asam galat standar

(Sigma, USA), kloroform, H2SO4 2 N, pereaksi mayer, pereaksi dragendorff,

etanol, serbuk Mg, HCl, H2SO4 pekat, asam asetat anhidrat, FeCl3 1%, H2SO4

(38)

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Determinasi Tanaman

Tanaman umbi talas jepang yang didapat dari CV Rajawali Mas

dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor.

3.3.2 Metode Ekstraksi

Ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan metode

pengepresan (expression) dan dipanaskan pada suhu 50 ⁰C selama 2 jam,

kemudian didiamkan selama 24 jam. Metode ini akan menghasilkan dua lapisan

setelah dipanaskan. Lapisan yang digunakan adalah lapisan atas yang berwujud

cair. Ekstrak kemudian ditempatkan di dalam desikator untuk mendapatkan kadar

air yang memenuhi persyaratan.

3.3.3 Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang

3.3.2.1Karakterisasi non-spesifik

Adapun karakterisasi non-spesifik yang dilakukan meliputi penetapan

kadar air dan kadar abu.

a. Kadar air

Dimasukan lebih kurang 0,1 gram ekstrak, dan ditimbang seksama dalam

wadah yang telah ditara. Keringkan pada suh 105 ⁰C selama 2 jam, dan timbang.

Lakukan pengeringan dan timbang pada jarak 30 menit sampai perbedaan antara

jarak penimbangan bertururt-turut tidak lebih dari 0,25% (Anonim, 1995).

% Kadar air =Bobot awal −Bobot akhir

Bobot awal × 100%

b. Uji kadar abu

Ditimbang sebanyak 2 gram bahan uji dan dimasukkan ke dalam krus

silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,

dinginkan dan ditimbang. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,

dinyatakan dalam % b/b (Anonim, 2000).

% Kadar abu total = w 3−w1

w2 × 100%

(39)

W1 = Bobot wadah (gram)

W2 = Bobot zat awal (gram)

W3 = bobot wadah dan abu zat setelah pemanasan (gram)

3.3.2.2Karakterisasi spesifik

a. Organoleptik

Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik

menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa

(Anonim, 2000).

3.3.2.3Uji Kelarutan

Kelarutan ekstrak diukur dengan menggunakan pelarut akuades. Sebanyak

0,1 gram ekstrak dilarutkan dengan akuades sedikit demi sedikit hingga larut.

Kemudian dihitung jumlah akuades yang digunakan.

3.3.3 Penapisan Fitokimia

a. Identifikasi golongan alkaloid

Sampel dicampur dengan 5 mL kloroform dan 5 mLamoniak kemudian

dipanaskan, dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes asam sulfat 2 N pada

masing-masing filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan. Bagian atas dari

masing-masing filtrat diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer dan Dragendorff.

Terbentuknya endapan putih dan jingga yang menunjukkan adanya alkaloid

(Anonim, 2000).

b. Identifikasi golongan flavonoid

Sampel dicampur dengan 5 mL etanol, dikocok, dipanaskan, dan dikocok

lagi kemudian disaring. Kemudian ditambahkan serbuk Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl

pada masing-masing filtrat. Terbentuknya warna merah pada lapisan etanol

menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 2000).

(40)

Sampel dididihkan dengan 20 mLair dalam penangas air. Filtrat dikocok

dan didiamkan selama 15 menit. Terbentuknya busa yang stabil berarti positif

terdapat saponin (Anonim, 2000).

d. Identifikasi golongan steroid

Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mLasam sulfat pekat

dan 2 mLasam asetat anhidrat. Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau

menunjukkan adanya steroid (Anonim, 2000).

e. Identifikasi golongan triterpenoid

Sampel dicampur dengan 2 mL kloroform dan 3 mL asam sulfat pekat.

Terbentuknya warna merah kecoklatan pada antar permukaan menunjukkan

adanya triterpenoid (Anonim, 2000).

f. Identifikasi golongan tannin

Sampel didihkan dengan 20 mLa ir lalu disaring. Ditambahkan beberapa

tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman

menunjukkan adanya tannin (Anonim, 2000).

3.3.4 Penetapan Kadar Polifenol Total

Dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis dan asam galat

sebagai standar.

3.3.4.1Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Akuades

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat

dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro

analisa lalu ditambahkan akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas

(Ratnayani, 2012).

3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam

Akuades

Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara

mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan

ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Sebanyak

0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

(41)

ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam.

Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang

400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai

sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari

kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan

maksimum (Alfian, Susanti, 2012 dan Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.3Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Akuades

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan

80 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL;

0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat

1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan

akuadessampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi

larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL

reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL

akuades. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua

larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada

panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara

konsentrasi asam galat (μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.4 Penentuan Kadar Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Umbi Talas

Jepang

Sebanyak 10 mg ekstrak umbi talas jepang dilarutkan dalam

akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL

larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat

15%, lalu ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar

selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa

(42)

dari kurva kalibrasi. Kadar total polifenol ditetapkan sebagai ekivalen asam

galat (GAE) (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.3.5 Uji Antioksidan dengan Metode DPPH (Harun, 2014)

3.3.5.1Pembuatan Larutan DPPH 0,1 mM

Sebanyak 1,98 mg DPPH (BM 394,32) dilarutkan dengan methanol pro

analisa dan dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL. Volume dicukupkan dengan

metanol pro analisa hingga tanda batas, kemudian ditempatkan dalam botol gelap.

3.3.5.2Pembuatan Larutan Blangko

Dipipet 2 mL larutan DPPH (0,1 mM) kedalam tabung reaksi dan

ditambahkan metanol p.a sebanyak 2 mL. Ditutup dengan aluminium foil.

Kemudian dihomogenkan dengan vortex dan diinkubasi dalam ruangan gelap

selama 30 menit.

3.3.5.3Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang

a. Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang

Ditimbang sebanyak 50 mg ekstrak kemudian dilarutkan dengan

metanol pro analisa. Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL.Volume

dicukupkan dengan metanol pro analisa sampai tanda batas (1000 ppm).

Kemudian dari larutan induk dibuat seri konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, 500

ppm, 700 ppm, dan 1000 ppm.

b. Pengukuran Serapan dengan Menggunakan Spekrofotometer

UV-Vis

Masing-masing konsentrasi larutan uji sebanyak 2 mL dimasukkan ke

dalam tabung reaksi. Ditambahkan larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 2 mL,

dihomogenkan dengan vortex. Selanjutnya diinkubasi dalam ruangan gelap

selama 30 menit. Lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm.

3.3.6 Pembuatan Mikroemulsi

3.3.6.1Uji Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan kondisi percobaan

(43)

jernih dan stabil. Dilakukan percobaan pembuatan mikroemulsi dengan span 80

dan tween 80 sebagai surfaktan dan propilen glikol, gliserin, PEG 400, dan etanol

sebagai kosurfaktan dengan berbagai variasi konsentrasi. Kondisi yang harus

diperhatikan dalam pembuatan sediaan mikroemulsi ini meliputi:

1. Konsentrasi kombinasi surfaktan (15-45%),

2. Kecepatan pengadukan (300, 500, 750, 1000, 1500 rpm),

3. Temperatur (suhu ruang (25 ± 2 ⁰C), 30-35 ± 2 ⁰C, dan 36-40 ± 2 ⁰C),

4. Lama pengadukan (10, 20, 30, dan 40 menit).

3.3.6.2Formulasi Mikroemulsi

Mikroemulsi yang akan dibuat terdiri dari minyak zaitun, vitamin E, span

80, tween 80, PEG 400, ekstrak umbi talas jepang, dan akuades. Adapun formula

mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang yang diperoleh, terdiri dari:

Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang

No. Nama Bahan Konsentrasi

(%b/v)

Fungsi

1 Minyak Zaitun 48,5 Pembawa minyak

2 Vitamin E 0,5 Antioksidan untuk sediaam

3 Span 80 23 Surfaktan

4 Tween 80 15 Surfaktan

5 PEG 400 5 Kosurfaktan

6 Ekstrak Umbi Talas Jepang 3 Zat aktif

7 Akuades 5 Pelarut

Prosedur pembuatan dilakukan dengan cara masing-masing fase, yakni

fase minyak (minyak zaitun, vitamin E, dan span 80) dan fase air (ekstrak umbi

talas jepang, PEG 400, tween 80, dan akuades) dicampurkan didalam beaker glass

yang berbeda dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu 30-35 ± 2 ⁰C.

Setelah homogen, fase airdimasukan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak

dan diaduk dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan ±750 rpm hingga

(44)

3.3.7 Evaluasi Fisik Mikroemulsi

3.3.7.1Pemeriksaan Organoleptik

Sediaan mikroemulsi diperiksa secara visual warna, homogenitas, dan

kosistensinya (Haneefa dkk,2012).

3.3.7.2Uji pH

Sebanyak 10 gram sediaan mikroemulsi diukur pH sediaan dengan

menggunakan alat potensiometrik (pH meter) pada suhu 25 ± 2 ⁰C (Sharma,

Sharma, Sandeep, Gupta, dan Bishnol, 2012).

3.3.7.3Uji Tipe Mikroemulsi

Dilakukan dengan menggunakan uji pengenceran, dengan cara

mengencerkan mikroemulsi dengan air. Jika mikroemulsi tercampur baik dengan

air, maka tipe mikroemulsi adalah minyak dalam air (m/a), sebaliknya jika air

yang ditambahkan membentuk globul pada mikroemulsi maka tipe mikroemulsi

adalah air dalam minyak (a/m) (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 2008).

3.3.7.4Penentuan Viskositas

Pengukuran dilakukan dengan Visco Tester 6R HAAKE pada temperatur

ruang (25 ± 2 ⁰C). Shear rates dan shear stress diaplikasikan pada sampel

sejumlah 150 gram dan akan menghasilkan reogram yang akan dibuat untuk

menentukan viskositas dan reologi sampel (Mortazavi, Pishrochi, dan Jafari azar,

2013).

3.3.7.5Pengukuran Bobot Jenis

Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu ruang.

Bobot piknometer kosong ditimbang pada suhu ruangan (A gram). Kemudian diisi

dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 gram). Air dikeluarkan dari

piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dalam

piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis sediaan diukur

dengan perhitungan sebagai berikut (Deepak dan Vedha Hari, 2013):

(45)

3.3.7.6Uji Stabilitas

Uji stabilitas dilakukan dengan cara menempatkan masing-masing sediaan

(150 gram) pada suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), kamar (25 ± 2 ⁰C), dan suhu rendah (4 ±

2 ⁰C) selama 1 bulan. Dilakukan pengamatan organoleptik setiap 2 minggu sekali

serta pengukuran pH dan viskositas pada hari terakhir (Lou, Qiu, Crill, Helms,

dan Almoazen, 2013; Fahima MH, Dalia, Mohamed, Aliaa, 2011; Fauzy, 2010).

3.3.7.7 Cyling test (Uji freeze-thaw)

Sampel sebanyak ±150 gram diuji kestabilannya secara bergantian pada

suhu dingin (4 ± 2 ⁰C) dan suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), masing-masing temperatur

diuji selama 24 jam. Uji dilakukan sebanyak 6 siklus, untuk diuji kestabilan

fisiknya. Dilakukan pengamatan organoleptik dan pengukuran pH pada sediaan

mikroemulsi setelah cyling test (Fauzy., 2012).

3.3.7.8Uji Sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi (5 gram) dimasukan ke dalam tabung sentrifugasi

kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 30 menit.

(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman

Hasil determinasi tanaman yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Bogor menyatakan bahwa tanaman yang digunakan adalah

benar talas jepang (Colocasia esculenta (L.)Schott) familiAraceae.Hasil

determinasi dapat dilihat pada lampiran 2.

4.2 Karakterisasi

Standardisasi atau karakterisasi merupakan proses penjaminan produk

akhir agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan

terlebih dahulu (Helmi dkk, 2006). Standardisasi merupakan proses yang penting

untuk menjamin mutu dan keamanan bahan. Karakterisasi dilakukan terhadap

parameter spesifik, parameter non-spesifik, dan uji kelarutan.

Parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptik, yakni bentuk,

warna, bau, dan rasa sedangkan parameter non-spesifik yang diujikan yaitu kadar

air dan kadar abu. Hasil dari karakterisasi ekstrak umbi talas jepang dapat dilihat

(47)

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang

Jenis Karakterisasi Hasil Nilai Berdasarkan

Literatur

(Colocasia esculenta(L.)

Schott var antiquorum)

Kental

kategori larut dalam

akuades

Berdasarkan hasil pengamatan diperolehidentitas dan organoleptikekstrak

adalah ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta(L.) Schott var

antiquorum)dengan warna cokelat tua, berbau khas aromatik, dan memiliki rasa

yang manis sedikit pahit. Rasa pahit dari ekstrak disebabkan dari kadaralkaloid

yang terdapat di dalamnya (Anam dkk, 2013).

Kadar airekstrak umbi talas jepang yang diperoleh sebesar 7,01%. Hal ini

telah sesuai dengan persyaratan dimana kadar air seharusnya adalah antara <10%

sehingga ekstrak umbi talas jepang dapat digunakan dalam formulasi mikroemulsi

(Soetarno dan Soediro, 1997). Jika kadar air terlalu tinggi akan memudahkan

Gambar

Gambar 2.1 Umbi Talas Jepang ..........................................................................
Gambar 2.1.Umbi Talas Jepang
Gambar 2.2.Struktur Anatomi Kulit
Tabel 2.1 Perbedaan Antara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu pembuatan pati dari umbi bentul, pembuatan edible film pati kulit singkong dengan ekstrak bunga rosella, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Tepung Umbi Talas ( Colocasia esculenta L. Schott ) terhadap karakteristik sifat sensoris, sifat Fisik, dan sifat Kimia

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “ Kinetika Kimia Glukosa dari Pati

19 UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS ( Colocasia esculenta L. Schoot ) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST TERHADAP Artemia Salina Leach.. Bayu Putra , Said

Hasil analisis ragam dengan perlakuan substitusi tepung umbi Talas Bogor terhadap tepung beras ketan dengan persentase yang berbeda dalam pembuatan dodol susu menunjukan

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menentukan potensi toksisitas dan potensi antikanker pada ekstrak etanol umbi talas (Colocasia esculenta