• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS

JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var.

antiquorum

) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

)

JANTAN GALUR

SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

NURHAYATI NASUTION

1111102000125

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS

JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var.

antiquorum

) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

)

JANTAN GALUR

SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NURHAYATI NASUTION

1111102000125

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Nama : Nurhayati Nasution

Program Studi : Farmasi

Judul :Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang

(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)

terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

Luka terbuka yang tidak diobati berpotensi mengalami infeksi yang dapat menyebabkan kelumpuhan, infeksi kronik bahkan kematian. Umbi talas jepang

(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung alkaloid, flavonoid,

tanin, polifenol, triterpenoid, saponin, tarin, Zn, vitamin C dan A yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap kecepatan penyembuhan luka. Hewan uji terdiri dari 20 ekor tikus galur Sprague Dawley yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok uji yang diberikan krim ekstrak umbi talas jepang dengan 3 konsentrasi yang berbeda (1%, 5% dan 25%). Luka terbuka dibuat dengan metode Morton pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus. Pemberian ekstrak dan pengamatan penyembuhan luka dilakukan selama 14 hari. Parameter yang diamati meliputi luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka, keberadaan sel radang dan fibroblas, neokapilerisasi, kerapatan kolagen. Data luas luka dianalisa menggunakan Paired

Sample T-Test. Hasil penelitian menunjukkan luas luka kelompok uji I berbeda

signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok uji II dan III berbeda signifikan pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok kontrol negatif berbeda signifikan hanya pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), sedangkan luas luka kelompok kontrol positif berbeda signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05). Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan neokapilerisasi, fibroblas dan kerapatan kolagen yang lebih tinggi terjadi pada kelompok uji I, II dan III, dibandingkan kelompok kontrol negatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang dapat mempercepat penyembuhan luka dan aktivitas penyembuhan luka terbesar terjadi pada konsentrasi ekstrak 1%.

(7)

ABSTRACT

Name : Nurhayati Nasution

Program Study : Pharmacy

Title :Study of Effect of Ethanolic Extracts of Colocasia

esculenta (L.) Schott var. antiquorum Tuber on the Open

Wound Healing in Rats (Rattus norvegicus) Male Sprague-Dawley Strain

Untreated open wounds potentially causes infection that can lead to paralysis, chronic infection and even death. Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum tuber contain alkaloids, flavonoids, tannins, polyphenols, triterpenoids, saponins, tarin, Zn, vitamin C and A that can accelerate the wound healing process. The aim of this study is to evaluate the effect of ethanolic extract of taro tuber to the wound healing. Twenty Sprague Dawley rats were used as experimental animals which were divied into 5 groups; the control positive group that was treated with the Lanakeloid-E cream, the control negative group that was treated with the cream base, and three other groups were treated with the japanese taro tuber extract cream using 3 different concentrations (1%, 5% and 25%). Open wounds were made by using the Morton method on the dorsal part that was about 3 cm from the auricular rats. Treatments and observations of wound healing were conducted during 14 days. The parameters observed in this study included wounds area, the percentage of wound healing, wound healing time, the presence of inflammatory cells and fibroblasts, new formed capillaries and collagen density. Wounds area data were analyzed using the Paired Sample T-Test. The result showed that the area of the 1st trial group indicated significant differences on the 3rd, 6th, 9th, and 12th day (p ≤ 0.05), wounds area of the 2nd and 3rdtrial groups showed a significant difference on the 6th, 9th and 12th day (p ≤ 0, 05), wound area of the negative control group showed a significant difference on the 6th, 9th and 12th day (p ≤ 0.05), while the wound area of the positive control group differed significantly on the 3rd, 6th,9th and 12th(p ≤ 0.05 ). The result of microscopic observations showed that new formed capillaries, fibroblasts and collagen density were higher in the 1st, 2nd and the 3rdtrial groups than the negative control group. It can be concluded that the ethanolic extract of taro tuber can accelerate wound healing and the best wound healing activity occurred using the extract with 1% concentration.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak pernah lelah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang

(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan

Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt dan Bapak Syaikhul Aziz, M. Si., Apt, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Drs.Umar Mansur, M.Sc., Apt dan Ibu Eka Putri,M.Si.,Apt selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan evaluasi dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM.,M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Yardi, M. Si., Ph. D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Khaidir Nasution dan Ibu Nuraimah Lubis,

yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, serta kasih

sayang dan do’a tiada henti. Kepada kedua adikku tercinta, Adelia Nasution, dan Khairunnisak Nasution, yang selalu menghibur dan memberikan semangat serta do’a.

(9)

7. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu berlangsungnya penelitian ini.

9. Sahabat-sahabatku di CSS Mora yang sama-sama berjuang dan mengemban tanggung jawab sebelum maupun setelah menyelesaikan pendidikan ini. 10. Sahabat-sahabatku Puspita, Nanda, Herlina, Ni’mah, Wina, Kiki Rambe,

Bilqis, Fifi, Erlin, Mufidah,Qurry yang telah memberikan semangat dan pengalaman yang indah selama kuliah.

11. Teman yang berjuang bersama dalam berlangsungnya penelitian ini, Titis Mawarsari.

12. Teman-teman Farmasi angkatan 2011 yang sama-sama berjuang menyelesaikan pendidikan ini.

13. Teman-teman Farmasi 2011 AC yang tidak membuat penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Ciputat, 6 Juli 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

DAFTAR ISI ... x

2.3.Tinjauan Hewan Percobaan... 12

2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 12

2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 12

(12)

2.5.2 Jenis-jenis luka ... 17

2.5.3 Penyembuhan Luka ... 20

2.5.3.1 Prinsip Penyembuhan Luka ... 26

2.5.3.2 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka ... 30

2.5.3.3 Komplikasi penyembuhan luka ... 33

2.6.Krim ... 34

3.4.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ... 42

3.4.2 Penyiapan Simplisia ... 42

3.4.3 Pembuatan Ekstrak ... 42

3.4.4 Standarisasi Ekstrak... 43

3.4.4.1 Penentuan Parameter Non Spesifik ... 43

3.4.4.2 Penentuan Parameter Spesifik ... 44

3.4.5 Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 47

3.4.6 Evaluasi Sediaan Krim ... 48

3.4.6.1 Uji Organoleptik... 48

3.4.6.2 Uji Homogenitas ... 48

3.4.7 Persiapan Hewan uji ... 48

3.4.8 Pemberian Perlakuan ... 48

3.4.8.1 Pembuatan Luka ... 48

3.4.8.2 Pemberian Bahan Uji ... 49

3.4.9 Pengamatan Penyembuhan Luka ... 49

3.4.10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus ... 50

3.4.11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus .... 50

3.4.12 Pengamatan Preparat Histopatologi ... 51

3.4.13 Rencana Analisa Data ... 51

4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 53

4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim ... 53

4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 54

4.1.7. Hasil Pengukuran Luas dan Persentase Penyembuhan Luka 55

4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi ... 56

(13)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Biologis Tikus ... 13

Tabel 2. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan... 41

Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 47

Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang .... 52

Tabel 5. Hasil Penetuan Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik . 53 Tabel 6. Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 53

Tabel 7. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 54

Tabel 8. Rata-rata Luas Luka Tiap Kelompok ... 55

Tabel 9. Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok ... 55

Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi ... 56

Tabel 11. Hasil Penapisan Fitokimia ... 84

Tabel 12. Foto Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 ... 90

(15)
(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) ... 8

Gambar 2. Anatomi kulit... 16

Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka ... 22

Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka ... 23

Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka ... 26

Gambar 6. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok ... 54

Gambar 7. Grafik rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok ... 55

Gambar 8. Botol Maserasi ... 78

Gambar 9. Vacuum Rotary Evaporator ... 78

Gambar 10. Timbangan Analitik ... 78

Gambar 11. Tanur tinggi ... 78

Gambar 12. Desikator ... 78

Gambar 13. Ekstrak kental ... 78

Gambar 14. Oven (Memmert) ... 78

Gambar 15. Umbi Talas Jepang ... 78

Gambar 16. Pelarut Etanol 96% ... 78

Gambar 17. Oven Vakum ... 79

Gambar 18. Hot Plate ... 79

Gambar 19. Alat Bedah ... 79

Gambar 20. Krim Bahan Uji ... 79

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alat dan Bahan ... 78

Lampiran 2. Prosedur kerja ... 80

Lampiran 3. Determinasi Tanaman Colocasia esculenta (L.) Schott ... 81

Lampiran 4. Skema Pembuatan Krim Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 82

Lampiran 5. Alur Penelitian ... 83

Lampiran 6. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang 84 Lampiran 7. Tahapan Pengukuran Diameter Luka dengan Aplikasi ImageJ 87

Lampiran 8. Pemeriksaan Parameter Ekstrak ... 89

Lampiran 9. Luka Tikus Mulai Hari Ke-0 Hingga Hari ke-14 ... 90

Lampiran 10.Diameter luka seluruh kelompok hewan uji ... 93

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luka adalah kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori & Solanki, 2011).Luka juga didefinisikan sebagai keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan sengatan listrik atau gigitan hewan (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2005).

Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh melalui tiga fase proses penyembuhan, yaitu fase inflamatori, fase proliferatif dan fase

remodelling. Komponen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka

adalah kolagen, angiogenesis dan granulasi (Ferdinandez et al, 2013). Kecepatan penyembuhan luka tergantung dari luas dan kedalaman luka, serta ada tidaknya komplikasi yang mengganggu proses penyembuhan luka yang alami seperti pada orang yang berusia lanjut, pengobatan dengan steroid, dan yang menderita penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al, 2008).

Luka terbuka yang tidak diobati memiliki potensi untuk mengalami infeksi seperti gangren dan tetanus. Jika infeksi dibiarkan, akan menyebabkan kelumpuhan, infeksi kronik, infeksi tulang, bahkan kematian. Oleh karena itu, penanganan yang tepat diperlukan untuk mengurangi terjadinya infeksi pada suatu luka. Luka infeksi merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada negara berkembang karena kebersihan yang buruk. Ketersediaan obat yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka masih terbatas meskipun perkembangan industri obat sudah sangat maju (Meenakshi et al. 2012).

(19)

afrika (WHO, 2014) dan lebih dari 10.000 kasus tetanus terjadi di dunia pada tahun 2013 (WHO, 2014).

Tujuan dari manajemen luka adalah menurunkan kejadian luka yang terinfeksi, penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni & Akhlesh, 2012). Saat ini tidak ada substansi yang sangat efektif untuk mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga perhatian meningkat dalam menemukan ekstrak tanaman untuk meningkatkan regenerasi penyembuhan luka, meskipun penggunaan dari ekstrak tanaman untuk pengobatan luka umumnya baru merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (Mathivanan et al, 2006).

Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum termasuk dalam keluarga

araceae yang umumnya dikenal sebagai talas satoimo/taro. Daun dan umbi tanaman ini umumnya digunakan sebagai makanan di beberapa negara seperti Jepang, Cina, India, Philippines dan lainnya (Wang, 1983). Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung alkaloid, steroid, lemak, fixed oil, flavonoid, tanin, protein dan karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin, riboflavin, niacin (Subhash et al, 2012). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di negara Jepang sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Akan tetapi, penelitian terhadap potensi tanaman ini masih sedikit dilakukan di Indonesia.

Penelitian terdahulu menggunakan ekstrak air daun Colocasia esculenta (L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa polifenol yang berperan dalam penyembuhan luka. Senyawa polifenol memiliki aktivitas antioksidan yang dapat menekan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan menghambat hyaluronidase sehingga melindungi sel-sel kulit dari kerusakan oksidatif dan mempercepat pemulihan luka pada tahap inflamasi (Girish & Kemparaju, 2007). Penelitian yang menggunakan ekstrak metanol daun Colocasia

esculenta (L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut dapat meningkatkan

(20)

Penelitian lainnya yang menggunakan ekstrak etanol tangkai daun

Colocasia esculenta (L.) Schott menyimpulkan bahwa ekstrak tangkai daun talas

berpotensi sebagai alternatif obat luka sayatan pada kulit kelinci. Tangkai daun

Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit sekunder berupa saponin,

flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid yang berperan dalam menyembuhkan luka (Wijaya et al, 2014). Subhash et al (2012) menyimpulkan bahwa umbi Colocasia

esculenta positif mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, dan

saponin. Kandungan metabolit sekunder ini kemungkinan berperan dalam penyembuhan luka seperti pada tangkai daunnya.

Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas proteolitik (Rao et al, 2010; Roxas, 2013). Menurut Priosoeryanto et al., (2006) lektin berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit. Tarin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka karena aktivitas proteolitiknya seperti papain yang efektif meluruhkan jaringan nekrotik, mencegah infeksi dan menstimulasi pembentukan jaringan granulasi pada luka melalui aktivitas enzim proteolitik yang dapat mengangkat jaringan mati tanpa merusak sel hidup (Roxas, 2013; Sidik & Salmah, 2005).

Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa kandungan berbagai senyawa dalam umbi Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum dapat mempercepat penyembuhan luka. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak Colocasia esculenta (L.) Schott terhadap kecepatan penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague

Dawley dengan metode Morton selama 14 hari. Parameter yang akan dinilai

dalam luka adalah luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka dan parameter histopatologi seperti neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen secara deskriptif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

(21)

penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?

2. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mempengaruhi neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia

esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap luas luka, persentase

penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley

2. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia

esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap neokapilerisasi,

keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague Dawley.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dapat mengurangi luas luka, meningkatkan persentase penyembuhan luka dan mempersingkat waktu penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley 2. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.)

Schott var. antiquorum) dapat mengurangi keberadaan sel radang, meningkatkan neokapilerisasi, fibroblas dan kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

(22)

1.5 Manfaat Penelitian

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum

Talas (Colocasia esculenta L.Schott) merupakan tanaman herba yang termasuk dalam famili Araceae Colocasia esculenta yang dikelompokkan menjadi 2 varietas, yaitu Colocasia esculenta var. esculenta (dasheen) dan Colocasia

esculenta var. antiquorum (eddoe). Talas dasheen memiliki umbi tengah yang

besar, sedangkan talas eddoe atau sering disebut talas satoimo memiliki umbi tengah yang kecil dengan banyak anak umbi di sekitarnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia Selatan (India) atau Asia Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di kawasan Caribia melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove (1992), talas

eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat ditanam di

Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya (Fitriani, 2013). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya mengkonsumsi talas satoimo sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008).

Sifat umum talas-talasan adalah rasanya yang menggigit dan getahnya yang menyebabkan iritasi. Rasa menggigit disebabkan oleh adanya rasa membakar atau pahit yang diakibatkan oleh senyawa yang masih belum diketahui, yang mungkin berupa glukosida atau protein dan adanya getah iritan. Getah iritan adalah senyawa yang mengandung struktur kalsium oksalat halus berbentuk serupa jarum yang dihasilkan oleh sel khusus dan jika dikonsumsi akan menusuk dan melukai jaringan mulut dan lidah. Hal ini juga menyebabkan sensasi yang sama saat terkena kulit (Wang, 1983).

(24)

denaturasi tersebut akan dapat menonaktifkan penghambat tripsin yang dikandung oleh umbi talas (Rubatzky & Yamaguchi, 1995).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman(Koawara, 2013)

Dalam taksonomi, kedudukan Colocasia esculenta (L.) Schott dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales

Famili : Araceae Genus : Colocasia

Species : Colocasia esculenta (L.) Schott

2.1.2 Sinonim

Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu taro (English); alavi, patarveliya (Gujarati); arvi, kachalu (Hindi); alu (Marathi); alupam, alukam (Sanskrit); dan sempu (Tamil) (Prajapati, 2011), Old cocoyam, Abalong, Taioba, Keladi, Satoimo, Tayoba, dan Yu-tao (Koawara, 2013).

2.1.3 Morfologi Tanaman

(25)

Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)

(Sumber : Deo, 2009)

2.1.4 Habitat Tanaman

Tanaman talas dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi yang berketinggian ± 1300 meter dpl (diatas permukaan laut). Lingkungan tumbuh yang idealuntuk tanaman talas bersuhu 21-27C dengan kelembaban udara 50-90%, mendapat sinar matahari langsung dan bercurah hujan 240 mm/tahun. Di daerah yang berketinggian ± 250 meter dpl. Dan beriklim basah sehingga dapat berproduksi dengan baik dan berkualitas prima (Rukmana, 1998).

2.1.5 Kandungan Kimia

Daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung senyawa fenol, tanin, saponin, steroid, quinon, selulosa, terpenoid, glikosida dan alkaloid (Dhanraj, 2013), mineral dan vitamin seperti kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin, riboflavin dan niacin (Sharma et al, 2001).

Tangkai daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit sekunder berupa saponin, flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid (Wijaya et al, 2014).

Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki kandungan flavonoid, triterpenoid, tanin, saponin, alkaloid, tarin, protein, rosmarinic acid,

1-O-feruloyl-D-glucoside, 1-O-caffeoyl-D-glucoside, Zn, vitamin C dan A (Okeke & Iweala,

2007; Rukmana’ 2002; Fasuyi 2005). Flavonoid yang terkandung dalam

Colocasia esculenta (L.) Schott adalah orientin, isoorientin, vitexin, isovitexin,

(26)

Umbi taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung kalsium 0,013%, fosfat 0,032%, besi 0,0015%, lemak 0,07%, karbohidrat 15, 34%, serat 0,63%, kadar air 81,4% (Chung, 1929), protein 1,44% (Derstine & Rada, 1952), riboflavin (B2) 0,17 µg/g, thiamin (B1) 0,84 µg/g, niacin (B3) 6,4 µg/g (Bauer et al. 1951), antosianin, kalsium oksalat, dan alkaloid (Arditti et al. 1979 ; Strauss et al. 1980). Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang merupakan protein utama yang terkandung dalam umbi taro sekitar 40% dari total protein umbi (Rao et al, 2010; Roxas, 2013).

Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama natrium (740 mg/100g), magnesium (79-122 mg/100g), kalsium (24.7-47.8 mg/100g) dan kalsium (42mg/100g) serta mengandung Zn (3,05 mg/100g) dan Besi (2,07 mg/100g) (McEwan, 2008)

2.1.6 Aktivitas Biologi

Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki aktivitas antifungi, antikanker,

efek hipoglikemik dan hipolipidemia, anti inflamasi (Prajapati, 2011), antidiabetes, antimikroba, antihepatotoksik, antioksidan (Halligudi, 2013), dan efektif terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcusmutans, Bacillus

subtilis, bakteri gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas fragi

dan fungi seperti Aspergillus niger dan Candida albicans (Halligudi, 2013). Daun

Colocasia esculenta (L.) Schott efektif terhadap Salmonella typhi, Klebsiella

pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Proteus vulgaris dan

E.coli, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun tanaman ini dapat digunakan

untuk mengobati typhoid, Pneumonia, Otitis, infeksi saluran kemih dan diare (Dhanraj et al, 2013).

(27)

Hyaluronidase merupakan endoglukosaminidase, sedangkan ROS mendegrasi HA melalui ikatan glikosidik internal (Gonçalves et al, 2013).

Menurut Mio & Stern, dalam proses penyembuhan luka yang tidak seimbang, terjadi peningkatan inflamasi akibat akumulasi fragmen HA, maka inhibitor hialuronidase sangat penting untuk mencegah akumulasi fragmen asam hialuronat dengan berat molekul tinggi (LMWHA) dan kondisi inflamasi yang berkepanjangan (Gonçalves et al, 2013).

Kandungan tarin dalam umbi taro merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas proteolitik seperti papain pada Carica papaya dan bromelin pada Ananas

Comusus. Menurut Priosoeryanto et al., (2006) kandungan lektin dalam getah

pelepah pisang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit.

2.2 Ekstraksi

Menurut Ditjen POM (2000), ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu (Ditjen POM, 2000) :

a. Cara dingin 1. Maserasi

(28)

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur 40-50°C.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infusa

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

Faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah (Depkes RI, 2000) :

(29)

2. Faktor kimia, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan.

2.3 Tinjauan Hewan Percobaan

2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Menurut Krinke (2000) klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun.

(30)

liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain.

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan

Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri

berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Adapun data biologis tikus sebagai berikut :

Tabel 1. Data Biologis Tikus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)

Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun

Lama produksi ekonomis 1 tahun

Lama bunting 20-22 hari

Umur dewasa 40-60 hari

Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina)

Siklus kelamin Poliestrus

Siklus estrus (berahi 4-5 hari

Lama estrus 9-20 jam

Perkawinan Pada waktu estrus

Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan

Ferilisasi 7-10 jam sesudah kawin

Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi

Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5oC)

(31)

anestesi, naik sampai 550 dalam stress

Tekanan Darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi

Konsumsi oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm3 Sel darah putih 5,0-13 0 x 103/mm3

SGPT 17,5-30,2 lU/liter

SGOT 45,7-80,8 IU/liter

Kromosom 2n=42

Aktivitas nokturnal (malam)

Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa) Konsumsi minuman 20-45 ml/hari (dewasa)

2.4 Kulit

2.4.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh terbesar yang membentuk 15% berat badan total. (Gibson, 2002) Kulit terdiri dari tiga lapisan yang masing-masing terdiri dari berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan subkutis (Wasiatmadja & Syarif, 2007).

2.4.1.1Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel yang menyusunnya secara berkesinambungan dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel baru ke arah permukaan, tempat kulit terkikis oleh gesekan. Lapisan luar mengandung keratin, protein bertanduk, hanya sedikit darinya pada permukaan tubuh yang terpajan untuk terpakai dan terkikis, seperti pada permukaan dalam lengan, paha dan lebih banyak lagi pada permukaan ektensor, lapisan ini terutama tebal pada kaki (Gibson, 2002). Lapisan ini terdiri atas:

a. Stratum corneum (lapisan tanduk)

(32)

bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar.

b. Stratum lucidum (lapisan jernih)

Berada tepat di bawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis, jernih. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir)

Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut.

d. Stratum spinosum (lapisan malphigi)

Sel berbentuk kubus dan seperti berduri, intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.

e. Stratum germinativum (lapisan basal)

Adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin.

2.4.1.2Dermis

Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen, jaringan fibrosa dan elastin. Lapisan superfisial menonjol ke dalam epidermis berupa sejumlah papila kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf (Gibson, 2002).

2.4.1.3Subkutis

(33)

Gambar 2. Anatomi kulit (Sumber : Kolarsick, 2011)

2.4.2 Fisiologi Kulit

2.4.2.1Proteksi

Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan di bawahnya dan lingkungan luar. Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet, dan invasi mikroorganisme (Gunstream, 2000). Sebagian besar mikroorganisme mengalami kesulitan untuk menembus kulit yang utuh tetapi dapat masuk melalui kulit yang luka dan lecet. Selain proteksi yang diberikan oleh lapisan tanduk, proteksi tambahan diberikan oleh keasaman keringat dan adanya asam lemak dalam sebum, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002).

2.4.2.2Sensasi

Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan nyeri. (Gunstream, 2000). Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu dan tekanan pada kulit dan jaringan subkutan, ditransmisikan melalui saraf sensorik menuju medula spinalis dan otak (Gibson, 2002).

2.4.2.3Regulasi Suhu

(34)

2.4.2.4Penyimpanan

Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapat ditarik berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).

2.4.2.5Ekskresi

Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa metabolisme dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik (Gunstream, 2000).

2.4.2.6Sintesis vitamin D

Pajanan terhadap radiasi ultraviolet dapat mengkonversi molekul prekursor (7-dihidroksi kolesterol) dalam kulit menjadi vitamin D. Namun, hal tersebut tidak dapat menyediakan vitamin D secara keseluruhan bagi tubuh, sehingga pemberian vitamin D secara sistemik masih diperlukan (Gunstream, 2000; Wasiatmaja& Syarif, 2007).

2.5 Luka

2.5.1 Definisi Luka

Luka adalah rusak dan hilangnya sebagian jaringan kulit yang terjadi akibat gangguan secara fisik. Luka diklasifikasikan dalam dua kategori umum yaitu akut dan kronis. Luka akut proses perbaikannya terjadi secara rapi, tepat waktu dan terus-menerus sebagai hasil pemulihan anatomi dan fungsional kulit. Luka kronis merupakan luka yang proses penyembuhannya lama terjadi karena adanya kegagalan dalam proses penyembuhan misalnya luka pada diabetes dan ulkus vena (Schwartz and Daly, 1999).

2.5.2 Jenis-jenis luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana terjadinya luka dan menunjukkan derajat luka.

1. Berdasarkan tingkat kontaminasi (Prabakti, 2005)

(35)

menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalamkondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksiluka adalah 3% - 11%.

c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.

2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka (Prabakti, 2005)

a. Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda klinis seperti lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas. 3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka (Prabakti, 2005)

(36)

b. Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan, dapat terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous dan lain-lain.

4. Berdasarkan Penyebab (Taylor,1997)

a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.

b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur.

c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.

d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.

e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.

(37)

warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.

5. Berdasarkan mekanisme terjadinya luka (Prabakti, 2005)

a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat.

b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.

f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya luka akan melebar.

g. Luka Bakar (Combustio).

h. Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar atau hewan piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan yang ganas dan pemakan daging, yaitu dalam usaha untuk membela diri. Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping luas yang berat.

i. Luka Eksisi (Excised wound), luka yang diakibatkan terpotongnya jaringan oleh goresan benda tajam (Partogi, 2008).

2.5.3 Penyembuhan Luka

(38)

membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian dari proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area luka yang bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Taylor,1997).

Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 1997).

Proses penyembuhan luka yang alami (Kozier, 1995 & Taylor, 1997) : a) Fase inflamasi atau lag Phase

Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase inflamasi terjadi pada hari 0-5. Luka trauma atau luka pembedahan mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan. Trombosit dan sel-sel radang ikut keluar. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.

(39)

Leukosit PMN adalah sel pertama yang menuju ketempat luka . Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24-48 jam. Fungsi utamanya adalah melakukan fagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah hari ketiga (Mulyata, 2002).

Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada tahap selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48-96 jam setelah terjadinya luka dan mencapai puncak pada hari ke-3. Dibandingkan dengan leukosit PMN makrofag berumur lebih panjang dan tetap ada didalam luka sampai proses penyembuhan luka berjalan sempurna. Setelah makrofag akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncaknya pada hari ke-7. Berbeda dengan sel PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama halnya dengan neutrofil, makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan jaringan sisa. Disamping itu makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan dan sitokin yang mengawali dan mempercepat formasi jaringan granulasi (Contran et al, 1999).

Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).

Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka (Sumber : Gurtner, 2007)

b) Fase proliferasi atau fibroblast

(40)

proses proliferasi dan pembentukan fibroblas (menghubungkan sel-sel) yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7.

Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolangen yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan mempertautkan tepi luka.

Fibroblas memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar, kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3 setelah luka, meningkat terus sampai minggu ke-3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin, asam hialuronik dan glikos aminoglikan (Contran et al, 1999).

Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil.

Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru, membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.

Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunas-tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka, tunas- tunas kapiler ini bercabang di ujung kemudian bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru akan muncul dari lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor-faktor terlarut yang menyebabkan angiogenesis belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini terjadi dari kombinasi proses proliferasi dan migrasi. Mediator terbentuknya sel pertumbuhan ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit , makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya asam laktat dan amin biogenik merupakan stimulan potensial terbentuknya sitokin dan

(41)

vascular endothelial growth factor ( VEGF ), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu : TNF , IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah meningkatkan matrik ekstra seluler ( ECM ) dan meningkatkan kolagenasi.

Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi restorasi integrasi epitel. Reepitelisasi terjadi beberapa jam setelah luka. Pada tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat-serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi sampai saat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGF , bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus berulang ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Contran et al, 1999). Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah dan tidak dapat naik, pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka, terjadi penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.

(42)

c) Fase remondelling atau fase maturasi

Fase ini berlangsung dari hari ke -7 sampai dengan 1 tahun. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal. Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur luka menjadi utuh. Setelah matriks ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Matriks ekstra sel pada mulanya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblas. Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan pada pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen selanjutnya berkembang cepat menjadi faktor utama yang membentuk matriks. Pada awalnya serabut kolagen terdistribusi secara acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi serabut fibril secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari periode jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena proses fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Setelah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20 % dari kekuatan akhir (Contran et al, 1999; Mulyata, 2002).

Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena deposisi jaringan kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen membentuk serabut-serabut kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen yang berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Contran et al, 1999).

(43)

oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound Healing Society).

Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black & Jacob’s , 1997).

Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka (Sumber : Gurtner, 2007)

2.5.3.1Prinsip Penyembuhan Luka

Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut Schwatz (2000) yaitu :

a. Koagulasi

Terjadinya luka, baik yang bersifat traumatik atau yang terbentuk pada pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak. Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin kedalam lingkungan cedera. Brakinin, serotonin, dan histamine merupakan senyawa vasoaktif lain yang dilepas oleh sel mast kejaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa diapedesis yaitu keluarnya sel-sel intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah.

(44)

juga penting dalam menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi peristiwa penyembuhan luka.

b. Inflamasi

Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh makrofag dalam jumlah yang banyak, dan kemudian limfosit. Sel-sel radang ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai “faktor pertumbuhan”.

c. Fibroplasia

Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi kolagen akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut.

d. Sitokin

Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. Mereka juga berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan tulang setelah perbaikan.

e. Metabolisme matriks ekstraseluler

Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks, dimana berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak, tendon, ligament dan matriks tulang.

f. Sintesis kolagen

(45)

kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami beberapa modifikasi jika telah mencapai lingkungan ekstraseluler. Disini terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan. g. Degradasi kolagen

Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim yang sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh berbagai sel, termasuk sel radang, fibroblas dan sel epitel. Kolagenase masih dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin. Setelah kolagenase menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin alfa-2.

h. Substansi dasar

Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan. Kombinasi kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan sitokin. Asam hialuronat memberikan linkungan yang cair untuk mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa, namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin.

i. Kontraksi luka

Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang paling kuat. Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblas yang berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya serta memiliki sifat-sifat fibroblas lainnya.

j. Epitelisasi

(46)

melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka dengan ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat dua fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu : migrasi dan mitosis. Setelah epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan bekuan darah yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi sel epitel mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis epitel. Sel-sel yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta kelenjar sebasea didasar luka. Luka superficial dan tidak melewati membrane basalis akan sembuh dengan regenerasi yang cepat. Luka yang menembus membrane basalis seperti luka bakar akan sembuh melalui proses epitelisasi tapi lama dan hasilnya seringkali memuaskan.

Proses migrasi selalu dimulai dari stratum basalis dari epitel dan kelenjar sebasea serta folikel rambut yang terletak lebih dalam. Sel-sel akan memipih dan membentuk tonjolan-tonjolan kesekitarnya. Sel ini akan kehilangan perlekatan dengan sel basal disekitarnya dan mulai bermigrasi. Beberapa hari setelah migrasi dimulai, sel akan istirahat dan membelah diri.

Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan kembali ke fenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering. Keropeng alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna.

k. Nutrisi

(47)

penggantian vitamin c secara agresif harus segera dilakukan setelah tauma mayor unutk mencegah komplikasi penyembuhan luka.

Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi terpenting yang diperlukan dalam sintesis kolagen. Bahan mineral, yaitu seng berperan dalam sintesis kolagen dan proses epitelisasi (Mun’im et al, 2012).

Zat besi merupakan unsur yang penting untuk penyembuhan luka yang sesuai. Besi juga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilasi reisdu prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan (Schwatz, 2000).

2.5.3.2Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari (Kozier, 1995 & Taylor,1997) :

1) Pertimbangan perkembangan

Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 1995).

2) Nutrisi

(48)

3) Infeksi

Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.

4) Sirkulasi dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel.

Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok.

5) Keadaan luka

Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.

6) Obat

(49)

b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka

Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor Intrinsik dan ekstrinsik (Black & Jacob’s, 1997).

1) Faktor Intrinsik

Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi. Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah jantung/paru. Hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblas dan fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah angiogenesis.

2) Faktor ekstrinsik

Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein dirubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi.

(50)

fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti diabetes melitus.

Diabetes melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa kolagen, angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan kadar glukosa mengganggu transport asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk fibroblas dan leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis, arterosklerosis, khususnya pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen jaringan.

Neurapati diabetik merupakan gangguan penyembuhan lebih lanjut dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan. Kontrol dari gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara normal.

Merokok adalah gangguan vasokontriksi dan hipoksia karena kadar CO2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam luka.

Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka, menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi.

Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.

2.5.3.3Komplikasi Penyembuhan Luka

Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi (Kozier, 1995, Taylor, 1997).

a. Infeksi

(51)

peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit.

b. Pendarahan

Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin diperlukan.

c. Dehiscence dan Eviscerasi

Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi pos-operasi yang serius. Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya pembulu kapiler melalui daerah irisan.

Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.

Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

2.6 Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995).

Gambar

Gambar 2. Anatomi kulit
Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka
Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka
Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian ini yang menunjukkan terdapat perkaitan yang signifikan antara amalan kerohanian dengan pencapaian akademik turut dapat dibuktikan dalam kajian lain

Fisik motorik dapat berkembang dengan baik jika guru maupun orang tua selaku yang berperan dalam pendidikan anak memberikan kesempatan anak untuk berlatih,

D-IV KEPERAWATAN SEMESTER IV D-IV KEPERAWATAN SEMESTER IV NI WAYAN YUSKAMITA KARSAENI NI WAYAN YUSKAMITA KARSAENI. P07120215034 P07120215034 TINGKAT 2.A

Da$am sebua* basis data terdistribusi+ basis data disim#an #ada bebera#a %,m#uter. Sebua* sistem basis data terdistribusi berisi%an se%um#u$an site+ di mana tia#-tia# site

Namun kenyataanya belum semua sekolah memiliki perpustakaan. Sementara sekolah yang telah mempunyai perpustakaan belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan tersebut,

Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor: 35.. berdasarkan jatidiri koperasi dan pola syariah secara profesional sesuai

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menen- tukan letak ruas yang memiliki pertumbuhan stek terbaik dan konsentrasi urine sapi optimal yang dapat memacu pertumbuhan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit jabon pada berbagai dosis perbandingan campuran tanah dengan kompos kotoran sapi sebagai media penyapihan