• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Aman

Menurut teori Lawrence Green dan kawan – kawan (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor predisposisi, menurut Green (1980) adalah faktor-faktor yang mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran atau motivasi yang

terdiri dari pengetahuan, sikap, motivasi, persepsi, nilai, keyakinan dan variabel demografi (usia, pendidikan, masa kerja).

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,2003).

Menurut Purwanto (1990) dalam Millah (2008), pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan individu berbuat atau bertindak. Dengan demikian perbuatan atau tingkah laku seseorang dapat terjadi menurut apa yang diketahui dan diyakini sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda, pengatahuan yang dimiliki seseorang merupakan peranan penting dalam pekerjaannya. Hal ini berarti pengetahuan akan melahirkan sikap yang akan mengarahkan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebaiknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung (Green, 1980). Hasil penelitian Angkat (2008) menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan Keselamatan kerja dengan pelaksanaan pencegahan

kecelakaan kerja diperoleh, diperoleh P sebesar 0,001. Tampak bahwa nilai p= 0,001< 0,05 sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan keselamatan kerja dengan pelaksanaan pencegahan kecelakaan kerja pada karyawan.

Kemudian Sialagan (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku K3 dengan nilai 13%. Artinya ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan seseorang dengan perilaku K3 yang dilakukannya. Dan Saputra (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku K3 dengan p value 4%. Artinya ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan seseorang dengan perilaku K3 yang dilakukannya (Bachri, 2010).

2. Sikap

Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2003) : a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Sikap positif belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :

a) Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

b) Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang lain.

c) Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

e. Nilai (value)

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya suatu tindakan, misalnya adanya fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor pendukung dari pihak lain untuk terjadinya tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sialagan (2008) terdapat hubungan yang bermakna antara sikap karyawan dengan perilaku aman. Lain halnya dengan penelitian. Helliyanti (2009) dan Karyani (2005) dan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku tidak aman pekerja.

3. Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang menggerakan kita untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu dalam mempelajari motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan. Di dalam konsep motivasi kita juga akan mempelajari sifat, kekuatan dan ketetapan dari tingkah laku manusia (Quinn, 1995 dalam Bachri, 2010).

Menurut Etkiston motivasi merupakan suatu disposisi laten yang berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum disposisi tersebut belum terpenuhi, maka motivasi selalu muncul ke permukaan (Saleh dan Nisa, 2006). Sedangkan untuk memotivasi pekerja untuk berperilaku aman dalam bekerja ada 6 prinsip dasar menurut Frank E. Bird, 1996 yaitu :

1. Prinsip penetapan tujuan dan sasaran

2. Prinsip keterlibatan pekerja yang bersangkutan 3. Prinsip mutual interest dari pekerja

4. Prinsip psychological Appeal dari pekerja 5. Prinsip pemberian informasi kepada pekerja 6. Prinsip penguatan perilaku.

Dengan 6 prinsip dasar yang ada dapat dilakukan untuk memotivasi pekerja untuk dapat dan harus berperilaku aman dalam bekerja dilingkungan kerja. Sehingga dapat mengurangi frekuensi tingkat kecelakaan yang mungkin terjadi (Bachri, 2010).

Berdasarakan penelitian Sialagan (2008) pada pekerja PT EGS Indonesia didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi terhadap perilaku K3. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Karyani (2005) juga didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku K3 dalam bekerja. Dimana, motivasi pekerja yang tinggi

mempunyai peluang 3 kali untuk berperilaku aman pekerja dibanding pekerja yang mempunyai motivasi yang rendah.

4. Persepsi

Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Gibson, 1996). Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Menurut Notoadmodjo (2003) persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu.

Oleh karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek. Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya.

Krech (1962) dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan persepsi dipengaruhi oleh :

a) Frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki dan diperoleh dari pendidikan, bacaan, penelitian, atau cara lain.

b) Field of expreance yaitu pengalaman yang telah dialami sendiri dan tidak terlepas dari keadaan lingkungan.

Dari beberapa uraian diatas persepsi merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri manusia dimana rangsangan yang diterima oleh indera melalui proses belajar atau pengalaman diorganisasikan dan diinterpretasikan lebih dahulu sebelum stimulus tersebut dapat dimengerti dan direspon. Dengan kata lain persepsi adalah pendapat, penilaian, dan keyakinan yang timbul dalam diri seseorang mengenai objek tertentu.

Berdasarkan penelitian Karyani (2005) dan Sialagan (2008), terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja. Hal ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karyani (2005) bahwa responden yang memiliki persepsi kurang baik mempunyai peluang 4.656 kali berperilaku tidak aman dibanding responden yang persepsinya baik.

5. Nilai – Nilai

Green (1980) berpendapat bahwa nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang. Kemudian Notoatmodjo (2003) menambahkan bahwa didalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat. Misalnya, gotong royong adalah suatu nilai yang selalu hidup di masyarakat.

6. Keyakinan

Menurut Notoatmodjo (2003) keyakinan atau kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Misalnya wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu melahirkan. Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya (Green 1980 dalam Notoatmodjo 2003).

7. Usia

Siagian (1995) mengatakan bahwa jika seseorang makin bertambah usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis maupun kedewasaan psikologis. Artinya semakin bertambah usianya maka semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa yaitu semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Millah, 2008).

Menurut Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin, dan fisik sehingga kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun jika dibandingkan golongan usia muda. Hal ini agak berbeda dengan

Simanjutak (1985), umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kondisi fisik seseorang, ada saat usia tertentu dimana seseorang dapat berprestasi secara maksimal tetapi ada saat dimana terjadinya penurunan prestasi. Tingkat prestasi kerja mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk kemudian menurun menjelang usia tua (Halimah, 2010).

8. Pendidikan

MU Lawrevelt dalam Notoatmodjo (1993) berpendapat bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengarah, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak didik yang tertuju pada kedewasaan. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan (Millah,2008). 9. Masa Kerja

Masa kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruhi kecelakaan kerja. Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman (Dirgagunarsa, 1992).

Berdasarkan hasil studi ILO (1989) di Amerika menunjukan bahwa kecelakaan kerja terjadi selain karena faktor mannusia, disebabkan juga karena masih baru dan kurang pengalaman. Sedangkan menurut Cooper (2001) orang sering berperilaku tidak aman karena orang tersebut belum

pernah cedera saat melaksanakan pekerjaanya dengan tidak aman. Tetapi jika kita melihat Heinrich‟s Triangle, sebenarnya orang tidaklah jauh dari potensi kecelakaan. Sementara itu, Geller (2001) meyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman dan menghemat waktu dan perilaku ini cenderung berulang (Dirgagunarsa, 1992).

Pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik sesuai usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja ditempat kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu, mereka sering mementingkan dahulu selesainya sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada mereka, sehingga keselamatan tidak cukup mendapat perhatian. Oleh karena itu, masalah keselamatan harus dijelaskan kepada mereka sebelum melakukan pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari permulaan bekerja adalah sangat penting. Dimana, dalam suatu perusahaan pekerja-pekerja baru yang kurang berpengalaman sering mendapatkan kecelakaan sehingga diperlukan perhatian khusus (Suma‟mur, 1996).

Berdasarkan pendapat Suma‟mur (1996) diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman dapat mempengaruhi perilaku bekerja dalam melakukan pekerjaannya dan pengalaman dapat mengurangi resiko

terjadinya kecelakaan. Dalam hal ini, pekerja yang berpengalaman dapat lebih menekankan keselamatan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan ia telah mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan pekerja yang belum berpenglaman atau masih baru belum mengenali seluk beluk pekerjaan dan keselamatan.

b. Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin, menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin. Faktor pemungkin diantaranya ketersedian APD dan Program K3RS.

1) Ketersediaan APD

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor, salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan sumber-sumber/fasilitas, Kesesuaian/ Kenyamanan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pemungkin perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku tersebut.

Sahab (1997) mengatakan ketersediaan APD dapat mencegah perilaku tidak aman dalam bekerja. Sistem yang didalamnya terdapat manusia (sumber daya manusia), fasilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam mewujudkan penerapan keselamatan di tempat kerja. Penggunaan APD merupakan alternatif yang paling terakhir dalam Hierarki pengendalian bahaya. Lebih baik mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada pekerjaan yang safety karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.

Perawat bertanggung jawab menjaga keselamatan diri sendiri dan klien di rumah sakit melalui pencegahan kecelakaan, cidera, trauma, dan melalui penyebaran infeksi. Berbagai cara dalam mengurangi kemungkinan kecelakaan kerja salah satunya pemakaian alat pelindung diri yang sangat berpengaruh pada tingkat keselamatan kerja.

APD perawat ketika praktik terdiri dari sarung tangan, alat pelindung wajah, penutup kepala, gaun pelindung atau apron, dan alas kaki atau sepatu. (Depkes RI, 2003). Salah satu Alat Pelindung Diri (APD) yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara perawat dengan pasien selain masker adalah sarung tangan.

Pengunaan APD seperti sarung tangan sangatlah mutlak dilakukan, di samping pengunaan alat – alat medis yang steril dalam pengunaan alat – alat medis yang steril dalam setiap pemberian tindakan perawatan.

Meskipun terkesan sebagai alat yang sederhana, namun sarung tangan harus di pakai dalam setiap tindakan medis invasif. Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret dan selaput lendir. Tahun 1889 sarung tangan di perkenalkan pertama kalinya sebagai salah satu prosedur perlindungan dalam melakukan tindakan medis. Selain melindungi petugas kesehatan, sarung tangan juga mengurangi penyebaran infeksi pada pasien (DepKes, 2003).

2) Program K3RS

Program K3RS merupakan salah satu bentuk fasilitas pendukung yang dapat membentuk perilaku aman dalam bekerja. Untuk menguatkan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan upaya K3RS guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK) sehingga produktifitas optimal (Chiou ST, dkk, 2013).

K3RS merupakan upaya terpadu seluruh pekerja Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja Rumah Sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar Rumah Sakit. Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit.

Kinerja setiap petugas petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja.

Program K3RS yang harus ditetapkan adalah sebagai berikut : Tabel 2.1

Program K3RS

1 Pengembangan kebijakan K3RS

a. Pembentukan atau revitalisasi organisasi K3RS

b. Merencanakan program K3RS selama 3 tahun ke depan. (setiap 3 tahun dapat direvisi kembali, sesuai dengan kebutuhan

2 Pembudayaan perilaku K3RS

a. Advokasi sosialisasi K3 pada seluruh jajaran rumah sakit baik bagi SDM rumah sakit, pasien, pengantar pasien/pengunjung rumah sakit.

b. Penyebaran media komunikasi dan informasi baik melalui film, leaflet, poster, pamflet dll.

c. Promosi K3 pada setiap pekerja yang bekerja di setiap unit RS dan pada para pasien serta para pengantar pasien/pengunjung rumah sakit

3 Pengembangan SDM K3RS a. Pelatihan umum K3RS

b. Pelatihan intern rumah sakit, khususnya SDM per unit rumah sakit

c. Pengiriman SDM rumah sakit untuk pendidikan formal, pelatihan lanjutan, seminar dan workshop yang berkaitan dengan K3.

4 Pengembangan Pedoman, Petunjuk Teknis dan Standard Operational Procedure (SOP) K3RS

a. Penyusunan pedoman praktis ergonomi di Rumah Sakit; b. Penyusunan pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan

kerja;

c. Penyusunan pedoman pelaksanaan pelayanan keselamatan kerja ;

d. Penyusunan pedoman pelaksanaan tanggap darurat di RS; e. Penyusunan pedoman pelaksanaan pencegahan dan

penanggulangan kebakaran;

f. Penyusunan pedoman pengelolaan penyehatan lingkungan Rumah Sakit;

g. Penyusunan pedoman pengelolaan faktor risiko dan pengelolaan limbah Rumah Sakit;

h. Penyusunan petunjuk teknis pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;

i. Penyusunan kontrol terhadap penyakit infeksi;

j. Penyusunan SOP angkat angkut pasien di Rumah Sakit; k. Penyusunan SOP terhadap Bahan Beracun dan Berbahaya

(B3);

l. Penyusunan SOP kerja dan peralatan di masing-masing unit kerja Rumah Sakit.

5 Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja a. Mapping lingkungan tempat kerja (area atau tempat kerja

yang dianggap berisiko dan berbahaya, area/tempat kerja yang belum melaksanakan program K3RS, area/tempat kerja yang sudah melaksanakan program K3RS, area/tempat kerja yang sudah melaksanakan dan mendokumentasikan pelaksanaan program K3RS);

b. Evaluasi lingkungan tempat kerja (walk through dan observasi, wawancara SDM Rumah Sakit, survei dan kuesioner, checklist dan evaluasi lingkungan tempat kerja secara rinci

6 Pelayanan kesehatan kerja

a. Melakukan pemeriksaan kesehatann sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan kesehatan khusus bagi SDM Rumah Sakit;

b. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi SDM Rumah Sakit yang menderita sakit

c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik SDM Rumah Sakit;

d. Perlindungan spesifik dengan pemberian imunisasi pada SDM Rumah Sakit yang bekerja pada area/tempat kerja yang berisiko dan berbahaya;

7 Pelayanan Keselamatan kerja

a. Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana ,prasarana dan peralatan kesehatan di Rumah Sakit;

b. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja

c. Pengelolaan, pemeliharaan dan sertifikasi sarana, prasarana dan peralatan Rumah Sakit;

d. Pengadaan peralatan K3RS.

8 Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair dan gas

a. Penyediaan fasilitas untuk penanganan dan pengelolaan limbah padat, cair dan gas;

b. Pengelolaan limbah medis dan nonmedis.

9 Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya

a. Inventarisasi jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya (Permenkes No.472 tahun 1996);

b. Membuat kebijakan dan prosedur pengadaan, penyimpanan dan penanggulangan bila terjadi kontaminasi dengan acuan Lembar Data Keselamatan Bahan (MSDS-Material Safety Data Sheet) atau Lembar Data Pengaman (LDP); lembar informasi dari pabrik tentang sifat khusus (fisik/kimia) dari bahan, cara penyimpanan, risiko

10 Pengembangan manajemen tanggap darurat

a. Menyusun rencana tanggap darurat(survey bahaya, membentuk tim tanggap darurat, menetapkan prosedur pengendalian, pelatihan dll);

b. Pembentukan organisasi/tim kewaspadaan bencana;

c. Pelatihan dan uji coba terhadap kesiapan petugas tanggap darurat

d. Inventarisasi tempat-tempat yang berisiko dan berbahaya serta membuat denahnya (laboratorium, rontgen, farmasi, CSSD, kamar operasi, genset, kamar isolasi penyakit menular dll);

e. Menyiapkan sarana dan prasarana tanggap darurat/bencana; f. Membuat kebijakan dan prosedur kewaspadaan, upaya pencegahan dan pengendalian bencana pada tempat-tempat yang berisiko tersebut;

g. Membuat rambu-rambu/tanda khusus jalan keluar untuk evakuasi apabila terjadi bencana;

h. Memberikan Alat Pelindung Diri (APD) pada petugas di tempat-tempat yang berisiko (masker, apron, kaca mata, sarung tangan dll);

i. Sosialisasi dan penyuluhan ke seluruh SDM Rumah Sakit; j. Pembentukan sistem komunikasi internal dan eksternal

tanggap darurat Rumah Sakit; k. Evaluasi sistem tanggap darurat.

11 Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3

a. Menyusun prosedur pencatatan dan pelaporan serta penanggulangan kecelakaan kerja, PAK, kebakaran dan bencana (termasuk format pencatatan dan pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan);

b. Pembuatan sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya alur pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka serta SOP pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris celaka (near miss) dan celaka

c. Pendokumentasian data 12 Review program tahunan

a. Melakukan internal audit K3 dengan menggunakan instrumen self assessment akreditasi Rumah Sakit;

b. Umpan balik SDM Rumah Sakit melalui wawancara langsung, observasi singkat, survey tertulis dan kuesioner, dan evaluasi ulang;

c. Analisis biaya terhadap SDM Rumah Sakit atas kejadian penyakit dan kecelakaan akibat kerja;

d. Mengikuti akreditasi Rumah Sakit.

Sumber : KEPMENKES RI Nomor: 1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Kesehatan dan keselamatan kerja Di rumah sakit

c. Faktor Penguat (reinforcing factors)

Reinforcing factors atau faktor penguat, adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan atau tidak dengan memberikan reward, insentif, dan punishment seperti undang-undang, kebijakan, SOP dan Pengawasan (Notoatmodjo,2003).

1) Standar Operasional Prosedur (SOP)

Menurut Lina (2004) dalam Desi (2013) SOP merupakan serangkaian prosedur kerja yang ada di perusahaan yang digunakan untuk mengendalikan jenis pekerjaan yang berpotensi terjadinya kecelakaan. Dalam suatu perusahaan, peraturan kerja biasanya diawali dari bentuk pedoman atau petunjuk kerja. Prosedur kerja ini berisi tentang keselamatan yang berkaitan dengan pengolahan material, proses menjalankan mesin atau pekerjaan lainnya. Prosedur kerja ini tidak dapat menggantikan alat-alat perlindungan, tetapi berguna sebagai penunjang penggunaan alat-alat pengaman.

Sedangkan menurut Depkes RI (2004), Standar Operasional Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah kegiatan yang

dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu klien. Merupakan tatacara atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses kerja tertentu, yang dapat diterima oleh seorang yang berwenang atau yang bertanggungjawab untuk mempertahankan tingkat penampilan atau kondisi tertentu sehingga suatu kegiatan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien.

Pedoman atau prosedur kerja ini tidak ada manfaatnya jika tidak diamati, apabila setiap prosedur kerja telah dapat dijalani dengan baik maka prosedur kerja tersebut dapat ditetapkan menjadi suatu ketentuan atau peraturan dengan disertai pengadaan sesuatu yang perlu.

2) Pengawasan

Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar

Dokumen terkait