• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Aman Bekerja

6.3.1 Faktor Predisposisi (Pengetahuan, Sikap, Motivasi, dan Masa Kerja) Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan faktor predisposisi yaitu hal-hal yang dapat memberikan dorongan kepada pekerja dalam berperilaku aman saat bekerja. Faktor pendorong yang diteliti dalam penelitian ini meliputi pengetahuan, sikap, motivasi, dan masa kerja perawat.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa semua informan utama memiliki pengetahuan mengenai perilaku aman dalam bekerja. Untuk sikap yang dimiliki informan utama dalam berperilaku aman bekerja sebagian informan bersikap positif. Sedangkan motivasi informan utama dalam berperilaku aman bekerja semuanya memiliki motivasi yang baik.

1. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, terjadi setelah orang melakukan proses pengindraan terhadap objek yang diamatinya. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi, definisi perilaku aman, manfaat berperilaku

aman dan dampak dari berperilaku tidak aman serta bahaya yang ada di rumah sakit.

Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya pengetahuan yang dimiliki perawat terkait perilaku aman dalam bekerja tergolong baik. Pengetahuan tersebut diperoleh dari ilmu saat perkuliahan dan pengarahan mengenai SOP saat awal masuk bekerja oleh kepala ruangan. Namun, pada pengetahuan yang dimiliki perawat tentang bahaya yang ada dirumah sakit masih kurang. Hal ini, dikarenakan kurangnya informasi yang didapat perawat dari kepala ruangan mengenai potensi bahaya yang ada dirumah sakit dan juga jarang dilakukan briefing sebelum bekerja. Namun meskipun pengetahuan mereka masih ada yang kurang tetapi secara umum perawat sudah berperilaku aman saat bekerja.

Hasil penelitian tersebut, sejalan dengan penelitian Hasriani (2009) yang menyatakan ada hubungan antara penegetahuan dengan perilaku K3 pada perawat RS Paru di Salatiga. Selain itu juga sama dengan hasil penelitian Sialagan (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku K3.

Hal ini dikarenakan perilaku akan nampak jika didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Orang akan mencerminkan perilakunya dari pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini sama dengan penelitian Rogers (1997) dalam Pratiwi (2009) yang menyatakan bahwa

perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Jika orang tidak mengetahui dengan baik konsekuensi atau manfaaat dari suatu perilaku, maka orang tersebut tidak akan melakukannya.

Hal ini juga dikuatkan dengan dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Bloom dalam Pratiwi (2009), yakni untuk melakukan perilaku kerja aman, tidak cukup bila hanya mengetahui prosedur kerja maupun bahaya yang mereka hadapi. Perilaku kerja aman akan muncul pada saat pekerja sudah sampai pada tahap memahami manfaat dari berperilaku kerja aman kemudian menerapkannya dalam pola kerja sehari-hari.

Geller (2001) mengungkapkan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Sebelum seorang pekerja mengadopsi perilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat dari perilaku tersebut bagi dirinya. Sehingga seorang pekerja akan menerapkan perilaku aman apabila mereka sudah mengetahui tujuan dan manfaatnya bagi keamanan diri mereka sendiri serta apa bahaya yang akan terjadi jika mereka tidak menerapkannya (Annishia, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian peneliti mengelompokan pengetahuan perawat menjadi 4 bagian sebagai berikut :

a) Pengetahuan tentang perilaku aman dalam bekerja

Berdasarkan hasil penelitian, perawat sudah mengetahui mengenai perilaku aman dalam bekerja meskipun mereka tidak menyebutkan definisi secara lengkap, tetapi dengan memberikan contoh bentuk perilaku aman dalam bekerja seperti menggunakan APD, bekerja sesuai SOP, ketelitian, kerapihan, dan kebersihan atau keseterilan.

Dengan pengetahuan mereka seperti itu, bahwa sudah cukup benar yang mereka sebutkan itu adalah perilaku aman dalam bekerja, seperti meggunakan APD dan ketelitian dalam bekerja merupakan perilaku yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan atau kesalahan terhadap pekerjaannya. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Heinrich (1980), perilaku aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan.

Pengetahuan perawat yang baik mengenai perilaku aman saat bekerja disebabkan karena diberikan informasi oleh kepala ruangan serta kepala perawat saat baru mulai masuk bekerja mengenai instruksi atau SOP bekerja yang aman selain itu juga tentunya didapatkan dari ilmu yang diperoleh dari perkuliahan.

b) Pengetahuan tentang manfaat perilaku aman

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa perawat memiliki pengetahuan yang cukup tentang manfaat perilaku aman dalam bekerja sehingga hal ini juga mendorong perawat untuk berperilaku aman. Mereka menyatakan bahwa manfaat perilaku aman saat bekerja adalah untuk mencegah terjadinya tertular penyakit dan mengamankan diri sendiri serta pasien.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bloom dalam Pratiwi (2009), yakni perilaku kerja aman akan muncul pada saat pekerja ini sudah sampai pada tahap memahami manfaat dari berperilaku kerja aman. Perawat sudah mengetahui manfaat dari berperilaku aman seperti mencegah tertularnya penyakit, sehingga membuat mereka selalu berperilaku aman saat bekerja. c) Pengetahuan tentang dampak perilaku tidak aman

Berdasarkan hasil penelitian, Perawat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dampak dari berperilaku tidak aman dalam bekerja. Mereka menyatakan bahwa kerugian yang dialami jika berperilaku tidak aman adalah selain bisa terjadi kecelakaan kerja juga berisiko tertular penyakit infeksi yang dapat merugikan diri sendiri.

Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Heinrich (1980) dalam Teori Domino, Heinrich yang menyatakan bahwa

perilaku tidak aman menyumbang 88% penyebab kecelakaan kerja. Sahab (1997) juga menyatakan bahwa penyebab kecelakaan kerja didasari oleh dua faktor utama, yaitu kondisi tidak aman dan perilaku tidak aman (Annishia, 2011).

d) Pengetahuan tentang bahaya yang ada di rumah sakit

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pengetahuan perawat mengenai bahaya yang ada di rumah sakit masih kurang, karena mereka menyatakan bahwa bahaya yang ada di rumah sakit itu seperti tertular penyakit infeksi, nosokomial dan tertusuk jarum. Pengertian bahaya menurut Budiono (2003) yaitu merupakan segala sesuatu yang mempunyai kemungkinan mengakibatkan kerugian dalam kesehatan dan keselamatan baik pada harta benda, lingkungan, maupun manusia. KEPMENKES RI tahun 2010 menyebutkan bahwa yang termasuk bahaya-bahaya potensial di rumah sakit adalah bahaya fisik (radiasi pengion dan non-pengion, suhu panas,bising, getaran, pencahayaan), bahaya kimia (Ethylene Oxide, Formaldehyde, ether,dll), dan bahaya biologi (Virus: Hepatitis, Influenza,HIV,dll),(Bakteri:S.Saphrophyticus, S.Pheumoniae,dll), (Jamur: Candida).

Kemudian ada bahaya ergonomic (membungkuk, mengangkat), bahaya psikososial (shift kerja, stress kerja), bahaya

mekanik (terjepit, tertusuk jarum, tersayat, dll), bahaya listrik (kesetrum, kebakaran), limbah RS (jarum suntik,obat,darah, droplet,sputum,dll) dan kecelakaan.

Kurangnya pengetahuan perawat mengenai bahaya yang ada di rumah sakit, mungkin disebabkan oleh kurangnya informasi yang diberikan oleh kepala ruangan mengenai bahaya-bahaya tersebut. Namun meskipun pengetahuan mengenai bahaya-bahaya masih kurang, mereka tetap berperilaku aman. Hal ini tentunya disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi mereka untuk berperilaku aman.

Namun demikian meskipun mereka sudah berperilaku aman, pemberian informasi mengenai bahaya yang ada di rumah sakit tetap harus dilakukan guna memperkuat perawat dalam berperilaku aman dalam bekerja. Pemberian informasi mengenai bahaya bisa diberikan melalui promosi K3 kemudian saat pengawas sedang melakukan pengawasan dengan memberikan peringatan terhadap perawat dan melakukan briefing secara rutin terhadap bahaya.

2. Sikap

Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi

hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gambaran positif atau negatif mengenai respon dalam menghadapi bahaya yang ada di rumah sakit, respon terhadap adanya peraturan atau SOP dan respon terhadap penyediaan APD.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa perawat memiliki sikap yang positif dalam berperilaku aman. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi dan peryataan mereka yaitu menghindari bahaya dengan menggunakan APD dan mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan. Kemudian mengikuti peraturan dan SOP yang ada serta memakai APD yang telah disediakan oleh rumah sakit saat bekerja. Pernyataan tersebut mencerminkan sikap positif mereka dalam berperilaku saat bekerja, sehingga dapat memunculkan perilaku aman dalam bekerja.

Hal ini sama dengan penelitian Nofriandita (2012) yang menyatakan ada hubungan antara sikap dengan perilaku aman. Selain itu juga sama dengan penelitian Sialagan (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap karyawan dengan perilaku aman.

Hasil penelitian ini juga berkaitan dengan teori Krech dan Ballacy, Morgan ing, dan Howard, yang menunjukan bahwa terdapat konsistensi antara sikap dengan perilaku aman pekerja dan terdapat

hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku mereka (Nofriandita, 2012). Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun menumbuhkan perilaku seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah konsisten, artinya jika sikapnya positif maka perilakunya juga pasti akan baik atau sesuai.

Namun demikian, masih terdapat perawat yang bersikap negative yaitu tidak disiplin atau acuh tak acuh terhadap penggunaan APD. Hal ini bisa disebabkan karena belum adanya standar atau peraturan yang sesuai yang dapat menguatkan perawat untuk bersikap positif.

Notoadmodjo (2003) mengemukakan suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan terbuka (overt behavior), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Sehingga diperlukan adanya peraturan seperti SOP yang benar atau pemberian sanksi untuk mendukung agar perawat mau bersikap displin atau positif.

3. Motivasi

Motivasi secara umum mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang menggerakan kita untuk berperilaku tertentu. Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana

kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu. Menurut Astuti (2001), salah satu hal yang terpenting yang perlu dipertimbangkan pada diri individu untuk berperilaku adalah motivasi. Motivasi yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi apakah dia akan mengerjakan setiap tugasnya dengan baik atau sebaliknya, apakah dia akan berperilaku aman atau tidak (Halimah,2010).

Motivasi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gambaran mengenai alasan atau dorongan yang membuat perawat berperilaku aman saat bekerja. Yang dimaksud perilaku aman dalam hal ini seperti bekerja secara hati-hati, menggunakan APD, mengikuti aturan atau SOP dan tidak bercanda serta bermalas-malasan saat bekerja.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa perawat memiliki motivasi yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari pernyataan mereka mengenai alasan berperilaku aman dalam bekerja yaitu untuk keselamatan diri sendiri, menghindari kecelakaan kerja dan menghindari resiko tertular penyakit infeksi. Dari pernyataan tersebut memungkinkan perawat untuk berperilaku aman dalam bekerja.

Hal ini sama dengan penelitian Sialagan (2008) didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi terhadap perilaku K3.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Karyani (2005) juga didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku K3 dalam bekerja. Dimana, motivasi pekerja yang tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk berperilaku aman pekerja dibanding pekerja yang mempunyai motivasi yang rendah.

Umar (2000) memaparkan bahwa motivasi kerja yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat mempengaruhi kualitas kerja. Walaupun fasilitas memadai, organisasi, dan manajemen baik, prosedur kerja baik, tanpa motivasi kerja yang tinggi maka sulit memberikan hasil pekerjaan yang baik. Motivasi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi pekerja itu sendiri (Heliyanti, 2009). Jadi jika seorang perawat memiliki motivasi yang baik untuk keselamatannya maka sudah pasti ia akan selalu berperilaku aman dan kualitas kerjanya juga akan baik, hal ini tentu akan meningkatkan produktifitas kerjanya terhadap rumah sakit.

Namun untuk memperkuat motivasi tersebut diperlukan suatu dorongan seperti diberikan reward sebagai bentuk penghargaan dan pengembalian positif dari perilaku aman yang telah mereka terapkan dan sebagai bentuk dukungan dari perusahaan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Geller (2001), Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok

dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Halimah, 2010).

Selain itu juga, menurut Mangkunegara (2005), imbalan yang diberikan kepada pekerja sangat berpengaruh terhadap motivasi. Oleh karena itu pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam bentuk uang yang memadai agar pekerja terpacu motivasinya dan melakukan tindakan aman (Halimah, 2010). Dalam hal ini, jika pemberian imbalan dikaitkan dengan perilaku perawat untuk melakukan tindakan aman maka akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan motivasi perawat dalam berperilaku aman.

4. Masa kerja

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan masa kerja yaitu waktu yang telah dijalani perawat dalam menjalankan kerja sebagai perawat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa informan yang telah bekerja lama dan baru hampir merata. Perawat yang bekerja lama maupun baru memungkinkan untuk berperilaku aman.

Dalam hal ini perawat yang sudah lama bekerja sudah mengetahui seluk beluk pekerjaannya sehingga mereka berperilaku aman sedangkan perawat yang baru karena belum berpengalaman

dengan pekerjaannya lebih berhati-hati dalam bekerja untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Keduanya tidak ada perbedaaan sama-sama berperilaku aman, sehingga masa kerja perawat yang sudah lama dan masih baru, tidak ada hubungannya dengan perilaku mereka.

Hal ini sama dengan hasil penelitian Halimah (2010) yang didapatkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan perilaku aman. Hal ini diperkuat oleh Geller (2001) yang menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman, dan menghemat waktu dan perilaku ini cenderung berulang.

Pernyataan diatas juga diperkuat ILO (1998) yang menyatakan bahwa pekerja lama dan berpengalaman bukan merupakan jaminan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan tidak aman sehingga terhindar dari kecelakaan. Pekerja lama atau berpengalaman tidak merasa asing dengan lingkungannya, sangat kenalnya mereka menjadi kurang berhati-hati, apalagi bila dalam jangka waktu yang lama tidak terjadi kecelakaan sehingga mereka cenderung mengganggap bahaya tidak separah dengan apa yang didengar dan dikatakan oleh pimpinannya (Halimah, 2010).

6.3.2 Faktor Pemungkin

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan gambaran faktor pemungkin yaitu hal-hal yang dapat memungkinkan pekerja untuk berperilaku aman saat bekerja. Faktor pemungkin yang diteliti dalam penelitian ini yaitu dilihat dari aspek ketersediaan APD dan program K3RS.

Berdasarkan hasil penelitian, ketersediaan APD sudah ada, sedangkan untuk program K3RS belum ada di Rumah Sakit Islam Asshobirin. Fasilitas yang mendukung pekerja untuk berperilaku aman sangat dibutuhkan. Karena meskipun pekerja telah memiliki kemauan tinggi untuk berperilaku aman saat bekerja tetapi tidak dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang menunjang, maka tidak akan tercapai pula perilaku aman yang diharapkan.

1. Ketersediaan APD

Ketersedian APD yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ketersediaan alat pelindung diri di rumah sakit guna mendukung perawat berperilaku aman dalam melakukan tindakan keperawatan seperti masker dan sarung tangan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa APD yang disediakan rumah sakit sudah cukup lengkap seperti masker dan sarung tangan. APD tersebut tersedia di setiap ruangan sesuai kebutuhan dan peraturan mengenai penggunaan APD sudah terdapat dalam SOP. APD tersebut dapat diperoleh di

apotik atau bagian farmasi jika diruangan sudah habis. Hal ini sangat memungkinkan perawat dalam berperilaku aman.

Hal ini sama dengan pendapat Sahab (1997) yang mengemukakan bahwa sistem yang didalamnya terdapat manusia (sumber daya manusia), fasilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam mewujudkan penerapan keselamatan di tempat kerja. Sehingga dengan ketersediaan fasilitas berupa APD dapat mencegah perilaku tidak aman dalam bekerja.

Dalam menerapkan perilaku aman saat bekerja, dibutuhkan suatu peraturan yang bersifat mengikat untuk untuk mewujudkannya. Karena meskipun pekerja tersebut mau untuk berperilaku aman saat bekerja. Disini lah pentingnya ketersediaan APD yang memadai daan pentingnnya ditegakkan suatu peraturan yang sifatnya mengikatnya serta harus (Annishia, 2011). Jadi untuk mendorong perawat agar berperilaku aman, sangat diperlukan fasilitas yang mendukung dengan membuat peraturan yang mewajibkan dan menyediakan APD yang sesuai dan lengkap untuk pekerjaan mereka.

Hal ini didukung oleh teori Geller (2001) dalam Halimah (2010) yang menyatakan bahwa penerapan perilaku aman dalam bekerja pada umumnya menyebabkan pekerja merasa kurang nyaman. untuk itu perlu sesuatu yang harus ada untuk membuat pekerja tersebut tetap menerapkan perilaku aman saat bekerja dan

harus disiapkan sebuah konsekuensi jika pekerja tidak menerapkannya.

Konsekuensi yang diberikan bisa dalam bentuk peraturan yang ada didalamnnya mengatur tentang hukuman serta penghargaan. Lebih lanjut Geller menyatakan bahwa hasil atau keefektifan dari konsekuensi peraturan tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk peraturan yang ada (Halimah, 2010).

2. Program K3RS

Program K3RS merupakan salah satu bentuk fasilitas pendukung yang dapat membentuk perilaku aman dalam bekerja. Untuk menguatkan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan upaya K3RS guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK) sehingga produktifitas optimal. Contoh program K3RS seperti pelatihan karyawan, promosi K3, tanggap darurat, laporan kecelakaan, dll.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa program K3RS terkait perilaku aman bekerja belum ada di rumah sakit Islam Asshobirin. Meskipun program K3RS belum ada tetapi tetap memungkinkan perawat untuk berperilaku aman, hal ini bisa disebabkan karena ada faktor lain yang mempengaruhinya seperti adanya ketersedian APD dan SOP serta pengawasan yang dilakukan setiap hari oleh tim supervisi.

Hal ini tidak sama dengan yang dikemukakan oleh Suma‟mur (1989) bahwa keselamatan dan kesehatan kerja perlu diperhatikan dalam lingkungan kerja, karena kesehatan merupakan keadaan atau situasi sehat seseorang baik jasmani maupun rohani sedangkan keselamatan kerja suatu keadaan dimana para pekerja terjamin keselamatan pada saat bekerja baik itu dalam menggunakan mesin, pesawat, alat kerja, proses pengolahan juga tempat kerja dan lingkungannya juga terjamin. Apabila para pekerja dalam kondisi sehat jasmani maupun rohani dan didukung oleh sarana dan prasarana yang terjamin keselamatannya maka produktivitas kerja akan dapat ditingkatkan.

Selain itu menurut Budiono (2003), keselamatan dan kesehatan kerja yang merupakan salah satu bagian dari perlindungan tenaga kerja perlu dikembangkan dan ditingkatkan, mengingat keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan agar :

a. Setiap tenaga kerja dan orang lainnya yang berada di tempat kerja mendapat perlindungan atas keselamatannya.

b. Setiap sumber produksi dapat dipakai, dipergunakan secara aman dan efisien.

c. Proses produksi berjalan lancar.

Menurut ILO (1989), pelatihan merupakan salah satu komponen utama dari beberapa program keselamatan dan kesehatan

kerja. Dengan pendidikan dan pelatihan, pekerja mengetahui faktor-faktor bahaya di tempat kerja, risiko bahaya, kerugian akibat kecelakaan yang ditimbulkan, bagaimana cara kerja yang baik, serta mengetahui tanggung jawab dan tugas dari manajemen dalam meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap bahaya potensial.

Oleh karena itu, untuk mendukung perawat di RS Islam Asshobirin berperilaku aman maka sebaiknya didukung dengan adanya program K3RS serta diadakan pelatihan terkait perilaku aman bekerja bagi seluruh perawat sehingga dapat menigkatkan produktifitas perawat dan kinerja rumah sakit.

6.3.3 Faktor Penguat

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan gambaran faktor penguat yaitu hal-hal yang dapat memberikan dukungan kepada pekerja untuk berperilaku aman saat bekerja. Faktor penguat yang diteliti dalam penelitian ini yaitu SOP dan pengawasan. SOP di rumah sakit ini sudah ada. SOP terkait perilaku aman saat bekerja sudah terdapat dalam buku Standar Prosedur Operasional Keperawatan Dasar.

Namun pada kenyataannya SOP tersebut belum di seberluaskan kembali setelah di perbaharui ke setiap ruangan dikarenakan minimnya biaya dan juga SOP tersebut belum dilengkapi dengan prosedur penggunaan APD pada setiap tindakan. Sedangkan

untuk pengawasan di rumah sakit Islam Asshobirin, perawat mendapatkan pengawasan dari tim supervisi yaitu kepala perawat dan supervisi yang bertugas setiap hari.

1. SOP

Standar Operasional Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah kegiatan yang dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu klien. Merupakan tatacara atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses kerja tertentu, yang dapat diterima oleh seorang yang berwenang atau yang bertanggungjawab untuk mempertahankan tingkat penampilan atau kondisi tertentu sehingga suatu kegiatan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien (Depkes RI, 2004).

Dalam penelitian ini SOP yang dimaksud adalah suatu standar/petunjuk tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan perawat untuk bekerja secara aman. Hasil penelitian diperoleh bahwa sudah ada SOP di rumah sakit Islam Asshobirin, sehingga memperkuat perawat untuk bekerja secara aman meskipun dalam SOP tersebut masih ada yang kurang. Hal ini sama dengan penelitian Novriandita (2012) yang menyatakan ada hubungan antara ketersediaan SOP dengan perilaku aman.

Hal ini juga sama dengan pendapat Geller (2001) dalam Karyani (2005) yang mengungkapkan perubahan perilaku tingkat

Dokumen terkait