• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan SMA Swasta Raksana Medan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

21. Di lingkungan tempat tinggal saya juga ada preman- preman-preman yang suka meminta sesuatu dengan paksa, dan

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan SMA Swasta Raksana Medan

Dari hasil penelitian diperoleh jumlah laki-laki yang berperilaku antisosial ada 15 orang (68,2 %) dan perempuan 7 orang (31,8 %). Pada penelitian Baskoro (2010) diperoleh hasil jumlah laki-laki yang berperilaku antisosial ada 15 orang sedangkan perempuan 9 orang. Dapat dilihat bahwa jumlah jenis kelamin laki- laki lebih banyak daripada perempuan. Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam

Usia siswa SMA Swasta Raksana Medan yang berperilaku antisosial rata-rata berada pada usia 16-17 tahun. Laporan penelitian Balai penelitian pemasyarakatan (2009) mengungkapkan bahwa sebelum para remaja nakal melanjutkan perbuatannya ke tindak pidana, mayoritas adalah remaja putus sekolah dan mereka pada umumnya masih berusia 16 dan 17 tahun. Remaja pada usia 16 tahun lebih mudah untuk diajak kerjasama, berpikir secara independen dan membuat keputusan sendiri dengan menolak campur tangan orangtua, remaja mulai bereksperimen dengan pengalaman baru (merokok, alkohol, NAPZA). Sedangkan remaja pada usia 17 tahun cenderung menggeluti masalah sosial/politik, lebih senang pergi dengan teman daripada berlibur dengan keluarganya, cenderung merasa pengalamannya berbeda dengan orang-tuanya, dan ingin meninggalkan rumah serta hidup sendiri. Hal inilah yang mencetuskan timbulnya perilaku antisosial di usia 16-17 tahun.

Faktor identitas dapat dilihat dari pernyataan nomor 1 dan 2. Untuk nomor 1 45,5% responden menyatakan bahwa dirumah mereka tidak tahu perannya sebagai apa, makanya bertindak semaunya. Untuk nomor 2 diperoleh bahwa sebanyak 50% responden menyatakan bahwa menurut mereka melanggar peraturan sekolah itu adalah hal yang wajar, karena mereka masih remaja Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Erikson (dalam Santrock, 1996). Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat penting pada identitas diri (Harter, 1990).

Masa remaja adalah masa yang ragu akan identitas dirinya dan tidak hanya ragu akan personal sense dirinya tapi juga untuk pengakuan dari orang lain dan dari lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan khusus.

Dari faktor kontrol diri, rata-rata 60% responden memiliki kontrol diri yang rendah. Dapat dilihat dari hasil penelitian pernyataan nomor 3 diperoleh 63,6%, pernyataan nomor 4, 5, 6 diperoleh masing-masing 59,1%. Menurut penelitian tentang kontrol diri yang dilakukan oleh Ajzen dkk tahun 1982 dalam (Jawahar, 2001) menyebutkan bahwa orang dengan kontrol diri yang tinggi bisa memecahkan masalah-masalah dalam lingkungan sosialnya dan juga pandai dalam menyelaraskan tingkah lakunya agar sesuai dengan konteks sosialnya. Sebaliknya, perilaku dengan kontrol diri yang rendah merefleksikan perasaan dan sikap mereka tanpa menghargai situasi atau konsekuensi interpersonal akibat perilakunya tersebut, yang kemudian menjadi perilaku antisosisal.

Goldfield dan Merbaum (Lazarus, 1976) yang mendefinisikan kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi positif. Hurlock (1973) menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Mengatasi emosi berarti mendeteksi suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan. Calhoun & Acocela (1976) mengartikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang. Dengan

dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Kontrol diri mengandung pengertian individu menentukan standar perilaku, kontrol diri akan memberi ganjaran bila memenuhi standar tersebut. Pada kontrol eksternal, orang lain menentukan standar dan memberi atau menahan ganjaran.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi positif sehingga tingkah lakunya sesuai dengan aturan atau norma sosial. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya dengan menggunakan sikap yang rasional sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif.

Dari hasil penelitian diperoleh juga bahwa yang mempengaruhi perilaku antisosial dari faktor lingkungan tempat tinggal yang paling banyak adalah pernyataan nomor 20 yakni di lingkungan tempat saya tinggal, saya sering melihat pencurian rumah warga. Menurut Desvi (2005) dalam penelitiannya yang berjudul

Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir Yang Mengalami Gangguan

Perilaku menyatakan bahwa lingkungan tempat tinggal, jaringan sosial, serta

kejahatan politik juga turut berperan bagi perkembangan moral dan perilaku anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah konflik atau daerah yang mengalami peperangan menunjukkan pemahaman moral yang rendah, terlibat dalam kenakalan remaja, menunjukkan perilaku antisosial dan bolos dari sekolah. Penelitian Hamaria & Irmawati ( 2006 ) yang berjudul

pengaruh lingkungan berperan penting terhadap perilaku antisosial. Pengaruh dari faktor-faktor resiko spesifik yang diperantarai lingkungan ini dibedakan menjadi pengaruh bersama ( shared effect ) dan pengaruh tidak bersama ( nonshared effect ). Pengaruh bersama adalah pengaruh yang dirasakan oleh semua anak dalam saatu keluarga, sedangkan pengaruh tidak bersama adalah pengaruh yang dialami oleh seorang anak yang memiliki pengalaman berbeda.

Perilaku sosial berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan akan turut membentuk perilaku seseorang. Lewin mengemukakan formulasi mengenai perilaku dengan bentuk B=F (E - O) dengan pengertian B = behavior, F = function, E = environment, dan O = organism, formulasi tersebut mengandung pengertian bahwa perilaku (behavior) merupakan fungsi atau bergantung kepada lingkungan (environment) dan individu (organism) yang saling berinteraksi. Apabila lingkungan memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang. Namun sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan yang kasar dari orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang tidak baik, maka perilaku sosial anak cenderung menampilkan perilaku yang menyimpang. Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial.

2.3Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial Pada Remaja Di SMA Swasta Raksana Medan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa faktor proses keluarga adalah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja Di SMA Swasta Raksana Medan. Dapat dilihat 90,9 % memilih pernyataan nomor 12 “Saya selalu mempertahankan keinginan saya walaupun ditentang oleh orangtua”.

Menurut Yudriansyah (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan

Antara Pola Asuh Permisif dengan Perilaku Antisosial Remaja di kecamatan

Bekasi Selatan menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pola asuh orang tua

sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Lewat pola asuh anak akan merasakan bagaimana suatu nilai diterapkan, bagaimana orangtua bersikap memandang yang baik dan yang buruk. Pola asuh permisif adalah pola asuh yang biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar. Dengan pola asuh seperti ini, anak akan bertindak semaunya, bersikeras dengan keinginannya walaupun tidak disetujui orangtua.

Dari penelitian ini juga diperoleh tingginya angka responden menjawab pernyataan nomor 10 dan 11 yang juga merupakan faktor proses keluarga. Untuk nomor 10 diperoleh bahwa sebanyak 81,8% menyatakan kedua orangtua saya sibuk, sehingga mereka tidak peduli terhadap kegiatan yang saya lakukan sehari-hari. Untuk pernyataan nomor 11 diperoleh bahwa sebanyak 86,4% menyatakan

orangtua saya melarang pulang ke rumah larut malam, namun jika terlambat mereka tidak menanyakan. Faktor proses keluarga ini juga diperjelas dari hasil penelitian Dianita (2009) yang berjudul Pengaruh Persepsi Pola Asuh Orang Tua

Terhadap Perilaku Antisosial Pada Remaja menyimpulkan dari hasil

penelitiannya persepsi pola asuh orang tua otoriter berpengaruh cukup besar pada perilaku antisosial, pola asuh demokratis memiliki pengaruh negatif, persepsi pola asuh permisif orang tua cukup mempengaruhi perilaku antisosial anak. Melihat hal ini berarti persepsi pola asuh orang tua memberikan sumbangan yang besar terhadap perilaku antisosial pada remaja.

Dilahirkan dalam suatu keluarga besar yang memiliki paling sedikit 4 orang anak telah lama dianggap sebagai suatu faktor resiko yang signifikan terhadap perilaku antisosial ( Rutter dkk. , 1998). Hal yang terkait dengan ukuran keluarga besar adalah ukuran keluarga besar cenderung terkait dengan bimbingan serta disiplin yang kurang adekuat ( Farrington & Loeber, 1998).

Keluarga yang berantakan (broken home). (Ferguson dkk. , 1998) menemukan bahwa anak yang diadopsi memiliki tingkat kecenderungan perilaku antisosial yang sedikit lebih tinggi dibandingkan anak yang diasuh dalam keluarga dengan kedua orangtua biologis. Resiko terhadap perilaku antisosial serta benntuk-bentuk malfungsi psikososial lainnya paling besar ditemukan pada anak tidak sah yang diasuh oleh ibunya (single mother). (Rutter & Giller, 1998) selanjutnya menyatakan, perceraian atau perpisahan orangtua memiliki asosiasi yang penting dalam hal peningkatan resiko perilaku antisosial bagi anak, sementara resiko yang

Keluarga menurut Departemen Kesehatan RI (1998) adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut Spradley dan Allender (1996) keluarga adalah satu atau lebih individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan tugas.

Di tengah keluarga anak mengenal cinta dan kasih sayang, belajar mengenal bimbingan dan pendidikan, simpati dan loyalitas terhadap sesama anggota keluarga. Keluarga memberikan pengaruh besar dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Baik buruk struktur keluarga memberikan dampak bagi perkembangan jasmani maupun rohani anak.

Situasi keluarga yang memungkinkan timbulnya perilaku antisosial pada anak diantaranya adalah disharmoni dalam keluarga dan rumah tangga berantakan. Rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh kematian ibu atau bapak, perceraian diantara mereka, hidup terpisah, poligami, ketidak cocokan dan sering konflik, merupakan sumber munculnya perilaku antisosial pada anak. Selain itu anak yang tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol diri yang baik dirumah sesuai dengan norma-norma yang ada dalam kehidupan masyarakat maupun norma-norma agama. Hal ini disebabkan karena ibu atau bapak atau keduanya tidak dapat menjalani fungsinya dengan baik bagi pendidikan anak. Pola kriminal orang tua juga dapat menyebabkan perilaku antisosial pada anak.

Kebiasaan, sikap hidup, tradisi dan filsafat hidup orang tua besar sekali pengaruhnya. Karena itu tingkah laku kriminal orang tua sangat mudah menular

kepada anak-anaknya. Orang tua yang suka marah, sewenang-wenang, agresif, dan meledak-ledak akan menimbulkan iklim psikhis yang tidak menyenangkan. Dan ini dapat merangsang reaksi emosional yang impulsif kepada anak-anaknya. Tingkah laku orang tua asusila dan kriminal itu akan memberikan dampak negatif terhadap anggota keluarganya terutama anak yang dengan mudah akan meniru perilaku orangtuanya.

BAB 6