• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Pad

Ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik dan benar, yaitu bentuk aljabar fungsi produksi itu dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi, mudah dianalisis serta mempunyai implikasi ekonomi. Untuk

menganalisis hubungan antara faktor produksi dan produksi, digunakan metode

Ordinary Least Square (OLS).

Secara matematis, model fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut: 2 2 1 1 7 6 5 4 3 2 1 u aD a D b 7 b 6 b 5 b 4 b 3 b 2 b 1 0X X X X X X X e b Y= + +

Model tersebut dapat ditransformasikan ke dalam bentuk linier logaritma untuk menduga fungsi produksi.

Dimana: Y = Hasil produksi padi (kg) X1 = Luas lahan usahatani padi (ha)

X2 = Jumlah bibit padi (kg)

X3 = Jumlah pupuk N (kg)

X4 = Jumlah pupuk TSP (kg)

X5 = Jumlah pupuk KCl (kg)

X6 = Nilai pestisida (kimia & alami) (Rp)

X7 = Jumlah tenaga kerja (HOK)

D1 = Dummy Musim, 0 untuk musim kemarau dan 1 untuk musim

hujan

D2 = Dummy usahatani, 0 untuk usahatani padi pestisida dan 1

untuk usahatani padi non pestisida b0 = Intersep (konstanta)

b1,...,b7 = Koefisien regresi masing- masing variabel bebas

a1,a2 = Koefisien dummy

e = 2.7182

u = Sisa (residual)

Jumlah elastisitas dari masing- masing faktor produksi yang diduga merupakan return to scale, yaitu konsep yang ingin menjelaskan seberapa besar output berubah bila jumlah faktor produksi dilipatgandakan. Bila Sbi<1, maka

fungsi produksi memiliki karakter skala hasil menurun (decreasing return to scale). Bila Sbi=1, fungsi produk si memiliki karakter skala hasil konstan (constant return to scale) dan bila Sbi>1, fungsi produksi memiliki karakter skala hasil menaik (increasing return to scale).

Hasil analisis dengan OLS dapat menghasilkan nilai R2, p-value untuk uji F dan t serta nilai VIF (Variance Inflation Factor). R2 atau koefisien determinasi merupakan parameter yang menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan oleh variabel penjelas (faktor produksi).

P-value untuk uji F digunakan untuk mengetahui kelayakan model dari parameter dan fungsi produksi atau untuk mengetahui apakah variabel bebas (Xi)

secara bersamaan berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Jika p-value untuk uji F lebih kecil daripada nilai a yang ditentukan, maka variabel bebas dugaan secara bersamaan berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, dan sebaliknya.

P-value untuk uji t digunakan untuk mengetahui secara statistik apakah masing- masing variabel bebas (Xi) secara terpisah berpengaruh nyata terhadap

variabel terikat (Y). Apabila p- value untuk uji t lebih kecil daripada nilai a yang ditentukan, maka variabel bebas dugaan berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, dan sebaliknya.

Nilai VIF digunakan untuk mengetahui kehadiran multikolinearitas. Jika beberapa variabel bebas memiliki nilai VIF lebih dari 10, maka multikolinearitas adalah sebuah masalah. Pengujian untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi tidak dilakukan karena data penelitian (data primer) merupakan data Cross Section sedangkan masalah autokorelasi biasanya terjadi pada data Time Series.

Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas juga tidak dilakukan karena bentuk fungsi Cobb-Douglas dapat mengurangi kemungkinan terjadinya masalah heteroskedastisitas. Hal ini karena bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan ke dalam bentuk log e (ln), dalam bentuk tersebut variasi data menjadi lebih kecil (Gujarati, 1991).

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Wilayah Administrasi Desa

Desa Purwasari terletak di Kecama tan Darmaga, Kabupaten Bogor dengan luas 211.016 hektar. Secara administratif, Desa ini berbatasan dengan Desa Petir di sebelah Utara, Desa Sukajadi di sebelah Selatan, Desa Situ Daun di sebelah Barat serta Desa Petir dan Sukajadi di sebelah Timur. Jarak Desa dari kota Kecamatan Darmaga adalah 7 kilometer dan 30 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bogor.

Desa ini berada pada ketinggian 535 meter dpl dengan curah hujan 2 000–2 500 mm/thn yang cocok sebagai daerah penanaman padi. Desa Purwasari memiliki suhu udara dengan kisaran 28°–30°C.

Desa ini terdiri dari 30 Rukun Tetangga (RT), 7 RW dan 3 dusun. Dusun I meliputi RW 1 dan 3, Dusun II mencakup RW 2 dan 7 serta Dusun III terdiri dari RW 4, 5 dan 6.

Tabel 1. Penggunaan Lahan, Desa Purwasari, 2005

Keterangan Luas

1. Sawah Irigasi Teknis 99.382 ha 2. Sawah Irigasi Setengah Teknis 49.292 ha

3. Perladangan 9.507 ha 4. Pemukiman/Perumahan 29.767 ha 5. Empang 12.8 ha 6. Bangunan Umum 3.149 ha 7. Jalur Hijau 1.584 ha 8. Pekuburan 1.45 ha 9. Jalan 3 375 km 10. Lain-lain 0.75 ha

Menurut penggunaannya (Tabel 1), sebagian besar lahan di Desa Purwasari diperuntukkan untuk sawah dan ladang seluas 158.181 hektar. 99.382 hektar sawah menggunakan irigasi teknis, 49.292 hektar untuk irigasi setengah teknis dan 9.507 hektar untuk perladangan.

5.2 Kependudukan dan Pendidikan

Berdasarkan Data Monografi Desa Purwasari tahun 2005, jumlah penduduk adalah 8 467 orang, terdiri atas 4 080 orang laki- laki dan 4 387 orang perempuan. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebesar 1 453 orang. Semua penduduknya beragama Islam.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Desa Purwasari, 2005

No. Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persen (%)

1. Buruh Tani 1 440 50.28 2. Petani Pemilik 960 33.52 3. Pedagang/Wiraswasta 240 8.38 4. Pertukangan 86 3.00 5. PNS 60 2.09 6. Jasa 54 1.89 7. Pensiunan 14 0.49 8. Pegawai Swasta 10 0.35 Total 2 864 100.00

Sumber: Data Monografi Desa Purwasari, 2005

Mata pencaharian penduduk Desa Purwasari adalah buruh tani (50.28 persen) dan petani pemilik (33.52 persen). Selain itu, penduduk ada yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta (8.38 persen), pertukangan (3 persen), Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 2.09 persen, bergerak di bidang jasa (1.89 persen), pensiunan (0.49 persen) dan pegawai swasta (0.35 persen) (Tabel 2).

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Purwasari, 2005

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persen (%)

1. SD 2 521 56.61 2. SLTP 1 189 26.70 3. SLTA 514 11.54 4. Pondok Pesantren 95 2.13 5. TK 54 1.21 6. Akademi 27 0.61 7. Madrasah 23 0.52 8. Sarjana (S1–S3) 18 0.41 9. Pendidikan Keagamaan 12 0.27 Total 4 453 100.00

Sumber: Data Monografi Desa Purwasari, 2005

Berdasarkan Tabel 3, tingkat pendidikan pendud uk Desa Purwasari tergolong rendah karena 83.31 persen penduduk merupakan tamatan SD dan SLTP. Jumlah tamatan SLTA 11.54 persen, Taman Kanak-Kanak (TK) 1.21 persen, akademi 0.61 persen dan sarjana (S1–S3) 0.41 persen. Selain pendidikan umum, juga terdapat tamatan pendidikan khusus, yaitu lulusan pondok pesantren (2.13 persen), madrasah (0.52 persen) dan pendidikan keagamaan (0.27 persen).

5.3 Profil Kelompok Tani Mekar Sari

Kelompok tani Mekar Sari berdiri pada tahun 1981 dan dikukuhkan secara resmi oleh Kepala Desa Purwasari (Drs. H. Sarnata) pada tahun 1986. Tujuan didirikannya, yaitu sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan komunikasi diantara para petani, terutama petani padi, mengenai jadwal tanam.

Penggagas berdirinya adalah Kepala Desa Purwasari dan Bapak Anduy (ketua kelompok [1981–sekarang]). Beliau diangkat sebagai ketua oleh Kepala Desa. Pada awal berdirinya, kepengurusan kelompok belum terbentuk. Kepengurusan baru terbentuk pada tahun 1995 yang dipilih secara langsung oleh

Kepala Desa. Jumlah pengurus 11 orang dengan jumlah anggota 115 orang, termasuk 85 orang petani padi. Anggotanya berasal dari RW 1, 3 dan 7.

Pada tahun 1998, atas dasar kesepakatan bersama, Ketua kelompok mendirikan sebuah koperasi simpan-pinjam dengan jumlah pengurus 6 orang dan anggota 400 orang. Tujuan didirikannya adalah membantu para petani dalam permodalan. Namun saat ini, koperasi hampir tidak berjalan lagi karena terjadi masalah keuangan.

Kepala Desa Purwasari (H. Abdul Manan) berinisiatif mendirikan tiga kelo mpok tani lainnya pada tanggal 17 November 2000, yaitu: kelompok tani Rawa Sari (RW 6), Hegar Sari (RW 4 & 5) serta Keramat Sari (RW 2). Namun, kelompok tani yang masih berjalan hingga saat ini hanya kelompok tani Mekar Sari. Pada tahun 2001, didirikan juga koperasi simpan-pinjam di Rawa Sari.

Kelompok tani Mekar Sari telah melaksanakan SLPHT sebanyak tiga kali. SLPHT pertama diselenggarakan karena program nasional pada tahun 1991–1992. Pada tahun 1994, para petani mulai menanam padi non pestisida dan kemudian dilaksanakan lagi SLPHT pada tahun 1996–1997 dan ketiga kalinya adalah SLPHT tindak lanjut pada tahun 1999 yang pelaksanaannya dibantu mahasiswa APP (Akademi Penyuluh Pertanian).

Prestasi yang pernah diraih oleh kelompok tani Mekar Sari, yaitu:

• Tahun 1996/1997, Juara I Lomba Intensifikasi Mina Padi (Inmindi) Tingkat Kabupaten Dati II Bogor (Dinas Perikanan Kabupaten Dati II Bogor).

• Tahun 1996/1997, Juara I Lomba Kelompok Tani Inmindi Tingkat Propinsi Dati I Jawa Barat.

• Tahun 1997, Penghargaan kepada kelompok tani Mekar Sari sebagai Pemenang Harapan I Lomba Kelompok Tani Inmindi Tingkat Nasional Tahun 1997.

• Tahun 1996/1997, Penghargaan Camat Darmaga kepada kelompok tani Mekar Sari dalam Lomba Inmindi.

• 28 Juli 1997, Penghargaan kepada M. Anduy sebagai Ketua Kelompok Tani Pemenang Terbaik Lomba Inmindi Tingkat Propinsi Jawa Barat.

• 19 Januari 1998, Pemenang Harapan Pertama Perlombaan Inmindi Tingkat Nasional Tahun 1997.

• Tahun 1998, Penghargaan kepada kelompok tani Tingkatkan Peranan Kelompok Tani-Nelayan dalam Pelaksanaan Intensifikasi Pertanian

Berorientasi Agribisnis, Jakarta, 19 Januari 1998 oleh Presiden RI Soeharto. • 20 Januari 1998, Penghargaan kepada kelompok tani Mekar Sari sebagai

Pemenang Harapan I Lomba Kelompok Tani Inmindi Tingkat Nasional Tahun 1997 oleh Direktorat Jenderal Perikanan (FX Murdjito).

• 17 Juli 1998, Pemenang Harapan I Lomba Inmindi Tingkat Nasional Tahun 1997/1998.

• Tahun 2001, Penghargaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2001 (Istana Negara Jakarta, 16 September 2001).

• 18–24 September 2001 (Bogor): Penghargaan atas partisipasi dan kerjasama dalam acara Forum Komunikasi Seminar Ilmiah Mahasiswa Perlindungan

Tanaman Indonesia XV (FX SIMPTI XV) MUNAS dan MUKERNAS IX:

Keamanan dan Ketahanan Pangan yang Berbasiskan Pertanian

Berkelanjutan Memasuki Era Pasar Bebas HIMASITA IPB.

• 9 Oktober 2001, Juara I Lomba Intensifikasi Khusus (Insus) Padi Tingkat Propinsi Tahun 2001 oleh Gubernur Jawa Barat.

• 16 November 2001, Perlombaan Insus Padi Tingkat Propinsi Tahun 2001 oleh Menteri Pertanian (Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc).

• 3 Juni 2002, Penghargaan kepada M. Anduy sebagai Juara I Perlombaan Intensifikasi Pertanian Tingkat Propinsi Jawa Barat.

5.4 Karakteristik Responden

Kuisioner yang disebarkan kepada 40 responden menjelaskan berbagai karakteristik responden. Karakteristik responden yang dideskripsikan adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kursus/pelatihan di bidang pertanian yang pernah diikuti, umur petani mulai terjun ke pertanian, anggapan terhadap mata pencaharian, jabatan dalam kelompok tani Mekar Sari, alasan masuk kelompok tani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan alat-alat pertanian yang digunakan.

Tabel 4. Karakteristik Umur Responden Padi Pestisida dan Non Pestisida, Desa Purwasari, 2005 No. Keterangan Petani Padi Pestisida Petani Padi Non Pestisida

(tahun) Jumlah (org) Persen (%) Jumlah (org) Persen (%)

1. 0–25 0 0 0 0

2. >25–50 10 50 12 60

3. >50–75 9 45 7 35

4. >75 1 5 1 5

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa 50 persen umur responden padi pestisida dan 60 persen umur responden padi non pestisida berada pada kisaran >25–50 tahun. Jenis kelamin responden padi pestisida adalah 95 persen laki- laki dan sisanya perempuan sedangkan 100 persen responden padi non pestisida berjenis kelamin laki- laki.

Tabel 5. Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden Padi Pestisida dan Non Pestisida, Desa Purwasari, 2005

No. Keterangan Petani Padi Pestisida Petani Padi Non Pestisida Jumlah (org) Persen (%) Jumlah (org) Persen (%)

1. SD 16 80 15 75

2. SLTP 2 10 1 5

3. SLTA 1 5 3 15

4. PT 1 5 1 5

Total 20 100 20 100

Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani (Soeharjo & Patong, 1973). Tingkat pendidikan responden tergolong rendah karena 80 persen responden padi pestisida dan 75 persen responden padi non pestisida mengenyam pendidikan sampai tingkat SD (Tabel 5). Namun, pengetahuan responden padi non pestisida lebih banyak dibandingkan dengan responden padi pestisida. Hal ini dikarenakan 95 persen (19 orang) responden padi non pestisida pernah mengikuti kursus/pelatihan di bidang pertanian sedangkan responden padi pestisida hanya 45 persen (9 orang).

Pelatihan yang pernah diikuti oleh responden padi pestisida adalah penyuluhan pertanian oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), pembuatan pupuk, peternakan, perikanan, mikrobiologi dan cara menanam padi. Pelatihan yang pernah diikuti oleh responden padi non pestisida adalah SLPHT, pembenihan padi, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), perikanan, Inmindi, cara menanam padi, pembuatan jamur dan koperasi.

Responden padi pestisida dan non pestisida mulai terjun ke bidang pertanian pada umur 29 tahun dan 24 tahun. Anggapan responden terhadap kegiatan usahatani mereka adala h sebagai mata pencaharian pokok (65 persen & 100 persen).

Jabatan responden padi non pestisida yang diwawancarai adalah pengurus (5 orang) dan anggota (15 orang). Alasan mereka bergabung dengan kelompok tani Mekar Sari, yaitu ingin menambah wawasan dan saling bertukar pikiran (60 persen), menjaga kekompakan antar petani (20 persen), ingin meningkatkan derajat petani (10 persen) serta ingin mendapatkan kemudahan dalam membeli kebutuhan (sarana produksi) usahatani (5 persen) dan ingin hidup sejahtera (5 persen).

Tabel 6. Luas Lahan Garapan Responden Padi Pestisida dan Non Pestisida, Desa Purwasari, 2005

No. Keterangan Petani Padi Pestisida Petani Padi Non Pestisida

(ha) Jml (org) Persen (%) Jml (org) Persen (%)

1. 0–0.25 14 70 7 35 2. >0.25–0.5 4 20 4 20 3. >0.5–0.75 0 0 2 10 4. >0.75–1 2 10 6 30 5. >1 0 0 1 5 Total 20 100 20 100

Luas lahan garapan responden padi pestisida relatif sempit, sekitar 0–0.25 hektar (70 persen). Luas lahan garapan responden padi non pestisida sekitar 0– 0.25 hektar (35 persen) dan >0.75–1 hektar (30 persen) (Tabel 6).

Berdasarkan Tabel 7, status lahan garapan responden padi pestisida dan non pestisida adalah milik sendiri (90 persen & 95 persen). Sisanya merupakan lahan milik orang lain yang digarap oleh responden dengan sistem sakap dan ngepak.

Tabel 7. Status Lahan Garapan Responden Padi Pestisida dan Non Pestisida, Desa Purwasari, 2005

Petani Padi Pestisida Petani Padi Non Pestisida No. Keterangan

Jml (org) Persen (%) Jml (org) Persen (%) 1. Milik Sendiri- Dibawonkan9 13 65 18 90 2. Milik Sendiri- Digarap Sendiri 4 20 0 0 3. Milik Sendiri- Digarap Sendiri dan ngepak10 1 5 1 5 4. Sakap11- Dibawonkan 1 5 0 0 5. Sakap-Digarap Sendiri dan ngepak 1 5 0 0 6. Ngepak 0 0 1 5 Total 20 100 20 100

Dalam berusahatani padi, para petani memerlukan peralatan tani untuk membantunya. Alat-alat pertanian yang sering digunakan adalah cangkul, garpu, golok, kored, gaed, parang, linggis, arit dan caplakan.

9

Bawon adalah upah tenaga kerja yang dibayarkan dalam bentuk padi

10

Ngepak adalah bekerja sebagai buruh tani di lahan milik orang lain dengan sistem bawon

11

VI. PEMBAHASAN

6.1 Sejarah Berkembangnya Usahatani Padi Non Pestisida di Desa Purwasari Cara bertani padi, khususnya di kelompok tani Mekar Sari, sebelum diadakannya program SLPHT berbeda dengan keadaan sekarang. Sebelum SLPHT, para petani belum mengetahui dan belajar mengenai cara berusahatani yang baik dan benar.

Hasil produksi yang dapat dicapai hanya berkisar antara 2.5–3 ton per hektar. Hal ini dikarenakan tidak adanya kekompakan dalam jadwal tanam sehingga tanaman banyak terserang hama, para petani belum mengetahui komposisi pupuk berimbang dan waktu pemberiannya serta penggunaan pestisida kimia yang berlebihan.

Komposisi pupuk per hektar yang digunakan pada pemupukan pertama (pupuk dasar), yaitu Urea 2.5 kw, TSP 1.5 kw, KCl 1 kw, ZA 1 kw dan furadan 20 kg sedangkan pada saat ini komposisi pupuk tersebut digunakan untuk tiga kali pemupukan. Waktu pemberian pupuk pertama bisa memakan waktu sampai dua hari karena jumlahnya yang besar. Tidak hanya itu, pada hari ke 3–4 setelah pemupukan pertama, tanaman langsung disemprot dengan pestisida, baik pada waktu ada hama maupun tidak. Hal ini mengakibatkan dampak yang buruk bagi tanaman, petani itu sendiri maupun lingkungan di sekitar sawah.

Pada waktu keluar malai, daun dan pohon padi berwarna hijau, tetapi tangkal pohon lapuk sehingga pohon menjadi roboh. Para petani terkena penyakit tekanan darah tinggi, sakit perut dan mual- mual akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Lingkungan sawah yang telah tercemar polusi, dengan

perantara angin dan air, mengakibatkan kematian bagi ikan- ikan yang kolamnya berdekatan dengan sawah dan itik- itik yang berada di sekitar sawah.

Melihat keadaan tersebut dan setelah berdialog dengan Ketua kelompok tani Mekar Sari, PPL Kabupaten Bogor melaporkannya kepada Bappenas, Jakarta. Laporan itu ditindaklanjuti dengan pengadaan program SLPHT pada tahun 1992 di Desa Purwasari (kelompok tani Mekar Sari). Tujuan program SLPHT adalah mengubah pola perilaku petani supaya tidak mendewakan obat, memberikan pengetahuan mengenai pupuk berimbang dan penanaman serempak, menjadikan petani sehat, lingkungan asri dan tidak berpolusi.

Pada tahun 1994 di Situ Uncal, dilakukan penanaman padi non pestisida secara serempak dengan melakukan percobaan pada lahan seluas 30 hektar. Dari 25 orang petani yang mengikuti program SLPHT, hanya tersisa 17 orang yang mengikuti program sampai selesai.

Program tersebut kemudian juga dilaksanakan di Kampung Keramat dan Cisasah. Petani yang mengikuti program dari setiap kampung masing- masing berjumlah 25 orang. Namun, jumlah petani yang tersisa hingga program selesai hanya 7 orang dan 2 orang. Oleh karena itu, pelaksanaan program ini hanya berhasil di Situ Uncal karena jumlah petani yang tersisa cukup banyak dan pada saat ini penanaman padi non pestisida dengan jadwal tanam yang serempak masih berjalan.

Berdasarkan hasil survei, produksi yang dihasilkan terus meningkat sejak tahun 1994. Pada saat ini, produksi yang dihasilkan dapat mencapai 6–8 ton per hektar untuk satu Musim Tanam (MT). Selain itu, luas lahan penanaman padi non pestisida juga menga lami peningkatan sebesar 10 hektar, yaitu menjadi 40 hektar.

6.2 Penerapan Usahatani Padi Pestisida dan Non Pestisida di Desa Purwasari 6.2.1 Pengolahan Lahan

Para petani di desa ini masih menggunakan petunjuk bintang wuku sebagai tanda waktu penggarapan tanah. Sebelum dilakukan penyemaian, para petani mengolah lahan mereka dengan menggunakan tenaga manusia, hewan ataupun mesin (traktor). Pengolahan lahan biasanya dilakukan oleh pria. Tenaga kerja ini berasal dari dalam dan luar keluarga.

Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) merupakan petani itu sendiri dan atau keluarga dari petani tersebut sedangkan untuk Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) merupakan para tetangga yang bekerja sebagai buruh tani. Upah yang diberikan adalah Rp 20 000/hari kerja penuh.

Jumlah TKDK usahatani padi pestisida dan non pestisida yang dibutuhkan per hektar untuk mengolah lahan sawah adalah 15.1 Hari Orang Kerja (HOK) dan 16.5 HOK. TKLK yang diperlukan adalah sebanyak 16.9 HOK dan 30.9 HOK.

Pengolahan lahan juga dibantu oleh kerbau dan traktor. Kerbau disewa dari pemiliknya sebesar Rp 70 000/hari kerja penuh dan traktor disewa dari mantan sekretaris kelompok tani Rawa Sari sebesar Rp 100 000/hari kerja penuh. Kerbau digunakan dalam pengolahan lahan untuk kedua usahatani dan jumlah hari kerja per hektar yang dibutuhkan adalah 12.5 HKT dan 6.3 HKT. Traktor hanya digunakan oleh responden padi pestisida dan jumlah hari kerja per hektar yang dibutuhkan adalah 1.6 hari kerja mesin.

Pengolahan lahan sawah dibedakan menjadi tiga kegiatan, yaitu ngabedah,

ngangler dan ngamalirkeun. Ngabedah yaitu kegiatan membalik tanah sedalam 20 cm dengan tujuan supaya terjadi pergantian udara antara tanah yang berada di atas

dan bawah, tanah yang berada di bawah bisa terjemur oleh matahari dan supaya air bisa mengalir ke dalam tanah. Ngangler merupakan kegiatan menghancurkan bongkahan tanah supaya menjadi lebih halus dan ngamalirkeun yaitu kegiatan membuat parit supaya sawah mudah diairi atau dikeringkan.

Kegiatan membalik tanah dapat dilakukan oleh traktor, kerbau atau manusia. Sisa tanah yang tidak bisa dibalik oleh kerbau dilakukan oleh manusia. Kegiatan ini terkenal dengan istilah mojokkan. Penggarapan lahan persemaian yang akan digunakan kembali sebagai lahan untuk menanam padi hanya dibedah sedalam 10 cm.

6.2.2 Persemaian dan Penanaman

Responden padi non pestisida membuat bibit sendiri untuk MT berikutnya. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya produksi. Bibit dapat digunakan untuk 3–4 kali MT. Varietas yang biasa digunakan para petani di Desa Purwasari adalah Widas. Dua hari sebelum panen, petani memilih tanaman padi untuk disimpan sebagai bibit, dengan ciri-ciri pohonnya tinggi, malainya panjang dan daunnya bebas dari hama penyakit.

Setelah dipilih dari petakan, bibit dijemur selama dua hari dari jam 7 pagi– 12 siang dan tidak boleh lewat dari waktu tersebut karena hasilnya nanti tidak akan bagus. Bibit yang telah dijemur kemudian disimpan di dalam karung selama 25–30 hari sebelum digunakan dan diletakkan di atas sekam (dalam karung) supaya hangat dan tidak dimakan tikus. Empat hari sebelum penyemaian, Bibit kering tersebut direndam selama satu malam (24 jam), hingga akarnya tumbuh, supaya hasilnya bisa maksimal (±94 persen). Penyemaian memakan waktu selama 25 hari.

Persiapan bibit (termasuk penyemaian) dilakukan oleh pria dan wanita. TKDK yang dibutuhkan per hektar untuk kegiatan ini adalah 103.8 Hari Kerja Pria (HKP), yang setara dengan 103.8 HOK, bagi usahatani padi pestisida dan 72.8 HKP untuk usahatani padi non pestisida. TKLK yang dibutuhkan per hektar adalah 1.5 HKP untuk usahatani padi pestisida serta 24.4 HKP dan 2.8 Hari Kerja Wanita (HKW) untuk usahatani padi non pestisida.

Lahan yang digunakan untuk persemaian juga merupakan lahan untuk menanam (tandur). Dalam satu hektar lahan untuk penanaman padi, 400–500 m2 digunakan sebagai lahan persemaian. Lahan tersebut harus berada di tempat yang strategis, dekat dengan petakan untuk menanam padi. Hal ini juga untuk menghindari kerusakan pada galengan.

Bibit hasil persemaian tidak boleh dipotong pada bagian atas karena bisa memperlambat keluarnya malai (1 minggu). Selain itu, juga bisa terjadi perbedaan waktu panen sekitar 10 hari antara bibit yang dipotong dan tidak dipotong.

MT I dilakukan pada bulan Januari–April. MT II dilakukan pada bulan Juni– September. Petani jarang melakukan tumpang sari dalam berusahatani padi karena keterbatasan lahan. Pola tanam yang biasanya digunakan adalah padi-padi- palawija. Hal ini supaya para petani mempunyai persediaan beras yang cukup untuk satu tahun (tidak membeli lagi) dan hasil palawija cukup bagus sehingga bisa menambah modal untuk menanam padi pada MT berikutnya.

Jarak tanam yang biasa digunakan adalah 20 cm x 20 cm. Untuk usahatani padi non pestisida, 100 persen responden menggunakan alat dari kayu (caplakan) untuk membantu dalam menanam supaya jarak tanam yang diperoleh tepat dan rapi sedangkan 75 persen responden padi pestisida juga menggunakan caplakan

dan sisanya menggunakan tandur jajar. Para petani yang menggunakan caplakan

dapat menghemat waktu tandur sampai dua jam.

Pada umumnya, petani menanam 7–8 bibit dalam satu lubang. Padahal seharusnya, hanya 2–3 bibit dalam satu lubang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan hasil produksi antar petani. Pada tanah rawa, setelah selesai

menandur, sebaiknya lahan dikeringkan terlebih dahulu supaya pertumbuhan padi bagus, produksi yang didapatkan tinggi dan mencegah datangnya hama.

Tandur biasanya dilakukan oleh wanita, tetapi ada juga pria yang

melakukannya. TKDK yang dibutuhkan per hektar untuk kegiatan ini adalah 0.1 HKP dan 3.2 HKW untuk usahatani padi pestisida serta 1.6 HKP dan 4 HKW untuk usahatani padi non pestisida. TKLK yang dibutuhkan per hektar adalah 1.6 HKP dan 24.5 HKW untuk usahatani padi pestisida serta 1.7 HKP dan 24.8 HKW untuk usahatani padi non pestisida.

6.2.3 Pemupukan

Jenis pupuk yang biasa digunakan adalah Urea, TSP dan KCl, tetapi ada juga yang menggunakan ZA dan pupuk kandang. Rata-rata waktu pemupukan dalam satu MT dilakukan sebanyak dua kali, tetapi ada juga yang memupuk sebanyak 1 kali atau 3 kali. Hal ini juga menjadi penyebab perbedaan hasil produksi pada luas lahan yang sama.

Pupuk Dasar (pupuk I) dilakukan pada 0–7 Hari Setelah Tanam (HST) dengan pemberian TSP seluruhnya dan sebagian Urea, KCl ataupun ZA serta

Dokumen terkait