• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Risk Taking Behaviour

Faktor-faktor yang mempengaruhi risk taking behaviour, menurut Gullone dkk

(dalam Christia, 2001), adalah:

a. Belief tentang resiko.

Belief tentang resiko pada seseorang menentukan apakah ia akan melakukan risk taking behaviour atau tidak. Semakin ia mempersepsikan suatu tindakan beresiko maka semakin besar kecenderungannya untuk tidak melakukan

tindakan tersebut.

b. Jenis kelamin

Keterlibatan dalam risk taking behaviour secara signifikan dipengaruhi oleh

jenis kelamin. Ini karena wanita cenderung mempunyai persepsi bahwa suatu

tindakan dapat beresiko lebih tinggi, dibandingkan dengan para pria (terutama

remaja) yang mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang istimewa,

unik dan kebal terhadap hal-hal yang beresiko.

c. Usia

Pengaruh usia juga cukup menentukan, karena terdapat perbedaan yang

signifikan dalam mempersepsikan resiko dari suatu tingkah laku. Seseorang

35

mereka tidaklah besar sehingga kemungkinan mereka terlibat lebih tinggi

daripada yang berusia lebih tua atau dewasa.

d. Kepribadian

Kepribadian juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi risk

taking behaviour seseorang, walaupun tergantung dari tipe resiko perilaku, seperti adanya hubungan positif antara thrill seeking risk behaviour (mencari

tantangan) dengan kepribadian ekstrovert. Karena pada sebagian besar orang

dengan kepribadian ekstrovert diketahui bahwa mereka mempunyai sensation

seeking yang tinggi, dan risk taking behaviour biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai sensation seeking tinggi (Little dan Zuckerman,

dalam Schwartz dan Fouts, 2003).

Terdapat juga beberapa penjelasan mengenai penyebab timbulnya risk

taking behaviour pada remaja, antara lain:

a. Teori Keputusan Tingkah Laku (Behavioural Decision Theory)

Dalam teori ini menurut Steinberg (1999), sangatlah penting untuk

mengetahui apakah remaja menggunakan proses yang berbeda dari orang dewasa

dalam mengidentifikasikan, mengukur, dan mengevaluasi pilihan dan konsekuensi

dari tingkah laku. Dan diketahui penyebabnya adalah karena adanya perbedaan

dalam mengevaluasi kemungkinan dari konsekuensi yang berbeda. Contohnya,

ketika seseorang memutuskan untuk menggunakan narkoba pada suatu pesta atau

pertunjukan musik, maka akan ada evaluasi terhadap berbagai konsekuensi, yaitu

resiko secara hukum dan kesehatan, efek sampingnya, dan penilaian dari orang

mempertimbangkan semua kemungkinan ini, tetapi orang dewasa relatif lebih

menitikberatkan pada resiko hukum dan kesehatan dari narkoba, sedangkan

remaja lebih lebih pada konsekuensi sosial tidak menggunakan narkoba yang

didapatnya (dapat berupa penolakan dari teman kelompoknya).

Saat itu orang dewasa melihat keputusan remaja yang lebih menghargai

penerimaan kelompok daripada kesehatan diri sebagai sesuatu yang tidak rasional.

Teori ini menjelaskan bahwa semua tindakan termasuk yang beresiko sekalipun

dapat dilihat secara rasional ketika kita mengerti cara yang dilakukan individu

untuk mengukur dan mengevaluasi konsekuensi dari berbagai aksi atau tingkah

laku manusia. Penekanan selanjutnya pada teori ini adalah keputusan beresiko

pada remaja bukan karena keputusan yang tidak rasional, tetapi lebih pada

bagaimana remaja memperoleh informasi yang mereka gunakan untuk membuat

keputusan dan seberapa akurat informasi tersebut.

b. Teori Biologis atau Genetik

Menurut teori ini yang dijelaskan Steinberg (dalam Christia, 2001), risk taking

behaviour dapat dikatakan sebagai tingkah laku yang tidak konvensional disebabkan karena adanya predisposisi yang bersifat menurun atau bawaan.

Kemudian pandangan berikutnya bahwa secara dasar biologis ada perbedaan

individu dalam dorongan (arousal) dan pencarian sensasi (sensation seeking),

dimana hal ini menjelaskan bahwa risk taking behaviour berkaitan dengan

dorongan yang berlebih dan kesenangan mencari tantangan (Little and

Zuckerman, dalam Schwartz dan Fouts, 2003)

37

Timbulnya risk taking behaviour sebagai tingkah laku yang menyimpang merupakan hasil pendidikan dalam keluarga. Seorang anak dibesarkan dan

disajikan tingkah laku yang bermasalah sebagai sumber respon yang adaptif

untuk menghadapi dunia yang kejam (Steinberg, dalam Christia, 2001)

d. Teori Sosiologis

Dryfoos (dalam Steinberg, 1999) menyatakan bahwa keterlibatan pada suatu

tingkah laku beresiko dapat menyebabkan keterlibatan pada tingkah laku

beresiko yang lain. Misalnya penggunaan narkoba memungkinkan terjadinya

perilaku seks bebas yang mengakibatkan meningkatnya kehamilan pranikah

pada remaja atau yang lebih ekstrem tindakan bunuh diri.

e. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)

Menurut Gottfredson dan Hirschi (dalam Christia, 2001), individu yang tidak

memiliki ikatan yang kuat pada institusi masyarakat, seperti keluarga, sekolah,

masyarakat atau tempat bekerja, akan lebih mudah bertingkah laku beresiko

dalam berbagai cara. Teori ini menekankan bahwa perkembangan sikap yang

tidak konvensional adalah akibat dari adanya keterlibatan pada kelompok

yang tidak konvensional pula, atau keterlibatan pada satu tingkah laku

beresiko dapat menciptakan rangkaian tingkah laku beresiko lainnya.

2.4. Kerangka Berpikir

Nakagawa (2000) menyatakan bahwa musik adalah ekspresi seni yang berpangkal

pada tubuh, musik terdiri atas suatu peredaran atau arus balik (feedback) dari

atau mendengarkan musik sama artinya berdialog dengan tubuh, jika kita sedang

menikmati musik, kita pasti menjadi sadar bahwa gerakan-gerakan tubuh kita itu

bukan sekedar tubuh kita sehari-hari. Jadi musik berperan dalam sejarah

perkembangan manusia dari masa ke masa, begitu juga pada tahapan

perkembangan manusia, termasuk masa remaja.

Santrock (2002) menyebutkan bahwa masa remaja merupakan suatu

periode transisi antara masa kanak-kanak dan orang dewasa yang meliputi

perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional. Pada masa ini remaja

menjadi rentan terhadap hal-hal yang baru mereka alami (perubahan fisik dan

situasi sosial) sehingga emosi mereka menjadi labil, dan belum secara penuh dan

sadar menyadari arti dari setiap peristiwa yang dialami. Saat itu musik dengan

lirik-liriknya menjadi sarana hiburan untuk melepas kepenatan serta refleksi dari

diri mereka.

Kebiasaaan para remaja untuk menghabiskan banyak waktu

mendengarkan musik tidak jauh berbeda, tetapi tidak semua orang menyukai jenis

musik yang sama. Banyak remaja yang mempunyai preferensi (kecenderungan

memilih/menyukai) musik yang pelan dan lembut (light music) karena dapat

membuat nyaman dan menenangkan perasaan, tetapi tidak sedikit juga remaja

yang mempunyai preferensi jenis musik keras (heavy music) yang dapat membuat

semangat (Schwartz & Fouts, 2003).

Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan kebiasaan mendengarkan

salah satu jenis musik dapat memberi pengaruh bagi remaja baik positif ataupun

39

pengaruh buruk pada tingkah laku remaja, pandangan bahwa jenis musik ini

memberi pengaruh negatif diperkuat saat Hansen & Hansen (dalam Hargreaves,

1997) yang melakukan penelitian tentang perilaku individu yang menyenangi

jenis musik heavy, menyatakan bahwa penggemar musik heavy metal pada

umumnya cenderung berperilaku amoral, manipulatif, menghalalkan segala cara,

dan dalam perilaku seksual mereka cenderung mengarah kepada perilaku

hiperseksual. Sedangkan pada remaja yang menggemari musik punk mereka

cenderung terlibat dalam penyalahgunaan zat-zat adiktif (psikotropika), maupun

terdorong untuk melakukan aksi kriminalitas.

Sementara remaja yang berpreferensi musik light cenderung

berkarakteristik sebagai orang yang dapat bekerja sama, bersosialisasi, tidak

impulsif, bertanggung jawab, menerima orang lain dan keluarga mereka, serta

mempunyai kepercayaan diri dalam bidang akademik, sehingga mereka dapat

lebih mudah bertransisi ke masa dewasa. Meskipun demikian, di Indonesia

banyak juga kasus dimana konser musik light yang berakhir rusuh.

Perilaku para remaja yang mengkonsumsi alkohol, berkelahi, dan

melakukan aksi perusakan dalam dunia psikologi dapat dikategorikan sebagai

rebellious behaviors (perilaku memberontak) dan antisocial behaviors (perilaku antisosial) yang termasuk dalam tipe-tipe tingkah laku beresiko (risk taking

behaviour), yaitu tingkah laku yang diasosiasikan dengan kemungkinan terjadinya konsekuensi negatif melebihi konsekuensi positif (Gullone dkk, 2000).

Dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat kita, dimana musik

musik, baik heavy maupun light yang sampai menimbulkan korban jiwa. Maka penulis bermaksud ingin mengetahui apakah ada hubungannya antara preferensi

musik pada remaja dengan tingkah laku beresiko (risk taking behaviour).

Bagan Kerangka Berpikir

Risk Taking Behaviour Remaja Preferensi musik 2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Ha : Ada hubungan yang signifikan antara preferensi musik dengan risk taking behaviour pada remaja.

b. Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara preferensi musik dengan risk taking behaviour pada remaja.

Dokumen terkait