• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6. Faktor Fisik Kimia Perairan

Hasil pengukuran faktor fisik kimia perairan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian di Perairan Haranggaol Danau Toba Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Temperatur oC 27 26 26 27

2 Penetrasi Cahaya Cm 390 258 320 425

3 Intensitas Cahaya Candella x 2000 1740 1585 1858 1150 4 pH air 7,2 7,1 7,2 7,3 5 DO Mg/L 6,2 6,5 6,9 7,1 6 BOD5 Mg/L 1,6 1,7 1,2 0,9 7 Kejenuhan Oksigen % 78,88 81,35 85,10 89,05 8 TDS Mg/L 78,5 77,8 78,4 77,3 9 TSS Mg/L 2 2 2 2

10 Warna Skala TCU < 0.2 < 0,2 < 0,2 < 0,2

11 Amoniak Mg/L 0,01 < 0,1 0,02 0,01

12 Fosfat Mg/L < 0,03 < 0,03 0,14 0,04

13 COD Mg/L 1,6 1,8 1,2 1,6

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Keramba Stasiun 2 : Daerah Dermaga Stasiun 3 : Daerah Pariwisata Stasiun 4 : Daerah Bebas Aktifitas

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai setiap faktor fisik kimia perairan memiliki perbedaan pada setiap stasiun. Hal ini juga secara langsung akan mempengaruhi kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiunnya.

a. Temperatur

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai rata-rata temperatur berkisar antara 26-27oC. Temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan 4 dengan nilai 27 oC. Hal ini disebabkan pada stasiun 1 yang merupakan daerah keramba paparan cahaya yang masuk ke badan perairan lebih besar sehingga dapat meningkatkan temperatur sekitar perairan dan juga pada daerah keramba tersebut terjadi penguraian pelet pakan ikan yang pada prosesnya dapat menghasilkan panas. Stasiun 4 juga memiliki nilai temperatur tertinggi, hal ini disebabkan karena pada daerah bebas aktifitas ini terdapat tutupan vegetasi (kanopi) pada daerah pinggirannya dan juga tidak terdapat aktifitas masyarakat di sekitar stasiun sehingga menyebabkan suhu normal perairan yaitu 27 oC pada stasiun ini. Nilai temperatur terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan pada stasiun 2 yang merupakan daerah dermaga juga terdapat perumahan masyarakat dan sedikit tutupan vegetasi yang dapat menahan intensitas cahaya matahari yang masuk ke badan perairan. Stasiun 3 juga memiliki nilai temperatur terendah, hal ini disebabkan karena substrat pada

daerah pariwisata ini terdapat bebatuan besar yang ketika bertabrakan dengan gelombang air dapat menurunkan suhu di sekitar daerah tersebut akibat adanya pertukaran panas air dengan udara sekeliling.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain itu, pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan oleh manusia). Effendi (2003) menambahkan bahwa nilai temperatur tersebut masih baik untuk pertumbuhan alga terutama jenis diatom (20-30 oC), sedangkan jenis

Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu tinggi.

b. Penetrasi Cahaya

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai rata-rata penetrasi cahaya berkisar antara 258- 425 cm. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu daerah bebas aktifitas. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini memiliki nilai Total Disolved

Suspended/TDS (Jumlah Zat Padat Terlarut) terendah dengan nilai 77,3 mg/L.

Nilai TDS sangat mempengaruhi tinggi rendahnya penetrasi cahaya pada suatu perairan karena zat padat terlarut yang terdapat pada perairan tersebut dapat menahan cahaya matahari yang masuk ke badan perairan. Penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu daerah dermaga. Hal ini disebabkan karena pada daerah dermaga tersebut terdapat sisa atau tumpahan minyak dari kapal- kapal masyarakat yang bersandar di pinggirannya, baik kapal nelayan maupun kapal pengangkut transportasi. Sisa atau tumpahan minyak tersebut melayang- layang di permukaan perairan yang dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke badan perairan tersebut.

Menurut Sastrawijaya (1991), padatan terlarut pada air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan serta limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menurunkan penetrasi cahaya yang masuk sehingga akan mempengaruhi tingkat transparansi dan warna air. Dengan minimnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis tumbuhan air. Cholik et al., (1988) juga

menambahkan bahwa kecerahan yang produktif adalah apabila keping secchi mencapai kedalaman 20-40 cm dari permukaan.

c. Intensitas Cahaya

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 1150 x 2000

– 1858 x 2000 Candella. Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan daerah pariwisata dengan nilai 1858 x 2000 Candella dan terendah pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 1150 x 2000 Candella. Adanya perbedaan intensitas cahaya ini disebabkan karena adanya perbedaan tutupan vegetasi (kanopi) pada setiap stasiunnya.

Menurut Barus (2004), faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air. Romimohtarto dan Juwana (2001) menambahkan bahwa banyaknya cahaya yang menembus permukaan perairan dan menerangi lapisan perairan setiap hari dan perubahan intensitas memegang peranan penting dalam pertumbuhan fitoplankton dan ganggang dalam membantu proses fotosintesis sebagai sumber energi. Wiryanto (2001) menambahkan juga bahwa efektivitas pemanfaatan cahaya matahari melalui mekanisme fotosintesis dalam ekosistem perairan dipengaruhi oleh kerapatan klorofil. Semakin banyak jumlah klorofil dalam suatu satuan luas akan meningkatkan aktivitas penangkapan cahaya yang selanjutnya dikonversi menjadi rantai karbon.

d. pH air

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai rata-rata pH air berkisar antara 7,1 – 7,3. Nilai pH yang diperoleh masih tergolong baik bagi pertumbuhan fitoplankton. Menurut Yuliana (2006), pH air 7,62-7,77 merupakan pH yang sesuai untuk pertumbuhan fitoplankton. pH tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 7,3 sedangkan pH terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 7,1. Tinggi rendahnya pH air pada setiap stasiun dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam aktifitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang mengalami penguraian sehingga mempengaruhi pH suatu perairan. Tinggi rendahnya pH juga

dipengaruhi fluktuasi kandungan O2 maupun CO2 dalam suatu perairan. Alga melakukan proses fotosintesis dengan membutuhkan karbondioksida dan menghasilkan oksigen, artinya semakin banyak alga ditemukan pada suatu perairan, maka semakin tinggi pula kebutuhan karbondioksida dan semakin rendah nilai pH di perairan tersebut.

Menurut Barus (2004), pada ekosistem perairan yang mengalami laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan karbondioksida yang banyak. Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis. Cholik et al., (1988) menambahkan bahwa tinggi rendahnya pH perairan dipengaruhi oleh kadar CO2bebas dan senyawa yang bersifat asam dari proses dekomposisi sehingga fitoplankton dan tumbuhan air akan menggunakannya selama proses fotosintesis berlangsung. Asprianti et al., (2013) juga menyatakan bahwa pada umumnya alga biru hidup pada pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam (pH<6) dan diatom pada kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenisnya.

e. Oksigen Terlarut (DO)

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai DO berkisar antara 6,2-7,1 mg/L. Nilai DO yang diperoleh masih tergolong kategori normal. Nurgayah (2009) menyatakan bahwa kisaran DO antara 4,84-7,04 mg/L tergolong normal dan masih dalam kisaran yang kondusif untuk kehidupan organisme akuatik. Astirin et al. (2002) menambahkan bahwa pada umumnya oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan perairan, namun apabila kadar oksigen terlarut sangat rendah akan mengancam kehidupan organisme air. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 7,1 mg/L. Hal ini dipengaruhi oleh pergerakan massa air dengan adanya kontak antara permukaan air dan udara, proses fotosintesis dan respirasi dari orgaisme perairan termasuk fitoplankton dan alga, sehingga kadar oksigen terlarut lebih tinggi. Tingginya kadar DO juga disebabkan minimnya kandungan senyawa organik pada stasiun ini karena tidak adanya aktifitas masyarakat pada kawasan sekitar perairan. Nilai DO terendah terdapat pada stasiun 1 yang merupakan daerah keramba. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar senyawa organik dari sisa

pakan ikan yang menyebabkan penurunan tingkat oksigen terlarut pada kawasan stasiun tersebut.

Menurut Simanjuntak (2012), sumber utama oksigen dalam air adalah dari difusi dan dari proses fotosintesis alga. Kadar oksigen terlarut menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan. Barus (2004) juga menambahkan bahwa fluktuasi dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/L.

f. BOD5(Biochemical Oxygen Demand)

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata BOD5berkisar antara 0,9-1,7 mg/L. Nilai BOD5 tertinggi terdapat padat stasiun 2 yang merupakan daerah dermaga dengan nilai 1,7 mg/L dan yang terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 0,9 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa keempat stasiun termasuk kategori tidak tercemar. Tingginya nilai BOD5berpengaruh terhadap nilai oksigen terlarut di suatu perairan. Hal ini terlihat pada stasiun 4 yang memiliki nilai oksigen terlarut lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya.

Menurut Armita (2011), nilai BOD5 tinggi berarti nilai DO rendah sebab dengan banyaknya oksigen yang digunakan untuk menguraikan senyawa organik maka kadar oksigen terlarut dalam air akan menurun. Effendi (2003) menambahkan bahwa perairan yang memiliki nilai BOD5 lebih dari 10 mg/L dianggap telah mengalami pencemaran.

g. Kejenuhan Oksigen

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata kejenuhan oksigen berkisar 78,88-89,05 %. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 89,05 % dan nilai terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 78,88 %. Tingginya kejenuhan oksigen pada stasiun 4 berkaitan dengan tingginya nilai kandungan oksigen terlarut pada stasiun tersebut yaitu 7,1 mg/L. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit, sehingga mampu mendukung perkembangan fitoplankton.

Menurut Barus (2004), nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air adalah kenaikan suhu air, respirasi dan masuknya limbah organik. Hutagalung et al., (1997) juga menambahkan bahwa sumber utama oksigen dalam air berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis tumbuhan air maupun fitoplankton pada siang hari.

h. TDS (Total Disolved Suspended)/ Jumlah Zat Padat Terlarut

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata TDS berkisar antara 77,3-78,5 mg/L. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun 1 yang merupakan daerah keramba dengan nilai 78,5 mg/L dan nilai terendah terdapat pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 77,3 mg/L. Nilai TDS pada keempat stasiun tidak mengalami perbedaan terlalu jauh dan masih tergolong kategori belum tercemar. Tinggi rendahnya TDS pada suatu perairan dipengaruhi oleh konsentrasi zat padat yang terlarut pada kawasan perairan tersebut seperti sampah organik maupun anorganik, kotoran manusia dan hewan, maupun lumpur. Tinggi rendahnya nilai TDS juga mempengaruhi asupan cahaya matahari yang masuk ke badan perairan yang juga akan berdampak pada proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan air maupun fitoplankton.

Menurut Alam (2011), kekeruhan yang tinggi pada suatu perairan dapat mengakibatkan penetrasi cahaya rendah. Atmadja (1999) juga menambahkan bahwa semakin jernih suatu perairan maka semakin banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya alga tumbuh pada perairan.

i. TSS (Total Suspended Solid)/ Jumlah Zat Padat Tersuspensi

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai TSS untuk keempat stasiun adalah sama yaitu 2 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah partikel tersuspensi pada keempat stasiun relatif memiliki konsentrasi yang hampir sama dan tidak berbeda secara signifikan. Tinggi rendahnya nilai TSS juga sangat mempengaruhi cahaya matahari yang masuk ke perairan. Nilai TSS yang tinggi dapat menurunkan

cahaya yang masuk sehhingga akan meningkatkan kekeruhan suatu perairan, dan sebaliknya nilai TSS yang rendah akan meningkatkan cahaya yang masuk ke badan perairan dan menjadikan perairan lebih transparan dan cerah.

Suin (2002) menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan pada suatu perairan mengakibatkan penetrasi cahaya akan berkurang. Kekeruhan air disebabkan karena adanya bahan-bahan yang melayang seperti lumpur dan partikel-partikel debu. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), air yang keruh biasanya mengandung lumpur dan bahan organik sisa pembuangan limbah masyarakat. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhalangnya cahaya yang masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu.

j. Warna air

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai warna air pada keempat stasiun adalah sama yaitu <0,2 Skala TCU. Hal ini berhubungan dengan nilai TSS dan TDS yang relatif sama dan tidak berbeda jauh pada keempat stasiun. Nilai warna sangat dipengaruhi oleh tingkat kekeruhan pada suatu perairan. Nilai warna air yang sama untuk keempat stasiun ini menujukkan bahwa perairan tersebut tergolong perairan yang tidak tercemar. Hal ini sesuai dengan PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang menetapkan baku mutu nilai warna air yang masih diperbolehkan dalam suatu perairan adalah 50 Skala TCU.

Sinabutar (2014) menyatakan bahwa cahaya yang masuk pada perairan dipengaruhi oleh kondisi kejernihan perairan. Semakin jernih suatu perairan semakin tinggi tingkat penetrasi cahaya pada perairan tersebut begitu juga sebaliknya, semakin tinggi tingkat kekeruhan suatu perairan semakin rendah nilai tingkat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan tersebut.

k. Amoniak

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata amoniak berkisar antara <0,01-0,02 mg/L. Nilai amoniak tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan daerah pariwisata dengan nilai 0,02 mg/L dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai <0,01. Nilai amoniak pada keempat stasiun juga tidak berbeda

signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan perairan tersebut tergolong kategori tidak tercemar. Hal ini juga sesuai dengan PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang menetapkan baku mutu nilai amoniak yang diperbolehkan pada kawasan perairan adalah 0,5 mg/L.

Menurut Abida (2010), tingginya konsentrasi amoniak di kawasan perairan diduga karena tingginya proses dekomposisi bahan organik di kolom perairan. Blackburn & Sorensen (1988) juga menyatakan bahwa konsentrasi amonium jarang dijumpai mencapai 1μ M pada lapisan tercampur bagian atas di perairan terbuka atau laut dalam, namun sebaliknya ditemukan konsentrasi yang lebih besar dari level tersebut pada perairan estuari dan teluk yang terpolusi.

l. Fosfat

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata posphat berkisar antara <0,03- 0,14 mg/L. Nilai fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan daerah pariwisata dengan nilai 0,14 mg/L dan yang terendah terdapat pada stasiun 1 dan 2 yaitu <0,03 mg/L. Tinggi rendahnya nilai phosfat dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa organik maupun anorganik pada suatu perairan.

Effendi (2003) menyatakan bahwa sumber utama phosfat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, sumber antropogenik seperti limbah industri dan domestik. Supono (2008) menambahkan bahwa fosfat merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu ekosistem perairan dan termasuk sebagai limitting factors yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan biota air, terutama diatom epilitik.

m. COD (Chemical Oxygen Demand)

Berdasarkan Tabel 5 dapat diperoleh nilai rata-rata COD berkisar antara 1,2-1,8 mg/L. Nilai COD tertinggi terdapat pada stasiun 2 yang merupakan daerah dermaga dengan nilai 1,8 mg/L dan yang terendah terdapat pada stasiun 3 yang merupakan daerah pariwisata dengan nilai 1,2 mg/L. Nilai COD dalam suatu kawasan perairan berhubungan dengan nilai kelarutan oksigen pada perairan tersebut. Konsentrasi senyawa anorganik sangat berdampak pada tinggi rendahnya

nilai COD. Konsentrasi senyawa anorganik yang tinggi mengakibatkan tingginya nilai COD, sebaliknya konsentrasi senyawa anorganik yang rendah mengakibatkan nilai COD juga semakin rendah.

Menurut Rohayati (2003), COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Effendi (2000) juga menyatakan bahwa nilai COD dibawah 10 mg/L baik untuk kehidupan biota air termasuk alga dan fitoplankton.

4.7 Analisis Korelasi Pearson antara Produktivitas Primer dengan

Dokumen terkait