• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

4.4. Faktor Fisika dan Kimia Perairan

Sifat fisik dan kimia air pada prinsipnya mencerninkan kualitas perairan dan kualitas lingkungan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasil pengukuran faktor fisika dan kimia air pada setiap stasiun penelitian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.4. Nilai Faktor Fisika dan Kimia Perairan Pada Setiap Stasiun Penelitian Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian diperoleh temperatur berkisar 220C – 260C, dengan temperatur terendah pada stasiun 2 yaitu sungai Baurangin dan temperature tertinggi di stasiun 4 dan 5 yaitu sungai

Parhitean dan Hula-Huli. Rendahnya suhu pada stasiun 2 dipengaruhi banyaknya pepohonan di sekitar lokasi sehingga kanopi menutupi sinar matahari ke badan sungai, selain itu di lokasi juga banyak tebing dan jauh dari aktivitas masyarakat.

Pengukuran temperatur pada pagi hari ( jam 09.00 wib) juga mempengaruhi nilai temperatur. Tingginya temperatur pada stasiun 4 dan 5 yaitu 260C dipengaruhi oleh keadaan lokasi yang tidak banyak pepohonan sehingga tidak ada kanopi yang menutupi sinar matahari ke badan sungai. Stasiun 4 berada disekitar pemukiman penduduk dan stasiun 5 berada di sekitar lahan pertanian sehingga kedua stasiun ini berhungan dengan aktivitas manusia.

Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar 150C – 300C dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 50C (Cahyono, 2010). Dilihat dari kisaran nilai temperatur pada 5 stasiun penelitian, maka semua stasiun masih tergolong perairan yang sesuai untuk kehidupan ikan.

4.4.2. Kecerahan

Dari hasil penelitian pada kelima stasiun didapakan nilai kecerahan berkisar antara 65 – 80 cm. Rendahnya nilai kecerahan (kurang dari 1 meter) diakibatkan karena kelima lokasi penelitian merupakan sungai yang dangkal dengan kedalaman 1-2 meter. Kedalaman yang rendah mengakibatkan terjadinya pengadukan air sehingga menjadi keruh. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot sebesar 80 cm. Pada stasiun 2 kondisi stasiun dikelilingi oleh pohon-pohon dan semak belukar yang memungkinkan terjadinya penutupan badan air serta pelapukan akibat jatuhnya dedaunan pohon dan semak pada badan air. Waktu pengukuran yang dilakukan pada saat hujan juga mempengaruhi nilai kecerahan karena air menjadi lebih keruh dari biasanya. Pada stasiun 1 nilai kecerahan tinggi hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang sedikit pepohonan dan pengukuran dilakukan pada saat kondisis cuaca cerah.

Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan dapat diketahui sampai dimana kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton (Kordi, 2004).

4.4.3. Kecepatan Arus

Hasil penggukuran terhadap kecepatan arus didapatkan berkisar antara 0,5 – 0,9 m/s, terendah pada stasiun 1 sungai Ponot dan stasiun 4 sungai Parhitean dengan kecepatan 0,5 m/s dan tertinggi pada stasiun 5 sungai Hula-Huli dengan kecepatan 0,9 m/s. Rendahnya kecepatan arus pada stasiun 1 dan stasiun 4 disebabkan karena kondisi sungai yang berbatu sehingga gerakan air melambat karena benturan batu. Pada stasiun 5 kecepatan arus tinggi karena kondisi sungai yang terjal tidak berbatu sehingga gerakan air lurus.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan. Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri.

4.4.4. Intensitas Cahaya

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 1055 – 1490 Candela. Intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi pada stasiun 1 yaitu sungai Ponot.

Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 2 dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

disekitar sungai. Pada pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga mengurangi nilai intensitas cahaya pada badan sungai. Hal ini sesuai menurut Barus (2004), vegetasi yang ada disepanjang aliran sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Pada sungai Ponot nilai intensitas cahaya tinggi hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang tidak banyak vegetasinya dan pengambilan sampel dilakukan pada siang hari sehingga sinar matahari tidak terhalang oleh awan.

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et al., 1983).

4.4.5. pH

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai pH berkisar antara 6,2 – 6,6.

Nilai pH terendah didapatkan di stasiun 1 yaitu sungai Ponot dan tertinggi pada stasiun 5 yaitu sungai Hula-Huli. Secara keseluruhan nilai pH yang didapatkan masih dalam ambang batas normal untuk mendukung kehidupan ikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001, yang menetapkan kisaran pH normal untuk kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9. Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah.

4.4.6. DO (Dissolved Oxygen)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai DO berkisar antara 7,1 – 8,2 mg/l. Nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sungai Parhitean dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot. Secara keseluruhan nilai DO pada lima stasiun penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air

golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai DO adalah 3 angka batas minimum.

Oksigen terlarut bergantung pada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung pada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Tingkat oksigen terlarut yang rendah, mengakibatkan organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hydrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk (Sastrawijaya, 1991)

4.4.7. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 yang didapatkan berdasarkan penelitian pada setiap stasiun berkisar antara 3,1 – 4,6 mg/l. Nilai BOD5 terendah didapatkan di stasiun 4 yaitu sungai Parhitean dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot. Adanya perbedaan nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organiK yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipkai mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 1 diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik pada lokasi tersebut, dimana lokasi tersebut berada disekitar pemukiman penduduk dan objek wisata air terjun ponot.

Menurut Brower et al., (1990), apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10 – 20 mg/l maka menunjukkan bahwa tingkat pecemaran oleh bahan organik tinggi. Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan organisme air dan belum masuk kategori tercemar.

4.4.8. NO3- (Nitrat)

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar nitrat pada kelima stasiun berkisar antara 0,1 – 0,2 mg/l. Secara umum nilai nitrat pada kelima stasiun

penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai nitrat sebesar 20 mg/l. Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk alga dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

4.4.9. PO4- (Posfat)

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun didapatkan nilai posfat berkisar antara 0,11 – 0,25 mg/l. Nilai posfat terendah didapatkan di stasiun 5 yaitu sungai Hula-Huli dan tertinggi di stasiun 2 yaitu sungai Baturangin. Secara umum nilai posfat yang terdapat pada kelima stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan ikan di sungai tersebut, hal ini sesuai dengan standard baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai posfat berada pada batas 1 mg/l.

Menurut Alaerts & Sri (1987), untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal diperlukan konsentrasi posfat pada kisaran 0,27 – 5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Kadar posfat pada air alam yang sangat rendah (<0,01 mg) mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang keadaan inilah yang dinamakan oligotrop, sedangkan bila kadar posfat dan nutrient lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari.

Dokumen terkait