• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA TESIS."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

MESRAWATI PURBA 117030006/ BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(2)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

MESRAWATI PURBA 117030006/ BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr.

Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.

Dekan Fakultas MIPA, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Magister/Doktor, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.

Bio.Med, Sekretaris Program Studi Dr. Suci Rahayu, M.Si beserta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Magister Biologi program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc selaku Promotor/ Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan demi kepentingan tesis ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Bio.Med selaku Co.Promotor/Pembimbing Lapangan yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini. Terima kasih kepada Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Dosen Penguji I, dan Dr. Salomo Hutahaean, M.Si selaku Dosen Penguji II, yang telah memberikan banyak koreksi dan saran dalam penyempurnaan tesis ini.

Terimakasih kepada team kerja yang luar biasa baik di lapangan maupun di laboratorium dalam penyelesaian tesis ini, untuk Budianto Siregar, Ria Lumbantoruan, Rina Sitompul serta asisten lapangan dan asisten laboratorium yang sangat membantu penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada orangtua saya Bapak JM. Purba (alm) dan Mama L. Saragih, serta suami tercinta Surya P.

Pangaribuan dan anakku terkasih Nadine Callysta Adventya Pangaribuan.

Terimakasih atas doa yang tulus untuk keberhasilan saya, dukungan yang sangat besar baik moril maupun materi serta cinta kasih yang luar biasa yang menjadi dorongan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Tuhan selalu memberkati kita.

(Mesrawati Purba)

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ii

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Ekosistem Sungai 4

2.2. Sifat Fisik dan Kimia Air 5

2.2.1. Temperatur 5

2.2.2. Kecerahan 6

2.2.3. Intensitas Cahaya 6

2.2.4. Arus 7

2.2.5. Derajat keasaman (pH) 8

2.2.6. Oksigen Terlarut 8

2.2.7. Nitrat dan Fosfat 9

2.2.8. BOD 9

2.3. Biota Perairan 10

2.3.1. Plankton 10

2.3.2. Ikan 12

2.4. Ikan Batak 12

2.4.1. Sistematika Ikan Batak 13

2.4.2. Ciri Morfologi Ikan Batak 13

2.5. Aspek Biologi Ikan 15

2.5.1. Makanan 15

2.5.2. Hubungan Panjang Berat 16

2.5.3. Faktor Kondisi 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 18

3.1. Lokasi Penelitian 18

3.2. Prosedur Kerja 21

3.2.1. Pengambilan Sampel Ikan 21 3.2.2. Penanganan dan Pengukuran Ikan 21 3.2.3. Analisis kebiasaan Makanan 21 3.2.4. Pengukuran Faktor Fisika Kimia 22

(5)

3.4. Analisis Data 25 3.4.1. Hubungan Panjang Berat 25

3.4.2. Faktor Kondisi 26

3.4.3. Kebiasaan Makanan 27

3.4.4. Analisi Korelasi Faktor Fisika Kimia dengan

Jenis Makanan 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28

4.1. Hubungan Panjang Berat 28

4.2. Faktor Kondisi 34

4.3. Kebiasaan Makanan 35

4.4. Faktor Fisika dan Kimia Perairan 40

4.4.1. Temperatur 41

4.4.2. Kecerahan 42

4.4.3. Kecepatan Arus 42

4.4.4. Intensitas Cahaya 43

4.4.5. pH 43

4.4.6. DO 44

4.4.7. BOD5 44

4.4.8. Nitrat 45

4.4.9. Posfat 45

4.5. Analisis Korelasi 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN L-1

(6)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik, Kimia dan Biologi Perairan

25 4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Neolissochilus

sumatranus) Berdasarkan Stasiun Penelitian

28 4.2 Faktor Kondisi Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) 34 4.3 IP Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada 5 stasiun

Penelitian

35 4.4 Nilai Fisika dan Kimia Perairan Pada Setiap Stasiun

Penelitian

40 4.5 Nilai Korelasi antara Faktor Fisika dan Kimia Perairan

dengan Jenis Makanan

46 4.6 Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor 47

(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Neolissochilus sumatranus 13

2.2 Tor soro 14

2.3 Tor douronensis 14

2.4 Tor tambroides 15

3.1 Sungai Ponot 18

3.2 Sungai Baturangin 19

3.3 Sungai Tangga 19

3.4 Sungai parhitean 20

3.5 Sungai Hula-Huli 20

4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak pada Stasiun 1 29 4.2 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak pada Stasiun 2 30 4.3 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak pada Stasiun 3 31 4.4 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak pada Stasiun 4 32 4.5 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak pada Stasiun 5 33 4.6 Spektrum Jenis Makanan Ikan Batak pada Stasiun 1 37 4.7 Spektrum Jenis Makanan Ikan Batak pada Stasiun 2 37 4.8 Spektrum Jenis Makanan Ikan Batak pada Stasiun 3 38 4.9 Spektrum Jenis Makanan Ikan Batak pada Stasiun 4 39 4.10 Spektrum Jenis Makanan Ikan Batak pada Stasiun 5 40

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

L-1 B Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 L-2

C Bagan Kerja kandungan Nitrat (NO3) L-3

D Bagan Kerja Analisis Fospat (PO43-

) L-4

E Peta Lokasi Penelitian L-5

F Analisis Data Hubungan Panjang Berat L-6

G Analisis Data Nilai Index of Propenderance – IP Setiap Jenis Makanan

L-11 H Gambar Hasil Pengamatan Terhadap Organisme Jenis

Makanan Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus)

L-16

I Foto Kerja L-17

J Hasil Analisis Korelasi antara Faktor Fisika dan Kimia Perairan dengan Jenis Makanan

L-18

K Perarturan Pemerintah No. 82/2001 L-20

(9)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI SUNGAI ASAHAN, SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di sungai Asahan, Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak, kualitas air sungai Asahan serta hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan elektrofishing dan jala serta isi lambung dianalisis dengan menggunakan metode volumetrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan batak memiliki pola pertumbuhan allometrik. Berdasarkan data analisis isi lambung didapatkan 38 jenis organisme, makanan utama ikan batak berdasarkan nilai index of preponderance (IP) adalah Cymbella (42,56%), Navicula (56,90%) dan Nitschia (47,09 %). Cymbella berkorelasi positif terhadap kecerahan, intensitas cahaya, DO dan BOD5 dan berkorelasi negatif dengan temperatur, arus, pH, NO3 dan PO4. Navicula berkorelasi positif terhadap arus, pH, DO, BOD5, NO3

dan PO4. dan berkorelasi negatif dengan temperatur, kecerahan dan intensitas cahaya. Nitzschia berkorelasi positif terhadap intensitas cahaya, temperatur, kecerahan, pH dan PO4 dan berkorelasi negatif terhadap arus, DO, BOD5 dan NO3. Hasil penelitian mengindikasikan, kondisi sungai Asahan secara relatif dalam keadaan baik dan mendukung pertumbuhan ikan.

Kata kunci : Neolissochilus sumatranus, kebiasaan makanan, index of preponderance (IP), Sungai Asahan

(10)

WATER QUALITY RELATIONSHIP AND FOOD HABITS OF BATAK FISH (Neolissochilus sumatranus) IN ASAHAN RIVER,

NORTH SUMATRA

ABSTRACT

The study of the water quality relationship and food habits of batak fish (Neolissochilus sumatranus) in Asahan river, North Sumatra was conducted. Aims of this research are to undesrtand the food habits of batak fish , the water quality of Asahan river and relationship between water quality and food habits of batak fish. Fish samples were caught by electrofishing and casnet and stomach content was analysis using volumetric method. Results showed that the batak fish have allometric growth patten. Based on the data of stomach content shown that 38 organism, the major food of batak fish based on index preponderance are Cymbella (42,56%), Navicula (56,90%) and Nitschia (47,09 %). Cymbella positively correlated with light penetration, light intensity, DO and BOD5 and negatively correlated with temperature,water current, pH, NO3 and PO4. Navicula positively correlated with water current, pH, DO, BOD5, NO3 and PO4 and negatively correlated with temperature, light penetration and light intensity.

Nitzschia positively correlated with light intensity, temperature, light penetration, pH and PO4 and negatively correlated with water current, DO, BOD5

and NO3. Indicating the condition of Asahan river is relatively in good condition and support fish growth as well.

Keywords : Neolissochilus sumatranus, Food habits, Index of preponderance, Asahan river

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki danau terluas yaitu Danau Toba yang mengalirkan airnya ke sungai Asahan.

Sungai Asahan digunakan sebagai tempat untuk pembangkit tenaga listrik dan juga berperan sebagai habitat bagi ikan yang khas bagi masyarakat Sumatera Utara. Salah satu ikan yang ditemukan di sungai Asahan dan anak sungai Asahan adalah ikan batak (Neolissochilus sumatranus).

Sungai Asahan merupakan perairan lotik yang mempunyai kecepatan arus yang tinggi. Secara geografis terletak pada 2056’46,2” LU dan 99051’51,4” BT dan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai ini mengalir dari mulut Danau Toba, melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Daerah ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi desa Porsea. Sungai Asahan sepanjang 150 km mengalirkan air keluar dari Danau Toba (Loebis, 1999).

Ada 4 jenis ikan batak yang ditemukan di Sungai Asahan yaitu : Neolissochilus sumatranus, Tor soro, Tor douronensis dan Tor tambroides. Ikan batak (Neolissochilus sumatranus) merupakan anggota Famili Cyprinidae dengan karakteristik morfologi lebar badan 3,1-3,5 kali lebih pendek dari panjang standard; memiliki 7-8 sisik di depan sirip punggung dan 4 baris pori-pori pada masing-masing sisi moncong dan dibawah mata; alur dibagian belakang sampai ke bibir bawah terputus dibagian tengah. Wilayah penyebaran ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di Indonesia ada di Sumatera (Kottelat et al., 1993).

Ikan batak memiliki nilai ekonomis dan budaya penting khususnya bagi suku batak. Ikan batak merupakan jenis ikan yang dimakan pada waktu upacara adat oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara. Ikan ini telah lama dipercaya mempunyai nilai khusus, baik sebagai obat berbagai penyakit yang tergolong berat maupun yang sulit disembuhkan. Selain itu ikan batak juga

(12)

dipercaya dapat membawa keberkahan dalam kehidupan. Oleh karena itu ikan batak digunakan untuk berbagai macam upacara adat, baik untuk perkawinan maupun pesta adat lainnya. Pada saat ini untuk mendapatkan ikan ini tidaklah mudah karena jumlahnya yang semakin berkurang. Ancaman yang sangat serius adalah karena kualitas habitatnya menurun terutama disebabkan oleh penggundulan yang mempertinggi kekeruhan air, pencemaran oleh zat kimia seperti pestisida, awetan kayu, dan perubahan aliran sungai (Tjahjo et al., 1995)

Ikan batak adalah ikan sungai yang tersebar luas di Sumatera Utara, sehingga kualitas air sungai sangat menentukan keberadaan ikan batak. Menurut Lloyd (1980), air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Kualitas air tidak hanya menentukan bagaimana ikan akan tumbuh tetapi juga bagaimana bertahan hidup. Air bukanlah hanya air saja, tetapi juga mengandung berbagai bahan kimia lain, apakah dalam bentuk yang larut atau dalam bentuk partikel.

Kualitas air sangat penting, tidak hanya untuk ikan tetapi juga untuk semua kehidupan yang ada di dalam perairan. Pada perairan alami, kualitas air mempengaruhi seluruh komunitas perairan (bakteri, tumbuhan air, ikan, plankton dan sebagainya). Beberapa parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, nitrogen-fosfat dan pH.

Populasi ikan di perairan ditentukan oleh faktor makanan yang tersedia.

Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi ikan tersebut antara lain jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Makanan yang telah digunakan oleh ikan tadi akan mempengaruhi pertumbuhan, kematangan bagi setiap individu ikan serta keberhasilan hidupnya.

Keberadaan makanan dalam perairan sungai sangat terpengaruh oleh kondisi biotik dan ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan (Effendie, 1997).

Populasi ikan batak yang cenderung menurun dapat menyebabkan berkurangnya populasi akhirnya dapat menyebabkan kepunahan. Strategi pengelolaan yang tepat diperlukan untuk menghindari kepunahan ikan batak.

(13)

Untuk pengembangbiakan ikan batak agar keberadaannya tetap terjaga baik di perairan umum maupun kolam masyarakat, perlu terlebih dahulu dilakukan kajian tentang lingkungannya seperti faktor fisika, kimia dan apa yang biasa dimakan (food habit) oleh ikan batak tersebut sehingga dapat dijadikan dasar dalam kajian pembudidayaannya. Untuk menggali informasi yang lebih mendalam maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus), aspek biologi yang meliputi hubungan panjang berat serta faktor kondisi dan kualitas perairan habitat ikan batak (Neolissochilus sumatranus)

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di Sungai Asahan?

2. Bagaimana kualitas perairan di Sungai Asahan?

3. Bagaimana hubungan antara kualitas perairan dengan kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus)?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di Sungai Asahan.

2. Untuk mengetahui kualitas perairan di Sungai Asahan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara kualitas perairan dengan kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus).

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di Sungai Asahan.

2. Memberikan informasi tentang kualitas perairan di Sungai Asahan.

3. Memberikan informasi tentang hubungan antara kualitas perairan dengan kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus).

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Sungai

Ekosistem sungai/lotik dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang berbentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithal, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona rithal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epirithal (bagian yang paling hulu), metarithal (bagian tengah dari aliran sungai di zona rithal). Setelah melewati zona hyporithal, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relief lebih landai dibandingkan dengan zona rithal. Zona potamal juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona potamal), metapotamal (bagian tengah) dan hypopotamal (bagian akhir dari zona potamal) (Barus, 2004)

Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara. Sungai ini mengalir dari Danau Toba, melintasi kota Tanjung Balai dan berakhir di teluk Nibung, Selat Malaka. Daerah aliran Danau Toba adalah suatu batasan daerah menurut kondisi topografi dimana semua air hujan yang turun di daerah tersebut akan mengalir ke dalam danau, atau disebut juga daerah Tangkapan Air (DTA) atau catchment area. Daerah aliran ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi Porsea dimana sungai Asahan sepanjang 150 Km mengalirkan air keluar dari danau sampai Selat Malaka, tepatnya di lokasi bendungan pengatur Siruar. Luas daerah aliran Danau Toba ini adalah 3.480 Km².

Daerah aliran Danau Toba selanjutnya akan disebut sebagai daerah aliran hulu sungai Asahan. Daerah aliran sungai asahan ini adalah suatu daerah yang dibatasi

(15)

secara topografi dimana semua air yang berasal dari curah hujan akan mengalir ke sungai Asahan. Batasan daerah aliran ini dimulai dari bendungan pengatur Siruar sampai ke hilir berbatasan dengan laut selat Malaka (Loebis, 1999)

2.2. Sifat Fisik dan Kimia Air

Air mempunyai fungsi sebagai media untuk ikan baik media internal maupun eksternal. Sebagai media internal, air berfungsi sebagai bahan baku untuk reaksi di dalam tubuh, pengangkutan bahan makanan keseluruhan tubuh, pengangkutan sisa metabolisme dan pengaturan atau penyangga suhu tubuh.

Fungsi eksternal air yaitu sebagai habitatnya. Oleh karena peranan air sangat esensial maka kualitas dan kuantitasnya pun harus dijaga sesuai kebutuhan ikan (Lloyd, 1980). Berikut ini beberapa sifat Fisik-Kimia air yang berperan menentukan kualitas perairan.

2.2.1. Temperatur

Boyd dan Kopler (1979) menyatakan di perairan tropis ikan akan tumbuh dengan baik pada kisaran temperatur 25-32 oC, tetapi ikan memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap temperatur.

Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, dimana apabila temperatur naik, maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan aktivitas metabolisme organisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat (Sastrawijaya, 1991). Temperatur air merupakan pembatas utama pada suatu perairan karena organisme akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan-perubahan temperatur. Menurut hukum Vant’s Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10 0C akan menaikkan metabolisme 2-3 kali lipat.

Akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang (Barus, 1996).

(16)

2.2.2. Kecerahan

Kecerahan air adalah bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya yang masuk dalam perairan. Kecerahan perairan juga dapat ditentukan karena adanya fitoplankton atau tumbuhan air lainnya yang terdapat dalam perairan. Kecerahan air dapat diukur apabila kedalaman tembus cahaya matahari ke dalam kolam minimum 40 cm. Pengukuran kecerahan dapat digunakan untuk menentukan besarnya produktifitas primer dalam perairan (Odum, 1994).

Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan “Secchi disk”. Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta posisi orang dalam melakukan pengukuran. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Kecerahan dapat dihubungkan dengan tipe kesuburan perairan. Cole (1983) menjelaskan perairan yang kecerahannya lebih 6 m merupakan kesuburan perairan oligotrofik, kecerahan antara 3-6 m disebut mesotrofik dan kurang dari 3m dikenal sebagai perairan eutrofik

2.2.3. Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme air dalam habitatnya. Apabila intensitas matahari berkurang, hewan ini akan dirangsang untuk melakukan gerakan lokomotif untuk keluar dari tempat perlindungannya yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan didasar perairan. Mereka akan bergerak menuju kebagian atas dari bebatuan tersebut yang merupakan tempat untuk mencari makan (Barus, 2004)

Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan ikan, cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan dan proses metabolisme. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari dalam kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et al., 1983).

Intensitas cahaya matahari menurun yang akan mempengaruhi proses fotosintesis salam suatu perairan dimana jumlah plankton dapat mengalami penurunan sehingga menyebabkan keterbatasan tersedianya nutrisi bagi ikan.

(17)

Selanjutnya cahaya juga mempengaruhi produktivitas ikan pada sungai.Ikan yang aktif pada siang hari (diurnal) biasanya mengambil makanan pada malam hari.

Ikan yang aktif pada malam hari (noktural) akan bergerak ke perairan yang dangkal. Organismenoktural pada intensitas cahaya maksimum dirangsang untuk melakukan gerakan untuk mencari perlindungan, sedangkan bagi organisme diurnal intensitas cahaya yang kuat akan memberikan reaksi sebaliknya, organisme tersebut akan melakukan berbagai aktivitas (Barus, 1996).

2.2.4. Arus

Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Sirkulasi arus pada permukaan perairan terutama disebabkan oleh adanya wind stress. Jadi arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri. Disamping itu arus juga dapat berdampak pada kandungan oksigen yang ada dalam air tersebut melalui proses difusi secara langsung dari udara. Pola arus dan asal arus diperairan umum (danau, sungai, dan resevoir) berbeda dengan di laut. Pada perairan umum yang mengalir (lotic system) misal sungai, air berasal dari tiga sumber, yaitu mata air, hujan, dan aliran permukaan. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yaitu gravitasi dan hambatan (friksi). Oleh karena itu, kekuatan arus di sungai tergantung pada letak daerahnya. Pada daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi, sedangkan di daerah hilir kecepatan arusnya menurun (Barus, 2004).

Menurut Hutabarat (2000), kecepatan arus di perairan umum yang tergenang (lentic water bodies) misal danau dan reservoir pada umumnya lebih rendah daripada kecepatan arus di laut ataupun sungai. Kecepatan arus di perairan danau atau reservoir dipengaruhi oleh angin dan kecepatan arus di perairan lentic sangat bervariasi, dan hal ini bukan faktor–faktor dalam pemilihan lokasi untuk budidaya kolam.

(18)

2.2.5 Derajat keasaman (pH)

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan.

Air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik umumnya berkisar antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1996).

Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi ketersediaan unsur hara serta toksisitas dari unsur renik (Barus, 2004). pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen (H+) di dalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentasi ion H, pH sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain ikan, organisme akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu. Sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme air (Rifai et al., 1983).

Organisme dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup oraganisme, karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004).

2.2.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen-DO)

Kelarutan Oksigen (DO) merupakan salah satu faktor terpenting dalam setiap sistem perairan yang diperlukan organisme untuk melakukan respirasi.

Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfir dan proses fotosintesis dan dari tumbuhan air lainnya. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen terlarut di suatu ekosistem

(19)

sungai dipengaruhi oleh faktor temperatur. Kelarutan oksigen dalam air akan meningkat apabila temperatur air menurun dan begitu juga sebaliknya (Michael, 1994).

2.2.7. Nitrat dan Fosfat.

Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-

, NO3-

dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80 % dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-

), ion nitrat (NO3-

), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+

) dan molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air (Chester, 1990).

Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, dan pemupukan Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat (Alaert et al., 1987).

Nitrogen dan Fosfor sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosisten air. Seperti diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur nitrogen dan fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air (Barus, 2004).

2.2.8. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Menurut Michael (1994), BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan buangan yang ada dalam air lingkungan. Pada umumnya air lingkungan atau air dalam mengandung mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, menguraikan bahan buangan organik. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh

(20)

mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Selanjutnya Michael (1994) menyatakan nilai konsentrasi BOD

5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O

2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.

2.3. Biota Perairan 2.3.1. Plankton

Plankton adalah jasad-jasad renik yang hidup melayang dalam air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus (Sachlan, 1982). Selanjutnya Sumich (1999) mengatakan bahwa plankton dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani). Menurut Thurman et al., (1984) dalam perairan Fitoplankton merupakan produsen primer (produsen utama dan pertama) sehingga keberadaan Fitoplankton dalam perairan mutlak adanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Sachlan (1982), Meadows dan Campbell (1993), dan Sumich (1999) bahwa Fitoplankton merupakan organisme berklorofil yang pertama ada di dunia dan merupakan sumber makanan bagi zooplankton sebagai konsumen primer, maupun organisme aquatik lainnya, sehingga populasi Zooplankton maupun populasi konsumer dengan tingkat tropik yang lebih tinggi secara umum mengikuti dinamika populasi fitoplankton.

Menurut Barus (2004) bahwa fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang membentuk rantai makanan.

Densitas atau kepadatan plankton dapat dijadikan sebagi indikator meningkatnya produktivitas perairan. Plankton merupakan penyumbang perairan, semakin banyak plankton maka semakin banyak jumlah ikan dan organisme

(21)

pemakan plankton, sehingga perairan tersebut menjadi produktif. Suhu yang tidak tinggi memungkinkan plankton untuk mendiami daerah ini, karena planton menyukai suhu yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Kadar pH, alkalinitas, CO2 bebas yang tinggi, menunjukkan bahwa pada perairan ini banyak mengandung ion karbonat dan bikarbonat, yang berguna sebagai bahan penyuplai nutrien dan bahan utama fotosintesis bagi plankton. Tingginya DO, mengakibatkan plankton mudah mendapat oksigen sebagai bahan dasar respirasi dalam aktivitasnya. Kecerahan yang sedang berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari. Plankton cenderung menyukai daerah yang penetrasi cahaya mataharinya sedang, agar aktivitas plankton berjalan secara optimal (Inansetyo et al., 1995).

2.3.2. Ikan

Ikan merupakan organisme vertebrata akuatik dan bernafas dengan insang.

Ciri-ciri umum dari golongan ikan adalah mempunyai rangka bertulang sejati dan bertulang rawan, mempunyai sirip tunggal dan berpasangan, mempunyai operculum yang menutup insang, tubuh ditutupi oleh sisik dan berlendir serta mempunyai bagian tubuh yang jelas antara caput (kepala), truncus (badan) dan caudal (ekor). Ukuran ikan bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar, bentuk tubuh berbentuk torpedo, pipih, dan ada yang berbentuk tidak teratur (Rifai et al., 1983).

Ikan mempunyai otak yang terbagi menjadi region-region, dan dibungkus dalam cranium (tulang kepala) yang berupa kartilago. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran semisirkularis sebagai organ keseimbangan.

Jantung berkembang baik, sirkulasi menyangkut aliran darah dari jantung melalui insang ke seluruh bagian tubuh lain, tipe ginjal pronefros dan mesonefros (Brotowidjoyo et al., 1995).

Salah satu ciri khas ikan yaitu letak vertikal sirip yang sama. Ikan memiliki pola adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan, baik terhadap faktor fisik maupun faktor kimia lingkungan seperti pH, DO, kecerahan,

(22)

temperatur. Hal ini sangat penting bukan saja untuk mendapatkan makanan, tetapi juga untuk menyelamatkan diri dari hewan-hewan predator (Nybakken, 1992).

2.4. Ikan Batak

Ikan batak merupakan ikan air tawar yang banyak ditemukan hidup di sekitar sungai-sungai di Kabupaten Tapanuli Utara dan Simalungun termasuk Sungai Asahan. Ikan yang mempunyai bentuk tubuh yang khas banyak di konsumsi oleh masyarakat sekitar terutama karena rasa dagingnya yang gurih yang disukai oleh banyak orang sehingga ikan ini relatif mahal. Kottelat et al., (1993) menyatakan yang dimaksud dengan ikan Batak adalah Tor sp. dan jenis yang lainnya yang mirip dan hidup di Sungai Asahan adalah Neolissochilus sp.

Ikan batak terdiri dari dua genera yaitu Neolissochilus dan Tor yang termasuk dalam famili Cyprinidae, ordo Cypriniformes.

2.4.1. Sistematika Ikan Batak

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Neopterygii Order : Cypriniformes Superfamily : Cyprinoidea Family : Cyprinidae Genus : Neolissochilus

Spesies : Neolissochilus sumatranus (Kottelat et al., 1993).

2.4.2. Ciri Morfologi Ikan Batak 2.4.2.1. Neolissochilus sumatranus

Menurut Kottelat et al., (1993) Neolissochilus spp merupakan ikan-ikan yang sebagian jenisnya terancam punah karena habitatnya yang terganggu dan

(23)

penangkapan yang berlebihan. Karakteristik morfologi Neolissochilus sumatranus ialah mempunyai lebar badan 3,1 -3,5 kali lebih pendek dari panjang standard; 7-8 sisik di depan sirip punggung; 4 baris pori-pori (masing-masing memilki tubus yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan dibawah mata; alur dari bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah.

Gambar 2.1. Neolissochilus sumatranus

2.4.2.2. Tor soro

Tor soro memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di atas warna hitam, dan putih terletak pada bagian bawah ikan, warna-warna itu semuanya memanjang mulai dari bagian depan sampai ke bagian pangkal ekor. Jenis sirip ekor ikan batak (Tor soro) tergolong sirip bercagak (Homocercal), jenis sirip punggung sirip tunggal berjari-jari dengan badan berbentuk pipih tegak dengan tipe sisik sikloid, jenis mulut tergolong sub-terminal, dimana di atas mulut terdapat kumis yang panjang berjumlah dua pasang (Simanjuntak, 2002). Ikan batak (Tor soro) Tidak memiliki tonjolan di ujung rahang bawah, bibir bawah tanpa celah di tengah, jari-jari terakhir sirip dubur tidak mengeras dan sirip dubur lebih pendek dari sirip punggung (Kottelat et al., 1993).

(24)

Gambar 2.2. Tor soro 2.4.2.3. Tor douronensis

Tor douronensis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kepala simetris, sirip punggung terdiri dari 1 jari-jari keras licin dan 8 jari-jari lemah bercabang, sirip dubur dengan 5 jari-jari lemah bercabang, mata tidak berkelopak, mempunyai 4 helai sungut mengelilingi mulut, (Saanin, 1968). Cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut, ada tonjolan di ujung rahang bawah, bagian jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong (Kottelat et al., 1993).

Gambar 2.3. Tor douronensis 2.4.2.4. Tor tambroides

Tor tambroides mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: terdapat sebuah cuping dipertengahan bibir bawah yang mencapai ujung mulut, memiliki jari-jari sirip punggung yang licin, kepala tidak berkerucut, serta antara garis rusuk dan sirip punggung terdapat tiga setengah baris sisik (Kottelat et al., 1993).

(25)

Gambar 2.4. Tor tambroides

2.5. Aspek Biologi Ikan 2.5.1. Makanan

Makanan mempunyai fungsi penting dalam kehidupan suatu organisme.

Suatu organisme dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang karena adanya suplai energi yang berasal dari makanan. Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, makanan yang mudah didapat dan waktu pengambilana makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Makanan yang telah digunakan akan mempengaruhi sisa persediaan makanan dan sebaliknya dari makanan yang diambil akan mempengaruhi pertumbuhan, kematangan bagi tiap- tiap individu ikan serta keberhasilan hidupnya (survival). Ketersediaan makanan dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik seperti tersebut diatas dapat juga dipengaruhi oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie, 2002).

Makanan yang ada di perairan tidak semua jenisnya dimakan oleh ikan. Ada beberapa faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu makanan. Faktor tersebut antara lain : ukuran makanan, warna makanan, serta selera makan ikan.

Jumlah makanan yang dibutuhkan tergantung pada kebiasaan makan, nilai konversi makanan serta suhu dan kondisi umum spesies ikan (Zonneveld et al., 1991).

Pada umumnya makanan yang pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya ialah plankton. Berdasarkan jenis makanannya

(26)

ikan secara umum dapat digolongkan kedalam 3 golongan yaitu : (1). Karnivora : pemakan daging yang biasanya mempunyai usus pendek, (2). Omnivora : pemakan daging dan tumbuhan, mempunyai usus yang sedang, (3). Herbivora : pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang sangat panjang melingkar- lingkar di dalam rongga perutnya (Effendie, 2002).

Menurut Nikolsky (1963), makanan ikan terdiri atas makanan utama, yaitu makanan yang dimakan dalam jumlah besar; makanan pelengkap, yaitu makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan dalam jumlah sedikit; dan makanan tambahan yaitu makanan yang terdapat dalam saluran pencernaan dalam jumlah sangat sedikit. Studi makanan dapat memperlihatkan secara detail hubungan ekologis diantara organisme-organisme. Pengetahuan dasar tentang makanan ikan maupun kebiasaan makannya dipandang sangat penting sebagai dasar pengembangan perikanan terutama perikanan darat. Kebiasaan makanan (feeding habits) adalah tingkah laku ikan saat mengambil dan mencari makanan.

Analisa makanan dan kebiasaan makanan dilakukan melalui pengamatan isi lambung dan usus.

2.5.2. Hubungan Panjang-Berat

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran individu, biasanya pertumbuhan diukur dalam satuan panjang, berat dan atau energi. Hubungannya dengan waktu, pertumbuhan didefinisikan sebagai ukuran rata-rata ikan pada waktu tertentu (pertumbuhan mutlak) dan perubahan panjang atau berat pada awal periode (pertumbuhan nisbi). Hubungan panjang dan berat ikan memberikan suatu petunjuk tentang keadaan ikan. Studi hubungan berat panjang dan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan mengubah nilai panjang ke dalam berat ikan atau sebaliknya ( Effendie, 1979).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan luar. Faktor- faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, diantaranya ialah keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit. Dalam suatu kultur, faktor keturunan mungkin dapat

(27)

dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari ikan yang baik pertumbuhannya. Di alam tidak ada kontrol yang dapat diterapkan termasuk juga faktor seks tidak dapat dikontrol. Ada ikan betina pertumbuhannya lebih baik dari ikan jantan dan sebaliknya ada pula spesies ikan yang tidak mempunyai pertumbuhan pada ikan betina dan ikan jantan. Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali kiranya mempengaruhi pertumbuhan yaitu kecepatan pertumbuhan menjadi sedikit lambat. Sebagian dari makanan yang dimakan tertuju kepada perkembangan gonad. Pembuatan sarang, pemijahan penjagaan keturunan membuat pertumbuhan tidak bertambah karena pada waktu tersebut pada umumnya ikan tidak makan. Setelah periode tersebut ikan mengembalikan lagi kondisinya dengan mengambil makanan tersebut sedia kala Effendie (1979)

Pertambahan ukuran baik dalam panjang atau dalam berat biasanya diukur dalam waktu tertentu. Hubungan pertambahan ukuran dengan waktu bila digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram dikenal dengan nama kurva pertumbuhan. Hubungan panjang dan berat ikan memberikan suatu petunjuk tentang keadaan ikan. Analisa hubungan panjang dan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan untuk mengubah nilai panjang kedalam berat ikan atau sebaliknya (Rifai et al., 1983).

2.5.3. Faktor Kondisi

Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan adalah faktor kondisi atau indeks ponderal. Sering pula disebut faktor K. Faktor ini menunjukkan keadaan balik dari ikan yang dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi.

Dalam penggunaanya secara komersil, kondisi ini memiliki arti kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan atau dimakan. Jadi kondisi disini berarti memberikan keterangan secara biologis maupun komersial.

Selama dalam masa pertumbuhan, tiap pertambahan berat material ikan akan bertambah panjang dimana perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini, berat ikan yang ideal dianggap sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan berlaku untuk ikan kecil maupun besar ( Effendie, 1997).

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Metode penentuan stasiun pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Random Sampling yaitu penentuan stasiun dengan menggunakan faktor ekologi sebagai pertimbangan utama. Penelitian ini dilaksanakan di sungai Asahan beserta anak sungai Asahan yang terletak di provinsi Sumatera Utara.

Survey pendahuluan (orientase) dilaksanakan pada 30 Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan pada 12 – 15 November 2012. Identifikasi jenis makanan dilakukan pada bulan Januari 2012, di LIDA, MIPA, USU.

Lokasi penelitian dibagi menjadi 5 stasiun, yaitu:

Stasiun 1 : Stasiun ini terletak di bawah air terjun sungai Ponot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 0203317,3” LU – 09901823,8” BT. Banyak terdapat bebatuan, aliran air kecil serta air jernih dengan vegetasi pohon-pohon besar dan semak di tepi sungai.

Gambar 3.1. Sungai Ponot

Stasiun 2 : Stasiun ini terletak di aliran air sungai Baturangin, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada

(29)

0203306,6” LU – 09901853,7” BT. Daerah ini merupakan bekas kawasan pertambangan batu dengan banyaknya batuan dan vegetasi semak di tepi sungai, dangkal, aliran air deras serta air jernih.

Gambar 3.2. Sungai Baturangin

Stasiun 3 : Stasiun ini terletak di sungai Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 0203334,3” LU – 09901836,7” BT. Daerah ini merupakan pertemuan aliran sungai Ponot dan sungai Baturangin dengan banyaknya batuan dan aliran air deras serta air jernih.

Pada daerah ini terdapat Power house PLTA Inalum. Vegetasi didominasi pohon- pohon besar, dan semak di tepi sungai.

Gambar 3.3. Sungai Tangga

Stasiun 4 : Stasiun ini terletak di sungai Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 0203353,0” LU

(30)

– 09902005,9” BT. Daerah ini merupakan sungai utama dengan banyaknya batuan dan aliran air sangat deras, batuan di tepi sungai serta bersedimen lumpur, vegetasi pohon besar dan herba. Daerah ini dekat dengan kawasan pemukiman penduduk.

Gambar 3.4. Sungai Parhitean

Stasiun 5 : Stasiun ini terletak di aliran air sungai Hula-Huli, Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Toba Samosir, yang secara geografis terletak pada 0203358,0” LU – 0990221,3” BT. Daerah ini merupakan aliran air sungai Parhitean dengan banyaknya batuan di tepi dan aliran air deras serta air jernih.

Pada daerah ini terdapat perkebunan sawit sebelah kanan dan sebelah kiri terdapat hutan.

Gambar 3.5. Sungai Hula-huli

(31)

3.2. Prosedur Kerja

3.2.1. Pengambilan sampel ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan pada lima stasiun pengambilan sampel dengan menggunakan alat electrofishing dengan kekuatan 24 Volt dan arus 18 Ampere. Electrofishing dioperasikan selama 30 menit pada pinggiran sungai. Metoda ini dapat mencapai 50 meter selama 30 menit.

Electrofhising bertujuan untuk mengumpulkan nekton dalam jumlah tertentu yang efektif digunakan di perairan mengalir, walaupun pada kasus tertentu dapat juga digunakan di perairan yang tenang. Beberapa jenis elektrofhising cukup kecil dan ringan untuk digunakan seperti membawa tas punggung, namun ada juga jenis tertentu yang berat sehingga harus dibawa oleh 2-3 orang, dengan menggunakan generator sebagai sumber listrik (Lagler, 1972).

Selain itu penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala tebar berjari-jari 200 cm dengan mata jala 1,5 cm. Penangkapan ikan dengan menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan menduga keberdaan ikan.

3.2.2. Penanganan dan Pengukuran Ikan

Ikan yang tertangkap diukur panjang total dan beratnya. Panjang total diukur dengan menggunakan penggaris yang dimulai dari bagian ujung kepala sampai bagian paling ujung dari sirip ekor, sedangkan berat ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 1 gram.

Sampel yang sudah ditandai selanjutnya di diawetkan dengan cara direndam secara bertahap pada larutan alkohol 5% (10 menit), 10% (10 menit), 20% (10 menit), 40% (10 menit) dan penyimpanan akhir dalam larutan alkohol 75%.

3.2.3. Analisis Kebiasaan Makanan (Food Habit)

Ikan dibedah dengan menggunakan gunting bedah mulai dari anus menuju bagian atas perut secara horizontal sampai bagian belakang sirip perut dan menuju ke dasar perut. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ lainnya dan dimasukkan

(32)

ke dalam botol sampel untuk diawetkan dengan formalin 4%. Sampel ini dibawa ke laboratorium untuk dianalisis di Laboratorium Biologi.

Identifikasi jenis-jenis makanan dilakukan di LIDA Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Saluran pencernaan ikan yang telah diawetkan, dipisahkan terlebih dahulu antara usus dan lambungnya. Usus ikan yang telah dipisahkan, diukur panjangnya dengan menggunakan penggaris. Untuk mengetahui jenis-jenis makanan yang dimakan oleh ikan batak, dilakukan hal sebagai berikut: melakukan pembedahan lambung untuk mengambil isinya dan meletakkannya pada cawan petri. Selanjutnya mengelompokkan berdasarkan jenisnya dan melakukan pengukuran volume masing-masing kelompok tersebut.

Pengukuran volume dilakukan menggunakan gelas ukur, dengan cara mengisi gelas ukur dengan aquades sampai 1 ml, memasukkan jenis makanan yang telah dikelompokkan ke dalam gelas ukur dan mencatat penambahan volume yang dihasilkan. Pengukuran volume ini dilakukan pada setiap kelompok jenis makanan, untuk kemudian mengakumulasi volume total semua kelompok makanan dan menghitung persentase masing-masing kelompok jenis makanan.

Untuk memperjelas tampilan, organisme tersebut diamati dibawah mikroskop (Efendie, 1979) Identifikasi jenis – jenis makanan dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Sachlan (1982) dan Borror (1996)

3.2.4. Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan

Menurut Barus (2004) faktor fisika dan kimia perairan dapat diukur dengan cara :

A. Temperatur air (0C) diukur dengan termometer merkuri, yakni dengan cara mencelupkan termometer kedalam sampel air 10 menit lalu dibaca skala temperaturnya.

B. Derajat Keasaman diukur dengan pH meter dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel air kemudian dibaca angka yang tertera.

C. Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping secchi, dengan cara menenggelamkan keping secchi kedalam air hingga batas kenampakan

(33)

keeping secchi. Kemudian diukur kedalam penetrasi cahaya dengan cara menghitung jumlah bulatan pada tali yang masing-masing berjarak 20 cm.

D. Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan Lux meter.

E. Pengukuran arus air dengan menggunakan bola pingpong dengan menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu (10 m) di permukaan air, dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut.

F. DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI.

Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Selanjutnya mengambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru.

Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening, volume natrium thiosulfat yang terpakai merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air sampel.

G. Pengukuran BOD5 dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan diukur nilai BOD5 dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari pada temperatur konstan 20 0C kemudian setelah 5 hari dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik

(34)

secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Selanjutnya mengambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening, volume natrium thiosulfat yang terpakai yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air sampel. Selisih nilai DO yang diperoleh antara saat awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD5

dari sampel air tersebut.

H. Kandungan Nitrat. Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl selanjutnya ditambahkan 5 ml H

2SO

4 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95 0C kemudian didinginkan selanjutnya kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 410 nm.

I. Kandungan Fosfat. Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml selanjutnya ditambahkan 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi Posfat dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 880 nm.

(35)

Tabel. 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan

No Parameter Alat Satuan Keterangan

1 Fisik

Temperatur Termometer Air raksa

0C In-situ

Kecerahan Keping secchi Cm In-situ

Arus air Intensitas Cahaya

Bola Luxmeter

m/s Candella

In-situ

In-situ

2 Kimia

pH pH meter - In-situ

DO DO meter mg/l In-situ

BOD5 Botol Winkler mg/l Ek-situ

Nitrat Spektrofotometer mg/l Ek-situ

Fosfat Spektrofotometer mg/l Ek-situ

3 Biologi

Ikan Mistar ketelitian

1 mm

In-situ

Timbangan Digital

ketelitian 1 gr

In-situ

3.3. Analisis Data

3.3.1. Analisis Hubungan Panjang-Berat

Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Untuk mencari hubungan antara panjang total ikan dengan beratnya digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Effendie, 1997):

W = a Lb

atau

Log W = Log a + b (Log L) Keterangan :

W = berat total ikan (g) L = panjang total ikan (mm) a dan b= konstanta hasil regres

(36)

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu bila b=3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat). Bila b ≠ 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu bila b > 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang). Bila b <3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik negatif (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat) (Effendie, 1997).

3.3.2. Faktor Kondisi

Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Apabila pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus (Effendie, 1997) :

Keterangan : K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)

Ikan yang mempunyai pertumbuhan bersifat allometrik apabila b ≠3, maka persamaan yang digunakan adalah :

Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) a dan b = Konstanta dari regresi

(37)

3.3.3. Kebiasaan Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar atau Index Of Preponderance (IP) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Persentase frekuensi kejadian suatu jenis makanan dihitung berdasarkan jumlah kejadian ditemukannya suatu jenis organisme makanan pada lambung ikan. Rumus Index Of Preponderance (IP) oleh Natarajan dan Jhingran dalam Effendie, 1979) adalah:

Keterangan :

IP = Index Of Preponderance (Indeks Bagian Terbesar) Vi = Persentase volume satu macam makanan (%),

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%), ∑Vi Oi = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan

Berdasarkan nilai IP, Nikolsky (1963) membedakan makanan ikan ada tiga golongan, yaitu :

a. Makanan utama, jika nilai IP > 40%,

b. Makanan pelengkap, jika nilai IP 4 – 40 %, dan c. Makanan tambahan, jika nilai IP < 4 %.

3.3.4. Analisis korelasi (r) antara faktor fisika dan kimia lingkungan dengan jenis makanan

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui keberartian hubungan antara jenis makanan yang dimakan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) yang terdapat di Sungai Asahan dengan sifat fisika-kimia airnya.

Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS ver. 16.00 (Santoso, 2008).

(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Panjang-Berat

Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui melalui hubungan panjang total (mm) dan berat total (g), selanjutnya berdasarkan hubungan panjang-berat ikan tersebut diperoleh nilai b. Nilai b adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Nilai yang diperoleh dari perhitungan panjang dan berat adalah informasi mengenai dugaan berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan serta perubahan dari lingkungan (Effendie 1997).

Hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun pengambilan sampel terlihat pada Tabel 4.1. Besaran nilai b setiap stasiun bervariasi dengan kisaran b = 2,9922-3,2213 dengan R2 = 0,826 - 0,959. Berdasarkan nilai b yang diperoleh pada 5 stasiun penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) adalah pertumbuhan allometrik yang berarti pertumbuhan panjang ikan tidak seimbang dengan beratnya.

Tabel 4.1. Hubungan panjang dan berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun penelitian.

Stasiun n a b R2 Tipe

pertumbuha n Sungai Ponot 18 7.10-6 3,0876 0,959 Allometrik (+) Sungai Batu Rangin 21 2. 10-6 3,3070 0,826 Allometrik (+) Sungai Tangga 16 3. 10-6 3,2213 0,886 Allometrik (+) Sungai Parhitean 14 1. 10-5 2,9722 0,953 Allometrik (-) Sungai Hula-Huli 13 5. 10-6 3,1600 0,947 Allometrik (+)

(39)

-

Gambar 4.1. Hubungan Panjang -Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 1

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 1 yaitu sungai Ponot dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n = 18 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,154 + 3,0876 Log L, dengan nilai b = 3,0876 dan R2 = 0,959. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.959, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 95,9%.

Sedangkan sisanya 4,1% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 7.10-6L3,0876 R² = 0.959

n = 18

0.05.0 10.015.0 20.0 25.030.0 35.040.0 45.0 50.055.0

0 50 100 150 200

Berat (g)

Panjang (mm)

(40)

Gambar 4.2.. Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 2

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 2 yaitu sungai Batu Rangin dapat dilihat pada Gambar 4.2. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 21 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,555 + 3,3070 Log L dengan nilai b = 3,3070 dan R2 = 0,826. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0,826, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 82,6%.

Sedangkan sisanya 17,4% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 2.10-6L3,3070 R² = 0.826

n = 21

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

0 20 40 60 80 100 120 140

Berat (g)

Panjang (mm)

(41)

Gambar 4.3. Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 3

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 3 yaitu sungai Tangga dapat dilihat pada Gambar 4.3.. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 16 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,4527 + 3,2213 Log L dengan nilai b = 3,2213 dan R2 = 0,886. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.886, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 86,6%.

Sedangkan sisanya 13,4% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 3.10-6L3,2213 R² = 0.886

n = 16

-20 0 20 40 60 80 100

0 50 100 150 200 250

Berat (g)

Panjang (mm)

Gambar

Gambar 2.1. Neolissochilus sumatranus
Gambar 2.3. Tor douronensis   2.4.2.4. Tor tambroides
Gambar 2.4. Tor tambroides
Gambar 3.1. Sungai Ponot
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah calon penyedia barang/jasa yang telah mendaftar mengikuti lelang Pengadaan barang modal peralatan dan mesin KPP Pratama Ciamis tahun anggaran 2012

mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu…&#34; (Al-Maidah: 49).. Sistem

Dimana pesan kesehatan ini dapat dipublikasikan melalui iklan berbentuk animasi yang dapat disimak oleh semua masyarakat dengan waktu yang

[r]

Dengan menggunakan Aplikasi Waktu Shalat ini maka sudah tidak perlu lagi mencocokkan Waktu Shalatnya setiap hari, karena Aplikasi ini secara automatis akan mencocokkan waktunya

[r]

Dengan menggunakan pemrograman Asymetrix Toolbook II Instructur 5.0 , dapat membantu para pengguna Honda dapat dengan cepat dan mudah untuk mendapatkan informasi produk Honda

Berbeda dengan teori klasik yang menganggap permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja selalu seimbang (equilibrium) karena harga-harga fleksibel, maka menurut Keynes pasar