• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODE PENELITIAN

4.2.1. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Perairan

Sebaran vertikal suhu dan salinitas selama penelitian memperlihatkan tidak adanya stratifikasi suhu dan salinitas sampai kedalaman inkubasi dengan intensitas cahaya 1% (zona fotik). Kondisi ini menunjukkan bahwa kedalaman tercampur (mixing depth) lebih besar dari kedalaman fotik atau Zmix : Zeu > 1. Hal ini menggambarkan bahwa pada kondisi cahaya yang kurang baik, fitoplankton akan terangkut ke kedalaman air dimana penyinaran di bawah batas minimum untuk fotosintesis bersih, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang rendah (Damar 2003). Sejalan dengan Gallegos dan Platt (1985) diacu dalam Mallin dan Paerl (1992) bahwa kondisi di atas menghasilkan pencampuran yang cukup kuat sampai ke kedalaman lapisan tercampur, sehingga fitoplankton akan beradaptasi terhadap intensitas cahaya yang rendah karena terangkut ke kedalaman yang lebih dalam yaitu lapisan tercampur. Menurut Grobbelat (1985) diacu dalam Alpine dan Cloern (1988) bahwa di perairan estuari maupun danau dinamika populasi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh perbandingan Z : Z , ketika kedalaman eufotik kurang dari 16% atau lebih rendah dari kedalaman tercampur maka pertumbuhan fitoplankton tidak dapat ditopang.

58 Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh selama penelitian, berturut-turut yaitu 28,9-30,4oC dan 20,75-30,18o/oo merupakan kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton. Menurut Sachlan (1982) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan berkisar antara 20-30oC. Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu, peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi yaitu antara 25-40oC. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk komunitas fitoplankton (Harper 1992). Nilai salinitas yang sesuai bagi pertumbuhan fitoplankton seperti yang dikemukakan Sachlan (1982) bahwa plankton laut biasanya dijumpai pada salinitas 20 promil. Kondisi ini memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri di samping aktif melaksanakan proses fotosintesis.

Besarnya intensitas cahaya matahari yang sampai ke permukaan perairan selama penelitian mengikuti pola harian yaitu terjadi peningkatan intensitas cahaya di pagi hari dan mencapai puncak sekitar tengah hari dan menurun kembali pada waktu sore harinya. Besarnya intensitas cahaya selama penelitian dalam waktu pengamatan yang sama menunjukkan nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi awan selama pengamatan sehingga mempengaruhi besar kecilnya intensitas yang mencapai permukaan. Sejalan dengan Valiela (1995) bahwa awan akan mengurangi radiasi yang sampai di permukaan perairan dan beberapa energi matahari akan hilang oleh penghamburan (scattering) dan refleksi pada permukaan perairan. Selain itu menurut Parson et al. (1984) bahwa intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh letak lintang daerah yang diamati yang tentunya berpengaruh terhadap ketinggian matahari terhadap suatu permukaan.

Besarnya penetrasi cahaya permukaan yang kemudian akan mempengaruhi ketersediaan cahaya, tergantung pada tingkat kecerahan di perairan. Besarnya bagian cahaya yang berkurang dengan bertambahnya kedalaman dapat dilihat dengan menentukan nilai koefisien peredupan. Nilai koefisien peredupan selama penelitian berkisar antara 0,80-2,00 per meter, lebih rendah dari penelitian Abida (2008) di perairan pantai Selat Madura yaitu berkisar 1,41-2,97 per meter dan

penelitian Madubun (2008) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta yaitu berkisar 0,52-2,78 per meter.

Dari hasil penelitian, nilai koefisien peredupan memperlihatkan penurunan ke arah laut. Hal yang sama terjadi pada perairan lainnya seperti perairan pesisir Maros (Tambaru 2008) dan Teluk Jakarta (Damar 2003). Keduanya mencatat bahwa nilai k pada perairan tersebut mengalami penurunan dengan semakin jauhnya stasiun dari daratan. Kondisi ini terjadi karena beban dari sungai yang membawa partikel organik dan anorganik terlarut maupun tersuspensi serta pencampuran massa air secara vertikal memegang peranan penting dalam meningkatkan koefisien peredupan di stasiun atas teluk (teluk bagian dalam) dan mengalami penurunan dengan semakin jauhnya stasiun dari muara sungai. Menurut Kirk (1994) bahwa peredupan cahaya di kolom air disebabkan oleh fitoplankton, partikel-partikel lain, bahan organik terlarut dan perairan itu sendiri. Pada perairan pesisir yang dangkal, bahan resuspensi akan memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peredupan cahaya khususnya pada kondisi angin yang kencang (Campbell dan Spinrad 1987 diacu dalam Nielsen et al.

2002).

Berdasarkan distribusi vertikal, intensitas cahaya memperlihatkan penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman. Penurunan intensitas cahaya ini dipengaruhi oleh besar kecilnya koefisien peredupan, sehingga walaupun nilai intensitas cahaya pada kedalaman 100% intensitas cahaya (0 meter) sama, namun pada kedalaman berikutnya nilai intensitas akan bervariasi. Selain itu besar kecilnya nilai koefisien peredupan akan mempengaruhi seberapa dalam kedalaman fotik atau kedalaman dimana intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan.

Besarnya nilai koefisien peredupan berbanding lurus dengan kekeruhan dan TSS serta berbanding terbalik dengan kecerahan. Hal ini diperkuat dari analisis korelasi Parson, nilai koefisien peredupan berkorelasi positif terhadap kekeruhan dan TSS, sehingga peningkatan nilai kekeruhan dan TSS akan meningkatkan nilai koefisien peredupan. Sedang nilai koefisien peredupan berkorelasi negatif terhadap kecerahan, sehingga peningkatan nilai kecerahan akan menurunkan nilai koefisien peredupan. Seperti yang dikemukakan oleh Kirk

60 (1994) bahwa besarnya nilai koefisien peredupan secara vertikal merupakan fungsi dari penyerapan (absorption) dan penghamburan (scattering) cahaya oleh partikel tersuspensi dan terlarut di air, dimana kekeruhan merupakan ukuran dari penghamburan, dan cahaya yang dihamburkan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya. Sehingga pada kasus pada perairan Darling di Bourke dijumpai koefisien penghamburan yang lebih besar dari koefisien penyerapan, kondisi seperti ini menyebabkan koefisien peredupan lebih berkorelasi dengan kekeruhan (Oliver 1990 diacu dalam Cloern 1987). Hubungan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi koefisien peredupan dan besarnya penetrasi cahaya dari ukuran nilai kekeruhan.

Secara umum konsentrasi unsur hara yang diperoleh selama penelitian menunjukkan konsentrasi yang tinggi pada bagian atas teluk (bagian dalam teluk). Hal ini disebabkan adanya peranan air tawar yang mengalirkan unsur hara dari sumber-sumber di daratan. Sumber tersebut berasal dari aktivitas manusia baik limbah rumah tangga, pertanian, pertambakan maupun industri, selain itu kegiatan pengerukan juga turut memberikan sumbangan terhadap beban masukan tersebut. Selain itu unsur hara tersebut memperlihatkan kecenderungan menurun ke arah laut (mulut teluk). Hal ini terjadi sebagai akibat dari pengenceran air sungai oleh air laut. Fenomena ini merupakan hal yang umum terjadi pada perairan pantai atau teluk, yang memperoleh masukan dari air sungai.

Konsentrasi unsur hara DIN (nitrogen anorganik terlarut), DIP (fosfat anorganik terlarut) dan silikat memperlihatkan nilai yang tinggi pada daerah dengan salinitas rendah (stasiun atas teluk) dan menurun dengan bertambahnya salinitas. Berdasarkan analisis korelasi Pearson unsur hara DIN dan DIP menunjukkan korelasi yang kuat sedang unsur hara silikat menunjukkan korelasi yang lemah, namun ketiga unsur hara tersebut memperlihatkan korelasi negatif terhadap salinitas. Hal ini merupakan hubungan yang umum terjadi, disebabkan oleh pengaruh pengaliran air tawar yang banyak membawa unsur hara dari daratan, sehingga akibat dari pengaliran air tawar tersebut menyebabkan nilai salinitas menjadi rendah dengan konsentrasi unsur hara yang tinggi. Sejalan dengan Nielsen et al. (2002) bahwa terdapat korelasi yang kuat antara salinitas dan konsentrasi nitrogen dan fosfor, dimana limpasan (runoff) dari daratan

memberikan kontribusi yang nyata terhadap besarnya unsur hara di estuari. Sehingga tingginya konsentrasi unsur hara menyebabkan tingginya biomassa fitoplankton dan rendahnya kedalaman secchi.

Walaupun distribusi unsur hara memperlihatkan kecenderungan menurun ke arah laut, namun nilai yang diperoleh menunjukkan variasi yang relatif kecil. Hal ini diperkuat dengan analisis sidik ragam (ANOVA) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara stasiun dari unsur hara tersebut, kecuali unsur hara nitrat. Hal ini disebabkan oleh gerakan pasang surut, angin dan arus sungai sehingga menyebabkan gerakan mengaduk dan menyebarkan unsur hara ke seluruh bagian perairan teluk. Berdasarkan analisis korelasi Pearson terjadi korelasi negatif dan kuat antara unsur hara nitrat dan ortofosfat dengan kecepatan

arus pada taraf kepercayaan 0,01 (Pearson berturut-turut adalah -0,761 dan -0,575). Seperti yang dikemukakan oleh Cloern (1987) bahwa pada daerah estuari

atau pesisir proses pencampuran disebabkan oleh pasang surut, angin dan arus sungai. Sedang distribusi unsur hara secara vertikal pada semua stasiun penelitian juga memperlihatkan variasi yang relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi unsur hara menyebar hampir seragam pada semua kolom perairan di semua stasiun penelitian. Kondisi ini disebabkan oleh adanya pencampuran massa air secara vertikal sehingga unsur hara juga terdistribusi merata secara vertikal.

Berdasarkan hasil perbandingan unsur hara nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan fosfat anorganik terlarut (DIP) selama penelitian, memperlihatkan nilai yang lebih rendah dari 16. Dengan nilai rasio seperti ini, maka konsentrasi DIN diketegorikan sebagai faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sejalan dengan pernyataan Valiela (1984) bahwa dengan adanya perubahan rasio N:P yang mengalami penurunan ke arah laut, menyebabkan DIN menjadi unsur hara pembatas. Pada kasus nitrogen sebagai unsur hara pembatas di perairan didukung oleh fakta bahwa rasio N anorganik terlarut terhadap P anorganik terlarut biasanya jauh di bawah rasio Redfield pada daerah-daerah perairan pesisir (Redfield 1958, Ryther dan Dustan 1971 diacu dalam Nielsen et al. 2002).

62 4.2.2. Faktor Biologi yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Fitoplankton

Fitoplankton dalam bentuk jasad renik, memegang peranan yang penting dalam ekosistem perairan laut, disebabkan kedudukan dari fitoplankton sebagai dasar dalam rantai makanan (Ryther 1969 diacu dalam Hoong-Gin et al. 2000). Selain itu kehadiran dari fitoplankton di perairan juga dapat memberikan informasi tentang ukuran kemampuan perairan dalam mendukung kehidupan organisme di dalamnya.

Secara umum dari hasil penelitian di perairan Teluk Kendari, genera

Chaetoceros sp., Rhizosolenia sp., Coscinodiscus sp. dan Thallasiosira sp. merupakan kelas dari Bacillariophyceae, dimana genera tersebut merupakan genera yang paling sering dijumpai dengan kelimpahan yang tinggi di perairan Teluk Kendari baik secara horizontal ke arah laut (mulut teluk) maupun secara vertikal. Sedang dari kelas Dinophyceae dijumpai dari genera Ceratium sp. dan

Peridinium sp.

Berlimpahnya kelas Bacillariophyceae terutama genus Chaetoceros sp. diduga karena kemampuan dari genus tersebut yang mampu menunjukkan pertumbuhan yang baik terhadap kondisi rasio unsur hara yang rendah (N sebagai pembatas) yang dijumpai selama penelitian, hal ini sejalan dengan penelitian Lagus at al. (2004) bahwa genus Chaetoceros sp. akan memberikan respon pertumbuhan yang cepat tidak hanya pada konsentrasi unsur hara N yang tinggi tetapi juga pada rasio konsentrasi unsur hara yang rendah (N sebagai pembatas), Selain itu Thomas et al. (1978) diacu dalam Egge dan Aksnes (1992) menyatakan bahwa diatom diduga memiliki kemampuan yang baik dalam memanfaatkan kondisi unsur hara N yang rendah, hal ini disebabkan antara lain karena diatom mempunyai nilai saturasi (kejenuhan) yang rendah dalam mengambil nitrat dan amonium di perairan. Menurut MacIsaac dan Dugdale (1969) dan Eppley et al. (1969) diacu dalam Valiela (1995) nilai saturasi (kejenuhan) diatom neritik dalam mengambil nitrat yaitu 0,4-5,1 µg atom/l dan amonium yaitu 0,5-9,3 µg atom/l.

Dihubungkan dengan unsur hara silikat, kelas Bacillariophyceae membutuhkan banyak silikat untuk membangun dinding sel dari tubuhnya. Konsentrasi silikat yang diperoleh selama penelitian yaitu berkisar antara 0,11-0,77 mg/l. Konsentrasi silikat tersebut masih berada pada konsentrasi yang sesuai

untuk pertumbuhan Diatom (Bacillariophyceae). Menurut Guilford dan Hecky (2000) bahwa indikasi dominansi diatom (Bacillariophyceae) ketika konsentrasi silikat di atas 2 µM atau 0,12 mg/l. Namun ketika konsentrasi silikat dibawah 2 µM, kondisi perairan masih juga didominansi oleh diatom, hal ini disebabkan perairan tersebut dalam kondisi transisi konsentrasi silikat yang tinggi dan

dominansi diatom akan berhenti ketika konsentrasi silikat tetap berada di bawah 2 µM.

Hubungannya dengan kondisi fisika-kimia perairan selama penelitian, nilai salinitas dan suhu yang diperoleh yaitu 20,75-30,18o/oo dan 28,9-30,4oC merupakan kisaran salinitas dan suhu yang baik bagi pertumbuhan genera yang melimpah tersebut. Hal ini disebabkan karena kelompok Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup pada kisaran salinitas yang lebih luas (Nwankwo 1998 diacu dalam Akoma 2008), yang sebagian besar hidup pada kisaran salinitas di atas 20 ‰ (Sachlan 1972). Sejalan dengan penelitian Mallin (1994) yaitu pertumbuhan genera Chaetoceros spp. berkisar pada salinitas 26-35o/oo (euhaline). Menurut Haslam (1995) diacu dalam Effendie (2000) kisaran suhu bagi pertumbuhan diatom adalah 20-30oC, sedang nilai pH yang dijumpai selama penelitian berkisar 7,28-7,65, juga sejalan dengan

Ray dan Rao (1964) bahwa pH optimal untuk perkembangan diatom antara 7,0-9,0.

Kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae merupakan kelas yang paling jarang dijumpai serta memiliki kelimpahan yang relatif rendah. Hal ini sperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1988) dan Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa Cyanophyceae (alga hijau biru), Coccolithophorids (kokolitofor) dan Silikoflagellata (Dyctyochaceae, Chrysophyceae) merupakan fitoplankton yang minoritas di laut. Umumnya kelas Chlorophyceae kurang toleran terhadap salinitas dan hanya terbatas pada perairan tawar di daerah estuari (Opute 2000 diacu dalam Akoma 2008). Selain itu rasio N:P yang rendah di perairan akan mendukung ledakan Cyanophyceae pengikat nitrogen (Howarth 1988, Paerl dan Millie 1996), namun tidak semua perairan yang memiliki rasio N:P yang rendah dapat terjadi ledakan Cyanophyceae (Howarth 1988, Piehler et al. 2002), hal ini

64 dapat disebabkan karena kekurangan unsur trace seperti besi dan molybdenum (Howarth 1988).

Berdasarkan distribusi vertikal selama penelitian menunjukkan bahwa kelas Bacillariophyceae (diatom) merupakan kelas yang paling sering dijumpai pada semua kedalaman inkubasi, dibandingkan ketiga kelas lainnya. Hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya, dimana diatom memperlihatkan toleransi yang agak luas terhadap intensitas cahaya yang tinggi sebelum dihambat pada kisaran intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi. Sedang kelas Cyanophyceae dan Dinophyceae mengalami penghambatan laju pertumbuhan pada intensitas cahaya yang rendah (Richardson 1986 diacu dalam Valiela 1995).

Distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton menunjukkan pola yang sama pada semua stasiun penelitian. Dimana kelimpahan fitoplankton meningkat sampai kedalaman intensitas cahaya 50% dan menurun sampai kedalaman intensitas cahaya 1%. Hal ini sejalan dengan distribusi fotosintesis di perairan, umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya penghambat), sedang dibawah nilai optimum merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Parsons et al. 1984, Valiela 1984).

Dalam proses fotosintesis, terdapat 3 fungsi utama dari klorofil yaitu memanfaatkan energi matahari, memicu fiksasi CO2 menjadi karbohidrat dan menyediakan dasar energetik bagi ekosistem secara keseluruhan. Sebaran nilai klorofil-a selama penelitian secara horizontal maupun vertikal memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai klorofil-a pada stasiun A dan B relatif sama yaitu berturut-turut 0,73 mg/m3 dan 0,74 mg/m3, namun relatif rendah pada stasiun C yaitu 0,63 mg/m3. Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi yang umum terjadi di perairan. Umumnya nilai klorofil-a tertinggi dijumpai pada daerah-daerah yang lebih kaya akan unsur hara. Hal ini berhubungan dengan ukuran sel dari fitoplankton, dimana ukuran sel fitoplankton pada daerah yang kaya akan unsur hara didominasi oleh ukuran sel yang besar, sehingga hal ini mempengaruhi jumlah klorofil-a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton.

Pada penelitian ini unsur hara tertinggi dijumpai pada stasiun C dibandingkan stasiun A dan B. Namun pada penelitian ini stasiun yang memiliki unsur hara tertinggi mempunyai nilai klorofil-a terendah. Hal ini diduga akibat pengaruh kekeruhan yang tinggi pada stasiun tersebut, sehingga mempengaruhi ketersediaan cahaya di perairan. Kondisi seperti ini akan menghambatkan pertumbuhan fitoplankton yang membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesis.

Secara umum distribusi biomassa fitoplankton (klorofil-a) selama penelitian memperlihatkan distribusi yang sama dengan kelimpahan fitoplankton. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan klorofil-a sejalan dengan penambahan dan penurunan kelimpahan fitoplankton. Namun distribusi klorofil-a tidak bersesuaian dengan distribusi unsur hara. Hal ini terlihat bahwa pada stasiun bagian atas teluk (depan muara sungai) klorofil-a yang dijumpai relatif rendah, padahal unsur hara pada stasiun ini tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya koefisien peredupan yang disebabkan oleh kekeruhan dan TSS yang tinggi sehingga intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat rendah. Rendahnya nilai intensitas cahaya yang masuk ke perairan dapat menyebabkan proses fotosintesis oleh fitoplankton terhambat.

4.2.3. Produktivitas Primer Fitoplankton

Sebaran nilai produktivitas primer (NPP) fitoplankton di kolom air menunjukkan pola yang sama pada ketiga stasiun penelitian. Pada ketiga stasiun penelitian kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya dijumpai nilai NPP yang tinggi dibandingkan kedalaman inkubasi lainnya. Hal ini diduga pada kedalaman tersebut merupakan titik fotosintesis optimum. Berdasarkan hubungan NPP dengan intensitas cahaya, diduga kisaran rata-rata kedalaman fotosintesis maksimum berdasarkan persamaan regresi kuadratik, pada kedalaman intensitas cahaya 54,9-64,1% dari intensitas cahaya permukaan. Seperti yang dikemukakan oleh Mallin dan Paerl (1992) dalam melihat hubungan fotosintesis dan intensitas cahaya memperoleh fotosintesis maksimum di kolom air umumnya pada intensitas cahaya 34,6-58% dari intensitas cahaya permukaan. William (1966) diacu dalam Mallin dan Paerl (1992) mencatat rata-rata fotosintesis tertinggi pada kedalaman 50% intensitas cahaya permukaan.

66 Distribusi horizontal dan vertikal NPP fitoplankton selama penelitian umumnya relatif sama dengan distribusi kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a. Nilai NPP secara distribusi horizontal dijumpai yang tinggi pada stasiun B, begitu pula pada distribusi kelimpahan dan klorofil-a, sedang secara vertikal, nilai NPP tertinggi dijumpai pada kedalaman 50% intensitas cahaya, juga serupa dengan distribusi vertikal kelimpahan dan klorofil-a.

4.2.3.1. Hubungan Produktivitas Primer dengan Klorofil-a dan Kelimpahan Fitoplankton

Hubungan produktivitas primer dengan klorofil-a yang dianalisis menggunakan regresi linier, diperoleh keeratan hubungan yang tinggi pada stasiun A dan B, dengan nilai koefisien determinasi (R2) berturut-turut sebesar 0,719 dan 0,547 pada taraf α 0,05. Pada stasiun C diperoleh keeratan hubungan yang relatif rendah antara NPP dengan klorofil-a, yang ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,488 (Tabel 11 dan Gambar 18). Tingginya nilai hubungan NPP dengan klorofil-a pklorofil-adklorofil-a stklorofil-asiun A dklorofil-an B didugklorofil-a disebklorofil-abkklorofil-an tingginyklorofil-a nilklorofil-ai rklorofil-atklorofil-a-rklorofil-atklorofil-a klorofil-klorofil-a yklorofil-ang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun C serta dilihat dari jumlah kelimpahan fitoplankton, stasiun A dan B memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif tinggi dibandingkan stasiun C. Seperti yang dinyatakan oleh Sumich (1994) bahwa perubahan konsentrasi klorofil-a disebabkan oleh pembelahan sel dan pertumbuhan sel dari fitoplankton, sedang perubahan kelimpahan fitoplankton lebih disebabkan oleh pembelahan sel.

Tabel 11. Hubungan produktivitas primer bersih dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton

Stasiun Parameter Persamaan regresi Koefisien determinasi Sig. Model A Klorofil-a Kelimpahan Y = 1,477X + 1,497 Y = 3,005X – 9,012 0,719 0,686 0,000 0,000 B Klorofil-a Kelimpahan Y = 1,049X + 1,590 Y = 2,100X – 5,804 0,547 0,548 0,001 0,005 C Klorofil-a Kelimpahan Y = 1,016X + 1,478 Y = 1,527X – 3,985 0,488 0,433 0,003 0,019

Gambar 18. Hubungan NPP dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton

68 Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 18, hubungan produktivitas primer dengan kelimpahan fitoplankton membentuk keeratan hubungan yang tinggi pada stasiun penelitian A dan B, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi berturut-turut sebesar 0,686 dan 0,548. Pada stasiun C membentuk keeratan hubungan yang relatif rendah dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,433. Hal ini diduga disebabkan oleh nilai kelimpahan yang dijumpai pada stasiun A dan B relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun C, sehingga memberikan keeratan hubungan yang tinggi. Pada stasiun C nilai kelimpahan fitoplankton relatif lebih rendah sehingga memberikan hubungan yang rendah pula terhadap nilai NPP. 4.2.3.2. Hubungan Produktivitas Primer dan Cahaya

Hubungan produktivitas primer dengan cahaya dianalisis menggunakan regresi kuadratik. Dari hasil analisis terbentuk keeratan hubungan yang tinggi antara NPP dengan intensitas cahaya pada semua stasiun. Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu pada stasiun A sebesar 0,832 dengan persamaan Y = 1,545X – 0,029X2 + 9,853, stasiun B sebesar 0,858 dengan persamaan Y = 1,801X – 0,031X2 + 14,462, dan stasiun C sebesar 0,754 dengan persamaan Y = 1,244X – 0,024X2 + 14,472 pada taraf α 0,05 (Gambar 19).

Kisaran intensitas cahaya optimum bagi produktivitas primer dapat diduga melalui pola hubungan NPP dengan intensitas cahaya berdasarkan persamaan di atas yaitu pada stasiun A intensitas cahaya optimum berkisar 25,66-27,24 Klux dengan nilai NPP berkisar 7,60-7,66 mgC/m3/jam, pada stasiun B intensitas cahaya berkisar 27,78-30,12 Klux dengan nilai NPP berkisar 10,14-10,16 mgC/m3/jam, dan pada stasiun C berkisar 24,91-26,83 Klux dengan nilai NPP berkisar 7,64-7,65 mgC/m3/jam.

Berdasarkan persamaan hubungan NPP dengan intensitas cahaya, maka dapat dihitung nilai produktivitas primer untuk setiap lapisan kolom air pada masing-masing stasiun. Pola hubungan yang terbentuk antara NPP dengan intensitas cahaya membentuk pola hubungan yang kuadratik (Gambar 20), dimana setiap peningkatan intensitas cahaya matahari akan selalu diikuti dengan peningkatan nilai NPP sampai pada suatu titik optimum. Di atas intensitas cahaya optimum merupakan cahaya penghambat sedangkan di bawah intensitas cahaya optimum merupakan cahaya pembatas (Kirk 1994).

Gambar 19. Hubungan NPP dengan intensitas cahaya

Nilai maksimum NPP yang diperoleh berdasarkan persamaan hubungan NPP dengan intensitas cahaya pada masing-masing stasiun dengan kedalaman perairan yang tidak terlalu bervariasi. Pada stasiun A nilai maksimum NPP yang diperoleh yaitu 29,67 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,7 meter, pada stasiun B diperoleh nilai NPP maksimum yaitu 39,65 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,6 meter dan stasiun C nilai NPP maksimum yaitu 29,79 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,5 meter (Gambar 20; Lampiran 10, 11 dan 12).

70

Gambar 20. Grafik hubungan produktivitas primer (NPP) dengan kedalaman perairan

4.2.3.3. Hubungan Produktivitas Primer dengan Unsur hara dan intensitas cahaya

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda hubungan antara produktivitas primer dengan unsur hara (amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat dan silikat) serta intensitas cahaya (ICM) menunjukkan korelasi yang beragam pada masing-masing stasiun. Pada stasiun A diperoleh keeratan hubungan yang tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,920, persamaan yang terbentuk yaitu Y = 0,181 ICM* – 0,635 amonia* + 0,717 nitrat* + 0,277 nitrit + 1,096 ortofosfat – 0,605 silikat + 1,412.

Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa unsur hara amonia dan silikat memberikan hubungan negatif terhadap produktivitas primer di stasiun A, sedang unsur hara nitrat, nitrit, dan ortofosfat serta ICM memberikan hubungan yang positif terhadap nilai NPP, sehingga penurunan unsur hara amonia dan silikat serta peningkatan unsur hara nitrat, nitrit, dan ortofosfat serta ICM akan memberikan peningkatan terhadap nilai NPP. Berdasarkan signifikan pada masing-masing unsur hara dan ICM, unsur hara amonia, nitrat, nitrit, dan ICM secara nyata memberikan pengaruh terhadap nilai NPP tinggi dan rendahnya di stasiun A (Tabel 12).

Pada stasiun B diperoleh keeratan hubungan yang tinggi dengan nilai R2