• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Yang Melatarbelakangi Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Syarif

PEMIKIRAN HABAIB TENTANG PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SYARIF

A. Faktor Yang Melatarbelakangi Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Syarif

Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Islam menganjurkan manusia untuk melaksanakan pernikahan, Islam juga mengatur tata cara agar pernikahan tersebut menjadi sah dan sesuai dengan hukum Islam, pernikahan yang sah merupakan pernikahan yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam pernikahan perlu adanya

memperhatikan kafa‟ah dalam pernikahan. Adapaun faktor-faktor yang

mempengaruhi pernikahan laki-laki non syarif dengan perempuan syarifah yaitu :

1. Nasab (keturunan)

Mayoritas ulama‟ membagi nasab menjadi dua golongan ras yaitu

golongan „Ajam (non Arab) dan golongan Arab. Ulama‟ Hanafiyah dan

Syafi‟iyyah membagi golongan Arab kedalam dua suku, yakni suku Quraisy dan non Quraisy. Ulama‟ kalangan Syafi‟iyyah

membedakan lagi suku Quraisy yakni bani Hasyim dan bani Muththolib . Orang Arab adalah kufu‟ antara satu dengan yang lainnya, begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu

orang yang bukan Arab tidak kufu‟ dengan perempuan Arab, orang

Arab yang bukan dari golongan Quraisy tidak kufu‟ dengan perempuan Quraisy, berdasar dari Hadis riwayat Bazar dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah bersabda:

Artinya: “Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'anhuma bahwa

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bangsa Arab itu sama derajatnya satu sama lain dan kaum mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenung dan tukang bekam." Riwayat Hakim dan dalam sanadnya ada kelemahan karena ada seorang perawi yang tidak diketahui namanya. Hadits munkar menurut Abu Hatim Hadits tersebut mempunyai hadits saksi dari riwayat al-Bazzar dari Mu'adz

Ibnu Jabal dengan sanad terputus”. (HR. Hakim)

Dan juga hadis yang diriwayatkan oleh imam Syafi‟i:

Artinya: “dahulukanlah bangsa quraish dan janganlah kamu

mendahuluinya”. (HR. Syafi‟i)

Adapun orang Quraisy dari golongan selain bani Hasyim dan

Muthollib tidak kufu‟ dengan orang Quraisy dari golongan bani Hasyim

dan bani Muthollib, karena bani Hasyim dan bani Muthallib adalah bani yang derajatnya paling tinggi diantara orang Quraisy lainnya.

Diriwayatkan oleh imam Syafi‟i dan kebanyakan muridnya (Ashabus

Syafi‟i) bahwa kufu‟ sesama bangsa-bangsa bukan Arab diukur dengan

bagaimana keturunan-keturunan mereka diqiaskan kepada antar suku- suku Arab dengan yang lainnya, karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang perempuan dari satu suku kawin dengan laki-laki dari suku lain yang lebih rendah derajat nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa Arab karena sebabnya sama.

Semua ulama‟ mazhab sepakat memasukkan agama dalam kafa‟ah. Berdasarkan hadis Nabi SAW:

يرمستلا هاوز .اْوُحِكْنَاَف ُوَقُلُخَو ُوَنْيِد َنْوَضْسَت ْنَم ْمُكاَتَا اَذِا Artinya: “Ketika datang pada kalian semua (para wali) seseorang yang kalian Ridhoi agama dan akhlaknya, Maka nikahkanlah”.

Hadits diatas menunjukkan adanya perintah yang khitabnya ditujukan kepada wali agar mereka mengawinkan perempuan-perempuan yang ada dalam perwaliannya kepada laki-laki peminangnya yang

beragama Islam, dan berakhlak luhur. Menurut imam Syafi‟i sepatutnya

perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki- laki yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasiq (pezina, pejudi, pemabuk dsb). Perempuan yang fasiq sederajat dengan laki- laki yang fasiq, perempuan pezina sederajat dengan laki-laki pezina.

Imam Hambali memiliki pendapat yang sama dengan imam Syafi‟i

demikin juga dengan imam hanafi perbedaan keduanya ada beberapa perkara, yaitu: menurut imam Hanafi perempuan yang sholeh dan bapaknya fasiq, lalu ia menikah dengan laki-laki fasiq maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena ia sama-sama fasiq dengan laki-laki

itu. Yang dimaksud fasiq disini adalah orang yang mengerjakan dosa besar secara terang-terangan atau orang yang mengerjakan dosa besar dengan bersembunyi, tetapi diberitahukan dosa tersebut kepada teman- temannya.

Nasab juga diartikan sebagai suatu tali yang menghubungkan keluarga dan hubungan darah lainnya. Sedangkan secara istilah, nasab memiliki arti keturunan yang didapat dari pernikahan sah dan memiliki ikatan atau hubungan darah yang disebut keluarga baik yang merupakan hubungan darah yang bersifat vertikal atau ke atas seperti ayah, ibu, kakek, nenek dsb ataupun yang bersifat horizontal atau menyamping seperti paman, bibi, saudara dll. Ditinjau dari ilmu antropologi, ada beberapa sistem nasab atau keturunan yang berlaku dibeberapa belahan dunia atau tempat yang berbeda. Sitem tersebut antara lain

a. Sistem bilateral/parental, yaitu sistem keturunan yang menganggap keturuan berasal dari hubungan kekerabatan kedua pihak orangtua baik ayah maupun ibu.

b. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang menyebutkan bahwa keturnan

didapat dari hubungan kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki- laki saja. Dalam sistem ini keturunan hanya dianggap atau dilihat dari kerabat atau keluarga ayahnya saja.

c. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekeluargaan melalui pihak ibu atau perempuan saja.

d. Sistem bilineal atau yang dikenal dengan dubbel-unilateral, yaitu sistem yang memperhatikan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja untuk beberapa hal dan demikian juga dengan keturunan pihak perempuan yang hanya berlaku untujk beberapa hal tertentu.

Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu pada Alquran dan Sunnah menganut sistem bilateral/parental. Sedangkan Ulama Fiqih berpendapat bahwa nasab dalam agama islam cenderung menganut sistem patrilineal. Hal tersebut ditegasakan sesuai dengan dalil yang artinya berikut ini :

Artinya: “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri- istrimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya.Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi

maha penyayang”

Dalam menentukan ansab atau keturunan maka ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Dalam islam sendiri ada tiga sebab utama dalam penentuan nasab yaitu sebagaimana yang diuraikan dalam penjelasan berikut ini :

1) Melalui Pernikahan Sah

Para ulama fiqih berpendapat seorang anak yang lahir dari seorang wanita atau perempuan melalui pernikahan yang sah adalah anak dari laki-laki atau ayahnya tersebut. Adapun untuk menjadi nasab anak tersebut maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah :

a) Pertama, suami telah dewasa serta matang dalam hal biologis sehingga ia dipastikan dapat memberi keturunan, apabila ia tidak dapat memberi keturunan atau memiliki penyakit kelamin, maka ia tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang anak.

b) Kedua, usia janin atau kandungan sang istri haruslah

setidaknya berusia enam bulan sejak pernikahan. Hal ini sesuai dengan madzhab Hanafi namun berdasarkan pendapat madzhab yang lain usia kandungan haruslah terhitung enam bulan atau lebih sejak terjadi persetubuhan setelah pernikahan jika usianya kurang maka anak tersebut tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang suami.

c) Ketiga, adanya persenggemaan atau persetubuhan antara suami dan istri setelah menikah secara lahiriyah atau biologis hal ini sesuai dengan pendapat tiga madzhab sedangkan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa

hubungan tersebut boleh bersifat imajinasi atau akal saja. Meskipun demikian tetap saja anak yang diakui dalam nasab adalah anak yang didapt melalui hubungan lahiriyah dan jika sang suami merasa tidak pernah menggauli sang istri namun

sang istri hamil maka ia boleh menjatuhkan tuduhan li‟an

atau anak tersebut bukanlah anak kandungnya melainkan hasil perzinahan atau perselingkuhan dalam rumah tangga (baca zina dalam islam)

2) Melalui Pernikahan Fasid

Pernikahan fāsid dapat diartikan sebagai pernikahan yang

dilaksanakan tidak memenuhi syarat amupun rukun nikah yang berlaku dalam agama islam. Misalnya saja pernikahan yang melibatkan mempelai wanita yang masih menjalani masa iddah talak (baca hukum talak dalam pernikahan dan perbedaan talak satu, dua dan tiga ) baik cerai mati maupun cerai hidup. Adapun anak tersebut yang nantinya lahir dari sang wanita dapat terikat nasabnya dengan sang suami apabila sang suami memiliki syarat-syarat yang sama dengan sebab penentuan nasab melalui pernikahan yakni sang suami mampu menghamili sang istri, usia kandungan istrinya lebih dari enam bulan serta terjadinya persetubuhan yang menyebabkan hamilnya sang istri.

Istilah Wāṭi syubhat memiliki arti bahwa adanya persetubuhan yang terjadi tanpa suatu kesengajaan misalnya saja seorang lelaki menyetubuhi seseorang dalam suatu kamar tanpa penerangan atau sang laki-laki tidak dapat melihat wajah atau rupa wanita yang ia anggap sebagai istrinya. Adapaun perstubuhan wati syubhat ini merupakan suatu kesalahan dan apabila si wanita hamil maka anak yang lahir, nasabnya dikaitkan dengan pria tersebut. Adapun syarat laki-laki tersebut menjadi nasab anak yang lahir karena watisyubhat adalah jika usia kehamilannya minimal enam bulan dan masa kehamilan mwanita tersebut atau lahirnya sang anak tidak melewati masa maksimal kehamilan yakni sembilan bulan sepuluh hati. Anak yang lahir lebih lama dari masa kehamilan nasabnya tidak dapat dikaitkan dengan lelaki yang menyetubuhinya secara wati syubhat tersebut.

Demikianlah arti nasab dan sebab penentuan nasab seorang anak berdasarkan fikih klasik (baca fiqih pernikahan). Dengan demikian dapat disimpulkan seorang aanak dapat terikat nasab dengan ayahnya atau seorang laki-laki jika memenuhi sebab- sebab diatas dan jika tidak maka nasabnya terkait dengan ibunya saja. Dampak atau pengaruh dari nasab inilah yang akan menentukan mahram (baca pengertian mahram dan muhrim

dalam islam) atau wanita yang haram dinikahi , hubungan kekerabatan, perwalian nikah (baca syarat-syarat wali nikah dan urutan wali nikah), pemberian nafkah, waris serta untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga maupun pernikahan sedarah yang tidak diperbolehkan dalam islam.

3. Merdeka

Jumhur ulama‟ selain imam Maliki sepakat memasukkan merdeka

dalam kriteria kafa‟ah. Berdasarkan firman Allah SWT yang artinya:

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi

kebanyakan mereka tidak mengetahui” (Qs. An-Nahl: 75)

Menurut imam Syafi‟i, Hanafi, Hambali bahwa perempuan

merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak. Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.

4. Pekerjaan

Jumhur ulama‟ selain Maliki sepakat memasukkan pekerjaan

pekerjaan terhormat kufu‟ dengan seseorang yang juga memiliki

pekerjaan terhormat, karena orang yang memiliki pekerjaan tarhormat menganggap sebagai kekurangan jika anak perempuan mereka dijodohkan dengan lak-laki yang pekerja kasar. Hal ini berdasarkan pada Kebiasaan (adat) masyarakat yang memandang status pekerjaan seseorang sebagai suatu hal yang terhormat, sehingga seolah-olah hal ini menunjukkan nasabnya kurang. Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara harta dan pekerjaan. Semua itu dapat berubah sesuai dengan taqdir Allah. Pekerjaan bagi golongan Malikiyah merupakan hal biasa dan tidak perlu

dimasukkan dalam kafa‟ah.

5. Kekayaan atau Harta

Adapun yang dimaksud kekayaan disini adalah kemampuan untuk

membayar mahar dan nafkah. Abu Yusuf (ulama‟ Hanafiyah)

berpendapat bahwa selama seoarang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak nafkah satu hari kehari berikutnya, tanpa harus membayar mahar, orang tersebut masih dianggap

termasuk kualifikasi yang mempunyai kafa‟ah, walaupun istrinya

mempunyai harta yang banyak. Alasan Abu Yusuf adalah kemampuan membayar nafkah itulah yang penting untuk menjamin kehidupan mereka kelak dalam rumah tangga, sementara mahar bisa dibayar oleh siapa saja diantara keluarga yang mempunyai

kemampuan, misalnya bapak, kakek dll. Ulama‟ Hanabilah juga

memasukkan harta sebagai ukuran kufu‟ karena kalau perempuan

yang kaya bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab nantinya sulit dalam memenuhi nafkah keluarga.

6. Tidak cacat

Ulama Syafi‟iyyah dan Malikiyah menganggap tidak adanya

cacat permanen sebagai ukuran kafa‟ah, orang cacat yang memungkinkan seorang istri untuk khiyar atau menuntut fasakh dianggap

tidak kufu‟ dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak

menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranya akan membuat orang tidak senang mendekatinya.

Dari penjelasan di atas penulis menemukan syarifah pelaku pernikahan dengan laki-laki non syarif memberikan alasan bahwa faktor yang melatarbelakangi pernikahan laki-laki nonsyarif dengan syarifah yaitu karena adanya rasa saling cinta antara laki-laki nonsyarif dengan perempuan syarifah. Sedangkan hal yang paling mendasari terjadinya pernikahan tersebut yaitu adanya pertimbangan kuatnya agama laki-laki nonsyarif di mata syarifah.

B. Kondisi Psikologis dan sosilogi Syarifah Pelaku Pernikahan dengan

Dokumen terkait