• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TENTANG PERNIKAHAN DAN KAFA’AH MENURUT ISLAM

F. Kafa’ah / Kufu (kesetaraan)

1. Pengertian Kafa‟ah

Kafa‟ah berasal dari bahasa Arab dari kata (ءىفك ) , berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam

Al-Qur‟an adalah dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :

ُدَحَأ اًوُفُك ۥُوَّل نُكَي مَلَو

yang berarti “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.

Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa‟ah” , artinya ialah

sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali,

kafa‟ah atau kufu‟, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau

keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding” .

Yang dimaksud dengan kafa‟ah atau kufu‟ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.

Jadi, tekanan dalam hal kafa‟ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa‟ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT. adalah sama. Hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya.

Dalam Kitab Majmu‟ Syariah al Kafiyah Lil „awan karya KH Sholeh

Darat Semarang secara bahasa kafa‟ah artinya kesepadanan/kesamaan.

Sedangkan secara istilah adalah kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kelebihan dan kekurangan, dan kafa‟ah ini menajdi pertimbangan dalam pernikahan namun bukan menjadi bagian syarat sahnya dalam pernikahan.

Kesetaraan dalam pernikahan antara laki-laki dan perempuan meliputi lima hal, yaitu :

a. Terhindar dari bentuk aib nikah, misalnya salah satu pihak terkena penyakit, gila, dll.

b. Merdeka atau bukan hamba sahaya.

c. Bernasab mulya maksudnya yaitu laki-laki non arab yang memiliki nasab mulya menikah dengan perempuan arab yang bernasab mulya itu tidak sekufu.

d. Adil dan terjaga agamanya artinya yaitu seorang laki-laki ahli

e. Baik pekerjaannya maksudnya adalah seorang laki-laki yang bekerja

sebagai tukang sapu tidak sekufu‟ menikah dengan perempuan yang

sebagai saudagar.

Kufu‟ tidak menjadi syarat bagi pernikahan. Tetapi jika tidak dengan keridhaan masing-masing,yang lain boleh mem-fasakh-kan pernikahan itu dengan alasan tidak kufu‟. Kufu‟ itu adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keridaan bersama.

Firman Allah SWT dalam Surah Al Hujurat: 13 yang artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwadi antara kamu. Sesungguhnya

AllahMaha Mengetahui lagi Maha Mengenal‟.

Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Tidakada kelebihan orang arab atas orang yang bukan arab, demikian pula sebaliknya, dan tidak pula orang putih atas orang hitm dan sebaliknya, tetapi kelebihan yang

satu dari yang lain hanyalah dengan takwa” (Riwayat Ashabus sunan) Dari dasar diatas menurut pendapat yang lebih kuat ditinjau dari alasannya kufu itu hanya berlaku mengenai keagamaan, baik mengenal pokok agama seperti Islam dan bukan islam maupun kesempurnaannya, misalnya orang yang baik tidak sederajat dengan orang yang jahat atau orang yang tidak taat.

Kafa‟ah juga berarti serupa, seimbang atau serasi. Kafa‟ah dalam pernikahan, maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon istri

melangsungkan pernikahan. Sayyid Sabiq mengartikan kafa‟ah dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni laki-laki sebanding dalam tingkat

sosial dan sederajat dalam tingkat sosial, akhlak dan kekayaan. Tidak

diragukan lagi bahwa kedudukan calon mempelai laki-laki dengan calon

mempelai wanita sebanding, merupakan faktor yang menentukan dalam

kehidupan rumah tangga.Untuk terciptanya sebuah rumah tangga yang

sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada

keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara

kedua calon suami istri tersebut. Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu

hal yang mutlak, melainkan satu hal yang harus diperhatikan untuk

mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi.

Kafa‟ah diatur dalam pasal 61 KHI dalam membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-

beragamaan. Pasal 61 berbunyi: “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan

alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.

Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu‟. Dia berkata: Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan

anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq,

asalkan tidak berzina ia adalah kufu‟ untuk wanita Islam yang fasiq, asal

bukan perempuan berzina.

Perbedaan ulama‟ tentang hukumkafa‟ah dan pelaksanaannya

berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa‟ah dalam

pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama‟ terbagi

menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa‟ah dalam pernikahan. Jumhur ulama‟ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa‟ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca).

Kafa‟ahdipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum „inda Allahi atqookum. Bertolak nbelakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwakafa‟ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang

dianggap lemah oleh kebanyakan ulama‟.

Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa‟, wala

tuzawwijuhunna illa min al-auliya‟. Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa‟ah. Akan tetapi kafa‟ah, menurut mereka hanya

dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja.Kafa‟ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.

Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan

Syafi‟iah.. Mereka mengakui adanya kafa‟ah dengan dasar-dasar yang

akan kami sampaikan nanti meskipun kafa‟ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.

Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak se-kufu‟ (sederajat) dan juga demi kelanggengan sebuah pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Dengan demikian kafa‟ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam

hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa‟ah, yaitu:

ُةَأْرَملا ُحَكْنُ ت :لاق ملسو ويلع ةللا ىلص ىبنلا نع ونع للها ىضر ةريرى ىبأ نعو

. َكاَدَي ْتَبِرَت ِنْيِّدلا ِتاَذِب ْرَفْظاَف ,اَهِنْيِدِلَو ,اَهِلاَمَجِلَو ,اَهِبَسَحِلَو ,اَهِلاَمِل:ٍعَبْرَلأ

.ةعبسلا ةيقب عم ويلع قفتم

Artinya:“Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang

beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.

Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzanny:

يذمرتلا هاور .اْوُحِكْنَاَف ُوَقُلُخَو ُوَنْ يِد َنْوَضْرَ ت ْنَم ْمُكاَتَااَذِا

Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang

sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.

Para ulama‟ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang

digunakan dalam kafa‟ah:

a. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa‟ah adalah: 1) Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah

kufu‟ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan

bukan Arab tidak sekufu‟ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu‟ dengan/ bagi

perempuan Quraisy lainnya.

2) Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang memeluk agama islam. Dengan Islam maka orang kufu‟ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan

bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu‟

dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam, Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan Muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu‟ dengan laki-laki Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam.

3) Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dari keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu‟ dengan laki- laki yang pekerjaannya kasar apalagi serabutan. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya

pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat tapi itu terhormat di tempat yang lain.

4) Kemerdekaan dirinya. Jadi budak laki-laki tidak kufu‟ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak

kufu‟ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang

salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu‟ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

5) Diyanah, yaitu kualitas keberagamaan dalam islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam

kufu‟dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena

untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.

6) Golongan Syafi‟i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir

dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu‟ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.

b. Menurut ulama Malikiyah, yang menjadi dasar kafa‟ah adalah: 1) Diyanah.

2) Terbebas dari cacat fisik. Salah satu syarat kufu‟ ialah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menyolok, ia tidak kufu‟ dengan perempuan yang sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol, tetapi kurang disenangi secarapandangan lahiriyah, seperti: buta, tangan buntung dan lain-lain.

c. Menurut ulama Syafi‟iyah, yang menjadi dasar kafa‟ah adalah: 1) Nasab, tidaklah dinamakan sekufu‟ pernikahan orang

bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya.

2) Diyanah, tidaklah sekufu‟ namanya, bila orang Islam menikah

dengan orang yang bukan Islam.

3) Kemerdekaan dirinya, tidaklah sekufu‟ bagi mereka yang

merdeka yang menikah dengan budak. 4) Hirfah.

d. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa‟ah adalah: 1) Diyanah

2) Hirfah. 3) Kekayaan

4) Kemerdekaan diri 5) Nasab

Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah

Sajadah: 18, “Afaman kana mu‟minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.

2. Tujuan pemberlakuan Kafa‟ah

Dari beberapa hadits yang menjadi dasar hukum kafa‟ah di atas dapat difahami bahwa tujuan utama kafa‟ah ketentraman dan kelanggengan sebuah rumah tangga. Karena jika rumah tangga didasari dengan kesamaan persepsi, kekesuaian pandangan, dan saling pengertian, maka niscaya rumahtangga itu akan tentram, bahagia dan selalu dinaungi rahmat Allah swt. Namun sebaliknya, jika rumah tangga sama sekali tidak didasari dengan kecocokan antar pasangan, maka kemelut dan permasalahan yang kelak akan selalu dihadapi. Kebahagiaan adalah istilah umum yang selalu diidam-idamkan oleh tiap pasangan dalam kehidupan mereka, namun itu semua harus diawali dengan kafa‟ah, kesesuaian, kecocokan dan kesinambungan antar pasangan, sehingga segala hal yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik, tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara kedua insan. (https://halaqahb3.wordpress.com)

Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya

tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.Namun kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho, sebab kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan walinya ridho/setuju.

Dari definisi, dasar hukum dan tujuan kafa‟ah diatas dapat disimpulkan bahwa, segala yang dimaksudkan dengan adanya syariat kafa‟ah adalah demi kebaikan bersama dan keutuhan sebuah jalinan pernikahan. Sehingga sudah selayaknya bagi kita untuk melaksanakan syariat tersebut, karena pada dasarnya kita semua sudah melakukannya, akan tetapi kesemuanya mayoritas bukan untuk kafa‟ah, akan tetapi demi memenuhi keinginan dan hasrat pribadi. Setiap orang ingin pendampingnya kelak adalah yang terbaik, sesuai dan cocok dengan dirinya, begitupula dengan keluarganya. Tapi dia tidak boleh lupa, bahwa dalam syariat ada kafa‟ah yang menjadi tuntunan kita dalam mempersiapkan perjalanan rumah tangga. Namun kita harus kembali meluruskan niat, bahwa pernikahan juga merupakan ibadah, jika partner kita dalam melakukan ibadah itu adalah orang yang kufu bagi kita, maka

insya allah ibadah yang kita jalankan akan senantiasa mendapatkan curahan pahala dari Allah swt

Dokumen terkait