• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat Habaib di Kabupaten Semarang Tentang Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Syarif

PEMIKIRAN HABAIB TENTANG PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NON SYARIF

C. Pendapat Habaib di Kabupaten Semarang Tentang Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Syarif

Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas dan keunikan budayanya masing-masing. Salah satunya kelompok masyarakat berkebudayaan Arab, seperti yang telah diketahui bahwa keberadaan masyarakat berketurunan Arab telah tersebar di seluruh bagian di Indonesia. Dalam rangka

mempertahankan keturunan dengan cara pernikahan sekufu‟, masyarakat

berketurunan Arab tidak jarang membentuk suatu kelompok atau komunitas sesama keturunan Arab untuk menjalin tali persaudaraan mereka dan tidak jarang pula untuk mencarikan jodoh untuk anak mereka. Seperti yang terjadi di Kabupaten Semarang, para ibu - ibu membentuk kelompok arisan yang beranggotakan ibu - ibu keturunan Arab yang pada awalnya dengan tujuan menjalin tali persaudaraan sesama golongan, namun sebagian dari mereka juga menjadi besanan.

Contoh lain, para remaja putri keturunan Arab berkumpul membentuk kelompok untuk melakukan kegiatan pengajian, berdiskusi tentang agama,

tidak jarang juga berdikusi mengenai pernikahan sekufu‟. Dengan

perkembangan zaman yang pesat dan adanya modernisasi dimana - mana, komunitas Arab khususnya di Indonesia seakan tidak runtuh oleh arus modernitas.Tradisi pernikahan sekufu‟ tetap dipertahankan dengan cara mereka masing - masing. Kelas sosial pada masyarakat Arab juga turut mengatur aspek - aspek kehidupan keluarga seperti pola sosialisasi,

perkawinan dan perceraian. Perkawinan lintas kelas, misalnya, sangat jarang terjadi. Hal ini diperkuat dengan prinsip – prinsip religious kafaah, atau kesetaraan pasangan.

Penelitian terdahulu oleh Ahmad Zainuddin Ali (2011) menyebutkan bahwa adanya larangan untuk seorang Syarifah dalam hal pernikahan dengan non – sayid dengan alasan mempertahankan keturunan yang telah melekat pada seorang syarifah. Tidak sedikit syarifah yang memilih untuk tetap pada tradisi yang kuat dari orang tua dan keturunan sebelumnya dalam hal

pernikahan sekufu‟. Masyarakat keturunan Arab beranggapan pernikahan

yang terjadi pada syarifah dengan non – sayid akan melunturkan atribut pada keturunannya. Sedangkan bagi laki - laki sayid yang menikah dengan perempuan non – syarifah tidak berpengaruh pada keturunannya, karena kaum laki - laki yang membawa garis keturunan atau tradisi patriarki.

Berkaitan dengan aturan kebudayaan masyarakat keturunan Arab dalam

hal menjaga identitas diri dengan melakukan prinsip pernikahan sekufu‟ dan

bagi mereka yang melanggar prinsip tradisi ini akan mendapat sanksi secara sosial dari kerabat, terlebih sanksi dari keluarga. Pada kelompok masyarakat berketurunan Arab sangatlah besar keterlibatan oleh keluarga dalam proses pemilihan jodoh, dari membantu mencarikan jodoh, menyelidiki bibit bebet bobot calon menantu, sampai proses penerimaan.

Bagi mereka, tidak menjadi masalah apabila laki - laki Arab menikahi perempuan non - Arab karena kaum laki - laki yang membawa garis

keturunan, menganut tradisi patriarki. Berbeda apabila yang melakukan pernikahan campuran itu perempuan Arab, bagi sebagian keluarga dapat dianggap menjadi suatu permasalahan. Adapun nama habaib yang penulis wawancarai adalah sebagai berikut:

1. Al Habib Syeikh bin Ali Al Idrus

Beliau berasal dari Kaliwaru, Tengaran, Kabupaten Semarang. Beliau berumur 55 tahun. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan pada 2 Mei 2017, beliau berpendapat bahwa pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif diperbolehkan. Alasan diperbolehkannya pernikahan tersebut adalah tidak ada larangan yang tegas baik dari Al-

Qur‟an maupun Al-Hadist yang merupakan sumber utama hukum syariat

islam, juga tidak ada larangan dilaksanakannya pernikahan tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Al Habib Abdillah Bin Ali Al Idrus.

Bertempat tinggal di Desa Tengaran, Kab. Semarang beliau berpendapat bahwa pernikahan syarifah dengan laki-laki non syarif tidak diperbolehkan. Peneliti melakukan wawancara pada 27 Mei 2017. Alasan tidak diperbolehkan adanya pernikahan tersebut adalah berdasar isyarat dari sebuah atsar (hadist sahabat) yang datang dari Sayyidah Fatimah bahwa beliau akan sangat sedih dan menangis ketika melihat anak turunnya melakukan pemutusan nasab.

Beliau beasal dari Kaliwaru, Tengaran, Kabupaten Semarang. Beliau berumur 28 tahun. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan pada 28 Mei 2017, beliau berpendapat bahwa pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif tidak diperbolehkan. Alasan tidak diperbolehkan pernikahan tersebut adalah berdasar isyarat dari sebuah atsar (hadist sahabat) yang datang dari Sayyidah Fatimah bahwa beliau akan sangat sedih dan menangis ketika melihat anak turunnya melakukan pemutusan nasab. Dan juga karena pelaku pernikahan tersebut pada umumnya akan mengalami dampak buruk pada kejiwaan dan sosialnya.

4. Al Habib Yahya Bin Yahya

Beliau beasal dari Desa Gedat, Susukan, Kabupaten Semarang. Beliau berumur 56 tahun. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan pada 29 Mei 2017, beliau berpendapat bahwa pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif diperbolehkan. Alasan diperblehkan pernikahan tersebut adalah tidak ada larangan yang tegas baik dari Al-

Qur‟an maupun Al-Hadist yang merupakan sumber utama hukum syariat

Islam, juga tidak ada larangan dilaksanakannya pernikahan tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu dikhawatirkan jika dicegah atau dilarang justru akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar yaitu berzina.

Beliau berasal dari daerah Jambon, Ungaran Barat, Kab. Semarang. Beliau berumur 53 tahun. Dari wawancara yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 22 Juni 2017 bertempat dikediaman beliau, beliau berpendapat bahwa penikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif tersebut tidak dipebolehkan dikarenakan memutus nasab mulia yang tidak bisa didapat penikahan dengan selain kalangan mereka atau para habaib.

6. Habib Jakfar

Beliau bermur 35 tahun dan beralamat di belakang pasar kembangsari, Kec. Tengaran, Kab. Semarang. Dari wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 25 Juni 2017 di Pon pes BUQ Gading, beliau berpendapat bahwa pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif sah sepanjang wali dan perempuan tersebut rela atas pernikahan itu. Dan juga dikarenakan tidak ada larangan tegas dari Al-

Qur‟an maupun Al-Hadits.

D. Analisis

Dari semua pendapat yang ada di atas tentang pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif, penulis dapat menyimpulkan dan merangkum dalam tabel di bawah ini:

No Nama Alamat Pendapat 1. Al Habib Syeikh bin

Ali Al Idrus Kaliwaru, Tengaran, Kabupaten Semarang Diperbolehkan 2. Al Habib Abdillah Bin Ali Al Idrus

Desa Tengaran, Kab. Semarang

Diperbolehkan

3. Al Habib Ali Zaenal Abidin Kaliwaru, Tengaran, Kabupaten Semarang Tidak diperbolehkan

4. Al Habib Yahya Bin Yahya Desa Gedat, Susukan, Kabupaten Semarang Diperbolehkan 5. Habib Farid Al Munawwar Jambon, Ungaran Barat, Kab. Semarang Tidak diperbolehkan

6. Habib Jakfar Kec. Tengaran, Kab. Semarang

Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa pendapat habaib kabupaten semarang dalam menyikapi pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif terbagi menjadi dua kelompok, pertama ada yang memperbolehkan dan yang kedua tidak memperbolehkan dengan masing-masing alasannya sebagaimana termaktub dalam sub bab C.

Menurut hemat penulis, tidak ada dalil tegas dari al Qur‟an maupun al

hadits yang melarang pernikahan Syarifah dengan laki laki non Syarif, karna yang membedakan manusia satu dengan lainnya di mata Allah SWT. adalah atqokum, yaitu masalah ketakwaan, jadi selama rukun dan persyaratan nikah terpenuhi maka pernikahan bisa dilangsungkan meski berbeda suku dan rasnya.

Namun jika mengacu pada pendapat Sayyid Abdurrahman pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin yang melarang syarifah melakukan pernikahan dengan laki laki non syarif, maka ini sangatlah wajar dan cukup beralasan, karna demi mempertahankan nasab kehabiban serta menjaga kesetaraan agar mudah tercipta adaptasi atau penyesuaian diri dengan pasangannya.

Dalam sebuah hadist Nabi yang telah penulis tampilkan dalam bab I bahwa perempuan itu dinikahi karena cantiknya,karena keturunannya, karena hartanya dan karena agamanya. Jadi seorang syarifah menikahi dengan non syarif itu sangat bagus. Hal itu dikarenakan pihak non-syarif akan memperbaiki keturunan bagus yang nasabnya sampai masih Nabi. Meskipun

secara patrilineal nasabnya putus tetapi secara hubungan darah tetap sampai ke Nabi. Jadi menurut hemat penulis pendapat habaib yang mengatakan ketika syarifah menikah dengan non -syarif nasab mulianya akan putus maka kurang tepat. Hal itu dikarenakan banyak pihak non-syarifah yang mempunyai nasab yang mulia yang bersambung pada sahabat-sahabat Nabi.

Perkataan Sayyidah Fatimah yang menjelaskan bahwa beliau sangat bersedih jika keturunan beliau tidak menikah dengan yang sekufu‟ itu tidak dapat dijadikan sandaran hukum yang kuat. Perlu kiranya diteliti kembali perkataan sayyidina Fatimah tentang keshohihan perkataan beliau. Nabi juga belum pernah secara tegas melarang keturunan beliau menikah dengan orang- orang yang tidak sekufu‟.

Sejarah membuktikan seorang perempuan yang sholehah dinikahi seorang laki-laki yang tidak sholeh akan menurunkan anak-anak sholeh. Karena wanita itu bagaikan ladang jika ladangnya atau tanahnya bagus diberi tanaman apapun hasilnya tetap bagus. Meskipun bibitnya kurang bagus. Jadi dalam hal ini syarifah bagaikan ladang atau tanah yang mempunyai kualitas bagus maka meskipun dinikahi dengan wanita non-syarif tetap tidak akan menurunkan kualitas anak yang bagus dan tidak akan menurunkan derajat kemulyaan. Banyak di Indonesia syarifah yang dinikahi non-syarif menghasilkan anak-anak yang berkualitas seperti kebanyakan para wali dan kyai di Indonesia merupakan keturunan Nabi.

Dalam pendapat para Habaib yang melarang menikah syarifah dengan non syarif juga cukup wajar. Larangan yang dilontarkan para habaib tidak bersifat keharaman. Tetapi larangan itu bersifat sebuah ajakan atau anjuran.

Menurut hemat penulis jika seorang syarifah menikah dengan non syarif tetapi pihak non syarif mempunyai agama dan ketakwaan yang bagus maka seyogyanya para habaib memperbolehkan. para syarifah yang menikah dengan non syarif maka harus menerima dengan lapang dada dan persepsi adanya sanksi sosial itu harus dihilangkan. Hal itu di karenakan jodoh sudah ditentukan dan ditakdirkan oleh Allah SWT.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian terhadap beberapa habaib Kabupaten Semarang tentang pernikahan Syarifah dengan laki-laki non Syarif, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Faktor yang melatarbelakangi pernikahan laki-laki nonsyarif dengan syarifah yaitu karena adanya rasa saling cinta antara laki-laki nonsyarif dengan perempuan syarifah. Sedangkan hal yang paling mendasari terjadinya pernikahan tersebut yaitu adanya pertimbangan kuatnya agama laki-laki nonsyarif di mata syarifah.

2. Pernikahan antara syarifah dengan laki-laki nonsyarif memiliki dampak bagi pelakunya. Di satu sisi bagi pihak laki-laki pernikahan tersebut merupakan sebuah keberuntungan yang tidak bisa diraih oleh setiap orang karena telah mendapatkan pasangan yang bernasab mulia dari kalangan anak cucu rasulullah. Di sisi yang lain bagi pihak syarifah pelaku pernikahan ini membawa dampak yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pendapat habaib Kabupaten Semarang terbagi menjadi 2 golongan dalam masalah ini, yaitu pertama golongan yang memperbolehkan terdapat 3 habaib dengan alasan yang penting syarat dan rukun dalam suatu

pernikahan menurut fikih terpenuhi, maka pernikahan boleh saja untuk dilakukan. Golongan yang kedua tidak memperbolehkan juga terdapat 3 habaib dengan alasan kafa‟ah merupakan syarat dalam suatu perkawinan dan harus ada kafa‟ah nasab dalam hal ini, juga demi menjaga keutuhan nasab Rasulullah SAW.

B. Saran

1. Permasalahan ini jarang sekali orang yang mengetahui tentang pernikahan syarifah dengan laki-laki nonsyarif, sebaiknya jika permasalahan ini dapat dikaji dimajelis-majelis ilmu, agar bagi yang habaib dan yang bukan bisa mengetahuinya.

2. Meskipun urusan jodoh merupakan takdir Allah SWT, tetapi alangkah baiknya kalangan dari non habaib menyadari keadaan dirinya untuk lebih berhati-hati dalam memilih pasangan hidup.

3. Setiap orang baik laki-laki dan perempuan hendaknya dalam memilih pasangan sebaiknya agar mempertimbangkan kafa‟ah atau kesetaraan demi kelanggengan rumah tangga.

Dokumen terkait