• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB SEMARANG

A. Profil Desa Suruh Kec Suruh Kab Semarang 1 Letak Geografis Desa Suruh

1. Faktor Pendorong Suami Melakukan Poligam

Dari 1250 penduduk Suruh, ada tiga suami yang melakukan poligami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya keinginan untuk memiliki banyak keturunan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ussy dan Khadijah warga Rt 05 Rw 2. Andri menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1993, kemudian menikah lagi pada tahun 1997. Awalnya suami hanya bercanda saja dengan istri saat bangun tidur, ia berkata “ nopo tow bi kok nguyu-ngguyu dewe ki”? suami menjawab

ora, kok lucu wae mi..,aku kok yo ngimpi nikah meneh? ” dan istri menjawab dengan candaan “yo ra popo tow bi..,nek emang wes siap?” l suami berujar “ aku gelem wae ning umi wae sing golekke calonne aku ga pengen golek dewe, ngko wedi nak ono opo-opo kan iki gawe kebaikan awake dewe mi...” sang istri pun menanggapi “ yo ga popo bi, nek pancen wes siap,iyo tapi ga usah kesusu laah...” Setelah beberapa hari dari kejadian itu tanpa sengaja Ussy melihat pesan singkat di handphone suaminya yang menanyakan kepada teman-teman dekatnya apakah ada calon yang pas untuk dijadikan istri?

Akhirnya banyak pesan yang masuk yang memberikan respon, tapi dia hanya mencari calon yang usianya jauh lebih muda, kisaran 19-

23 tahun dengan alasan masih dalam masa produktif untuk memperoleh keturunan. Akhirnya ada 2 calon yang membuat Ussy tertarik yaitu dari Lampung dan Boyolali, tapi setelah dipikir lagi kalau harus ke Lampung saat walimah kasihan anak-anak ga ada yang ngurus... walaupun masih ada orang tua yang mau dan bisa menjaga anak-anak, tapi kan kasian kalo harus ditinggal jauh sama Abi dan Uminya? akhirnya Ussy memutuskan untuk berkenalan dengan Khadijah yang berasal dari Boyolali, saat itu ia masih berumur 20 tahun mereka bertemu dan bercakap-cakap “ umi.. kenapa ya kok saya waktu liat raut wajah umi kelihatannya sante-sante aj, kaya ga ada rasa keberatan sama sekali kalo suaminya mau nikah lagi? kata Khadijah, lalu Ussy menegaskan

“ ya kalo anti udah siap ana ga masalah kok, yang penting anti harus lebih memantapkan hati anti.. dan Khadijah pun menjawab

insyaallah ana sudah siap umi.., ana sudah ikhtiar dan istikharah, mungkin ini memang sudah jalannya?”

ya sudah kalo gitu, anti harus tau kalo suami ana ini juga punya banyak kekurangan dan kelebihan karena sudah sekian tahun sudah hidup bersama dan sudah punya anak sekian banyaknya, anti bisa menerima apa ga?”

Lalu gimana dengan keluarga anti? Kata Ussy “ keluarga ana ga ada masalah umi, itu semua terserah saya, mereka menyerahkan keputusan kepada saya” ujar Khadijah. Dalam hati Ussy sedikit kuatir karena tidak menyangka bahwa keluarganya tidak keberatan dengan

keputusannya itu, akhirnya tidak lama proses perkenalan pun berlanjut ke tahap berikutnya. Dan suami juga mengingatkan “ umi..., kalo dari proses awal sampe akhir setuju dan ga ada masalah, ya aku tak lanjut aja? Tapi kalo ga setuju, mending aku tak mundur ae.. daripada nanti jd ga baik akhirnya?”

Akhirnya keduanya saling cocok dan setelah 2 minggu perkenalan itu langsung didakan akad nikah, ia pun tinggal di rumah Ussy beserta anak-anaknya. Selama 2 tahun hidup dalam satu atap, Khadijah belajar menjadi istri yang baik dengan bimbingan Ussy pada akhirnya ketika Khadijah mempunyai anak ia sepakat untuk tinggal terpisah, dengan alasan untuk lebih belajar mandiri dan lebih terampil dalam mengurus anak-anak.

Pada saat melakukan wawancara, penulis menanyakan bagaimana cara suami berlaku adil kepada keluarga khususnya terhadap istri-istrinya? Ussy mengatakan bahwa selama ini suami cukup adil kepada saya maupun anak-anak, ” ya mungkin memang waktu yang harus bisa dibagi-bagi karena dalam seminggu juga ga mungkin harus disini terus toh..? lagian kan kalo di syari’ itu kan udah jelas, yang penting pas waktu malamnya harus sama-sama adil.. kalo disni Cuma 2 hari disana 3 hari ya ga masalah, kan juga kerja jadi kadang-kadang ada urusan mendadak jadi ga bisa lama kumpul sama anak-anak?”

“Kecuali kalo ada diantara salah satu istri yang sakit, ya tergantung ridhonya aja.. kalo lebih baik disana ya ga masalah? Penulis

juga menanyakan tentang biaya materiil, bagaimana pembagian nafkah lahir dengan istri lain? Ia mengungkapkan “ kalo masalah nafkah ya alhamdulillah adil lah ya.., ga harus banyak yang penting disesuaikan dengan kebutuhan aja?”

Dari istri pertama beliau dikaruniai 7 orang anak, sedangkan dari istri kedua dikaruniai 4 orang anak. Dari banyaknya keturunan, beliau beranggapan bahwa jikalau nanti beliau terkena musibah, maka anak- anaknya yang sholeh dan sholekhah akan mendo’akannya. Awalnya pernikahan mereka dilakukan secara sirri pada tahun 2006 baru kemudian dicatatkan ke KUA pada tahun 2008 dan pihak Pengadilan Agama. Hal ini dikarenakan adanya berbagai pertimbangan dalam mencatatkan pernikahan mereka di KUA. Namun sayangnya subyek peneliti berkeberatan memberikan bukti ataupun dokumen kepada peneliti. Hal ini sejalan dengan metode penelitian kualitatif yang menitik beratkan pada kesediaan subyek penelitian untuk memberikan bukti otentik berupa data/dokumen.(wawancara, 6 april 2011)

Hal ini bertentangan dengan pendapat dari Hadi Suryo warga dari Rt 01 Rw 2. Faktor beliau melakukan poligami adalah untuk menjalankan Sunah Rasul. Beliau melakukan poligami atas dasar kaidah Islam yang selama ini dipelajari, dengan alasan bahwa wanita di dunia ini jumlahnya sangat banyak. Seperti yang diungkapkan oleh Emi, bahwa seorang wanita membutuhkan mahram, dalam arti imam dalam membentuk sebuah keluarga.

Pada saat melakukan wawancara, peneliti menanyakan beberapa hal kepada obyek. “sebenere apa to mbak yang bikin mbak bersedia poligami?” Emi menjelaskan “ awalnya saya itu baru belajar mengenal agama,ya sedikit demi sedikit lah yaa...kan waktu itu kebetulan saya baru belajar agama, dan emang saya juga yatim piatu. Setelah orang tua saya meninggal saya diurus keluarga paman sampai akhirnya saya menikah..” dan pada waktu itu saya juga merasa kehilangan sosok keluarga,karena memang orang tua saya sudah meninggal ketika saya masih berumur 13 tahun. Dan saya merasa bahwa saya itu membutuhkan sosok imam dunia akhirat, yang bisa menuntun saya. Awalnya saya merasa bahwa poligami itu bukan hal yang aneh, karena memang pada dasarnya boleh... kalo dilihat dari jumlah laki-laki dan perempuan itu kan banyak banget perbandingannya? Jumlah laki-laki jauh lebih sedikit ketimbang yang perempuan, maka bagi siapa aja yang sudah siap dan mampu secara financial itu mbok ya’o menikahi salah satu dari mereka...”

“yaa... beberapa dari temen-temen banyak yang punya keinginan kaya’ gitu, tapi ya mungkin aja karena emang ga siap dari segi materi tapi dari segi lahir udah siap... tapi ada juga yang lahir udah siap tapi materi ga siap, makanya mereka itu minta dikasih saran ato mungkin contoh dulu laah?” kalo orang yang berilmu itu kan bisa memberikan contoh yang baik... dan akhirnya mbak Kenanga dan suami sepakat

untuk mencarikan istri kedua, dan itu juga beliau sendri yang nawarke yaa...untuk jadi contoh ke temen-temen yang laen.”

Peneliti memberikan pertanyaan “lha trs gimana awalnya mbak bisa ketemu sama suami?” Emi menjawab “ dulu saya itu sudah lama temenan sama mbak Kenanga, udah tau gimana karakter masing-masing laah... kebetulan kita itu juga punya yaa..bisa dibilang visi yang sama.” Waktu itu mbak Kenanga langsung nawarke ke saya, tapi saya ga langsung bilang iya.. tak pikir-pikir dulu, tak timbang-timbang dulu dan akhirnya saya istikharah, alhamdulillah ternyata itu memang jodoh saya.. dan dari awal komitmen itu bukan untuk yang laen-laen tapi bisa dibilang untuk kemashlahatan.”

“Dan alhamdulillah setelah saya menikah banyak juga temen- temen yang akhirnya pada brani, yang sudah siap secara lahir batin laah ...

“trus tanggapane keluarga mbak sendiri gimana?” ujar peneliti

“ tanggapannya yaa..jelas berat apa pun namanya keputusan yang baik ato buruk pasti ada konsekuensinya...” mereka memang susah untuk menerima keputusan saya, tapi dengan melakukan pendekatan terus menerus dengan memberikan penjelasan yang memang masuk akal dan kembali kepada Islam sebenenya yaa.. akhirnya mereka mau menerima keputusan saya?”

“Bahwa memang seorang wanita tidak disarankan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bisa mendidik dengan baik, maka

wanita dianjurkan memilih salah satu diantara mereka... dan dari situ saya membuktikan kepada keluarga bagaimana kehidupan poligami bisa berjalan dengan baik dan alhamdulillah sudah berjalan 19 tahun dan sama sekali tidak ada masalah, yang sampe bikin keluarga jadi ga karuan laah?”

“Perkara ujian itu biasa kan yaa.. itu smua kan juga tergantung kita menyikapinya aja? Dan pasti dibalik ujian itu ada hal yang nantinya jadi baik, dari situ alhamdulillah keluarga bisa mengerti... dan mereka juga tidak melihat hal-hal yang selama ini dikhawatirkan?”

“Lha selama menikah dari tahun ’92 sampe sekarang apa mbak sudah merasa adil ato masih biasa-biasa aja?” tanya peneliti

Emi menjelaskan “ gini ya..., yang dimaksud adil kalo diayatnya itu kan secara fisik kan? Ada pun masalah hati itu kita kembali ke Allah, terserah kalo suami mau mencintai saya 20 % ato 100 % , yaa... itu hak mereka? Kalo untuk saya pribadi, cinta itu kembali lagi kepada Allah dan mencintai seseorang itu memang benar-benar karena Allah. Jadi, mau diprosentase berapa pun itu ga masalah yang penting tidak mengurangi hak dan kewajiban,gitu... kalo buat saya ga masalah suami mau mencintai saya berapa besarnya, yang penting apa yang sudah saya jalani ya disyukuri aja? Misalnya seperti nafkah ya.., orang mungkin punya padangan dari nilainya kalo segini tuh kurang,ga cukup ato apa?tapi kalo kita itu bersyukur insyallah apa yang ada itu ga akan terus merasa kurang malah akan terus ditambah sama Allah, bahkan

waktu kita sendiri pun ya itu mungkin lum bisa dibilang cukup kalo kita ga bersyukur?jadi ya relatif laah ya menurut saya adil itu...ga ada masalah kok, malah saya lebih suka berbagi sebenernya.

Maksud saya gini, suami saya itu kan bukan tipe orang yang suka diam dirumah, beliau cenderung sering diluar,jadi seberapa pun suami punya waktu luang dirumah ga masalah. Mau cuma semalam pun kita menghargai, dan ga menuntut waktu lebih karena emang keadaan suami yang sedang sakit. jadi, tergantung dimana tempatnya aja?

Kalo mbak Kenanga sendiri emang tipe orang yang lebih telaten banget tapi kalo saya sendiri emang cenderung kurang telaten.saya lebih merasa kalo emang lebih baik yaa...monggo aja ga apa-apa? Jadi kan sama-sama enaknya gitu lho...

Peneliti menanyakan “kalo biaya hidup anak-anak sendiri gimana mbak?” Emi menjawab “ yaa.. kalo biaya untuk anak-anak karena memang suami bertugas menjadi kepala keluarga itu kan tanggung jawabnya, kita cuma bantu-bantu aja?ya kalo misalnya dari suami itu kurang ya paling ga kita bisa dikit ngebantu laah... tapi kalo masalah yang pokok kan udah ditanggung sama suami?”

“kalo tanggapan orang sekitar mbak gimana?” tanya peneliti

“ alhamdulillah tetangga bersikap baik,kuncinya satu bisa berhubungan baik dengan orang sekitar..” ujar Emi.

“seneng ga mbak jadi istri kedua?” tanya peneliti “ saya merasa ga keberatan atau beban ya.., saya ngejalaninya karena memang atas

dasar ibadah, tapi saya kuatir kalo nanti seandainya nanti mbak kenanga yang meninggal saya takut ga bisa ngurusi anak-anak karena memang beliau itu bener-bener partner yang baik? Tapi kalo seandainya suami saya yang meninggal insyaallah saya dan mbak Kenanga masih bisa saling bantu, dan kalo pun saya yang meninggal malah saya berpikiran anak-anak bisa jadi lebih baik..” tegas Emi

Hadi Suryo menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1988 dan menikah dengan istri kedua pada tahun 1992. Dari pernikahannya dengan istri pertama dikaruniai 8 orang anak, sedangkan dengan istri kedua dikaruniai 5 anak. Pernikahan mereka awalnya dilakukan secara sirri, tetapi subyek penelitian tidak menyebutkan tahun pencatatan pernikahan di KUA.(wawancara, 7 april 2011)

Selain Bapak Yahya dan Bapak Hadi Suryo, Bapak Mus’ab seorang warga yang berada di Rt 08 RW 1 mempunyai faktor lain beliau melakukan poligami. Faktor tersebut yaitu karena istri pertama meninggal dunia dan istri kedua tidak mempunyai keturunan. Dari istri pertama beliau mempunyai dua orang anak, dari istri kedua tidak mempunyai keturunan sedangkan dari istri ketiga belum dikaruniai anak karena baru saja melaksanakan perkawinan. Pada saat melakukan penelitian subyek tidak memberikan keterangan jelas karena terbatasnya waktu, sehingga data yang diperoleh kurang valid. Dari pernikahannya yang ketiga belum dicatatkan ke Pengadilan karena memang butuh

proses yang panjang, selain itu mereka juga baru menikah.(wawancara, 7 april 2011)

Dokumen terkait