BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Islam adalah agama yang membawa misi rahmat lil ‘alamin (rahmat
bagi alam semesta), dan sangat memperhatikan arti penting perkawinan
sebagai satu-satunya cara yang sah untuk berketurunan. Tidak kurang dari 80
ayat di dalam al-Qur’an yang berbicara tentang perkawinan, baik yang
memakai kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja
(berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada
manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan itu dapat menjadi
jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan, menuju
kehidupan sakinah (damai, tenang, dan bahagia) yang diridhai Allah.
Pada dasarnya prinsip perkawinan adalah monogami, namun dalam
prakteknya, pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial.
Status hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Sunnah Nabi
sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu
kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami atau poligami bukanlah
sesuatu yang didasarkan pilihan bebas, melainkan harus selalu merujuk pada
prinsip-prinsip dasar syari’ah, yaitu terwujudnya keadilan yang membawa
kemashlahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan.
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola
memandang kedudukan dan derajat perempuan berada di bawah laki-laki maka
poligami menjadi subur, sebaliknya pada masa masyarakat yang memandang
kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat dan setara dengan laki-laki,
poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang
surut mengikuti tinggi-rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata
masyarakat. Sebenarnya poligami dilakukan oleh berbagai kalangan
didasarkan pada pertimbangan moral untuk menghindari perbuatan asusila,
pelecehan seksual, perdagangan perempuan (trafficking), serta
tindakan-tindakan moral lainnya. Akan tetapi pada zaman sekarang ini tidak menutup
kemungkinan poligami dilakukan karena hanya untuk pemuasan hasrat
biologis saja, tanpa mempertimbangkan hak-hak perempuan. Poligami berakar
pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan sifat despostis
(semena-mena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari perbedaan kecenderungan
alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi reproduksi.
Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya
empat orang istri. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4
Undang-Undang Perkawinan dan Bab XI pasal 55 s/d 59 KHI. Dalam KHI antara lain
disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Selain
syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana
termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri
anak-anak mereka. Perkawinan poligami adalah suatu perkawinan yang
dilakukan oleh seseorang (suami) karena adanya sebab/alasan tertentu yang
menyebabkan perkawinan itu terjadi (Zuhdi, 1993: 30).
Di dalam KHI pasal 57 dijelaskan bahwa alasan-alasan bagi suami
berpoligami adalah :
1. istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya.
2. istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh.
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketiga alasan yang tertuang di atas tidak sesuai tuntutan Allah swt
seperti yang tertuang dalam Q.s. An–Nisa’ ayat 16 yang artinya: "Dan
pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dengan merujuk ayat di atas tampak dengan jelas bahwa semua alasan
yang dikemukakan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah untuk
membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari kepentingan suami sama
sekali tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan istri. Lagi pula, jika
dihayati dengan hati yang jernih, mau tidak mau harus diakui bahwa kondisi
istri yang mandul atau berpenyakit bukanlah kondisi yang disengaja. Kondisi
itu lebih merupakan takdir dari Tuhan, karena tidak ada istri yang
menginginkan dirinya mandul atau berpenyakit. Semua perempuan tentu
menginginkan dirinya sehat, hanya saja tidak semua keinginan manusia dapat
berdasar pada hal tersebut bahkan justru pelaku menyimpangkan hal-hal
tersebut. Secara jasmani dan rohani sang istri masih dapat melakukan seluruh
kewajibannya, baik mengurus suami maupun mendidik anak-anaknya.
Sekiranya apa yang digambarkan di atas itu benar-benar terjadi,
disinilah muncul suatu konflik antara teori dan praktek, artinya syarat-syarat
yang telah disebutkan diatas tadi sama sekali tidak dijadikan acuan orang
dalam melakukan poligami. Perkawinan poligami tidak dilakukan berdasar
pada alasan-alasan yang ditentukan oleh perundang-undangan, melainkan
karena alasan-alasan lain termasuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja.
Seseorang bisa saja membuat alasan dengan menganggap pasangannya tidak
mampu memberikan kepuasan batin. Faktor inilah yang patut diduga sering
melatar belakangi perkawinan poligami sebagaimana yang terjadi di Desa
Suruh. Ada empat kasus praktek perkawinan poligami yang akan dikaji oleh
penulis.
Poligami yang marak terjadi di kalangan masyarakat kita, tidak semua
orang mengetahui dengan jelas bagaimana sebenarnya perkawinan poligami
itu terjadi dan sah secara hukum (baik perundang-undangan yang dibuat oleh
negara maupun menurut hukum syari’at Islam). Sebenarnya perkawinan
poligami tidak hanya menimbulkan rasa kekecewaan terhadap istri, tetapi juga
menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya.
Istri yang dipoligami selalu merasa tersisihkan karena suami cenderung lebih
memperhatikan istri yang baru (isteri mudanya) ketimbang istri pertama.
sehingga bukanlah surga yang diperoleh tetapi akan menambah dosa
disebabkan berkembangnya rasa saling curiga antara isteri pertama dengan
isteri kedua. Dengan demikian tujuan utama membangun rumahtangga jauh
dari harapan, bahkan yang dirasakan adalah timbulnya kemudharatan.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana praktik poligami terjadi di Desa Suruh?
2. Mengapa terjadi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh?
3. Apakah pelaku perkawinan poligami menegakkan perlakuan yang adil
terhadap istri-istrinya?
4. Bagaimana respon mayarakat terhadap praktik poligami di Desa Suruh?
5. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia
terhadap praktik poligami di Desa Suruh kab. Semarang.
C. Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan poligami di Desa Suruh.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami.
3. Untuk mengetahui konsep adil yang diterapkan oleh suami terhadap
istri-istrinya yang sesuai dengan Hukum Islam dan Perundang-undangan.
4. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan
5. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam dan
Perundang-undangan dalam menanggapi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh.
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini adalah :
1. Teoritis
a. Untuk menambah khasanah pengembangan ilmu hukum, khususnya
hukum tentang poligami.
b. Untuk mengetahui bagaimana ketetapan Hukum Islam dan
Perundang-undangan tentang poligami.
c. Untuk mengetahui tentang praktik poligami yang ada di lapangan.
2. Praktis
a. Progdi AS
Memberikan informasi tentang praktik poligami yang sesuai dengan
Hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
b. KUA
Memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi pihak-pihak
yang berkepentingan dengan permasalahan poligami.
c. Masyarakat
Memberikan sumbangan pengetahuan tentang praktik poligami sesuai
E. Penegasan istilah
Untuk menghindari adanya kesalahan penafsiran pada judul yang
penulis ajukan, maka perlu kiranya penulis jelaskan pengertian serta maksud
dari judul sebagai berikut :
1. Poligami
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan
(Mulia, 2000 : 2). Ringkasnya, poligami adalah perkawinan antara satu
pria dengan lebih dari satu perempuan sebagai isteri-isterinya.
2. Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan
Wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasul Muhammad
shallallah ‘alaihi wa sallam tentang tingkah laku mukallaf yang diakui
dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Ali, 2000 :
112)
3. Perundang-undangan Perkawinan NO. 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Perundang-undangan dalam arti formil, yaitu keputusan (beslising)
tertulis yang diadakan badan-badan negara. Dalam arti materiil, yaitu
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa atau
4. Perilaku Poligami
Kata “perilaku” adalah tindakan atau perilaku suatu organisme
yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Sedang yang dimaksud
dengan “perilaku poligami” adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
individu yang berada dalam ikatan perkawinan dikarenakan adanya sebab
tertentu (Hamdani, 2001 :38).
Karya ini dibuat oleh penulis bertujuan menganalisa tentang
bagaimana pelaku perkawinan poligami dapat menegakkan sistem keadilan
seperti yang diajarkan oleh syari’at Islam. Benarkah dalam praktek poligami
orang telah mampu menegakkan keadilan dengan menunjang apa-apa yang
dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Sebagaimana kita tahu bahwa peran
pelaku poligami dituntut lebih dari yang bukan poligami karena tanggung
jawab yang lebih besar terhadap keluarga.
F. Tinjauan Pustaka
Banyak karya ilmiah atau penulisan yang membahas tentang
kasus-kasus poligami, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terus dikaji dan
ditelusuri lebih dalam lagi. Banyaknya kasus yang berhubungan dengan
perkawinan poligami mendorong penulis mencoba mengungkap fenomena
tersebut dengan mengamati dalam praktek kehidupan pasangan poligami.
Dengan demikian diharapkan penelitian ini tidak sama dengan yang sudah
ada. Pada umumnya kajian kasus poligami - sejauh pengkajian penulis -
Sudibyo (2001:25) yang berjudul "Konsep Keadilan Dalam Berpoligami
menurut Hukum Islam". Sudibyo menjelaskan bahwa konsep adil dalam
perkawinan poligami harus sesuai dengan apa yang ada di dalam aturan Islam
serta penerapan konsep keadilan yang benar menurut Al-Qur’an dan hukum
Tuhan. Menurutnya, adil di sini tidak hanya adil dalam pemberian nafkah saja
tetapi juga adil terhadap pembagian terhadap cinta dan kasih sayang kepada
istri-istrinya seperti pembagian jatah malam, nafkah lahiriah maupun batiniah.
Bukan hanya itu, adil terhadap pemberian kasih sayang kepada anak-anaknya
pun harus diperhatikan yaitu dengan memberikan hak-haknya secara penuh
dan tidak berbuat aniaya kepada mereka.
Begitu juga karya dari Siti Mulyani (1997:18) yang mengangkat tema
"Poligami Dalam Perspektif Keadilan Gender" , dalam karyanya dijabarkan
bahwa poligami yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah merupakan
suatu perbuatan yang sangat merendahkan kaum perempuan karena terdapat
unsur diskriminasi sosial maupun kejiwaan. Tidak hanya itu, jika dilihat dari
sisi suami itu sendiri maka tampak sangat jelas unsur yang terkandung di
dalamnya lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang dari sisi kaum
perempuan yang jelas-jelas lebih merasakan dampak dari poligami itu sendiri.
Jelas di sini bahwa, kaum perempuan merasa seperti tersisihkan karena
adanya sebab yang menjadi alasan-alasan bagi suami untuk berpoligami
seperti yang telah disebutkan di atas.
Berbeda dengan karya-karya di atas, M. Sholihan (1999:30) "Poligami
memaparkan pendapat bahwa adanya kontradiksi di antara izin untuk beristri
sampai empat orang dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka dengan
pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap istri-istri tersebut adalah mustahil.
Menurut penafsiran yang tradisional izin untuk berpoligami itu mempunyai
kekuatan hukum, sedang keharusan untuk berbuat adil kepada mereka
walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami (walaupun
Hukum Islam yang tradisional memberikan hak kepada kaum wanita untuk
meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka dianiaya atau dikejami
oleh suami mereka). Dari sudut pandang agama yang normatif keadilan
terhadap istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung kepada kebaikan
suami, walaupun pasti akan dilanggar. Sebaliknya modernis-modernis
muslim cenderung untuk mengutamakan keharusan untuk berbuat adil
tersebut, bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, mereka mengatakan
bahwa izin untuk berpoligami itu hanya untuk sementara waktu dan tujuan
tertentu saja. Beliau memang membenarkan pendapat di atas bahwa izin
berpoligami merupakan hukum, sedang sanksinya adalah untuk mencapai
ideal moral yang harus diperjuangkan masyarakat karena poligami itu tidak
dapat dihilangkan begitu saja.
Dari karya-karya di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang
yang melakukan poligami tidak mudah, di dalamnya terdapat
ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan. Serta banyak kontradiksi yang terjadi
tentang hal tersebut, dan hal inilah yang ingin penulis bahas lebih lanjut
khususnya praktek di lapangan. Hal inilah yang membuat peneliti mencoba
menggali kembali tentang poligami, meskipun telah banyak pula para peneliti
yang mengangkat tema di atas. Sedikit berbeda dengan karya-karya ilmiah
lainnya disini penulis mengemukakan penelitian secara lapangan, yang lebih
terperinci secara utuh berdasarkan fakta yang ada.
G. Metode Penelitian
Metode dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,
sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan
metode-metode tertentu (Hadi, 1997 : 30 ).
Adapun metode yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan
yuridis empiris, yaitu sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti sifat
hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Pendekatan yuridis ini dimaksudkan untuk memperoleh fakta hukum yang
mengatur tentang perkawinan poligami menurut Hukum Islam, sedangkan
pendekatan empiris dalam penelitian ini dimaksudkan memperoleh fakta
atau kenyataan yang sebenarnya mengenai bagaimana pelaksanaan
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
kualitatif yaitu suatu penelitian yang mencoba mengungkapkan gejala
secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual)
melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri
peneliti sebagai instrumen kunci.
b. Kehadiran Peneliti
Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggunakan metode dua arah
di mana ada interaksi antara peneliti dengan subyek penelitian. Dalam hal
ini peneliti menggunakan pendekatan psikologis untuk memperoleh data
yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu dengan mencari
informan guna melengkapi data. Kehadiran peneliti disini mencoba
menggali lebih jauh tentang poligami dan melibatkan secara langsung
subyek peneliti, dengan kata lain penelitian ini telah diketahui oleh subyek
penelitian.
c. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di Desa Suruh Kabupaten Semarang karena merupakan salah satu terjadinya perkawinan poligami dan peneliti menemukan adanya 3 kasus praktik perkawinan tersebut.
d. Sumber data a. Data primer
Data ini merupakan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta
langsung yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara dengan
informan seperti keluarga, tetangga, orang-orang terdekat, maupun
Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka berupa, buku,
literatur, dokumen-dokumen resmi, Al-Qur’an dan Al-Hadits
e. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Kajian pustaka dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan karya-karya
yang diperkirakan dapat mendukung penelitian ini, yaitu karya-karya
yang memberikan informasi tentang perkawinan poligami secara
umum.
b. Wawancara, yaitu pengumpulan data dimana penulis mengadakan
tanya jawab secara langsung dengan sumber data terkait. Wawancara
akan dilakukan terhadap pelaku maupun orang terdekat seperti,
keluarga, tetangga, maupun pihak-pihak yang mengetahui praktik
perkawinan poligami di Desa Suruh.
c. Observasi, yaitu peneliti mengamati apakah benar ekspresi yang
diperlihatkan subyek penelitian sesuai dengan respon verbal yang
diberikannya (Mulyana, 2006:30).
Lebih lanjut menurut Patton (Poerwandari,1998:23) hasil observasi
menjadi data yang penting karena :
a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks
hal yang diteliti atau terjadi.
b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka,
berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan
Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan
untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi tentang topik yang
diamati akan berkurang.
c. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang
menyangkut penelitian, dan karena berbagai sebab tidak diungkap oleh
informan secara terbuka dalam wawancara, seperti kegiatan informan
sehari-hari, hubungan informan dengan pasangannya, keadaan rumah, dan
lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya.
f. Teknik Analisa Data
Dalam penulisan ini, setelah data yang diperoleh, kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode yaitu :
a. Metode induksi, yaitu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat
khusus untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode deduksi, yaitu cara berpikir dari pernyataan yang bersifat
umum untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
g. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga
untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknis untuk
memeriksa keabsahan suatu data. Keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi sumber, menurut Patton (2002:180)
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
metode kualitatif (Moleong, 2002:178).
Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat
ditempuh dengan cara, membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di
depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi,
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan (Moleong, 2002 : 178).
h. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap, pertama pra
lapangan, peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang
adanya praktik perkawinan poligami. Tahap selanjutnya peneliti terjun
langsung ke lapangan untuk mencari informan atau pelaku dan melakukan
observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku
perkawinan poligami, keluarganya, tokoh agama atau masyarakat dan
tetangga pelaku perkawinan poligami. Tahap terakhir yaitu penyusunan
laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan
kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif.
Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Poligami; bab ini berisi Poligami Menurut Hukum Islam, Sejarah Poligami, Syarat Poligami, Hukum Poligami Dalam Islam, Akibat Hukum Dari Poligami, Hikmah Poligami, Poligami Menurut Perundang-Undangan di Indonesia.
Bab III Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Suruh Kab. Semarang; bab ini berisi tentang Gambaran Umum Desa Suruh, Jaminan Terhadap Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan, Jaminan Terhadap Pendidikan dan Pengajaran Serta Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan Dan Jaminan Sosial.
Bab IV Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Terhadap Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Kab. Semarang. Bab ini berisi tentang Analisis Terhadap Faktor Suami melakukan Poligami dan Analisis Terhadap pendapat istri Tentang Poligami yang dilakukan oleh Suaminya .
BAB II POLIGAMI
A. Poligami Menurut Hukum Islam
Secara etimologis atau lughowi bahwa kata Poligami bersal dari
bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli dan polus yang berarti banyak,
serta gamien dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikan
poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi atau istilah
poligami adalah salah satu perkawinan yang pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Dalam
Hukum Islam poligami berarti suatu perkawinan yang dilakukan oleh salah
satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligam yaitu perkawinan yang dilakukan karena adanya
sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan seseorang melakukan hal tersebut.
Selain poligami dikenal juga poliandri, sebaliknya justru istri yang
mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi,
dibandingkan dengan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan.
Islam memperbolehkan seseorang untuk berpoligami, tetapi hanya
terbatas pada jumlah bilangan istri yaitu hanya dengan 4 orang istri dan
tidak dianjurkan atau tidak diperbolehkan untuk menambah lebih dari
jumlah bilangan tersebut. Syarat utama bagi pelaku poligami adalah
mampu bersikap adil dalam memenuhi semua kebutuhan istri-istri dan
anak-anaknya. Maka apabila tidak mampu dalam pemenuhan kebutuhan hidup
maupun kesejahteraan keluarga tidak diperbolehkan melakukan poligami.
Tidak terjaminnya kesejahteraan hidup keluarga yang dibinanya akan
berdampak buruk terhadap kelangsungan rumah tangganya.
Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan bahwa jika seorang
suami ingin melakukan poligami maka harus dengan ijin dari istri, baik
secara lisan maupun tertulis.
1. Sejarah poligami
Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya
Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia,
Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris
semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga
bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami.
Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islam yang
melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami
yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri
yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang.
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami,
karena tidak ada satu ayatpun dalam Injil yang secara tegas melarang
poligami. Apabila orang-orang Kristen di eropa melaksanakan
monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan seperti orang Yunani
dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah
mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan
nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian,
peraturan tentang monogami atau kawin dengan seorang istri bukanlah
peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi
monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka
menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami
dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal
lembaran-lembaran dari Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan
poligami (Hamdani, 39 : 2001).
2. Syarat Poligami
Dalam berpoligami tercatat beberapa alasan-alasan yang
dianggap kondusif, seperti yang tercantum pada UU No. 1 1974 pasal
40 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 57
yaitu :
1) Istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya.
2) Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung
sembuh.
Selain alasan-alasan di atas, dijelaskan pula bahwa pelaku
poligami harus mendapat persetujuan dari istri terlebih dahulu baik
secara lisan maupun tertulis, dan persetujuan tersebut harus disebutkan
di depan Sidang Pengadilan. Pada saat proses pengijinan berpoligami di
sini (suami) harus bisa menunjukkan bukti-bukti kepada Pengadilan
Agama bahwa suami tersebutsanggup menghidupi keluarga dan
anak-anaknya, baik dari istri pertama maupun kedua serta berlaku adil sesuai
dengan syariat agama yang telah ditetapkan. Bukti-bukti tersebut antara
lain dengan melampirkan surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja atau dengan
menunjukkan surat keterangan pajak penghasilan atau dengan surat
keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Permohonan ijin poligami dapat dikabulkan oleh pihak
Pengadilan Agama menurut pertimbangan majlis hakim yaitu dengan
melihat persetujuan dari istri pertama tentang kesediaannya di poligami
atau tidak dan ada beberapa pengajuan persyaratan yang terdapat di
dalam UU No. 1 1974. Apabila ada salah satu persyaratan yang
diajukan oleh pemohon itu kurang, maka Pengadilan Agama berhak
memutuskan menolak berpoligami.
3. Hukum Poligami Dalam Islam
Perkawinan merupakan bagian dari sunnah Rasul, dan termasuk
salah satu bentuk ibadah dalam Islam. Islam menganjurkan bagi
asas monogami. Dalam situasi dan kondisi tertentu laki-laki muslim di
perbolehkan kawin paling banyak dengan empat orang perempuan
dalam satu waktu apabila ia sanggup memelihara dan berlaku adil
terhadap istri-istri mereka dalam soal nafkah, tempat tinggal, dan
pembagian waktu. Apabila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil,
maka dilarang kawin dengan perempuan lebih dari satu, sama seperti
dilarang kawin dengan perempuan lebih dari empat.
Allah berfirman:
IJĩ ĜIJΊʼnīăΛ
ΞăΕ▪ĬăΏ
È●Ĝăŧ ĽΕΉ
ė
ăΒÈΏ
ąΎʼn΅ IJΉ
ăĝ ĜIJǻ ĜăΏ
ėΜĄĸÈ΅ ąΔĜIJ₤
ΞăΏĜăĨăΣ▪Ή
ėΠÈ₤ėΜʼnǼÈŧ ▪⅞ĄħĜ┤Ή
IJāąΎĄĨ▪℮ÈŅ▪ΑÈċăΛ
ėΜʼnΉ
ΜĄẃăħ
Ĝ┤Ή
IJā
ΞăΔąŊIJā
ă ÈΉ
IJŌ
ąΎʼn΅ ĄΔĜăΐąΡIJā
ąĦIJ΅ IJΊăΏ
ĜăΏ
ąΛIJā
♥ģăŋÈķėăΜIJ₤ėΜʼnΉ
ÈŋąẃăħĜ┤Ή
IJāąΎĄĨ▪℮ÈŅ▪ΑÈĒIJ₤ăẀĜăġĄŎăΛ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua,tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An
Nisa: 3)
Maksud adil disini adalah sekedar yang dapat dilakukan
seseorang untuk berlaku adil, misalnya dalam soal membagi waktu,
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat
seorang istri mereka, maka tidak termasuk dosa. Rasulullah s.a.w
sendiri pernah bersabda:
Ą ÈΊąΏIJā
ĜăΐąΣÈ₤
ąΠÈΐąŧ IJ⅝
ėIJōăΙ ĚΎĄΚ┤ΊΉ
IJė
Ą ÈΊąΏIJā
IJΫăΛ
Ą ÈΊąΐăħ
ĜăΐąΣÈ₤
ąΠÈΕěΐʼnΊăħ
IJάIJ₤
.
Artinya :
Ya Allah, inilah bagian yang yang aku punya, tapi janganlah
Engkau cela atas sesuatu yang Engkau miliki tapi aku tidak memilikinya.
(H.R. Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa’i)
4. Akibat Hukum Dari Poligami
Dalam Islam memang diperbolehkan melakukan poligami,
namun harus ada alasan-alasan yang tepat seperti yang diatur dalam
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Dari beberapa pernyataan diatas, perkawinan
poligami merupakan suatu sunnah yang boleh dilakukan apabila
seseorang yang melakukan poligami mampu baik secara materi maupun
rohani.
Dari sini tuntutan adil memang sangat diutamakan, karena Islam
menganjurkan sikap adil terhadap penghidupan keluarga. Hal ini
memang sangat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga yang
dibangun, begitu juga dalam perkembangan pertumbuhan anak.
istri-tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Hal ini juga menyangkut
tentang keadaan sosial disekitarnya, seperti pandangan dari tetangga
yang melihat perkawinan poligami tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang poligami adalah hal yang
dianggap aneh, karena bukan hal yang umum dikalangan masyarakat.
Pada umumnya perkawinan hanya memiliki satu orang istri saja, tetapi
lain hal dengan penelitian ini, dalam penelitian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa informan-informan yang ada melakukan poligami
lebih mengacu pada syari’at Islam. Ditinjau dari alasan-alasan mereka
sebenarnya lebih kepada kebaikan ummat saja, yang dimaksud disini
adalah perlindungan terhadap kaum perempuan yang belum mampu
berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut cara pandang bahwa wanita jumlahnya cenderung
lebih banyak ketimbang laki-laki, sehingga dikhawatirkan akanbanyak
terjadi tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan perempuan,
dari itu poligami dapat dipandang akan menyelamatkan jiwa, harkat
dan martabat mereka.
Seorang imam yang baik dapat menuntun mereka menuju jalan
yang baik serta menjaga hati mereka dari fitnah yang keji. Karena
wanita sangat rentan terhadap fitnah dan perbuatan-perbuatan amoral.
Meski demikian, orang-orang disekitar menilai hal tersebut adalah hal
yang tidak pada umumnya, karena bukan persoalan yang mudah jika
dalam satu atap. Mengingat perkawinan bukanlah persoalan yang
mudah, dibutuhkan kesabaran dan keadilan yang sama terhadap seluruh
anggotakeluarga. Tidak ada kata lebih baik dari A atau B dan lainnya,
dan ketikaterjadi perselisihan harus dibicarakan bersama.
Perkawinan poligami merupakan komunikasi tiga arah,
sehingga cenderung menambah lebih banyak dan lebih banyak
tanggung jawab suami daripada memiliki satu istri.
5. Hikmah Poligami
Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan.
Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur, harus dibebankan
kepada manusia untuk menegakkannya dan harus disebarluaskan
kepada seluruh umat manusia. Risalah Islamiyah tidak akan tegak
melainkan apabila ada kekuatan yang mendukung, adanya
pemerintahan yang mengelola segala segi, pertahanan keamanan,
pendidikan, industri, perdagangan, dan sektor-sektor lain yang
menunjang tegaknya suatu pemerintahan. Semuanya itu tidak akan
sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi
yang banyak jumlahnya. Jalan untuk mendapatkan massa yang banyak
ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan.
Negara-negara yang maju banyak membutuhkan sumber daya
manusia untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan
keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak
yang harus dilindungi. Tidak ada jalan yang terbaik untuk melindungi
mereka selain dengan mengawini mereka dan tidak ada jalan untuk
menggantikan orang yang gugur di peperangan itu selain dengan
memperbanyak keturunan, dan poligami adalah jalan untuk
memperbanyak keturunan.
Demikian pula di beberapa negara, penduduk perempuannya
lebih banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi di negara yang
habis berperang. Bahkan pertambahan jumlah kaum perempuan pasti
terjadi pada banyak negara meskipun dalam suasana damai, karena
kesibukan kerja menyebabkan kaum lelaki cepat tua dan berarti
membuat mereka cepat mati, oleh karenanya jumlah kaum perempuan
akan lebih banyak dari kaum laki-laki. Perbedaan jumlah ini
mengharuskan adanya poligami untuk menjaga dan melindungi
perempuan. Apabila mereka dibiarkan hidup sendiri mereka lebih
mudah terombang-ambing dan gampang terjerumus ke dalam perbuatan
nista yang akan merusakkan kehidupan masyarakat, akhlak mereka
akan rusak dan mereka akan merana sendirian.
Kemudian, bahwa kesanggupan seorang laki-laki untuk
berketurunan lebih kuat daripada perempuan. Laki-laki sanggup
melaksanakan tugas biologisnya sejak ia baligh sampai usia akhirnya.
Sedang kaum perempuan tidak mampu melaksanakannya di waktu
perempuan untuk berketurunan terbatas sampai usia antara 40 hingga
50 tahun, sedangkan kaum lelaki sanggup sampai usia 60 tahun lebih.
Apabila perempuan dalam keadaan seperti tersebut di atas tidak
dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri lantas apa yang
harus dilakukan oleh suaminya? Ia harus menyalurkannya kepada
istrinya yang halal untuk menjaga kehormatannya ataukah ia harus
mencari penyaluran seperti yang dilakukan oleh binatang? Tanpa
perkawinan sah? Padahal islam secara tegas melarang pelacuran.
ُﮫﱠﻧِإ ﺎَﻧﱢﺰﻟا اﻮُﺑَﺮْﻘَﺗ ﺎَﻟَو ﺎًﻠﯿِﺒَﺳ َءﺎَﺳَو ًﺔَﺸِﺣﺎَﻓ َنﺎَﻛ
Janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sungguh zina itu keji dan
jalan yang buruk. (Q.S 17, Al-Isra’ : 33)
Kadang-kadang ada seorang suami mempunyai istri berpenyakit
atau mandul yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, padahal si istri
ingin tetap bersama suaminya, sedang suami menginginkan adanya
anak serta punya istri yang dapat mengatur rumah tangganya. Dalam
keadaan seperti ini apakah suami harus tetap rela dengan menanggung
beban yang menyedihkan? Tetap bersama istrinya yang berpenyakit
atau mandul, yang tidak dapat mengatur rumah tangganya, dan beban
itu harus dipikul suami sendirian? Ataukah si istri harus diceraikan
padahal ia masih mencintai suaminya dan suami juga masih
istrinya? Ataukah kasih sayang suami istri itu tetap diteruskan tetapi
suami kawin dengan perempuan lain tanpa harus berpisah dengan istri
lama dan maslahat keduanya masih tetap terjaga? Inilah petunjuk
terbaik yang lebih layak untuk diterima.
Kadang-kadang juga ada seorang laki-laki yang karena
kejiwaannya atau karena fisiknya sangat kuat nafsu seksnya, ia belum
akan puas kalau hanya dilayani oleh seorang istri, maka sebagai
gantinya agar ia tidak mengambil gundik yang akan merusakkan
moralnya, ia diizinkan untuk memuaskan nafsu (gharizahnya) dengan
jalan yang halal, yaitu berpoligami.
B. Poligami Menurut Perundang-undangan di Indonesia 1. Undang- undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
Sebagai komponen terkecil dalam tata kehidupan
bermasyarakat, keharmonisan keluarga berperan penting dalam
membentuk kepribadian setiap anggota keluarga. Banyak masalah
sosial yang muncul karena ketidak harmonisan dalam keluarga,
sehingga dipandang perlu adanya peraturan perundangan mengenai
Perkawinan.
Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak
individu untuk berkeluarga, sekaligus menjamin kepentingan dan
Undang-undang ini adalah asas monogami, tetapi didalamnya pun
mencakup tentang perkawinan poligami.
Dalam pasal 40 ayat 1 tentang Poligami dijelaskan bahwa
seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari seorang harus
mengacu kepada sebab-sebab yang tercantum pada
perundang-undangan. Di sini pihak Pengadilan memiliki peran penting dalam
memutuskan alasan-alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah:
a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
kunjung sembuh
c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan
Selain itu ada syarat yang diperuntukkan bagi istri diantaranya,
ialah:
1. Dzahir batin tercukupi
2. Semua kebutuhan sandang, pangan, papan tercukupi.
3. Kebutuhan serta kesejahteraan bagi anak-anak tercukupi.
4. Adil terhadap anak-anaknya.
Dijelaskan pula, jika seorang suami ingin menikahi perempuan
lebih dari seorang harus mendapat ijin terlebih dahulu dari istri
pertama secara lisan maupun tertulis yang disahkan dan diucapkan di
Pemohon harus memiliki jaminan kehidupan yang layak
terhadap istri dan anak-anaknya, baik secara materiil maupun spiritual.
Hal ini bertujuan untuk menghindari diskriminasi terhadap
kesejahteraan keluarga, selain itu suami harus berlaku adil sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam KHI dijelaskan tentang bagaimana hukum perkawinan
yang sah menurut hukum dan agama. Bahwa suatu perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak memiliki kekuatan hukum . Akan tetapi
dalam pasal 58 (3) dijelaskan bahwa persetujuan istri tidak diperlukan
jika memang istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada
kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Di sini jelas bahwa jika seorang istri tidak mau memberikan
persetujuan kepada suami untuk berpoligami, maka pihak Pengadilan
tidak dapat memaksakan untuk memberikan ijin terhadap suami. Hal ini
dilihat karena adanya pertimbangan majlis Hakim. Akan tetapi
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat
BAB III
PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB. SEMARANG
A. Profil Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 1. Letak Geografis Desa Suruh
Desa Suruh adalah sebuah Desa kecil yang terletak di Kec.
Suruh Kab. Semarang yaitu tepatnya di sebelah timur Kota Salatiga.
Desa Suruh terletak 15 km dari Kota Salatiga yang memiliki luas 505
935 ha dan memiliki batas-batas wilayah desa seperti sebelah utara
Desa krandon lor , Desa Purworejo, Suruh, dan Medayu.
Kondisi cuaca yang sejuk dan curah hujan yang cukup tinggi di
daerah ini sangat potensial untuk para penduduknya yang umumnya
sebagai petani, hal ini disebabkan karena terletak di 581 m diatas
permukaan laut dan suhu rata-rata mencapai 36’ C.
2. Administrasi Kependudukan Desa Suruh
Desa Suruh merupakan pusat pemerintahan, karena diwilayah
ini hanya memiliki satu kecamatan saja. Jumlah penduduknya 1250
jiwa dari seluruh desa yang ada di Kec. Suruh.
3. Sosial dan Keagamaan
Untuk mengetahui dampak perkawinan poligami di Desa
disekelilingnya. Praktik perkawinan poligami sangat erat hubungannya
dengan sosial keagamaan, khususnya agama Islam.
B. PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI
1. FaktorPendorong Suami Melakukan Poligami
Dari 1250 penduduk Suruh, ada tiga suami yang melakukan
poligami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya
keinginan untuk memiliki banyak keturunan. Hal tersebut diungkapkan
oleh Ussy dan Khadijah warga Rt 05 Rw 2. Andri menikah dengan istri
yang pertama pada tahun 1993, kemudian menikah lagi pada tahun 1997.
Awalnya suami hanya bercanda saja dengan istri saat bangun tidur, ia
berkata “ nopo tow bi kok nguyu-ngguyu dewe ki”? suami menjawab
“ ora, kok lucu wae mi..,aku kok yo ngimpi nikah meneh? ” dan istri
menjawab dengan candaan “yo ra popo tow bi..,nek emang wes siap?” l
suami berujar “ aku gelem wae ning umi wae sing golekke calonne aku
ga pengen golek dewe, ngko wedi nak ono opo-opo kan iki gawe
kebaikan awake dewe mi...” sang istri pun menanggapi “ yo ga popo bi,
nek pancen wes siap,iyo tapi ga usah kesusu laah...” Setelah beberapa
hari dari kejadian itu tanpa sengaja Ussy melihat pesan singkat di
handphone suaminya yang menanyakan kepada teman-teman dekatnya
apakah ada calon yang pas untuk dijadikan istri?
Akhirnya banyak pesan yang masuk yang memberikan respon,
19-23 tahun dengan alasan masih dalam masa produktif untuk memperoleh
keturunan. Akhirnya ada 2 calon yang membuat Ussy tertarik yaitu dari
Lampung dan Boyolali, tapi setelah dipikir lagi kalau harus ke Lampung
saat walimah kasihan anak-anak ga ada yang ngurus... walaupun masih
ada orang tua yang mau dan bisa menjaga anak-anak, tapi kan kasian
kalo harus ditinggal jauh sama Abi dan Uminya? akhirnya Ussy
memutuskan untuk berkenalan dengan Khadijah yang berasal dari
Boyolali, saat itu ia masih berumur 20 tahun mereka bertemu dan
bercakap-cakap “ umi.. kenapa ya kok saya waktu liat raut wajah umi
kelihatannya sante-sante aj, kaya ga ada rasa keberatan sama sekali
kalo suaminya mau nikah lagi? kata Khadijah, lalu Ussy menegaskan
“ ya kalo anti udah siap ana ga masalah kok, yang penting anti harus
lebih memantapkan hati anti.. “ dan Khadijah pun menjawab
“ insyaallah ana sudah siap umi.., ana sudah ikhtiar dan istikharah,
mungkin ini memang sudah jalannya?”
“ ya sudah kalo gitu, anti harus tau kalo suami ana ini juga
punya banyak kekurangan dan kelebihan karena sudah sekian tahun
sudah hidup bersama dan sudah punya anak sekian banyaknya, anti bisa
menerima apa ga?”
“Lalu gimana dengan keluarga anti? Kata Ussy “ keluarga ana
ga ada masalah umi, itu semua terserah saya, mereka menyerahkan
keputusan kepada saya” ujar Khadijah. Dalam hati Ussy sedikit kuatir
keputusannya itu, akhirnya tidak lama proses perkenalan pun berlanjut
ke tahap berikutnya. Dan suami juga mengingatkan “ umi..., kalo dari
proses awal sampe akhir setuju dan ga ada masalah, ya aku tak lanjut
aja? Tapi kalo ga setuju, mending aku tak mundur ae.. daripada nanti jd
ga baik akhirnya?”
Akhirnya keduanya saling cocok dan setelah 2 minggu
perkenalan itu langsung didakan akad nikah, ia pun tinggal di rumah
Ussy beserta anak-anaknya. Selama 2 tahun hidup dalam satu atap,
Khadijah belajar menjadi istri yang baik dengan bimbingan Ussy pada
akhirnya ketika Khadijah mempunyai anak ia sepakat untuk tinggal
terpisah, dengan alasan untuk lebih belajar mandiri dan lebih terampil
dalam mengurus anak-anak.
Pada saat melakukan wawancara, penulis menanyakan
bagaimana cara suami berlaku adil kepada keluarga khususnya terhadap
istri-istrinya? Ussy mengatakan bahwa selama ini suami cukup adil
kepada saya maupun anak-anak, ” ya mungkin memang waktu yang
harus bisa dibagi-bagi karena dalam seminggu juga ga mungkin harus
disini terus toh..? lagian kan kalo di syari’ itu kan udah jelas, yang
penting pas waktu malamnya harus sama-sama adil.. kalo disni Cuma 2
hari disana 3 hari ya ga masalah, kan juga kerja jadi kadang-kadang
ada urusan mendadak jadi ga bisa lama kumpul sama anak-anak?”
“Kecuali kalo ada diantara salah satu istri yang sakit, ya
juga menanyakan tentang biaya materiil, bagaimana pembagian nafkah
lahir dengan istri lain? Ia mengungkapkan “ kalo masalah nafkah ya
alhamdulillah adil lah ya.., ga harus banyak yang penting disesuaikan
dengan kebutuhan aja?”
Dari istri pertama beliau dikaruniai 7 orang anak, sedangkan dari
istri kedua dikaruniai 4 orang anak. Dari banyaknya keturunan, beliau
beranggapan bahwa jikalau nanti beliau terkena musibah, maka
anak-anaknya yang sholeh dan sholekhah akan mendo’akannya. Awalnya
pernikahan mereka dilakukan secara sirri pada tahun 2006 baru
kemudian dicatatkan ke KUA pada tahun 2008 dan pihak Pengadilan
Agama. Hal ini dikarenakan adanya berbagai pertimbangan dalam
mencatatkan pernikahan mereka di KUA. Namun sayangnya subyek
peneliti berkeberatan memberikan bukti ataupun dokumen kepada
peneliti. Hal ini sejalan dengan metode penelitian kualitatif yang
menitik beratkan pada kesediaan subyek penelitian untuk memberikan
bukti otentik berupa data/dokumen.(wawancara, 6 april 2011)
Hal ini bertentangan dengan pendapat dari Hadi Suryo warga dari
Rt 01 Rw 2. Faktor beliau melakukan poligami adalah untuk
menjalankan Sunah Rasul. Beliau melakukan poligami atas dasar kaidah
Islam yang selama ini dipelajari, dengan alasan bahwa wanita di dunia
ini jumlahnya sangat banyak. Seperti yang diungkapkan oleh Emi,
bahwa seorang wanita membutuhkan mahram, dalam arti imam dalam
Pada saat melakukan wawancara, peneliti menanyakan beberapa
hal kepada obyek. “sebenere apa to mbak yang bikin mbak bersedia
poligami?” Emi menjelaskan “ awalnya saya itu baru belajar mengenal
agama,ya sedikit demi sedikit lah yaa...kan waktu itu kebetulan saya
baru belajar agama, dan emang saya juga yatim piatu. Setelah orang
tua saya meninggal saya diurus keluarga paman sampai akhirnya saya
menikah..” dan pada waktu itu saya juga merasa kehilangan sosok
keluarga,karena memang orang tua saya sudah meninggal ketika saya
masih berumur 13 tahun. Dan saya merasa bahwa saya itu
membutuhkan sosok imam dunia akhirat, yang bisa menuntun saya.
Awalnya saya merasa bahwa poligami itu bukan hal yang aneh, karena
memang pada dasarnya boleh... kalo dilihat dari jumlah laki-laki dan
perempuan itu kan banyak banget perbandingannya? Jumlah laki-laki
jauh lebih sedikit ketimbang yang perempuan, maka bagi siapa aja yang
sudah siap dan mampu secara financial itu mbok ya’o menikahi salah
satu dari mereka...”
“yaa... beberapa dari temen-temen banyak yang punya keinginan
kaya’ gitu, tapi ya mungkin aja karena emang ga siap dari segi materi
tapi dari segi lahir udah siap... tapi ada juga yang lahir udah siap tapi
materi ga siap, makanya mereka itu minta dikasih saran ato mungkin
contoh dulu laah?” kalo orang yang berilmu itu kan bisa memberikan
untuk mencarikan istri kedua, dan itu juga beliau sendri yang nawarke
yaa...untuk jadi contoh ke temen-temen yang laen.”
Peneliti memberikan pertanyaan “lha trs gimana awalnya mbak
bisa ketemu sama suami?” Emi menjawab “ dulu saya itu sudah lama
temenan sama mbak Kenanga, udah tau gimana karakter masing-masing
laah... kebetulan kita itu juga punya yaa..bisa dibilang visi yang sama.”
Waktu itu mbak Kenanga langsung nawarke ke saya, tapi saya
ga langsung bilang iya.. tak pikir-pikir dulu, tak timbang-timbang dulu
dan akhirnya saya istikharah, alhamdulillah ternyata itu memang jodoh
saya.. dan dari awal komitmen itu bukan untuk yang laen-laen tapi bisa
dibilang untuk kemashlahatan.”
“Dan alhamdulillah setelah saya menikah banyak juga
temen-temen yang akhirnya pada brani, yang sudah siap secara lahir batin
laah ...”
“trus tanggapane keluarga mbak sendiri gimana?” ujar peneliti
“ tanggapannya yaa..jelas berat apa pun namanya keputusan yang baik
ato buruk pasti ada konsekuensinya...” mereka memang susah untuk
menerima keputusan saya, tapi dengan melakukan pendekatan terus
menerus dengan memberikan penjelasan yang memang masuk akal dan
kembali kepada Islam sebenenya yaa.. akhirnya mereka mau menerima
keputusan saya?”
“Bahwa memang seorang wanita tidak disarankan menikah
wanita dianjurkan memilih salah satu diantara mereka... dan dari situ
saya membuktikan kepada keluarga bagaimana kehidupan poligami bisa
berjalan dengan baik dan alhamdulillah sudah berjalan 19 tahun dan
sama sekali tidak ada masalah, yang sampe bikin keluarga jadi ga
karuan laah?”
“Perkara ujian itu biasa kan yaa.. itu smua kan juga tergantung
kita menyikapinya aja? Dan pasti dibalik ujian itu ada hal yang
nantinya jadi baik, dari situ alhamdulillah keluarga bisa mengerti... dan
mereka juga tidak melihat hal-hal yang selama ini dikhawatirkan?”
“Lha selama menikah dari tahun ’92 sampe sekarang apa mbak
sudah merasa adil ato masih biasa-biasa aja?” tanya peneliti
Emi menjelaskan “ gini ya..., yang dimaksud adil kalo diayatnya
itu kan secara fisik kan? Ada pun masalah hati itu kita kembali ke Allah,
terserah kalo suami mau mencintai saya 20 % ato 100 % , yaa... itu hak
mereka? Kalo untuk saya pribadi, cinta itu kembali lagi kepada Allah
dan mencintai seseorang itu memang benar-benar karena Allah. Jadi,
mau diprosentase berapa pun itu ga masalah yang penting tidak
mengurangi hak dan kewajiban,gitu... kalo buat saya ga masalah suami
mau mencintai saya berapa besarnya, yang penting apa yang sudah
saya jalani ya disyukuri aja? Misalnya seperti nafkah ya.., orang
mungkin punya padangan dari nilainya kalo segini tuh kurang,ga cukup
ato apa?tapi kalo kita itu bersyukur insyallah apa yang ada itu ga akan
waktu kita sendiri pun ya itu mungkin lum bisa dibilang cukup kalo kita
ga bersyukur?jadi ya relatif laah ya menurut saya adil itu...ga ada
masalah kok, malah saya lebih suka berbagi sebenernya.
Maksud saya gini, suami saya itu kan bukan tipe orang yang
suka diam dirumah, beliau cenderung sering diluar,jadi seberapa pun
suami punya waktu luang dirumah ga masalah. Mau cuma semalam pun
kita menghargai, dan ga menuntut waktu lebih karena emang keadaan
suami yang sedang sakit. jadi, tergantung dimana tempatnya aja?
Kalo mbak Kenanga sendiri emang tipe orang yang lebih telaten
banget tapi kalo saya sendiri emang cenderung kurang telaten.saya
lebih merasa kalo emang lebih baik yaa...monggo aja ga apa-apa? Jadi
kan sama-sama enaknya gitu lho...
Peneliti menanyakan “kalo biaya hidup anak-anak sendiri
gimana mbak?” Emi menjawab “ yaa.. kalo biaya untuk anak-anak
karena memang suami bertugas menjadi kepala keluarga itu kan
tanggung jawabnya, kita cuma bantu-bantu aja?ya kalo misalnya dari
suami itu kurang ya paling ga kita bisa dikit ngebantu laah... tapi kalo
masalah yang pokok kan udah ditanggung sama suami?”
“kalo tanggapan orang sekitar mbak gimana?” tanya peneliti
“ alhamdulillah tetangga bersikap baik,kuncinya satu bisa berhubungan
baik dengan orang sekitar..” ujar Emi.
“seneng ga mbak jadi istri kedua?” tanya peneliti “ saya merasa
dasar ibadah, tapi saya kuatir kalo nanti seandainya nanti mbak
kenanga yang meninggal saya takut ga bisa ngurusi anak-anak karena
memang beliau itu bener-bener partner yang baik? Tapi kalo
seandainya suami saya yang meninggal insyaallah saya dan mbak
Kenanga masih bisa saling bantu, dan kalo pun saya yang meninggal
malah saya berpikiran anak-anak bisa jadi lebih baik..” tegas Emi
Hadi Suryo menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1988
dan menikah dengan istri kedua pada tahun 1992. Dari pernikahannya
dengan istri pertama dikaruniai 8 orang anak, sedangkan dengan istri
kedua dikaruniai 5 anak. Pernikahan mereka awalnya dilakukan secara
sirri, tetapi subyek penelitian tidak menyebutkan tahun pencatatan
pernikahan di KUA.(wawancara, 7 april 2011)
Selain Bapak Yahya dan Bapak Hadi Suryo, Bapak Mus’ab
seorang warga yang berada di Rt 08 RW 1 mempunyai faktor lain
beliau melakukan poligami. Faktor tersebut yaitu karena istri pertama
meninggal dunia dan istri kedua tidak mempunyai keturunan. Dari istri
pertama beliau mempunyai dua orang anak, dari istri kedua tidak
mempunyai keturunan sedangkan dari istri ketiga belum dikaruniai anak
karena baru saja melaksanakan perkawinan. Pada saat melakukan
penelitian subyek tidak memberikan keterangan jelas karena terbatasnya
waktu, sehingga data yang diperoleh kurang valid. Dari pernikahannya
proses yang panjang, selain itu mereka juga baru menikah.(wawancara, 7
april 2011)
2. Alasan Istri Memperbolehkan Suaminya Berpoligami
Dari beberapa faktor-faktor suami untuk berpoligami yang
dikemukakan diatas, maka berbeda dengan pendapat dari istri- istri
mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Kenanga bahwa ia
membolehkan suaminya menikah lagi karena memang ia membutuhkan
seorang partner dalam mengurus rumah tangga, khususnya anak-anak.
Karena mereka lebih membutuhkan perhatian lebih, sedangkan ia sibuk
mengurus suami yang sedang sakit dan bekerja.
Pada saat memutuskan hal tersebut, ia sudah memikirkannya
matang-matang baik akibat positif /negatifnya, karena semua itu demi
anak-anak. Pada saat itu ia sendiri yang memilih calon istri untuk
suaminya,yaitu Emi yang memang sudah lama dikenalnya. Dia merasa
bahwa Emi yang pantas untuk menjadi partner yang baik dalam
membina keluarga. Emi merupakan sosok yang bertanggung jawab. Jadi,
Kenanga tidak salah dalam memilih istri untuk suaminya. Selain itu
kesibukan suami yang sering pergi keluar kota membuatnya jarang
pulang kerumah, sehingga ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. (wawancara, 6 april 2011)
Berbeda dengan pendapat Ussy, awalnya tidak menyetujui alasan
dikaruniai 7 anak. Jika ingin memperbanyak keturunan lagi, sudah tidak
sanggup untuk mengurusnya. Akan tetapi, dengan meyakinkan hatinya
dan mengingat ini adalah kebaikan untuk ummat akhirnya dijinkanlah
suami untuk menikah lagi.
Dari proses awalnya, suami menginginkan istrinya saja yang
memilih untuk jadi pasangannya. Hal ini dilakukan karena tidak ingin
dianggap memilih hanya karena keinginan hawa nafsu saja, tetapi lebih
kepada penunjang syari’at. Akhirnya Khadijah yang dipilih sebagai
calon istri, lalu ditahun 2000 mereka menikah dan telah dikaruniai 4
orang anak.
Sedangkan Lis Ambarwati memiliki alasan sendiri terhadap
suaminya yang berpoligami, dari pernikahan suaminya dari istri pertama
telah dikaruniai 2 anak. Ditahun 2007 istri pertamanya meninggal dunia
dikarenakan sakit, selama 5 tahun menikah dia menyadari bahwa tidak
bisa memperoleh keturunan sehingga tidak ada masalah jika suami ingin
menikah lagi. (wawancara, 7 april 2011)
C. KEHIDUPAN RUMAH TANGGA PASANGAN POLIGAMI
1. Pasangan Hadi Suryo, Kenanga dan Emi
Hadi Suryo 45 tahun seorang wiraswastawan yang memiliki usaha
di bidang pendidikan, selain itu ia merupakan seorang tenaga pengajar
disebuah pondok pesantren di Desa Tingkir. Menikah dengan Kenanga 35
tangga mereka sangat harmonis, awalnya mereka memulai usaha dengan
menjual busana muslimah yang disediakan di toko mereka.Secara
bersama-sama mereka berusaha menghidupi anak-anaknya, tidak hanya
itu mereka juga merintis sebuah sarana pendidikan yang dibangun dengan
kerja keras dan kemauan yang tinggi.
Dengan maksud membimbing anak-anak secara jasmani maupun
rohani, dibekali dengan ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang baik.
Dalam jangka waktu 3 tahun sekolah rintisan mereka mampu berkembang
pesat, dan memiliki banyak peserta didik yang sudah cukup banyak
sampai sekarang.
Ditahun pertama saat anak ke 5 mereka lahir, banyak terjadi
cobaan yang menimpa keluarganya. Hadi Suryo jatuh sakit, dan tidak
mampu membantu istri yang sibuk mengurus segala urusan yang ada.
Dengan terpaksa Kenanga mengatasi semua persoalan dan kewajibannya
sendirian, pada akhirnya ia memutuskan untuk mencarikan pendamping
baru untuk suaminya. Dengan pertimbangan semua urusan yang ada di
dalam rumah terselesaikan dan anak-anak tidak merasa terganggu karena
kesibukannya.
Kenanga pun mengungkapkan niatnya kepada hadi Suryo,
awalnya ia kaget dan bingung karena memang istrinya sendiri yang
menawarkan diri untuk dipoligami. Namun, setelah diberi penjelasan
olehnya Hadi Suryo pun mengiyakan permintaan itu, ia menyerahkan
Tidak berselang lama setelah itu Kenanga memperkenalkan Emi
yang sudah lama dikenalnya, ia merasa bahwa Emi mampu bertanggung
jawab dan bisa diandalkan untuk mengurus rumah tangga.
Dari perkenalan itu selama 3 bulan mereka saling mengenal satu
sama lain, begitu pun dengan anak-anaknya yang butuh pendekatan
khusus. Tak lama kemudian mereka menikah di tahun 1992, dan telah
dikaruniai 5 orang anak.
Selama 17 tahun perkawinan Kenanga dan Emi saling membantu
dalam mengurus rumah tangga, mereka hidup dalam satu atap. Banyak
tanggapan negatif orang-orang tentang mereka, menganggap poligami
bukanlah hal yang wajar jika hidup satu atap.menurut mereka suatu
perkawinan yang ideal hanya dengan satu istri saja, menurut mereka hal
itu menjadi sangat aneh.Tetapi, Kenanga dan Emi mematahkan anggapan
tersebut, kehidupan perkawinan mereka jauh lebih baik. Suami juga
berlaku adil kepada mereka, tidak ada perbedaan dalam pembagian kasih
sayang terhadap anak-anaknya.
Begitu juga dengan istri, tidak saling dibedakan satu sama lain
baik pembagian nafkah lahir maupun batin semuanya disama ratakan.
2. Pasangan Yahya, Ussy dan Khadijah
Yahya 52 tahun, adalah seorang wiraswastawan yaitu sebagai
pedagang disebuah pasar tradisional di karanggede. Ia menikah dengan
Ussy 35 tahun seorang ibu rumah tangga dan telah dikaruniai 10 orang
Kehidupan rumah tangga mereka terbina dengan baik, dan semua
berjalan dengan lancar. Saling menerti dan memahami satu sama lain
adalah kunci dari mereka, dengan itu mereka mampu memabangun
pondasi yang kokoh.
Di tahun 2007 Yahya menikahi Khadijah 25 tahun, pada awalnya
saat bangun tidur ia bercerita kepada istri kalau tadi malam ia bermimpi
menikah lagi. Saat mendengar hal tersebut dia terkejut, karena tidak
biasanya suami begitu. Lalu, istrinya menjawab dengan nada bercanda
“kalo udah siap ya ga apa..apa mau tak carike tow bi? Dari situ suami
meminta istrinya untuk mencarikan seorang calon istri yang dirasa cocok
dengannya, karena semua demi kebaikan bersama dan meminta untuk
tidak terburu-buru.
Awalnya ada 2 calon yaitu dari Lampung dan Boyolali, tetapi
karena ada pertimbangan yang lain akhirnya Ussy memilih Khadijah
sebagai calonnya. Pada saat itu Khadijah berusia 19 tahun, karena Yahya
menginginkan calon yang usianya masih produktif. Alasannya, ia ingin
memiliki banyak anak dan berharap anak-anaknya kelak bisa menjadi
sholeh/sholihah yang mampu mendoakan mereka jika sudah meninggal.
Sebenarnya Ussy tidak bisa menerima keputusan suaminya itu,
dengan alasan tidak yakin kalau nantinya suami mampu bersikap adil
kepada suatu saat ada apa-apa dengan Ussy maka akan ada yang
mengurus mereka. Dia berusaha untuk ikhlas, karena ini untuk kebaikan
Lalu, mereka pun berkenalan lebih jauh dan menceritakan tentang
suaminya yang dirasa memiliki banyak kekurangan dan meminta
Khadijah untuk memahami apa-apa yang ada didalam suaminya. Dan
keduanya pun saling cocok dan berharap bisa bekerjasama dalam
membina rumah tangga, akhirnya tahun 2007 mereka menikah secara
resmi.
Di awal perkawinan mereka hidup satu atap, karena pada saat itu
Khadijah masih belum paham betul bagaimana mengurus kebutuhan
rumah tangga. Butuh waktu 1 tahun untuk membiarkan Khadijah mandiri,
dan pada saat itu ia telah mempunyai anak. Dari situ Ussy membiarkan
Khadijah untuk hidup terpisah, agar tahu bagaimana cara mengurus anak
dan suami serta melatih kedewasaannya.
Saat ini Khadijah tinggal bersama 4 orang anaknya di Ambarawa
dan bekerja sebagai guru disebuah play group, dan Ussy tinggal dengan
10 anaknya di desa Morangan Suruh.
Dalam pembagian jatah malam dan nafkah suami tidak
membandingkan, ia berusaha adil kepada istri dan anak-anaknya. Satu
minggu dibagi-bagi, 3 hari berada dirumah istri 1 dan 3 hari lagi tinggal
dirumah Khadijah (istri keduanya).
3. Pasangan Mus’ab ,Lis Ambarwati , Hanna
Mus’ab adalah seorang ustad di sebuah pesantren yang ada di
daerah Suruh, menikah dengan Lis Ambarwati yang berprofesi sebagai
istri pertamanya, tetapi pada saat anak pertamanya berusia 10 tahun
istrinya meninggal karena sakit yang tidak kunjung sembuh.
Lalu, tahun 1993 ia bertemu dengan Lis (istri yang sekarang) dan
menikah. Selama 15 tahun perkawinan mereka tidak mempunyai
keturunan, hal ini disebabkan karena ada kelainan dirahimnya yang
mengakibatkan rahimnya harus diangkat.
Setelah menikah Lis tidak lagi menjalankan profesinya, dia lebih
senang menjadi pengusaha dan telah memiliki perusahaan konfeksi yang
ada di Solo dan Yogyakarta. Kini ia sibuk dengan urusan bisnis tersebut,
begitu pun dengan suami yang jarang pulang kerumah karena
kesibukannya.
Pada bulan Februari 2011 Mus’ab menikahi seorang dokter gigi
yang bernama Hanna 28 tahun, dan belum memiliki keturunan. Ia
mengenal Hanna dari seorang temannya yang telah lama mengenal Hanna,
kebetulan Hanna juga mencari seorang pendamping kemudian
dikenalkanlah kepada Mus’ab.
Mus’ab memperkenalkan Hanna kepada Lis dan mengutarakan
keinginannya untuk menikah lagi, dan tanpa berpikir lama Lis pun
menyetujui hal tersebut. Karena dia tahu betul bagaimana keadaannya