• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3) Faktor Pendukung dan Penghambat

F. Manfaat Penelitian 1. Bagi peserta didik

a. Meningkatkan nilai-nilai karakter bangsa bagi anak.

b. Melatih anak untuk memahami nilai karakter dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

7 2. Bagi guru

a. Menjadi masukan yang berarti untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mengandung nilai-nilai karakter.

b. Meningkatkan keterampilan guru dalam mengembangkan dan melaksanakan metode pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan nilai-nilai karakter.

3. Bagi Kepala Sekolah

a. Memberi kesempatan pada guru untuk menanmkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik.

b. Mengikutsertakan guru dalam pelatihan dan seminar mengenai penanaman nilai karakter yang diadakan oleh lembaga maupun oleh pemerintah.

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Dalam kehidupan sosial di masyarakat, anak akan berhadapan dengan ukuran-ukuran yang menentukan benar-salah atau baik-buruk dari suatu tingkah laku. Ukuran-ukuran tersebut dapat berupa budaya, tata cara, adat istiadat, atau kebudayaan. Ukuran-ukuran tersebut yang pada akhirnya disebut moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI (2008: 1041) moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Berdasarkan aturan-aturan berperilaku tersebut, anak dituntut untuk mengetahui, memahami, dan mengikutinya. Perubahan dalam proses pengetahuan, pemahaman, dan perbuatan ini yang disebut dengan perkembangan moral. Cabang ilmu psikologi telah banyak melahirkan tokoh yang menjelaskan mengenai perkembangan moral tersebut. Beberapa diantaranya adalah Piaget dan Kohlberg. Piaget dan Kohlberg (dalam Maria J. Wantah, 2005: 64-70) memaparkan perkembangan moral pada anak usia dini. 1. Perkembangan Moral Anak menurut Piaget

Fokus Piaget dalam melaksanakan penelitian adalah mengenai cara berpikir anak mengenai isu-isu moral. Piaget mengadakan wawancara dan pengamatan terhadap sekelompok anak dengan rentang usia 4-12 tahun. Piaget mengamati cara anak berperilaku selama permainan dengan peraturan main yang dibuat oleh mereka. Pertanyaan yang ditanyakan seputar isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan keadilan.

9

Berdasarkan pengamatan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir mengenai moralitas dalam 2 tahap yang tergantung pada tingkat perkembangannya. Tahap pertama yaitu moralitas heteronomus (heteronomous morality) yang terjadi pada anak usia 4 hingga 7 tahun. Pada tahap ini anak beranggapan bahwa keadilan dan aturan sebagai sifat dunia yang tidak berubah dan lepas dari kendali manusia.

Pada usia 10 tahun ke atas, anak sudah memahami bahwa aturan-aturan dan hukuman itu diciptakan oleh manusia. Anak pada tahap moral ini juga sudah menyadari bahwa dalam menilai tindakan seseorang, ia harus mengetahui maksud si pelaku melakukan hal terebut dan dapat memikirkan sebab akibat yang akan terjadi. Tahapan ini disebut moralitas otonomous

(autonomous morality).

Perbedaan yang dapat disimpulkan dari kedua tahap tersebut adalah bahwa pada tahap heteronomous anak hanya melihat sesuatu dari sisi akibat yang dilakukan pelaku, sedangkan pada tahap otonomous anak lebih melihat sesuatu dari maksud yang dilakukan pelaku. Misalnya ketika ada anak yang memecahkan satu piring dengan sengaja dan lima piring dengan tidak sengaja. Anak pada tahap heteronomous akan lebih memilih memecahkan lima piring dengan tidak sengaja seabgai suatu kejadian yang lebih jelek. Namun pada anak dalam tahap otonomous akan memilih memecahkan satu piring dengan sengaja sebagai suatu kejadian yang lebih jelek dan memecahkan lima piring dengan tidak sengaja sebagai suatu kejadian yang

10

lebih baik karena kejadian itu merupakan kejadian yang dilakukan dengan tidak sengaja.

Selanjutnya anak-anak hetereonomous berpikiran bahwa aturan-aturan dibuat oleh pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga tidak dapat diubah lagi, namun anak-anak otonomous berpikiran bahwa aturan-aturan yang ada adalah sebuah bentuk kesepakatan yang dapat diubah sesuai keadaan. Selanjutnya, anak heteronomous berpikiran bahwa keadilan adalah sesuatu yang tetap ada. Piaget mengistilahkannya dengan Immanent Justice, yaitu bahwa jika aturan dilanggar maka hukuman akan ditimpahkan segera. Mereka meyakini bahwa kejahatan dan hukuman adalah dua hal yang terkait. Anak otonomous berpikiran bahwa hukuman bisa diberikan sebagai sanksi sosial namun bisa juga tidak, tergantung kondisi yang ada.

Piaget berpendapat bahwa di saat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Piaget meyakini bahwa pemahaman sosial ini muncul melalui interaksi atau saling menerima dan memberi dalam hubungan teman sebaya, karena dalam kelompok teman sebaya anak-anak memiliki kekuatan dan status yang sama, mereka secara leluasa dapat saling memberi masukan dan bernegoisasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan moral anak.

2. Perkembangan Moral Anak menurut Kohlberg

Dengan pendekatan perkembangan kognitif yang sama dengan Piaget, Kohlberg (dalam Maria J. Wantah, 2005: 64) mencoba mengembangakn

11

sendiri teori tentang perkembangan penalaran moral. Kohlberg berfokus pada alasan-alasan yang ada di balik respon-respon moral, dengan kata lain Kohlberg memilih untuk mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral.

Selama penelitiannya, Kohlberg merancang cerita-cerita imajinatif yang mengandung dilema-dilema moral untuk mengukur penalaran moral. Konflik moral dalam cerita itu terdiri dari dua pilihan yang dapat diterima secara kultural dan ada yang terdiri dari dua pilihan yang tidak dapat diterima secara kultural. Cerita ini menempatkan seorang responden pada situasi konflik tersebut. Respon yang dipilih tidaklah begitu penting, tetapi alasan dibalik seseorang mengambil alternatif itulah yang akan diteliti. Oleh sebab itu, kepada para responden ditanyakan tentang apa yang sebaiknya dilakukan, di samping mereka ditanya pula mengapa memilih untuk melakukan itu.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Kohlberg mengelompokkan perkembangan moral manusia ke dalam enam level, lebih lanjut keenam level ini dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan sehingga masing-masing level terdiri dari 2 tahapan, di antaranya:

Level 1: Penalaran moral prakonvensional, meliputi tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, dan tahap orientasi individualisme dan orientasi instrumental.

Level 2: Penalaran moral konvensional, meliputi tahap orientasi

konformitas interpersonal dan tahap orientasi hukum dan aturan. Level 3: Penalaran moral pascakonvensional, meliputi tahap orientasi

12

kontrak sosial dan tahap orientasi etis universal.

Pada level yang paling dasar, anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Pengalihan atau penalaran moral anak dikendalikan oleh faktor eksternal, yaitu ganjaran dan hukuman yang bersifat fisik. Pertimbangan moral anak pada usia ini didasarkan pada akibat-akibat yang bersifat fisik dan hedonistik. Sesuatu itu dianggap benar atau baik oleh anak jika menghasilkan sesuatu yang secara fisik menyenangkan atau menguntungkan dirinya. Sebaliknya, sesuatu dianggap jelek atau salah apabila menyakitkan atau menimbulkan kerugian bagi dirinya.

Level ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) serta tahap individualismedan orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose). Berikut adalah penjabaran mengenai orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi tujuan instrumental:

a. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan

Tahap ini didominasi oleh penalaran moral yang mengacu pada kepatuhan atau hukuman oleh figur-figur yang berkuasa. Benar salahnya suatu perbuatan hanya dilihat dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Misalnya saja anak yang beranggapan bahwa dokter itu jahat karena sering menyakiti dengan menyuntik.

b. Orientasi Individualisme dan Orientasi Tujuan Instrumental

Pada tahap ini acuan moral anak masih terhadap peristiwa-peristiwa eksternal fisik. Namun pada tahap ini anak sudah mampu menilai suatu

13

tindakan itu benar bila berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan kebutuhan dirinya atau orang lain. Misalnya saja seseorang yang mencuri dianggap salah, namun bisa dianggap benar apabila ada alasan dibalik pencurian tersebut, misalnya karena lapar. Pada tahap ini anak sudah mampu untuk melihat suatu peristiwa dari beberapa perspektif.

Jadi menurut pemaparan di atas, pada masa ana usia dini terjadi 2 tahap perkembangan moral yaitu pada anak usia 4-7 tahun anak merasa bahwa aturan adalah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dilanggar. Pada masa ini pula anak menganggap benar salahnya suatu perbuatan dilihat dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Pada anak usia 10 tahun ke atas, mereka sudah bisa melihat bahwa aturan merupakan kesepakatan bersama yang bisa diubah sesuai keadaan. Pada tahap ini anak sudah mampu menilai suatu tindakan itu benar bila berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan dirinya. Contohnya adalah ketika ada seseorang yang mencuri dianggap salah, namun bisa dianggap benar bila ada alasan seseorang mencuri, misalnya saja karena ia lapar. Anak dalam tahap ini sudah mampu melihat berbagai hal dalam perspektif yang berbeda.

B. Pengertian Nilai Karakter

Secara etimologi istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu

karasso yang berarti cetak biru, format dasar, dan sidik seperti dalam sidik jari. Dalam hal ini, karakter diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya (Doni Koesoma, 2011: 90). Menurut

14

Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI (2008: 682) karakter berarti tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak. Zubaedi dalam ”Desain Pendidikan Karakter; Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan” (2013) menyebutkan bahwa definisi dari karakter adalah to mark (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sementara menurut Suyanto dalam tulisan “Urgensi Pendidikan Karakter” sebagaimana dikutip oleh Zubaedi (2013), dijelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Doni Koesoma, 2011: 11-12).

Lickona (2012: 85-99) menjelaskan mengenai komponen karakter yang baik pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komponen Karakter yang Baik Menurut Lickona Pengetahuan Moral (Moral Knowing) Perasaan Moral (Moral Feeling) Perilaku Moral (Moral Behavior) - Kesadaran moral - Pengetahuan nilai moral - Penentuan perspektif - Pemikiran moral - Pengambilan keputusan - Pengetahuan pribadi - Hati nurani - Harga diri - Empati

- Mencintai hal yang baik - Kendali diri - Kerendahan hati - Kompetensi - Keinginan - Kebiasaan 1. Pengetahuan Moral

Terdapat banyak jenis pengetahuan moral berbeda yang perlu kita ambil seiring kita berhubungan dengan perubahan moral kehidupan. Keenam

15

aspek berikut ini merupakan aspek yang menonjol sebagai tujuan pendidikan karakter yang diinginkan:

a. Kesadaran Moral

Pada kesadaran moral ada dua tanggung jawab yang harus diketahui, yang pertama adalah menggunakan pemikiran mereka untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan kemudian untuk memikirkan dengan cermat tentang apa yang dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Aspek kedua dari kesadaran moral adalah memahami informasi dari permasalahan yang bersangkutan. Sangat sering, di dalam membuat penialain moral, kira tidak dapat memutuskan apa yang benar sampai kita tahu apa yang benar.

b. Pengetahuan Moral

Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan dorongan atau dukungan mendefinisikan seluruh cara tentang menjadi pribadi yang baik. Ketika digabung, seluruh nilai ini menjadi warisan moral yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

c. Penentuan Perspektif

Penentuan perspektif merupakan kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana mereka akan berpikir, berkreasi dan merasakan masalah yang ada. Satu sasaran fundamental pendidikan moral haruslah membantu siswa

16

mengalami dunia dari sudut pandang orang lain, terutama sudut pandang orang-orang yang berbeda dari mereka sendiri.

d. Pemikiran Moral

Pemikiran moral melibatkan pemahaman apa yang dimaksud dengan moral dan mengapa harus aspek moral. Di tingkat yang lebih tinggi, pemikiran moral juga mengikutsertakan pemahaman atas prinsip moral

klasik: “Hormatilah hak hakiki intrinsik setiap individu”. Prinsip-prinsip

seperti itu memandu tindakan moral dalam berbagai macam situasi yang berbeda.

e. Pengambilan keputusan

Mampu memikirkan cara seseorang bertindak melalui permasalahan moral dengan cara memikirkan konsekuensi merupakan keahlian pengambilan keputusan reflektif.

f. Pengetahuan Pribadi

Mengetahui diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, namun hal ini perlu bagi pengembangan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian untuk mengulas kelakuan kita sendiri dan mengevaluasi perilaku kita tersebut secara kritis. 2. Perasaan Moral

Perasaan moral terdiri dari hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati.

17 a. Hati Nurani

Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif (mengetahui apa yang benar) dan sisi emosional (merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar). Banyak orang tahu apa yang benar, namun meraskan sedikit kewajiban untuk berbuat sesuai dengan hal tersebut.

b. Harga Diri

Harga diri yang tinggi dengan sendirinya tidak menjamin karakter yang baik. Sudah jelas mungkin untuk memiliki harga diri berdasarkan pada hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan karakter yang baik, seperti kepemilikan, penampilan yang baik, popularitas, atau kekuasaan. Bagian dari tantangan sebagai pendidik adalah memantu siswa mengembangakan harga diri berdasarkan pada nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan serta berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri mereka sendiri demi kebaikan.

c. Empati

Empati merupakan identifikasi dengan, atau pengalaman yang seolah-olah terjadi dalam, keadaan orang lain. Empati menampung kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain. Ini merupakan sisi emosional penentuan perspektif.

d. Mencintai Hal yang Baik

Bentuk karakter yang tertinggi mengikutsertakan sifat yang benar-benar tertarik pada hal yang baik. Ketika orang-orang mencintai hal yang baik, mereka senang melakukan hal yang baik. Mereka memiliki moralitas

18

keinginan, bukan hanya moral tugas. Kemampuan untuk menemukan pemenuhan layanan tidak terbatas pada menjadi penolong; kemampuan ini merupakan bagian dari potensi moral orang biasa, bahkan anak-anak. Potensi tersebut dikembangkan, melalui program-program, seperti pendampingan orang, teman sebaya dan pelayanan masyarakat, pada sekolah di seluruh negara.

e. Kendali Diri

Kendali diri diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan diri kita sendiri. Idealisme yang tinggi mengalami kegagalan di hadapan pola ini.

f. Kerendahan Hati

Kerendahan hati merupakan kebaikan moral yang diabaikan namun merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi afektif pengetahuan pribadi. Hal ini merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita.

3. Tindakan Moral

Tindakan moral, untuk tingkatan yang besar, merupakan hasil dari dua bagian karakter lainnya. Apabila orang-orang memiliki kualitasmoral keceerdasan dan emosi yang baru saja kita teliti maka mereka mungkin melakukan apa yang mereka ketahui dan mereka rasa benar. Tindakan moral terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.

19 a. Kompetensi

Kompetensi moral memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moralyang efektif. Untuk memecahkan suatu konflik dengan adil, misalnya, kita memerlukan keahlian praktis: mendengarkan, menyampaikan sudut pandang kita tanpa mencemarkan nama baik orang lain, dan mengusahakan solusi yang dapat diterima semua pihak. b. Keinginan

Diperlukan keinginan untuk menjaga emosi di bawah kendali pemikiran. Diperlukan keinginan untuk melihat dan berpikir melalui seluruh dimensi moral dalam suatu situasi. Diperlukan keinginan untuk melaksanakan tugas sebelum memperoleh kesenangan. Diperlukan keinginan untuk menolak godaan, untuk menentang tekanan teman sebaya, dan melawan gelombang. c. Kebiasaan

Anak-anak sebagai bagian dari pendidikan moral mereka, memerlukan banyak kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan yang baik, banyak praktik dalam hal menjadi orang yang baik. Hal ini berarti pengalaman yang diulangi dalam melakukan apa yang membantu, apa yang jujur, apa yang ramah, dan apa yang adil. Oleh karena itu, kebiasaan baik yang terbentuk akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri bahkan ketika mereka menghadap situasi yang berat.

Dalam pribadi dengan karakter yang baik, pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral secara umum bekerja sama untuk saling mendukung satu sama lain. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan

20

tentang kebaikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habits of the mind), pembiasaan dalam hati (habits of the heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action). Dalam konteks kebangsaan, pembangunan karakter diorientasikan pada tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat (Doni Koesoma, 2011: 13-14).

Jadi menurut Lickona, komponen karakter yang baik adalah adanya pengetahuan moral (moral knowing) yang terdiri dari kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan pribadi. Perasaan moral (moral feeling) yang terdiri dari hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati. Serta perilaku moral (moral behavior) yang terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.

C. Nilai-nilai Karakter

Nilai-nilai karakter bangsa merupakan rumusan tujuan pendidikan nasional yang menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diidentifikasi dari Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas

21

menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai

kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Nilai-nilai karakter bangsa yang diambil dalam penelitian ini adalah nilai karakter religius, disiplin, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan rasa ingin tahu.

Berikut adalah penjabaran dari 18 nilai karakter menurut Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida (2014: 190-205) dalam buku”Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Konsep dan Aplikasinya dalam PAUD” dan Mohamad Mustari (2014: 1-207) dalam buku “Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan” adalah sebagai berikut:

1. Religius

Religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan. Ia menunjukan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/ atau ajaran agamanya. Religius juga merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Menurut

22

Stark dan Glock (dalam Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida 2014: 190), ada lima unsur yang dapat mengembangkan manusia menjadi religius. Yaitu, keyakinan agama, ibadat, pengetahuan agama, pengalaman agama, dan konsekuensi dari keempat unsur tersebut.

Keyakinan agama adalah kepercayaan atas doktrin ketuhanan, seperti kepercayaan terhadap Tuhan, malaikat, akhirat, surga, neraka, dan lain-lain. Ibadat adalah prosesi penyembahan kepada Tuhan. Dimana ibadat dapat meremajakan keimanan, menjada diri dari kemerosotan budi pekerti atau dari mengikuti hawa nafsu yang berbahaya. Pengetahuan agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama meliputi berbagai segi dalam suatu agama, seperti pengetahuan mengenai sembahyang, puasa, dan zakat. Pengalaman agama adalah segala perasaan yang dirasakan oleh penganut agama, seperti rasa aman, tenteram, nyaman, bahagia, dan lain-lain. Terakhir, konsekuensi dari keempat unsur tersebut adalah aktualisasi dari doktrin agama yang diyakini seseorang yang diwujudkan dalam ucapan dan tindakan.

2. Toleransi

Toleransi adalah sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai perbedaaan yang ada di masyarakat baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama (Mohamad Mustari, 2014: 121). Bersikap toleran berarti juga tidak memaksakan pemikiran, keyakinan, dan kebiasaannya sendiri pada orang lain. Kita tidak bisa sama sekali memaksa pada seseorang untuk menganut suatu kepercayaan tertentu, tidak bisa mengharuskan seseorang untuk menganut suatu kepercayaan tertentu, tidak bisa

23

mengharuskan seseorang untuk berpandangan picik dalam urusan keduniaan ataupun lainnya, walaupun dalam urusan agama. Menurut Rawls (dalam Mohamad Mustari, 2014: 121), toleransi ini menjadi penting ketika kebebasan-kebebasan nurani indidvidu bertemu dalam wilayah publik. Dari sudut pandang keadilan, orang harus menghormati hak orang untuk beragama lain.

3. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. disiplin diri merujuk pada latihan yang membuat orang merelakan dirinya untuk melaksanakan tugas tertentu atau menjalankan pola perilaku tertentu maka, disiplin diri adalah penundukan diri untuk mengatasi hasrat-hasrat yang mendasar. Disiplin diri biasanya disamakan artinya dengan kontrol diri (self-control).

Disiplin diri merupakan pengganti untuk motivasi. Disiplin ini diperlukan dalam rangka menggunakan pemikiran sehat untuk menentukan jalannya tindakan yang terbaik yang menentang hal-hal yang lebih dikehendaki. Perilaku yang bernilai adalah ketika motivasi ditundukkan oleh tujuan-tujuan yang lebih terpikirkan: melakukan apa yang dipikirkan sebagai yang terbaik dan melakukannya itu dengan hati senang. Sementara perilaku baik yang biasa adalah melakukan perbuatan yang baik, namun dilakukan

Dokumen terkait