• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penghambat PelaksanaanTrans Jogja

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-46)

Meskipun penyelenggaraan evaluasi kebijakan Trans Jogja berjalan dengan baik namun tentunya terdapat faktor penghambat diantaranya:

a. Kurang tanggapnya tindakan instansi baik UPTD Trans Jogja ataupun PT. Jogja Tugu Trans akan keluhan dan aspirasi dari masyarakat dan konsumen bagi keberlangsungan Trans Jogja.

b. Mekanisme pengambilan keputusan yang relatif lama, karena penyelenggaraan Trans Jogja merupakan kegiatan yang sifatnya terpadu sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan harus berkoordinasi dengan baik dalam mengambil suatu langkah kebijakan.

c. Dasar hukum dan kebijakan yang penegakannya belum sepenuhnya diimplementasikan.

d. Load factor yang masih rendah.

e. Problematika internal dan ekternal di kubu Trans Jogja yang harus segera disikapi dan ditemukan solusinya.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, seiring berjalannya Trans Jogja yang sudah menginjak tahun ke 6, selalu mengalami perkembangan dan pasang surutnya di dalamnya. Berbagai perubahan dan percobaan kebijakan selalu dilakukan untuk menunjang dan mengoptimalkan Trans Jogja itu sendiri. Derbyshire (dalam Samodra Wibawa, 1994: 49) memberikan batasan terhadap policy sebagai sekumpulan rencana kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa evaluasi belum sepenuhnya mencapai tujuan yang diharapkan. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa hal. Misalnya adalah load factor Trans Jogja pada tahun 2011 sebagaimana telah dipaparkan yang menunjukkan angka rata-rata tertinggi hanya 33,2% dan angka rata-rata terendah adalah 12,2%. Angka load factor tersebut menunjukkan bahwa bus Trans Jogja rata-rata hanya terisi sepertiga bagian untuk yang paling tinggi. Sehingga dapat dikatakan minat orang untuk menggunakan jasa Trans Jogja masih rendah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Trans Jogja belum menjadi moda transportasi publik yang digemari oleh masyarakat luas. Kondisi demikian menunjukkan bahwa keberadaan Trans Jogja belum sepenuhnya mampu menarik masyarakat untuk menggunakannya sebagai transportasi publik utama atau pilihan.

Aspek lain yang menunjukkan bahwa tujuan penyelenggaraan Trans Jogja dari segi kinerja layanan belum tercapai adalah pada penilaian kepuasan pelanggan terhadap kinerja layanan Trans Jogja yang dilakukan oleh tim peneliti

Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Provinsi DIY tahun 2012. Pada penelitian tersebut digunakan 16 indikator kualitas pelayanan Trans Jogja yang di antaranya berkaitan dengan kenyamanan, ketepatan waktu, keselamatan, pelayanan awak kendaraan, tarif, kebersihan, dan kemudahan atau jangkauan pelayanan. Dari 16 indikator yang digunakan pada penelitian tersebut tidak terdapat satupun indikator yang nilainya memenuhi standar (Dishubkominfo, 2012). Artinya dalam hal ini kinerja layanan Trans Jogja masih belum dinilai baik oleh pengguna layanan.

Untuk memberikan perbaikan dalam berbagai aspek di Trans Jogja, maka diperlukan adanya evaluasi, dan evaluasi ini dapat diperoleh dari tinjauan pelaksanaan per periode dan pandangan saran pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini diperlukan agar dalam pelaksanaan Trans Jogja disetiap tahunnya permasalahan yang sering muncul dapat dikurangi bahkan diminimalisir semaksimal mungkin. Berikut merupakan evaluasi yang dilakukan penulis dengan menggunakan Model Evalusi William Dunn pada tahun 1998.

1. Fokus nilai

Evaluasi berbeda dengan pemantauan, evaluasi lebih dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

Menurut Briant & White (dalam Samodra Wibawa, 1994:63) evaluasi kebijakan pada dasarnya harus bisa menjelaskan sejauh mana kebijakan publik dan implementasinya mendekati tujuan.

Dalam faktanya, setiap kebijakan yang dikeluarkan dalam Trans Jogja selalu mempunyai tujuan dan target yang jelas, dengan mengedepankan kepentingan umum, terlebih dengan evaluasi kebijakan yang berguna untuk mengevaluasi dan membentuk kebijakan baru yang lebih tepat guna. Namun, yang cukup disesalkan adalah Bus Trans Jogja ini adalah kebijakan yang mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, akan tetapi kebijakan ini tidak dibarengi dengan kebijakan managemen kebutuhan lalu lintas untuk menarik pengguna kendaraan pribadi beralih kepada bus Trans Jogja. Sebagus apapun transportasi massal yang dihadirkan, akan selalu kalah pamor dengan komsumtifitas kendaraan pribadi baik roda dua ataupun roda empat yang tidak ada batasnya, dan ini dari dahulu sampai sekarang masih belum mendapatkan solusi kongkrit, tidak hanya di DIY, akan tetapi di seluruh penjuru Indonesia.

2. Interdependensi fakta nilai

Tuntutan evaluasi tergantung baik fakta maupun nilai. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsukensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan tertentu. Oleh karena itu pemantauan merupakan

prasyarat bagi evaluasi. Evaluasi pelaksanaan bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program-program mereka berlangsung. Serta menunjukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dimanipulasi agar diperoleh pencapaian hasil yang lebih baik, untuk kemudian memberikan alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi lain. (Samodra Wibawa, 1994: 13-14)

Dalam hal ini Trans Jogja hadir sebagai inovasi terbaru dalah hal pertransportasian massal di DIY, dari terdahulunya seperti Colt Kampus, KOPATA, KOBUTRI, ASPADA. Masa Colt kampus tahun 1975-1979 dan masa KOPATA, KOBUTRI, ASPADA pada tahun 1979-1998. Bus-bus tersebut dahulunya masih menggunakan sistem penarikan setoran. Sistem perjalanan dibagi menjadi model jalur, tapi dari segi operasionalnya belum dipatuhi secara maksimal, dalam artian jalur dapat berpindah atau menjadi jalur bus yang ramai armada apabila banyak konsumen dalam satu jalur itu. Terdapat dua sampai tiga petugas dalam satu bus, yaitu sopir bus sebagai pengendali bus, serta dua orang menjadi kondektur yang bertugas menjadi pemberi simbol ke supir bus apabila ada penumpang yang mau masuk maupun turun, bertugas menjadi penarik biaya kepada penumpang. Penjual makanan, minuman bahkan pengamen diperbolehkan masuk dan menjajakan apa yang akan dijualnya.

Dalam hal ini, bus-bus dikelola oleh sebuah wadah koperasi bersama. Sarana dan prasarana yang digunakan masih berupa terminal dan pemberhentian sesuai tujuan penumpang. Pemberhentian biasanya tidak pasti, bisa di terminal besar, pemberhentian bayangan, dan sepanjang jalan sesuai para calon penumpang

menunggu datangnya bus. Setelah hadirnya Trans Jogja, transportasi ini cukup mencuri perhatian yang cukup banyak. Transportasi yang dihadirkan cukup murah dan nyaman. Dengan inovasi dari bus sebelum-sebelumnya, Trans Jogja dengan sistem buy the servise mampu memberikan perubahan pertransportasian dalam kota di DIY. Tempat tunggu yang dihadirkan pun jelas, diberikan titik-titik point shelter yang difungsikan para calon penumpang untuk menunggu bus datang. Sarana dan prasarana dalam bus pun ber-AC , tempat duduk dan penyangga untuk yang berdiri. Penjual dan pengamen tidak diperbolehkan masuk kedalam shelter maupun bus. Terdapat juga dua petugas dalam bus, yaitu supir bus sebagai pengemudi dan kondektur sebagai petugas yang memberitahu tujuan yang sedang dilewati. Jalur bus pun jelas, tidak mungkin ada pergantian karena sudah diatur berdasarkan jalur koridor yang ada.

Sambutan Trans Jogja sangat baik, dari masyarakat daerah, pelajar, mahasiswa maupun luar daerah terlebih wisatawan. Terlebih dengan DIY yang menjadi kota tujuan wisata, aspek yang paling mendukung adalah segi transportasi. Hadirnya Trans Jogja juga memberikan icon transportasi massal di DIY. Wajah baru jalanan pun tampak lebih rapi dan teratur.

Permasalahan yang muncul pastilah dari transportasi terdahulu, baik internal maupun ekternal. Sempat terjadi demo unjuk rasa tentang nasib dan keberlanjutan setelah tergusur adanya Trans Jogja. Akan tetapi dengan tanggap Dinas Perhubungan beserta pemerintah daerah memberikan solusi yang cukup memberikan angin segar bagi nasib transportasi terdahulu, terlebih dengan SDMnya. Mereka merangkul SDM terdahulu bagi yang mau bergabung dengan

Trans Jogja yang nantinya akan menjadi satu melebur dengan operator yang ditunjuk, yaitu PT. Jogja Tugu Trans. Bus-bus yang terdahulu pun dihargai, apabila mau menukarkan atau menjual, dua bus Kopata mendapatkan satu bus Trans Jogja. Akan tetapi bus tetap dipegang oleh operator karena sudah menjadi tanggung jawabnya, hanya saja royalty dapat diterima sesuai dengan kesepakatan. Dengan solusi ini dirasa cukup mampu menjawab dari problematika yang terjadi selama ini.

Permasalahan internal pun dirasa cukup rumit. Penegakan sanksi atas pelanggaran yang diterapkan kepada operator pun dipandang sebelah mata. Semua pihak mengelak dan mempunyai alasan masing-masing baik Dinas Perhubungan maupun PT. Jogja Tugu Trans sendiri. PT. Jogja Tugu Trans berdalih bahwa anggaran sangat terbatas, sehingga terkadang biaya habis dioperasional dan pemeliharaan bus, bahkan terkadang pegawai mendapatkan pemotongan gaji. Kalaupun sanksi ditegakkan, peraturan yang ditetapkan dianggap tidak kondisional dengan lingkungan, seperti peraturan ketepatan waktu adalah peraturan yang dianggap sangat sulit diimplementasikan terlebih Trans Jogja tidak mempunyai jalur khusus. Dengan keadaan itu PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator tidak bisa berbuat banyak. Dinas Perhubungan pun sepertinya cukup tau dengan keadaan dan peraturan sanksi yang telah dibuat, inovasi pun dirasa lambat dalam menanggapi kondisi yang dihadapi.

Dalam kebijakan, hal yang paling sering terabaikan adalah pengontrolan dan pemantauan. Trans Jogja ini yang sudah menginjak umur ke tujuh, dirasa memiliki control dan pantauan yang kurang. Sangat disayangkan sebenarnya,

ketika sebuah kebijakan andalan akan tetapi pengontrolan dan optimalisasinya tidak berjalan beriringan. Tidak jarang ditemui shelter dan bus yang ditemukan kerusakan, baik sarana maupun prasarananya. Bus yang mempunyai asap pekat, pintu yang sudah rusak, ac yang tidak maksimal dari fungsinya. Seharusnya hal seperti ini menjadi perhatian lebih bagi operator maupun Dinas Perhubungan khususnya, karena kembali lagi Trans Jogja menonjolkan pelayanan dan kenyamanannya. Evaluasi pun selalu diadakan setiap tahunnya membahas agenda tahunan, akan tetapi perubahan yang terjadi ataupun kebijakan yang keluar tidak semaksimal dan memberi jalan keluar yang cukup efisien.

3. Orientasi masa kini dan masa lampau

Tuntutan evaluatif berbeda dengan tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifak prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan.

Dari waktu ke waktu Trans Jogja mengalami pasang surut. Tentunya hasil yang sekarang diraih adalah pelajaran dan hasil dari evaluasi dari kebijakan serta transportasi sebelumnya. Dalam hal ini Trans Jogja mengalami kemajuan, terlebih dari jumlah armada dan shelter yang semakin bertambah, terlebih ada wacana bahwa koridor akan diperluas jangkauannya hingga Sleman dan dan Bantul. Ini memang harus dilakukan karena tidak bisa dipungkiri jumlah angka komsumtifitas semakin hari semakin bertambah dan harus diimbangi dengan sarana dan prasarana yang ada. Cakupan dan jangkauan harus di tempatkan di

tempat-tempat strategis agar orang yang ingin mengakses Trans Jogja lebih dekat dan mudah.

Meskipun load factor, belum memenuhi sasaran, terlebih antara shelter satu dengan yang lainnya tidak sama, karena tidak bisa dipungkiri titik keramaian tidak semuanya sama. Load factor bisa menjadi acuan dan gambaran lapangan bahwa perlu dibuat koridor koridor pendek maupun panjang sehingga masyarakat semakin tertarik menggunakan Trans Jogja. Perlu ditambah atau tidak suatu koridor atau armada dalam satu jalur juga bisa dipertimbangkan dari catatan load

factor pada tahun tahun sebelumnya. Inilah perlu dilakukan evaluasi mendalam,

sehingga pengoptimalan dalam sebuah koridor dapat dimaksimalkan. 4. Dualitas nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Di dalam mengidentifikasi tujuan-tujuan evaluasi yang berbeda-beda dapat dilihat bagaimana suatu program dinilai gagal oleh suatu perangkat atau instrumen kriteria, sementara dipihak lain dianggap berhasil oleh kriteria lainnya (Suharyanto, dalam Deka Budianto, 2006 :15).

Dalam hal ini, suatu evaluasi dapat dikatakan menjadi cara munculnya suatu kebijakan baru, ataupun menjadi cara inovasi dari kebijakan yang terdahulu dengan cara mencari kekurangannya dan memberikan solusi yang dirasa menjadi jalan keluar terbaik dari sebuah problematika yang ada. Trans Jogja sudah menjadi primadona dan icon transportasi massal di Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam segi transportasi massalnya. Berbagai kelebihan dan kekurangannya terkandung didalamnya. Dalam setiap kebijakannya pun selalu memiliki fungsi dan tujuan ganda, sehingga dapat menjadi solusi kongkrit dan menjadi plan

second ketika sebuah kebijakan kurang berhasil diimplementasikan. Contohnya

dalam kebijakan Trans Jogja memberlakukan sistem card, dalam berbagai pandangan konsep ini dianggap baik karena dilain sisi pelajar (dengan tiket reguler pelajar), dapat membayar tiket lebih murah yaitu Rp. 2000,- dan dapat mengisi saldo. Dalam hal ini mempunyai fungsi dan tujuan ganda, cara ini dimaksudkan untuk menarik para pelajar beralih dari memakai kendaraan pribadi menjadi menggunakan bus, serta harga lebih murah agar pelajar lebih mudah untuk menjangkaunya dari segi ekonomisnya.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-46)

Dokumen terkait