• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penghambat Program Pembinaan Kemandirian

BAB V Bab ini berisikan kesimpulan mengenai hasil penelitian serta saran dan rekomendasi bagi perusahaan maupun lembaga jurusan dimana

C. Faktor Penghambat Program Pembinaan Kemandirian

Segala bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi maupun lembaga akan menemui hambatan dan tantangan. Begitu pula yang dihadapi oleh Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta.

1. Minimnya Anggaran Dana

Minimnya anggaran dana merupakan faktor utama yang diakui oleh petugas Lapas Terbuka sebagai faktor penghambat pelaksanaan program pembinaan kemandirian. Sebagaimana yang diketahui bahwa Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta merupaka lembaga milik pemerintah yang berarti seluruh kebutuhan dananya ditopang oleh pemerintah. Sering kali anggaran yang tidak mencukupi ini akan membuat program tidak berjalan dengan baik. Hal ini diungkapkan oleh Pak Iwan selaku staf Bidang Kegiatan Kerja kepada penulis berikut ini.

“Kendalanya pasti dana ya. Karena sistem anggaran kita kan sistem pakai habis. Jadi kalau pejabat atas kan berpikirnya ini anggaran negara yang harus habis digunakan dalam masa satu tahun ini. Sehingga, dana yang ada ya keluarkan saja untuk apa-apa. Kalau kita yang ada di lapangan kegiatan kerja kan inginnya dana ini berputar ya. Jadi modal bisa kembali lagi untuk membeli bibit ikan di periode pembibitan selanjutnya, sistem berkelanjutan begitu. Namun, sampai saat ini masih sulit untuk menerapkan sistem

11

Informasi diperoleh dari wawancara dengan Bapak Rio Chaidir selaku Kasubsie Perawatan pada tanggal 11 Desember 2013.

seperti itu. Bukan Cuma di lapas ini tapi di lapas-lapas lain juga begitu. Karena dimana-mana sistemnya kan sama.”12

2. Jumlah Program Minim

Minimnya jumlah program merupakan imbas dari minimnya jumlah anggaran dana yang diberikan kepada Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta dari pemerintah pusat. Minimnya jumlah program ini mengakibatkan WBP yang ada tidak terserap secara keseluruhan sehingga yang mengikuti program pembinaan kemandirian hanya sedikit. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Puji Indrayani selaku staf Bidang Kegiatan Kerja kepada penulis.

“Jadi ya, masalahnya kembali lagi karena kurangnya program. Kami rasa kalau programnya cukup banyak, maka akan bisa menyerap WBP yang ada sehingga yang tidak mau ikutpun bisa kami paksa. Karena keterbatasan itulah kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau kami sih ingin mereka semua ikut kegiatan, ikut pembinaan supaya kemandiriannya itu bertambah.”13

Sedikitnya jumlah program juga diakui oleh Bapak Iwan, rekan dari Ibu Puji, menjadi salah satu penghambat proses pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka. Hal ini diungkapkan beliau sebagai berikut.

“Perkembangan mereka cukup baik, karena sebenarnya mereka juga tergantung dengan program yang ada disini. Jika program yang ada disini banyak, bisa menyerap semua WBP yang ada disini, nantinya mereka akan berkembang. Namun, karena program yang ada hanya sedikit, sehingga tidak semua bisa terserap oleh program-program yang ada. Kalau dari WBP sendiri sebenarnya mereka sangat ingin bekerja, memanfaatkan waktu untuk mengerjakan sesuatu.”14

12

Wawancara dengan Bapak Iwan selaku staf Bidang Kegiatan Kerja pada 20 Desember 2013.

13

Wawancara dengan Ibu Puji Indrayani selaku staf Bidang Kegiatan Kerja dilakukan pada 6 Januari 2014.

14

Wawancara dengan Bapak Iwan selaku staf Bidang Kegiatan Kerja pada 20 Desember 2013.

3. Terbatasnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Tidak dapat dibantah bahwa kualitas sumber daya manusia yang ada di dalam suatu tubuh lembaga adalah modal penting yang menjadi penggerak bagi lembaga itu. Begitu pula dengan Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta yang memiliki total 80 orang petugas di dalamnya. Minimnya petugas yang memiliki keahlian di bidang pembinaan kemandirian juga merupakan salah satu faktor penghambat. Tidak setiap petugas memiliki keahlian praktis bagi bidang pembinaan kemandirian. Sehingga apabila pelatih atau instruktur pembinaan tidak dapat hadir maka, tidak ada yang bisa menggantikan mereka untuk melatih WBP.

4. Sedikitnya Mitra Kerja

Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta memiliki program pembinaan kemandirian bekerja pada pihak ke-3 (P3) dimana dalam program tersebut, WBP dapat menjalani pekerjaan yang diinginkannya di luar lembaga. Artinya akan terjadi interaksi yang lebih luas antara WBP dengan masyarakat luas. Hal ini adalah salah satu cara WBP mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat. Program ini dilaksanakan sesuai dengan fungsi pokok Lapas Terbuka yaitu sebagai Lapas asimilasi bagi WBP. Namun, karena sedikitnya mitra kerja yang ada saat ini membuat WBP yang dapat bekerja di luar lembaga pun sedikit. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan masyarakat kepada WBP yang rendah.15

15

Informasi diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan Bapak Rio Chaidir selaku Kasubsie Perawatan pada tanggal 20 November 2013.

5. Kemauan Warga Binaan Pemasyarakatan Kurang

Kemauan dari WBP yang kurang dalam mengikuti program pembinaan juga menjadi faktor penghambat. Karena apabila dalam diri WBP itu sendiri mempunyai kemampuan yang minim, maka hasil pembinaan yang diharapkan yaitu kemandirian tidak akan tumbuh dalam jiwa WBP. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Puji Indrayani selaku staf Bidang Kegiatan Kerja kepada penulis.

“Kalau WBP yang tidak mau ikut ya kami juga tidak bisa memaksakan ya. Kenapa kami tidak bisa memaksakan karena itu terkait dengan program juga. Misalnya peternakan, di program itu cukuplah lima orang saja yang mengurus. Karena apabila terlalu banyak orang juga akan mempengaruhi proses dan hasil ternak itu sendiri. Terlalu banyak orang yang terlibat juga bisa membuat tingkat stres ayam tinggi. Selain itu jika terlalu banyak orang yang ikut turun tangan namun kalau mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda juga bisa mengacaukan program kan. Jadi ya, masalahnya kembali lagi karena kurangnya program. Kami rasa kalau programnya cukup banyak, maka akan bisa menyerap WBP yang ada sehingga yang tidak mau ikutpun bisa kami paksa. Karena keterbatasan itulah kami tidak bisa berbuat apa-apa.”16