Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi
Kesejahteraan Sosial
Oleh:
Putri Anisa Yuliani 109054100019
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 19 Februari 2014
ii
Di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta sebagai salah satu lembaga pemerintahan memiliki fungsi untuk membina Narapidana yang selanjutnya disebut dengan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk meningkatkan kemandirian baik dari segi kemandirian emosional maupun kemandirian secara ekonomi setelah menyelesaikan masa hukuman pidananya di Lapas. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pembinaan Narapidana memiliki empat tahap dan Lapas Terbuka berada di tahap ketiga yaitu pembinaan ketika Narapidana telah menjalankan setengah masa pidananya. Dengan kondisinya yang merupakan Lapas Terbuka, Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta memiliki program pembinaan yang khusus serta aturan yang khusus dibandingkan dengan Lapas pada umumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui program pembinaan kemandirian yang ada di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta dalam tujuannya meningkatkan kemandirian narapidana serta hambatan-hambatan yang ditemuinya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan tujuan menghasilkan penelitian dnegan bentuk penjabaran kata-kata yang merepresentasikan fakta-fakta yang telah didapat di lapangan selama proses penelitian berlangsung. Teknik pencarian data yang digunakan adalah wawancara, observasi serta studi dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap staf yang berkaitan dengan program pembinaan serta Warga Binaan Pemasyarakatan yang aktif mengikuti program pembinaan. Studi dokumentasi yang didapat peneliti yaitu profil lembaga.
iii Alhamdulillahirobbil ‘alamiin,
Sujud syukur penulis haturkan ke hadirat Allah yang telah memberikan
rahmat beserta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Rasulullah
yang telah memberikan suri tauladan kepada umatnya untuk selalu bersabar,
berikhtiar, dan bertawakal untuk menghadapi segala ujian dan cobaan.
Segala kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam melakukan
penelitian serta penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat penulis hadapi sendirian
tanpa bimbingan dan motivasi dari orang-orang yang terkasih hingga skripsi ini
selesai. Oleh karena itu, dalam hal ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya bagi orang-orang yang telah
membantu, membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yaitu:
1. Bapak Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi sekaligus pembimbing yang senantiasa memberikan
bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis dari awal hingga
akhirnya skripsi ini selesai ditulis dan diuji dalam sidang skripsi.
2. Ibu Siti Napsiyah, MSW selaku Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial dan
Bapak Ahmad Zaky, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial
beserta para dosen/staf di lingkungan Fakultas Dakwah dan Ilmu
iv sama dalam proses penelitian skripsi.
4. Bapak Adam Ridwansyah, Amd,IP, SH, M.Si selaku Kasie Registrasi,
Bapak Rio Chaidir, Amd,IP, SH selaku Kasubsie Perawatan, Ibu Puji
Indrayani selaku staf pembinaan, serta segenap staf di Lapas Terbuka Klas
IIB Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
bekerja sama dengan baik selama penulis melakukan penelitian di Lapas
Terbuka Klas IIB Jakarta.
5. Para Warga Binaan Pemasyarakatan yang berada di Lapas Terbuka Klas
IIB Jakarta yang telah bekerja sama dengan penulis dan memberikan
penulis wawasan tentang kehidupan di lembaga pemasyarakatan.
6. Orang tua penulis, Bapak dan Mama yang selalu memberikan semangat,
motivasi, kasih sayang, serta doa yang tidak terputus-putus dalam
membesarkan dan mendidik penulis. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan proses pendidikan dan mempersembahkan gelar sarjana ini
kepada kalian.
7. Kakak Fitria Iryanti dan adik Reza Yahya Pribadi yang telah mendukung,
menemani dalam berdebat dan kasih sayang. Terima kasih.
8. Sahabat tersayang, sehati dan sejiwa yang bertahun-tahun sudah
v
10.Keluarga besar UKM Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup
dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batutah (KMPLHK RANITA),
khususnya teman-teman angkatan Berpikir, Bersikap, Bertindak (BBB) di
Training Dasar (TRADAS) XXI.
11.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang telah membantu
proses skripsi ini.
Peneliti tidak mampu memberikan balasan apa-apa atas segala jasa yang telah
diberikan dan hanya mampu menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan
yang telah diberikan dibalas dengan berkah yang sebesar-besarnya. Akhirnya
penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi peneliti dan
mahasiswa baik dari Jurusan Kesejahteraan Sosial maupun dari jurusan lain di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Februari 2014/Rabiul Awal 1435
Penulis
vi
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah Dan Pembatasan Masalah ... 6
1. Pembatasan Masalah ... 6
2. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metodologi Penelitian ... 8
1. Pendekatan Penelitian ... 8
2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9
3. Subjek, objek, dan Informan Penelitian ... 9
4. Sumber Data ... 12
5. Teknik Pengumpulan Data ... 13
6. Teknik Analisis Data ... 16
7. Teknik Penulisan Data ... 17
F. Tinjauan Pustaka ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II LANDASAN TEORI ... 20
A. Program Pembinaan Kemandirian ... 20
1. Pengertian Program. ... 20
2. Pembinaan ... 21
vii
d. Tahap Pembinaan Narapidana ... 38
3. Kemandirian ... 39
a. Pengertian Kemandirian ... 39
b. Aspek-aspek Kemandirian... 42
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 45
d. Ciri-ciri Kemandirian ... 47
4. Pemberdayaan Narapidana Dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial ... 49
a. Pengertian Pemberdayaan ... 49
b. Konsep Pemberdayaan Narapidana ... 50
B. Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Dan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 54
1. Definisi Lembaga Pemasyarakatan ... 54
2. Konsep Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ... 55
3. Definisi Narapidana Dan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 59
4. Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan ... 60
BAB III GAMBARAN PROFIL LEMBAGA ... 63
A. Sejarah Beridirinya Lapas Terbuka Jakarta ... 63
B. Letak Geografis ... 64
C. Visi dan Misi Lembaga ... 65
D. Sarana dan Prasarana... 65
E. Struktur Organisasi ... 67
F. Gambaran SDM/Staf Lapas Terbuka Jakarta ... 68
G. Kriteria Warga Binaan Pemasyarakatan ... 70
H. Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Pemasyarakatan ... 73
viii
2. Pengarahan ... 78
3. Pelaksanaan ... 79
B. Pelaksanaan Program Pembinaan Kemandirian... 82
C. Faktor Penghambat Program Pembinaan Kemandirian ... 92
D. Hasil Pelaksanaan Program Pembinaan Kemandirian ... 95
BAB V PENUTUP ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
ix
Tabel 2 Data Pegawai Sesuai /Pangkat Golongan dan Jenis Kelamin ... 69
Tabel 3 Persebaran Tingkat Pendidikan Pegawai Lapas Terbuka Jakarta ... 69
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 74
[image:12.595.102.505.140.617.2]x
Lampiran 2 Surat Pengajuan Pembimbing Skripsi ... 112
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Skripsi ... 114
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang memiliki aturan hukumnya sendiri.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 BAB I tentang Bentuk
dan Kedaulatan Pasal 1 butir ke (3) yang menyatakan “Indonesia adalah
negara hukum.” Setiap penduduk, siapapun ia, apapun kedudukannya juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Hal ini tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1945 BAB X tentang Warga Negara dan
Penduduk Pasal 27 butir (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Dalam sistem hukum Indonesia, seseorang yang berbuat kesalahan yang
dapat merugikan orang lain dapat ditindak dalam hukum pidana. Selanjutnya
jika orang tersebut telah divonis dan dijatuhi hukuman kurungan penjara oleh
hakim di pengadilan, maka orang tersebut naik statusnya penjadi terpidana
dan akan menjadi narapidana ketika ia telah memasuki lembaga
pemasyarakatan.
Pembinaan narapidana secara kelembagaan dalam sejarah di Indonesia,
dimulai sejak jaman Pemerintahan Kolonial Belanda dengan peraturan
pemerintah tanggal 10 Desember 1917, stbl. 1917 No.708 yang dikenal
dengan sebutan Gestichten Reglement. Saat itu penjara sebagai pembalasan,
lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.1
Istilah pemasyarakatan diperkenalkan pertama kali oleh Sahardjo pada
tahun 1963, Sahardjo yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman di dalam
pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa (DR HC) dari
Universitas Indonesia, mengganti istilah penjara dengan “pemasyarakatan”, dengan karakteristik sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada
suatu falsafah, narapidana bukanlah orang hukuman.2 Istilah Lembaga
Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964
bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan.3
Di dalam lembaga pemasyarakatan seorang narapidana dibina dan
diarahkan agar ketika selesai menjalani masa tahanannya dan bergabung
kembali ke dalam lingkungan masyarakat, ia dapat menjadi anggota
masyarakat kembali dengan lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya.
Karena fungsi lembaga pemasyarakatan itu sendiri adalah menyiapkan Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.4
1
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Buku Ketiga), (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi UI, 2007), h. 85.
2
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 25.
3Ibid, h. 37. 4
Pemasyarakatan yang dinaungi oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi
Manusia (Kemenkumham) saat ini jumlahnya ada 457 Unit Pelaksana Teknis
(UPT) dengan total jumlah narapidana maupun tahanan yang berada di
dalamnya sebanyak 154.213 orang dan tersebar di di 33 provinsi di seluruh
Indonesia.5
Sebagai fungsinya yang telah disebutkan di atas bahwa lembaga
pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab. Maka di dalam lembaga pemasyarakatan, WBP mendapat
pembinaan dan pemberdayaan sehingga dapat kembali berpartisipasi dalam
pembangunan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat
meningkatkan taraf hidupnya serta meningkatkan kesejahteraan hidup yang
dimilikinya serta orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara, berpegang
pada asumsi bahwa arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali
narapidana sehingga menjadi warga baik dan berguna atau healthy reentry
into the community, yang pada hakikatnya adalah resosialisasi.6 Oleh karena
itu, keberhasilan pembinaan pelaku tindak pidana tidak dimulai sejak dia
5
Data diperoleh dari website http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly pada hari Kamis, 12 September 2013. Data jumlah narapidana dan tahanan selalu diperbaharui setiap hari melalui pesan singkat dari setiap UPT di seluruh Indonesia.
6
sejak diperiksa oleh polisi akan mempengaruhi keberhasilan resosialisasi.7
Maka berdasarkan Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.
Kp 10. 13/3/1/tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan pemasyarakatan
sebagai proses dalam pembinaan narapidana dan dilaksanakan melalui empat
tahap yaitu:8
1. Tahap Keamanan Maksimal sampai batas 1/3 dari masa pidana yang
sebenarnya. Pembinaan ini merupakan tahap awal pengenalan
lingkungan yang dilakukan sejak diterimanya narapidana
sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini
pembinaannya di dalam Lapas dengan tingkat pengamanannya
maksimum (maximum security).
2. Tahap Keamanan menengah sampai batas 1/2 dari masa pidana yang
sebenarnya. Pembinaan tahap lanjutan lebih dari 1/3 sampai dengan ½
masa tahanan yang sebenarnya, dan dievaluasi perkembangannya.
Apabila menurut penilaian Tim Pengamat Pemasyarakatan, narapidana
menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada tata
tertib yang berlaku maka kepada narapidana diberikan lebih banyak
kebebasan di dalam lapas dengan pengamanan medium (medium
security).
3. Tahap Keamanan minimal sampai batas 2/3 dari masa pidana yang
sebenarnya. Dalam tahap ini diharapkan narapidana sudah
7
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Undip,1995), h. 80.
8
keterampilan lainnya, dan yang paling penting telah siap untuk
berasimilasi dengan masyarakat.
4. Tahap integrasi dan selesainya 2/3 dari masa tahanan sampai habis
masa pidananya. Sebagai tahap terakhir diharapkan narapidana
benar-benar siap kembali ke masyarakat menjelang bebas, atau Pembebasan
Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Maka dalam rangka resosialisasi pelaku tindak pidana, bagi narapidana
yang telah mencapai tahap pembinaan ketiga dinggap perlu berasimilasi
dengan masyarakat dan dapat di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
Terbuka (Lapas Terbuka), sambil menunggu masa pembebasan bersyarat atau
cuti menjelang bebas. Di dalam Lapas Terbuka pun memiliki
program-program pembinaan keterampilan yang disiapkan untuk Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP).
Lapas Terbuka memiliki suatu keistimewaan sendiri dimana tidak
terdapatnya aturan Maximum Security tetapi yang ada adalah Minimum
Security, dimana keamanan ditekan hingga batas minimal dengan penjagaan
yang tidak terlalu ketat seperti Lapas pada umumnya. Hal ini diterapkan
karena Lapas Terbuka diperuntukkan bagi Narapidana yang telah menjalankan
setengah dari masa pidananya serta berkelakuan baik dengan pengawasan dan
proses seleksi yang ketat dari Lapas tempat ia menjalani hukum pidana
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan seiirng dengan tujuan pendirian Lapas
Terbuka yaitu menjadi lembaga asimilasi bagi Narapidana agar dapat
meningkatkan rasa percaya diri Narapidana agar dapat kembali menyatu dan
dapat diterima sebagai warga yang bertanggung jawab sesuai dengan amanat
dan tujuan sistem pemasyarakatan yang terdapat di dalam Undang-undang No.
12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 2 Bab I Ketentuan Umum yang
berbunyi “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.”
Oleh karena itu, berdasarkan paparan permasalahan di atas, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Program Pembinaan
Kemandirian Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Kelas IIB Jakarta”.
B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian harus dibentuk sebuah pembatasan masalah
agar peneliti fokus untuk mencari dan meneliti objek penelitiannya. Dari
uraian latar belakang yang telah peneliti paparkan di sub bab latar
belakang sebelumnya, maka peneliti membatasi objek permasalahan yang
akan diteliti yaitu program pembinaan kemandirian di Lembaga
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahannya yaitu:
1. Bagaimanakah program pembinaan kemandirian di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta?
2. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Lapas Terbuka Jakarta dalam
menyelenggarakan program pembinaan kemandirian?
C. Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan program pembinaan
kemandirian yang diselenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Terbuka Klas IIB Jakarta.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh
Lapas Terbuka Jakarta dalam menyelenggarakan program pembinaan
di Lapas Terbuka Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan ilmiah bagi ilmu kesejahteraan sosial khususnya dalam
studi tentang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka.
2. Secara praktis, hasil penelitian yang berfokus pada program
pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka
mempelajari bidang program pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka.
E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, metode penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.9
Miles and Huberman berpendapat bahwa metode kualitatif berusaha
mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok,
masyarakat, dan atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara
menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.10
Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin mendeskpripsikan,
memperoleh gambaran nyata, dan menggali informasi yang jelas mengenai
program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.
9
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4.
10
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang diambil oleh peneliti dalam mencari informasi
dan data-data terkait dengan objek penelitian adalah di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta. Lapas Terbuka
Kelas IIB Jakarta terletak di dalam kompleks Balai Pengembangan
Sumber Daya Manusia, Kementerian Hukum dan HAM yang berada
di Jalan Raya Gandul Cinere, Jakarta Selatan.
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian terhitung sejak proposal skripsi ini dibuat hingga
skripsi ini selesai ditulis yaitu sejak bulan September 2013 hingga
bulan Januari 2014. Dalam usaha pencarian data di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta, peneliti
melakukan riset berupa wawancara, observasi serta studi dokumentasi
selama kurang lebih dua bulan yaitu sejak bulan November hingga
bulan Desember 2013.
3. Subjek, Informan, dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini dipilih secara sengaja. Karena peneliti bertujuan
memilih informan yang sesuai dengan data yang ditujukan untuk
didapatkannya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Maka dari itu,
informan yang dipilih oleh peneliti adalah staf yang bekerja di Lembaga
sebagai penerima manfaat dari program pembinaan kemandirian.
Staf yang dipilih untuk menjadi Informan yaitu staf bidang perawatan,
pembinaan, kepegawaian dan registrasi. Dua orang staf bidang perawatan
dan pembinaan di Lapas Terbuka Jakarta dipilih untuk menjadi informan
dalam hal menggali data-data mengenai program pembinaan dan
pelaksanaannya. Sedangkan untuk memperoleh data-data seputar
kepegawaian, peneliti memperolehnya dari staf bidang kepegawaian.
Untuk memperoleh data mengenai Warga Binaan Masyarakat, peneliti
memperoleh data dari Kepala Seksi (Kasi) Registrasi.
Dalam proses pemilihan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
sebagai informan, peneliti melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan
staf bidang pembinaan dan perawatan mengenai mana WBP yang
memenuhi kriteria agar cocok untuk dijadikan informan bagi peneliti.
Karena kedua staf tersebut yang paling mengetahui dan dapat memberikan
informasi penting mengenai WBP mana saja yang saat proses penelitian
ini berlangsung, sedang melaksanakan program pembinaan kemandirian di
Lapas Terbuka Jakarta.
Pada saat proses penelitian berlangsung yaitu bulan November hingga
bulan Desember, program yang akan berjalan adalah program budidaya
cacing. Sedangkan program-program yang sudah berjalan adalah program
peternakan ayam broiler, perikanan, pertukangan, dan P3 atau bekerja
pada pihak ke-3. Program pertanian ditiadakan karena Lapas Terbuka
Budidaya cacing telah berjalan sejak periode bulan November 2013, dan
program budidaya ikan lele akan mulai berjalan kembali pada periode
tahun depan.11 Karena alasan tersebutlah peneliti hanya memilih WBP
yang mengikuti program peternakan ayam broiler, perikanan, budidaya
cacing, serta P3 sebagai informan dalam penelitian ini.
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian, jadi ia harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian, ia berkewajiban
secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat
informal, sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan dengan
kesukarelaannya informan tersebut dapat memberikan pandangan dari segi
orang dalam tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan
kebudayaannya yang menjadi latar penelitian tersebut.12 Karena kelebihan
informan dibanding responden ialah informan tidak hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan seorang peneliti tetapi
juga memberikan informasi-informasi yang sekiranya penting dan dapat
membantu proses penelitian.
Sedangkan objek penelitian ini adalah program pembinaan
kemandirian di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta. Program ini
diselenggarakan oleh Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.
11
Berdasarkan keterangan dari staf bidang pembinaan yang dipaparkan pada hari Senin, 25 November 2013 di Lapas Terbuka Jakarta.
12
Sumber data dalam penelitian adalah sumber subjek dari mana data dapat
diperoleh. Sumber data terdiri dari dua macam yaitu data primer dan data
sekunder.13
a. Data Primer
Data primer adalah data-data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data
yang diperoleh melalui observasi lokasi penelitian yaitu Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta dan wawancara
yang akan dilakukan terhadap staf lembaga pemasyarakatan serta
Warga Binaan Pemasyarakatan yang sedang menjalani masa
pemasyarakatan di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung atau data tersebut sebelumnya telah dihimpun oleh para
peneliti atau subjek-subjek pengumpul data untuk tujuan tertentu. Data
tersebut kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas atau
masyarakat dari kalangan tertentu sebagai sumber sekunder dalam
penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah
dokumen-dokumen atau arsip mengenai Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta serta
dokumen mengenai program pembinaan kemandirian di lapas tersebut.
13
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang
peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode
pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan
pencapaian pemecahan masalah secara valid dan terpercaya yang akhirnya
akan memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif.14 Teknik
pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu:
a. Observasi
Observasi yaitu pengamatan terhadap suatu kejadian atau peristiwa
dengan cara melihat dan mendengar dalam rangka untuk memahami,
mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial selama
beberapa waktu peneliti tanpa harus mempengaruhi terhadap fenomena
yang sedang diteliti.15 Dalam penelitian ini peneliti melaksanakan
observasi dengan langsung mendatangi Lembaga Pemasyarakatan
Terbuka Klas IIB Jakarta. Observasi di lakukan sebanyak lima kali
yang diantaranya berlangsung sejak pagi hingga siang hari. Observasi
yang peneliti lakukan bertujuan untuk mengamati kegiatan para Warga
Binaan Pemasyaratan serta para petugas yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta.
b. Wawancara
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu wawancara tidak
berstruktur. Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara bebas
14
Prof. Dr. Hadari Nawawi, Metode penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h.13.
15
tersusun sistematis. Sedangkan untuk memperoleh data lebih lanjut,
wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara semistruktur.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan
pihak yang diwawancara dapat lebih terbuka mengenai informasi yang
ditanyakan.16 Peneliti melakukan wawancara yaitu pada:
1) Tanggal 20 November 2013
Wawancara ini adalah wawancara tahap awal yang peneliti lakukan
dalam rangka memperoleh gambaran umum mengenai Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta serta program-program
pembinaan yang ada di Lapas tersebut. Narasumber dari
wawancara ini adalah staf Bidang Kegiatan Kerja (Giatja) Ibu Puji
Indrayani dan Kasubsie Perawatan Bapak Rio Chaidir.
2) Tanggal 11 Desember 2013
Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Bapak Rio Chaidir
selaku Kasubsie Perawatan. Wawancara ini bertujuan untuk
mengetahui lebih dalam proses pelaksanaan pembinaan
kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB
Jakarta.
3) Tanggal 20 Desember 2013
Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Bapak Iwan selaku
staf Bidang Giatja. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui
16
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta.
4) Tanggal 6 Januari 2014
Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Ibu Puji Indrayani
selaku staf Bidang Giatja. Wawancara ini dilakukan guna
mengetahui lebih dalam proses pelaksanaan pembinaan
kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB
Jakarta. Selain itu pada wawancara tersebut, Ibu Puji Indrayani
juga memberikan informasi mengenai siapa saja Warga Binaan
Pemasyarakatan yang cocok untuk dijadikan informan dalam
penelitian tersebut. WBP dipilih berdasarkan keaktifan mereka
mengikuti program pembinaan selama berada di Lapar Terbuka
Klas IIB Jakarta. Setelah mendapatkan nama-nama WBP yang
ditetapkan sebagai informan, peneliti menemui Kasubsie Registrasi
untuk mengetahui data-data WBP tersebut serta mengurus prosedur
agar dapat mewawancarai WBP.
5) Tanggal 9 dan 12 Januari 2014
Peneliti melakukan wawancara dengan WBP yang telah ditetapkan
sebagai informan penelitian untuk mengetahui bagaimana mereka
menjalani program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Klas
IIB Jakarta.
c. Studi Dokumentasi
Dokumentasi yaitu dalam suatu penelitian merupakan sumber data
surat kabar, majalah dan hasil penelitian dan agenda. Sumber
dokumentasi peneliti dalam penelitian ini adalah Profil Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta yang peneliti peroleh dari
Kasi Registrasi dalam bentuk softcopy.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah suatu proses analisis yang terdiri dari
tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaanyaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
a. Proses Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data
kasar yang manual dari catatan-catatan dilapangan. Reduksi data
berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi penelitian
kualitatif berlangsung. Antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak
waktu penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya)
kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan
pendekatan pengumpulan data mana yang dipilihnya.
Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi
selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat
gugus-gugus, membuat partisi, membuat memo). Reduksi
data/transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
c. Menarik Kesimpulan
Memulai dengan mencari arti benda, mencatat keteraturan,
pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan
proposisi.17 Proses penarikan kesimpulan dalam penelitian berdasarkan
data-data yang diperoleh selama proses penelitian yang juga mengacu
pada perumusan masalah yaitu pertanyaan penelitian yang diajukan oleh
peneliti. Karena kesimpulan dari hasil penelitian akan menjawab
pertanyaan penelitian itu sendiri.
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan translasi penulisan dalam penelitian ini
berpegang pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi) yang disusun oleh Tim Pusat Peningkatan Jaminan Mutu
atau Centre of Quality Development and Assurance (CeQDA) yang
diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
17
Penulisan skripsi mengenai program pemberian keterampilan yang ada di
lembaga pemasyarakatan telah beberapa kali dibuat oleh mahasiswa/i Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun,
masing-masing dari skripsi tersebut memiliki perbedaan dalam tema yang
diambil.
Skripsi karya Siti Nuraliyah mahasiswi Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam melakukan penelitian skripsi berjudul Evaluasi Program
Pelatihan Menyulam Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Wanita
Tangerang. Skripsi tersebut selesai pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun
yang sama skripsi lainnya karya Fahrur Rohman mahasiswa Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam juga mengambil lokasi penelitian di
Lembaga Pemasyarakatan dengan judul Pemberdayaan Narapidana Melalui
Program Jenjang S1 Hukum Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang,
Jakarta.
Kedua skripsi tersebut meiliki persamaan dalam pengambilan judul yang
diambil penulis yaitu sama-sama mengambil lokasi penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan walaupun di Lembaga Pemasyarakatan yang berbeda. Letak
perbedaan kedua skripsi tersebut dengan judul yang diambil oleh penulis yaitu
tema yang diambi penulis adalah mengenai program pembinaan
Sistematika penulisan skripsi ini akan dibagi dalam 5 bab yaitu:
BAB I Membahas pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, metode penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan dan
perumusan masalah dan sistematika penulisan.
BAB II Kerangka pemikiran yang berisikan teori-teori yang dijadikan peneliti sebagai dasar teori dalam melakukan penelitian sejak
pengumpulan data, penyaringan data hingga analisis data.
BAB III Gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta dan gambaran program-program pembinaan
kewirausahaan yang dimiliki.
BAB IV Merupakan hasil analisis data yaitu berisikan analisis peneliti mengenai program pembinaan kewirausahaan yang dilaksanakan
oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta
serta hasil wawancara peneliti yang dilakukan kepada narapidana di
lembaga tersebut sebagai penerima manfaat.
BAB V Bab ini berisikan kesimpulan mengenai hasil penelitian serta saran dan rekomendasi bagi perusahaan maupun lembaga jurusan dimana
[image:32.595.97.516.198.600.2]20
A. Program Pembinaan Kemandirian 1. Pengertian Program
Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu
kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di
dalam setiap program dijelaskan mengenai:
1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.
2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.
3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
5. Strategi pelaksanaan.
Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir
dan lebih mudah untuk dioperasionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian
program yang diuraikan.
“A programme is collection of interrelated project designed to
harmonize and integrated various action an activities for achieving
averral policy abjectives” (suatuprogram adalah kumpulan proyek-proyek
yang saling berhubungan dirancang untukmelaksanakan kegiatan-kegiatan
yang harmonis dan terintegrasi untuk mencapai sasaran kebijaksanaan
Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang
disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang
dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas
sebagai program atau tidak yaitu:
1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan
atau sebagai pelaku program.
2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang
biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.
3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif
dapat diakui oleh publik.
Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model
teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin
diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada
pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu
terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik.1
2. Pembinaan
a. Pengertian Pembinaan
Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan
akhiran –an, yang berarti bangun atau bangunan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau
proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang
1
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh
hasil yang lebih baik.
Menurut Mangunhardjana, pembinaan adalah suatu proses belajar
dengan melepaskan hal yang sudah dimiliki dan mempelajari
hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang
menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan
dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan
kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang
sedang dijalani secara lebih efektif.2
Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembinaan merupakan suatu proses kegiatan dan proses mempelajari
hal-hal baru yang berguna untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih
baik bagi orang yang dibina dan untuk menuju kehidupan yang lebih
baik. Proses pembinaan ini erat kaitannya dengan wawasan yang
bersifat praktik seperti keterampilan yang dapat digunakan untuk
memperoleh mata pencaharian.
Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 butir kelima,
Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Sedangkan pengertian
pembinaan terdapat di dalam Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Letak Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Bab
2
I tentang Ketentuan Umum pasal 1 butir kedua yaitu pembinaan adalah
kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan prilaku,
profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan. Pengertian narapidana yaitu terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Sehingga dapat disimpulkan
dari beberapa pengertian di atas, pembinaan adalah suatu proses untuk
memperbaharui, meningkatkan, mengembangkan pengetahuan
seseorang terhadap suatu bidang ilmu ataupun keterampilan untuk
mencapai suatu tujuan yakni memperoleh hasil yang lebih baik.
Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama
pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam
Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang, tanggal 27 april 1964, Dr.
Sahardjo S.H melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan
narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.3
Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam konferensi Dinas
Kepenjaraan tersebut, dalam sepuluh prinsip pembinaan dan
bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan
pembinaan adalah:
1. Orang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam
masyarakat.
3
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari
negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan
dengan bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau
lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat
mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan
lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus
ditujukan untuk pembangunan negara.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai
manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan
kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilaang kemerdekaan.
10.Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Kesemua prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana
yang dapat ditarik dari kesepuluh prinsip-prinsip pemasyarakatan,
yaitu: tujuan, proses dan pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. 4
Pembinaan narapidana sebagai suatu sistem memiliki beberapa
komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan.
Sedikitnya ada empat belas komponen dengan masing-masing
komponen dari 3 era sistem lembaga pemasyarakatan yang terdapat di
[image:38.595.103.542.221.726.2]dalam tabel di bawah ini.
Tabel 15
Perbandingan Sistem Penjara dan Sistem Pemasyarakatan No
.
Sistem Komponen
Kepenjaraan Pemasyarakatan Pemasyarakatan Baru
1. Filsafat Liberal Pancasila Pancasila
2. Dasar Hukum Gestichten Reglemen Gestichten Reglemen dengan perubahannya Undang-Undang Pemasyarakatan
3. Tujuan Penjeraan Pembinaan dengan
tahap
Admisi/Orientasi/Pe mbinaan, Asimilasi
Meningkatkan kesadaran narapidana (conciousness) dengan tahap intropeksi,
motivasi dan self
development
4. Pendekatan Sistem
Security Approach
Security Approach Conciousness Approach
5. Klasifikasi Maximum Security
Maximum Security,
Medium Security,
Minimum Security
High Conciousness, Half
Conciousness, Low
Conciousness
6. Pendekatan Klasifikasi
Maximum Security
Maximum Security,
Medium Security,
Minimum Security
High Conciousness, Half
Conciousness, Low
Conciousness
7. Perlakuan Narapidana
Obyek Subyek Subyek/Obyek
8. Orientasi Pembinaan
Top Down
Approach
Top Down Approach Bottom Up Approach
4
C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, h.3.
5
9. Sifat Pembinaan
Eksploitasi Melatih bekerja Mandiri/percaya diri dapat mengembangkan
kemampuan
diri/pengembangan sumber daya manusia
10. Remisi Anugerah
(1917-1949)
Hak (1950-1986) Hak dan kewajiban (1987
sampai dengan ada
perubahan) 11. Bentuk
bangunan
Penjara Penjara (bangunan
lama), bangunan
baru belum
sepenuhnya mencerminkan LP
Perlu dirancang secara khusus
12. Narapidana Dibiarkan/tida k diberikan bimbingan, pembinaan
Diberikan
bimbingan/pembinaa n
Dikenalkan dirinya
sendiri, diberikan teknik motivasi diri sendiri/self development,
pengembangan sumber daya manusia.
13. Keluarga Kurang diberi kesempatan untuk ikut membina, kepenjaraan tidak terbuka sifatnya. Peran keluarga diabaikan dalam ikut serta membina naraidana
Diberi kesempatan untuk ikut membina (cuti dan lain-lain)
Kesempatan penuh,
keluarga diberi tahu tahap pembinaan yang dilakukan oleh LP bagi narapidana. Perkembangan kesadaran narapidana yang masih saudaranya.
14. Pembina/pe merintah
Ditekankan untuk
membuat jera narapidana sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi. Karena jera masuk penjara.
Sebagai pembina, mengarahkan pidana
untuk
setidak-tidaknya tak akan melakukan tindak pidana lagi stelah keluar dari LP
Panutan. Sepanjang
petugas LP tidak mampu
menjadi penautan,
sebaiknya mundur saja dari tugasnya. Petugas LP
harus mempunyai
kemampuan memotivasi para narapidana dan mengembangkan
Dari tabel 1 dapat dilihat berbagai macam komponen yang ada dalam
sistem pembinaan narapidana. Perbandingan ketiganya menampakkan
kemana arah pembinaan narapidana akan dibawa. Pada sistem pertama
yaitu kepenjaraan, narapidana diperlakukan seperti layaknya penjahat yang
dikekang kebebasannya dengan pengamanan tingkat maksimum
(maximum security) dan tidak diberi pembinaan. Sehingga orientasi sistem
ini lebih kepada pemberian efek jera. Selain itu, remisi merupakan hadiah
atau anugerah yang diberikan oleh pemerintah yang sifatnya sangat
langka.
Di era sistem pemasyarakatan dapat disimpulkan bahwa ada
perubahan dalam sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan yang
dimulai ketika Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tahun 1964 yang
dicetuskan oleh Dr. Sahardjo S.H. sama seperti sistem pemasyarakatan
baru, sistem pemasyarakatan memiliki klasifikasi lembaga
pemasyarakatan yang memiliki tingkat keamanan berbeda yaitu Maximum
Security, Medium Security dan Minimum Security.
Letak perbedaannya adalah pada sistem pembinaan dan orientasi
pembinaan. Pembinaan pada sistem pemasyarakatan baru memiliki tujuan
untuk membina tidak hanya keterampilan tetapi juga kesadaran narapidana
akan eksistensinya sebagai manusia agar narapidana tidak canggung ketika
kembali kepada masyarakat.6
6
b. Metode Pembinaan
Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi
pembinaan agar efektif dan efisien diterima oleh narapidana, baik
perubahan dalam berpikir, bertindak atau bertingkah laku. Berdasarkan
kebutuhan narapidana, metode pembinaan dapat dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Pendekatan dari atas (Top Down Approach)
Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina,
atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas.
Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan
dijalaninya tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para
pembina. Pembinaan dari atas dipilihkan materi yang umum seperti
pendekatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengetahuan
berbangsa dan bernegara atau pengetahuan umum lainnya yang
berguna setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan
pengetahuan khusus yaitu pemberian keterampilan. Pembinaan dari
atas harus memperhatikan faktor situasi, artinya pembina harus
mampu mengubah situasi yang berada dalam sebuah pembinaan,
menjadi sebuah situasi yang disukai dan disepakati oleh peserta
pembinaan sehingga mampu menghilangkan kendala situasi
pribadi. Semua narapidana yang ikut dalam pembinaan tersebut
sangat berguna karena secara penuh dan semangat yang sama ikut
berperan dalam upaya pembinaan diri sendiri.
2. Pendekatan dari bawah (Bottom Up Approach)
Pendekatan dari bawah merupakan suatu cara pembinaan
narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau
kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai
kebutuhan belajar yang sama, minat belajar yang sama. Semua
sangat tergantung dari pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas
pembinaan yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan
narapidana dengan pendekatan dari bawah membawa konsekuensi
yang tinggi bagi para pembina, karena pihak pembina harus
mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi tercapainya tujuan
pembinaan. Macam pembinaan akan menjadi beragam namun, jika
fasilitas dan sarana tidak memadai atau tidak ada maka kebutuhan
belajar dan kebutuhan pembinaan akan dibatasi oleh fasilitas dan
sarana yang ada.
Selain dua pendekatan di atas, ada pula metode pembinaan perorangan
(individu) dan kelompok.
1. Metode pembinaan perorangan (Individual)
Metode pembinaan perorangan dibagi menjadi dua yaitu:
a. Dari dalam diri
Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri
seseorang mengenal diri sendiri. Dapat terjadi seorang narapidana
yang telah mengenal diri sendiri tidak memiliki kemauan untuk
membina diri. Semua terjadi apabila pengenalan diri tidak disertai
dengan motivasi untuk merubah diri. Pembinaan dan pendidikan
dengan orientasi kebutuhan tenaga kerja bagi masyarakat, atau
usaha kewirausahaan akan membangkitkan narapidana untuk
membina diri sendiri sesuai dengan tujuan hidupnya, sesuai dengan
cita-citanya.
b. Dari luar diri
Pembinaan dari luar diri dapat berupa pembinaan seara umum
seperti kesadaran hukum, pendekatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, pengamalan Pancasila dan lain sebagainya. Sedangkan
pembinaan secara khusus yaitu keterampilan, konsultasi psikologi,
dan lain-lain. Pembinaan dari luar didasari atas analisa pribadi
seorang narapidana. Jadi kebutuhan pembinn ditentukan oleh
pembina. Pembinaan dari luar diri dapat berupa kursus-kursus
keterampilan secara tertulis misalnya kursus bahas asing, kuliah di
universitas, dan lain-lain. Lembaga pemasyarakatan dapat bekerja
sama dengan lembaga yang ada jika memang tidak ada sarana atau
fasilitas yang mendukung di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu
2. Metode Pembinaan Perkelompok
Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode
ceramah, tanya jawab, simulasi, permainan peran, atau pembentukan
tim (team building). Dalam pembentukan tim, semua anggota tim
harus ikut aktif ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang
tangguh. Dalam pembinaan Narapidana untuk mencapai hasil yang
maksimal, Narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri,
baik secara diri sendiri maupun perkelompok. Dalam pembinaan
secara kelompok, Narapidana harus diajak untuk memahami arti
nilai-nilai positif yang ada di dalam masyarakat atau di kelompok, untuk
dijadikan bahan pembinaan secara kelompok. Karena setelah keluar
dari Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana akan berbaur lagi dengan
masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang
tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna
bagi pemahaman hidup bermayarakat, hidup dalam saling
ketergantungan.
c. Tujuan, Prinsip, dan Faktor Pelaksanaan Pembinaan Narapidana
Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana berkaitan erat
dengan tujuan pemidanaan. Pada awalnya, pidana penjara digunakan
sebagai pembalasan dendam dari masyarakat yang dirugikan oleh
sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan, tujuan pidana tidak
lagi menjadi pembalasan dendam tetapi dibina untuk kemudian
dimasyarakatkan.
Di Indonesia, tujuan pemidanaan tertuang dalam Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tahun 2002 Bab III tentang
Pemidanaan, Pidana dan Tindakan pasal 50 ayat (1) yaitu:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang baik dan berharga.
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
d) Membebaskan rasa bersalah dari diri terpidana.
Dari uraian tujuan pemidanaan di atas dapat disimpulkan bahwa
tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan. Tujuan tersebut dapat
dibagi menjadi tiga hal yaitu:
1) Setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi melakukan
tindak pidana.
2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam
3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.7
Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina
narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang.
Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan
narapidana. Prinsip-prinsip paling mendasar kemudian dinamakan
prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada empat komponen
penting dalam pembinaan narapidana, yaitu:8
1) Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri.
2) Keluarga
3) Masyarakat
4) Petugas pemerintah dan kelompok masyarakat.
Dalam melaksanakan pembinaan di lingkungan Lapas terdapat
faktor- faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi
sebagai faktor pendukung dan dapat pula menjadi faktor penghambat.
Faktor-faktor yang dimaksud antara lain :
1) Pola dan tata letak bangunan.
Pola dan tata letak bangunan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PL.01.01 Tahun
1985 tanggal 11 April 1985 tentang Pola Bangunan Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara perlu diwujudkan,
7
C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, h. 47. 8Ibid
karena pola dan tata letak bangunan merupakan faktor yang penting
guna mendukung pembinaan, sesuai dengan tujuan pemasyarakatan.
2) Struktur Organisasi.
Mekanisme kerja, khususnya hubungan dan jalur-jalur perintah
atau komando dan staf hendaknya mampu dilaksanakan secara berdaya
guna agar pelaksanaan tugas di setiap unit kerja berjalan dengan
lancar. Setiap petugas harus mengerti dan dapat menjalankan tugasnya
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing.
Namun demikian, disiplin dan penerapan struktur organisasi
hendaknya tidak menjadikan tugas-tugas menjadi lamban apabila
sampai terlambat. Dengan perkataan lain struktur organisasi tidak
boleh menjadi faktor penghambat, sehingga harus diperlakukan secara
luwes, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada.
3) Kepemimpinan Kalapas
Kepemimpinan Kalapas akan mampu menjadi faktor pendukung
apabila kepemimpinannya mampu mendorong motivasi kerja
bawahan, membina dan memantapkan disiplin, tanggung jawab dan
kerjasama serta kegairahan bekerja. Demikian juga kemampuan
profesional dan integritas moral Kalapas sangat dituntut agar
kepemimpinannya dapat menjadi faktor pendukung sekaligus menjadi
4) Kualitas dan kuantitas Petugas.
Haruslah selalu diusahakan agar kualitas petugas dapat mampu
menjawab tantangan tantangan dan masalah-masalah yang selalu ada
daln muncul di lingkungan Lapas disamping penguasaan terhadap
tugas-tugas rutin. Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas
hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan
pengorganisasian yang rapih, sehingga tidak menjadi faktor
penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan
keamanan atau ketertiban.
5) Manajemen.
Hal ini berkaitan erat dengan mutu kepemimpinan, struktur
organisasi dan kemampuan atau keterampilan pengelolaan (managerial
skill) dari pucuk pimpinan maupun staf sehingga pengelolaan
administrasi di lingkungan Lapas dapat berjalan tertib dan lancar.
Dalam kaitan ini perlu dikaji terus menerus mengenai tipe manajemen
pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia.
6) Kesejahteraan Petugas.
Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas
pemasyarakatan memang masih memprihatinkan, namun faktor
kesejahteraan ini tidak boleh menjadi faktor yang menyebabkan
7) Sarana dan Fasilitas Pembinaan
Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumiah maupun mutu
telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu
penyebab rawannya keamanan atau ketertiban. Adalah menjadi tugas
dan kewajiban bagi Kalapas untuk memelihara dan merawat semua
sarana dan fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal.
8) Anggaran
Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh
program pembinaan, namun hendaklah diusahakan memanfaatkan
anggaran yang tersedia secara berhasil guna dan berdaya guna.
9) Sumber daya alam
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan konsep pemasyarakatan
terbuka dan produktif, maka sumber daya alam merupakan salah satu
faktor pendukung. Namun demikian, tanpa sumber daya alam pun
pembinaan tetap harus dapat berjalan dengan memanfaatkan sarana
dan fasilitas-fasilitas yang ada.
10)Kualitas dan Ragam Program Pembinaan
Kualitas bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata
ditentukan oleh anggaran ataupun sarana dan fasilitas yang tersedia.
Diperlukan program-program kreatif tetapi murah dan mudah serta
memiliki dampak edukatif yang optimal bagi warga binaan
11)Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan
pemasyarakatan.
Dalam hal ini para petugas dituntut untuk mampu mengenal
masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat mengatasinya dengan tepat. Umumnya
masalah itu berkisar pada :
a) Sikap acuh tak acuh keluarga napi, karena masih ada keluarga napi
yang bersangkutan tidak memperhatikan lagi nasib napi tersebut.
b) Partisipasi masyarakat yang masih perlu juga ditingkatkan karena
masih didapati kenyataan sebagian anggota masyarakat masih
enggan menerima kembali bekas napi.
c) Kerjasama dengan instansi (badan) tertentu baik yang terkait secara
langsung maupun tidak langsung masih perlu ditingkatkan juga,
karena masih ada diantaranya yang belum terketuk hatinya untuk
membina kerjasama.
d) Informasi dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang,
bahwa cenderung selalu mendiskreditkan Lapas sehingga dapat
merusak citra Pemasyarakatan di mata umum.
Dengan mengenali faktor-faktor tersebut baik yang ada di dalam
lingkungan Lapas maupun dari luar, maka diharapkan pembinaan yang
dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih baik.9
9
d. Tahap Pembinaan Narapidana
Seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa
pembinaan adalah suatu kegiatan yang memiliki proses. Maka,
pembinaan memiliki tahap-tahap dalam menjalankannya. Tahap-tahap
pembinaan dalam konteks pembinaan narapidana dilaksanakan dalam
tiga tahapan yaitu:10
a. Tahap awal yaitu bagi Narapidana dimulai sejak yang
bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3
(satu per tiga) dari masa pidana. Pembinaan narapidana pada tahap
awal ini meliputi:
1. Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan
paling lama 1 (satu) bulan.
2. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
3. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
dan
4. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
b. Tahap lanjutan yaitu tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya
pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) dari masa
pidana; dan tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan
tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa
pidana. Tahap lanjutan ini meliputi:
10
1. perencanaan program pembinaan lanjutan;
2. pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
3. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan
4. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
c. Pembinaan tahap akhir yaitu dilaksanakan sejak berakhirnya tahap
lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana
yang bersangkutan. Pembinaan tahap akhir ini meliputi:
1. perencanaan program integrasi;
2. pelaksanaan program integrasi; dan
3. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
3. Kemandirian
a. Pengertian Kemandirian
Istilah kemandirian sering disebut dengan autonomy atau
independency. Autonomy merupakan suatu tendensi untuk mencapai
sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap
lingkungan dan merencanakan serta mewujudkan rencana dan
harapan-harapannya. Sedangkan independeny menurut Batia yang dikutip dari
buku Masrun dartikan sebagai perilaku yang aktivitasnya diarahkan
pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain,
bahkan mencoba menyelesaikan dan memecahkan masalahnya sendiri
tanpa bantuan orang lain.11
11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri adalah keadaan
dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan
kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung pada orang lain.12 Menurut Elkind dan Weiner
mendefinisikan kemandirian sebagai kebebasan bertindak, tidak
bergantung pada individu lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas
mengatur kebutuhan sendiri.13
Bernadib yang dikutip dari Yulianti mengartikan kemandirian
sebagai suatu keadaan jiwa seseorang yang mampu memilih norma dan
nilai-nilai atas keputusannya sendiri, mampu bertanggung jawab atas
segala perilaku dan perbuatan individu yang bersangkutan.
Kemandirian yang dimiliki menjadikan ketergantungan kepada pihak
lain sangat minimal.14
Menurut Greenberger bahwa kemandirian mencakup beberapa
istilah antara lain autonomy, independency, dan self-reliance.
Autonomy dimaksudkan suatu tendensi untuk mencapai sesuatu,
mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan dan
merencanakan serta mewujudkan rencana dan harapan-harapannya
yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam. Secara fungsional
autonomy juga dapat diartikan sebagai suatu tendensi untuk bersikap
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 710. 13
S. Nuryoto, Kemandirian Remaja Ditinjau dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin, dan Peran Jenis (Anima Indonesia Psychological Journal No. 2), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993), h.51.
14
secara bebas dan original dalam arti tidak menggantungkan kepada
orang lain. Independency diartikan sebagai gerak yang mengarah
kepada kesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan persepsi atau
pendapat sendiri daripada merespon terhadap tuntutan lingkungan atau
pengaruh orang lain, aktivitas yang dilakukan diarahkan kepada diri
sendiri dan kritis terhadap pengarahan ataupun pengaruh dari orang
lain. Bahkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya
cenderung mencoba menyelesaikan dan memecahkan masalahnya
sendiri tanpa minta bantuan orang lain. Sedangkan self-reliance
merupakan perilaku yang didasarkan percaya pada diri sendiri dimana
pusat kendali berada pada diri sendiri.15
Menurut Mutadin16, kemandirian mengandung pengertian:
a. Suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat dalam
bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.
b. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi
masalah yang dihadapi.
c. Memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya.
d. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.
Martin dan Stendler menyatakan bahwa kemandirian ditujukan
dengan kemampuan seseorang berdiri di atas kaki sendiri, mengurus
15
Masrun dkk, Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis), (Yogyakarta: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1986), h. 10.
16
diri sendiri dalam semua aspek kehidupannya, ditandai dengan adanya
inisiatif, kepercayaan diri dan kemampuan mempertahankan diri dan
hak miliknya.17
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kemandirian adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat berdiri
sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, siap bersaing untuk maju,
ditandai dengan adanya sikap inisiatif dan mampu memecahkan
masalahnya sendiri dan dapat bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya. Menurut Hetherington yang dikutip oleh Spencer dan
Kass dalam buku Afiatin, kemandirian ditunjukkan dengan adanya
kemampuan individu untuk mengambil inisiatif, kemampuan
mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari
usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang
lain.18
b. Aspek-Aspek Kemandirian
Kemandirian adalah salah satu ciri kepribadian yang penting yang
dapat membantu individu mencapai tujuan hidup, untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya, dan memperoleh kebebasan. Havighurst menyatakan
kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu:19
17
T. Afiatin, Persepsi Pria dan Wanita dalam Kemandirian (Anima Indonesia Psychological Journal No. 2), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993), h.8.
18 Ibid, h. 8. 19
a. Kemandirian Emosi
Ditunjukkan dengan mampu mengendalikan emosi dan tidak
ada ketergantungan kebutuhan emosi dari orang lain.
b. Kemandirian Ekonomi
Ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatur ekonomi dan
tidak tergantung dari orang lain dalam hal kebutuhan ekonomi.
c. Kemandirian Intelektual
Ditunjukkan dengan kemamapuan untuk mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi.
d. Kem