• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A WANITA

TANJUNG GUSTA MEDAN

TESIS

Oleh

RITA ULI SITUMEANG

067005059/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Perubahan sistem penjara ke sistem pemasyarakatan ternyata belum membawa perubahan yang mewujudkan sistem pembinaan ysng bersifat membangun kepribadian bagi setiap narapidana. Belum berjalannya sistem pembinaan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 menimbulkan beberapa permasalahan.

Untuk itu permasalahan yang diajukan dalam penelitian Tesis ini adalah (1) Bagaimanakah sistem pembinaan narapidana menurut UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ? (2) Bagaimanakah pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ? (3)Bagaimanakah fungsi dan peranan lembaga pemasyarakatan serta hambatan yang dihadapi dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ?

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif empiris dengan didukung oleh data sekunder dan hasil wawancara dengan informan. Sedangkan alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah berpedoman pada wawancara dan hasil penelitian dianalisis dengan cara kualitatif.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan di lembaga pemasyarakatan wanita Medan belum terlaksana secara optimal sesuai dengan isi UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebabkan beberapa hal antara lain : kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, sarana dan prasarana serta UU yang mengatur tentang pembinaan narapidana wanita belum ada secara khusus. Selain itu masih kurangnya perhatian pemerintah kota dan daerah Sumatera Utara dalam hal peningkatan pembinaan warganya yang ada di lembaga pemasyarakatan.

Untuk itu disarankan agar lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam pembinaan narapidana menggunakan pendekatan persuasif dan pemberian pembinaan agar sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dan dalam hal pemberian pembinaan, pihak lembaga pemasyarakatan perlu mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga.

(3)

ABSTRACT

In the framework of improving the development of the detainees in the Women Penitentiary Class II A Medan, the government has issued various policies. Skill development is one of the characteristics of the Women Penitentiary Class II A Medan. This is an empirical normative study with sociological juridical approach. The data for this study were obtained through distributing questionnaires and interviews. The data collected were then qualitatively analyzed.

The result of this study reveals that the development program for the detainees has not optimally implemented because of several reasons such as inadequate qualified human resources, facilities and infrastructures, the absence of law which especially regulates the development of women detainees that the existing law should be improved, and the city government of Medan and the provincial government of Sumatera Utara still pay less attention to improving the development of their citizens in the penitentiary.

It is suggested that the city government of Medan, the provincial government of Sumatera Utara and the central government improve the human resources or the staff serving for the Women Penitentiary through the provision of training and motivation and the development of facilities and infrastructures. Besides, the Women Penitentiary Class II A Medan should continuously look for work associates to meet the objective of development such as to form the detainees to be real men who realize their mistakes, correct themselves, and never do the same criminal act they did before that they can be accepted by their community, actively play their role in development and live naturally as good and responsible citizen.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

berkatNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Fungsi dan Peranan Lembaga Penasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarkatan Klas II A Wanita Tg. Gusta Medan”. Penulisan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna menyelesaikan pendidikan

pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, konsentrasi hukum administrasi negara

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus manfaat yang diperoleh dari Tesis ini adalah sebagai sarana

memperdalam ilmu pengetahuan di bidang hukum administrasi negara. Sedangkan

manfaat secara umum Tesis ini dapat digunakan oleh berbagai pihak yang

berkepentingan, baik untuk kepentingan instansi terkait maupun kepentingan

masyarakat.

Penulisan dan penelitian Tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada yang

terhormat :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(k) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. Msc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

(5)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku

anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, koreksi dan

dorongan, sehingga Tesis ini ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Prof. Muhammad Daud, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan dorongan sehingga Tesis ini dapat

diselesaikan.

5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan dorongan sehingga Tesis ini

dapat diselesaikan.

6. Ibu. Dr. Sunarni, SH.M.Hum dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum

selaku penguji.

7. Ibu Martiningsih, Bc.IP, SH selaku Kalapas di Lembaga Pemasyarakatan wanita

Medan dan atasan langsung penulis, yang telah membantu dan memberi dorongan

dalam penelitian ini.

8. Bapak Drs. Sugihartoyo, Bc, IP, MSi selaku Kadivpas pada Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara yang telah membantu dalam

penelitian ini.

9. Ibu Zuraidah Lubis, selaku Kasi Pembinaan di LP. Wanita Medan yang telah

membantu dalam penelitian ini.

10. Seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang ada di dalam Lapas dan yang

telah bebas bersedia mengisi kuisioner dan wawancara dengan penulis.

(6)

12. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Magister Studi Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya teman-teman pada

konsentrasi Hukum Administrasi Negara.

13. Para Dosen Pengajar pada Program Magister Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

14. Staff Administrasi pada Program Ilmu Hukum Juli, Fitri dan Fica.

Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada suami yang tercinta

Drs. Murtama Panggabean, M.Pd yang penuh kesabaran, kesetiaan, pengertian dan

kasih sayang memberikan semangat, motivasi dan doa restu kepada penulis.

Demikian juga anak-anakku tersayang, Ruben, Simon, Theo, Bobby Panggabean

yang telah memberikan inspirasi dan dorongan buat mama. Belajarlah

sungguh-sungguh semoga menjadi anak yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Ayahanda dan ibunda serta ibu mertia yang paling penulis hormati dan

sayangi. Kakak serta adik-adik ku serta keponakan-keponakanku tersayang. Jadilah

kita anak-anak yang berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang tua, dan

belajarlah bersungguh-sungguh karena masa depan kita masih panjang. Selalulah

menghargai waktu dan semoga tercapai cita-cita kalian.

Medan, Juni 2008

Penulis

(7)

Riwayat Hidup

Nama : Rita Uli Situmeang

Tempat / Tgl Lahir : Medan. 17 Mei 1963

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Pekerjaan : PNS pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Medan

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri di Medan (lulus tahun 1976)

- SMP Swasta di Medan (lulus tahun 1979)

- SMA Swasta di Medan (lulus tahun 1982)

- Fakultas Hukum Universitas Darma Agung di

Medan (lulus tahun 1988)

- Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan

(lulus tahun 2008)

Medan, Juni 2008

Penulis

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan,

mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam konferensi Dinas Kepenjaraan di

Lembang tanggal 27 April 1964, Sahardjo yang melontarkan gagasan perubahan

tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.

Sebelum Sahardjo mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan

narapidana itu dalam pengarahannya sebagai Dr.H.C. di Istana Negara pada tanggal

15 Juli 1963.

Menurut Sahardjo untuk membina narapidana di perlukan landasan sistem

pemasyarakatan, sebagai berikut :

“Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara...

Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan...Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat1.”

Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bukan saja

masyarakat yang diayomi dengan adanya tindakan pidana, tetapi juga si pelaku tindak

1

(9)

pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah

keluar dari lembaga pemasyarakatan, agar berguna di dalam masyarakat.

Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan

penjeraan yang disertai dengan Lembaga ”Rumah penjara” secara berangsur-angsur

dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep

rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi

berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat

yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Pandangan lain yang menarik adalah bahwa tobat tidak dilakukan dengan

penyiksaan, tetapi dengan bimbingan. Ketika seorang narapidana telah kehilangan

kemerdekaan bergerak, hal itu sesungguhnya telah merupakan pidana tersendiri, yang

tidak perlu ditambah lagi dengan pidana penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus

diberikan bimbingan agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke masyarakat, dan

akan berguna bagi masyarakat.

Pembinaan dan kegiatan bimbingan di dalam lembaga masih perlu

dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan makna sistem pemasyarakatan Indonesia

untuk meningkatkan usaha-usaha terwujudnya pola upaya baru pelaksanaan pidana

penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana sesuai dengan prinsip

pembaharuan pidana.

Dibutuhkan kualitas sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana

sebagai wadah pelaksana kerja sama tersebut. Agar terciptanya suatu kondisi kerja

(10)

Memang tidak salah jika dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada dimuka

bumi ini tunduk pada kodrat alam semesta. Kodrat yang sudah menjadikan segala

sesuatu itu ada, kalau ada pria tentu ada pula wanita, dan apabila ada kebaikan tentu

ada pula kejahatan dan sebagainya. Secara definitif dapat dikatakan bahwa setiap

manusia mempunyai kemampuan jiwa dan raga yang sangat terbatas, sehingga tidak

mengherankan bila setiap saat manusia bisa melakukan kesalahan, baik yang

dilakukan dengan kesengajaan maupun diluar kesengajaan.

Meskipun secara umum laki-laki lebih banyak yang melakukan tindak pidana,

namun dalam kenyataannya wanita yang melakukan tindak pidana cukup banyak

pula. Dari data yang ada pada lapas Kelas II A Wanita Medan, bahwa jumlah

narapidana wanita Medan pada tanggal 1 November 2007 berjumlah 398 orang yang

diberikan bermacam-macam keterampilan dan pembinaan mental rohani dan

jasmani.2

Negara Indonesia juga mengalami perkembangan dalam berbagai bidang

diantaranya bidang ilmu hukum, perkembangan ini merupakna sarana untuk

menetralisir atau memberikan batasan-batasan agar hak-hak yang dimiliki masyarakat

tidak lepas kendali.

Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari

berbagai sisi yang berbeda. Masalah kejahatan merupakan hal yang selalu muncul di

manapun masyarakat itu berada, sehingga kejahatan itu ada yang menyatakan sebagai

2

(11)

penyakit masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh ”Barnes dan Teters”

sebagai berikut :

Bahwa kejahatan akan selalu ada dan akan ada seperti penyakit dan kematian yang

selalu berulang, seperti halnya dengan manusia yang akan selalu berganti dari tahun

ke tahun”3

Selanjutnya dalam MVT (Memory Van Toelicthing) dinyatakan bahwa :

“Kejahatan adalah Rechts Delictum, yaitu suatu perbuatan yang meskipun

tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai perbuatan yang bertentangan

dengan tata hukum”.4

Pada hakekatnya akibat dari kejahatan selalu menimbulkan penderitaan pada

korban, baik berupa penderitaan fisik maupun psikis, disamping itu juga kerugian

materi berupa harta benda. Dalam keadaan demikian dapat dimengerti apabila timbul

perasaan tidak senang juga timbul pada diri orang-orang yang mengetahui

penderitaan korban. Disamping itu dengan terjadinya tindak pidana, mereka merasa

terancam oleh perbuatan yang serupa. Timbullah suatu tuntutan agar pelaku tindak

kejahatan dijatuhi sanksi atau pidana.

Dalam hal tindak pidana ditengah masyarakat merupakan keharusan yang

tidak terelakkan, kenyataan ini menunjukkan bahwa tindak pidana pada hakekatnya

merupakan reaksi korban atas terjadinya tindak pidana.

3

Soejono D, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1983) hlm. 1

(12)

Akibat dari kejahatan itu seseorang yang melakukannya dapat dipidana yang

dapat mengakibatkan orang tersebut akan ditempatkan di lembaga permasyarakatan.

Lembaga ini dahulu juga dikenal sebagai ”rumah penjara”, yakni tempat dimana

orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh Hakim, orang

tersebut harus menjalankan pidananya.

Mengenai Lembaga Pemasyarakatan Soejono D mengatakan sebagai berikut : Lembaga permasyarakatan (rumah penjara), pada dasarnya merupakan

pembicaraan tentang ”sistim hukuman” dan ”pembinaan” di dalamnya., yaitu

suatu cara yang merupakan alat untuk mengatasi masyarakat yang melanggar

kaidah-kaidah hukum dari suatu negara tertentu.5

Pada masa terdahulu, tempat pemidanaan (lembaga permasyarakatan)

merupakan tempat untuk membuat jera bagi pelaku pidana, dengan ditetapkannya

pidana-pidana yang bersifat menyiksa/penyiksaan badan, bangunan besi dan batu,

dengan ruangan tidur yang diatur sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan

dan pemeriksaan. Tata kehidupan yang kaku dan berpedoman pada pemeliharaan

intern dan wajib kerja. Hak-hak manusia (narapidana) sering dikorbankan, yang

katanya demi lebih terpeliharanya keamanan dalam Lembaga Pemasyarakatan atau

demi terciptanya tujuan ”penjeraan” dari suatu pidana.

Selaras dengan perkembangan sistem pembinaan narapidana tersebut bahwa

di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan, pembinaan narapidana itu masih

menggunakan pola Top down Approach, dimana pelaksanaan pembinaan sepenuhnya

5

(13)

masih sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan tanpa

memperhatikan apa yang menjadi tuntutan isi dari pada UU No. 12 Tahun 1995

tentang pemasyarakatan, bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan

sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan

manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Selanjutnya menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

mengemukakan bahwa :

” Dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa secara umum peningkatan kualitas perempuan di berbagai bidang seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi dan ketatanegaraan, politik dan hukum, kesejahteraan dan keadilan gender, penghapusan tindak kekerasan, pengakuan hak asasi manusia, bagi perempuan dan organisasi perempuan yang dilaksanakan melalui program pemberdayaan perempuan”.6

Menarik sekali bagi peneliti untuk mengetahui tentang implementasi UU No.

12 Tahun 1995 bagi pembinaan wanita khususnya, yang sedang berada di lembaga

pemasyarakatan. Bagi wanita melalui upaya pembinaan dalam rangka terwujudnya

keutamaan dan keadilan gender, sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah / Lembaga

Pemasyarakatan bertanggungjawab atas terwujudnya pembinaan narapidana wanita di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan.

Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan zaman, mengakibatkan

terjadi perbaikan dan rehabilitasi secara bertahap mengalami kemajuan. Penjeraan

mulai dipandang sebagai sanksi berupa suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari

6 Khofifah indar parawansa, Rencana Induk Pengembangan Nasional Pemberdayaan

(14)

adanya suatu pencabutan kemerdekaan dan perlakuan terhadap narapidana yang tidak

berperikemanusiaan.

Sehubungan dengan peraturan lama yang tidak memadai untuk menopang

penyelenggaraan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang antara lain mengenai

beberapa kebijakan berupa jenis kelonggaran pidana serta pelaksanaannya di

Lembaga Pemasyarakatan, maka dari uraian diatas peneliti ingin menelaah lebih

mendalam tentang pembinaan narapidana wanita apakah sesuai dengan kodrat

kewanitaan dengan studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan hal

ini mengingat bahwa pembinaan terhadap narapidana wanita sangat diperlukan

sebagai bekal setelah mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Di Indonesia, perempuan walaupun dia bekas narapidana, tapi mereka juga

adalah perempuan yang kedudukannya sama dengan laki-laki. Akan tetapi dalam

kehidupan sehari-hari masih dijumpai kesulitan-kesulitan merealisasikan kesamaan

hak tersebut. Menurut, Bainar bahwa :

”Pembicaraan mengenai wanita telah mengalami pergeseran yang cukup pada saat konsep ”Gender” digunakan sebagai perspektif. Gender lebih menunjuk kepada relasi dimana laki-laki dan wanita berinteraksi. Dengan cara ini fokus kajian tidak hanya tertuju pada wanita tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam pembentukan realitas hidup wanita. Pendekatan semacam ini telah memberikan nuansa baru, terutama dalam menjelaskan dominasi dan subordinasi atau hubungan-hubungan penting dalam kehidupan wanita secara luas.” 7

7

(15)

Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan

telah mendapat tempat yang berarti tetapi secara makro wanita masih berhadapan

dengan berbagai masalah.

Pemerintah dengan tegas mengakui pembedaan peran secara seksual antara

laki-laki dan perempuan menyatakan bahwa peran serta kaum perempuan dalam

proses pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka

dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga pada umumnya, dan pendidikan generasi

muda pada khususnya. Dengan kata lain peran yang diberikan kepada wanita adalah

peran ganda dalam artian wanita harus turut bertanggung jawab atas urusan rumah

tangga tetapi juga diharapkan aktivitas diluar rumah sebagai anggota mayarakat. Hal

ini menguatkan beban perempuan dalam proses pembangunan.

Dalam sektor publik, wanita memperoleh berbagai perlakuan yang

diskriminatif dan kurang dihargai, juga imbalan/upah yang diberikan sangat berbeda

dengan lelaki.

Bagi bangsa Indonesia pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi

sekadar pemenjaraan belaka, tetapi juga merupakan suatu rehabilitasi dan reintegrasi

sosial yang melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang

dikenal sistem pemasayarakatan. Adapun bentuk dari pembinaan tersebut adalah

pembinaan kepribadian dan kemandirian. Bentuk pembinaan kepribadian, pembinaan

dimulai sejak tahap awal pembinaan (maximum security) sampai tahap akhir

reintegrasi sosial minimum security. Sedangan pembinaan kemandirian atau

(16)

tahap lanjutan (medium security) sampai tahap akhir pembinaan. Dalam sistem

pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan, dengan

tahap-tahap admisi/oerientasi, pembinaan dan asimilasi. Tahapan-tahap-tahapan tersebut tidak

dikenal dalam sistem kepenjaraan. Tahap admisi/oerientasi dimaksudkan, agar

narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya.

Di dalam tahap pembinaan, narapidana dibina, dibimbing agar supaya tidak

melakukan lagi tindak pidana, di kemudian hari apabila keluar dari Lembaga

Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, ketrampilan dan berbagai

kegiatan pembinaan lainnya. Sedang pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan

ke tengah-tengah masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan. Asimilasi

dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri, agar narapidana tidak menjadi

canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah habis pidananya

atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas atau pembebasan karena

mendapat remisi.

Berbeda dengan sistem pemasyarakatan, maka dalam sistem baru pembinaan

narapidana, tujuannya adalah meningkatkan kesadaran (consciousness) narapidana

akan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap

introspeksi, motivasi dan self development. Kesadaran dimaksudkan agar narapidana

sadar akan eksistensinya sebagai manusia, sebagai manusia yang memiliki akal budi,

yang memiliki budaya dan potensi sebagai makhluk yang spesifik. Sedang tahap

instrospeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Hanya dengan cara

(17)

bahwa tidak ada yang bisa merubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri. Perubahan

itu dimungkinkan bila manusia itu mengenal akan diri sendiri. Tahap motivasi adalah

tahap kelanjutan dari instrospeksi. Dalam hal ini narapidana diberikan teknik motivasi

diri sendiri. Teknik memotivasi diri sendiri jauh lebih penting dari pada teknik

memotivasi orang lain, sebab jika seseorang bisa memotivasi diri sendiri, ia akan

selalu positif dalam memandang semua segi kehidupan. Jika seseorang telah mampu

memotivasi diri sendiri, maka ia perlu mengenal pengembangan diri sendiri.

Pengembangan diri sendiri dilakukan dalam tahap self development.8

B. Rumusan Masalah

Berpedoman pada judul tesis yang telah ditetapkan maka perumusan

masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem pembinaan narapidana menurut UU No. 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan ?

3. Bagaimanakah fungsi dan peranan Lembaga Pemasyarakatan serta hambatan

yang dihadapi dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II

A Wanita Medan ?

8

(18)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan ungkapan tentang perlunya diadakan penelitian

utuk memecahkan masalah dilakukan oleh peneliti untuk menjawab dan memecahkan

persoalannya dan hal itu biasanya kita namakan tujuan penelitian, diakui bahwa

tujuan penelitian berangkat dari perumusan masalah yaitu :

1. Untuk mengetahui sistem pembinaan narapidana menurut UU No. 12 Tahun 1995.

2. Untuk mengetahui implementasi atau pelaksanaan sistem pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan wanita Medan.

3. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Lembaga Pemasyarakatan serta hambatan

yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana wanita di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang akan penulis lakukan, diharapkan dapat memiliki

manfaat secara keseluruhan, antara lain :

a. Secara Teoritis

Hasil keseluruhan karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana, dan dapat

dijadikan tambahan pengetahuan tentang peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam

memberikan pembinaan narapidana wanita di lembaga Pemasyarakatan wanita

(19)

b. Secara Praktis

Diharapkan bermanfaat bagi proses pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan khususnya bagi masyarakat dan petugas Lembaga

Pemasyarakatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk membangun

bagi Jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan perbaikan atau

pembaharuan sistem pemasyarakatan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian Penelitian peranan dan fungsi Lembaga pemasyarakatan dalam studi

di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan, sepanjang pengetahuan

peneliti belum ada yang membahasnya, begitu juga setelah diteliti di perpustakaan

Universitas Sumatera Utara di Medan belum ada yang meneliti tentang judul ini, jadi

baru peneliti yang melaksanakan penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam tesis ini teori yang digunakan berdasarkan dari Roscoe Pound yang

mengutamakan hukum pada tujuan-tujuan praktis untuk memperjelas

perspektif-perspektif yang meluas.

(20)

oleh para ahli hukum. Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis dalam memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum yang terdiri dari:

1. Menelaah ”akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin hukum” dan ” karenanya ”lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isi abstraknya”.

2. Mengajukan ”studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan,” dan karena itu menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan.

3. Untuk menciptakan ”efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturan-peraturan” dan memberi tekanan kepada tujuan-tujuan sosial” yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya sanksi.

4. Studi ”sejarah hak sosiologis” yakni tentang ”akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya”.

5. ”Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan ”mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petujuk-petujuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah.

6. akhirnya tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut diatas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. 9

Akibat dari caranya berfikir itu adalah suatu pertentangan antara keadilan

dan ”tata tertib sosial” yang istimewa dan monistic. Dari semua ini timbul suatu

tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan yang secara langsung

mengancam pendirian metode dalam sosiologi hukum.

Dalam sistem pembinaan tidak terlepas dari unsur-unsur mengapa manusia

melakukan kejahatan.

Hans Kelsen berpendapat : bahwa sesungguhnya manusia sekalu bertindak dibawah keterpaksaan tak terelakkan, karena tindakannya selalu ditentukan secara kausal; dan dilihat dari sifatnya, kausalitas merupakan keterpaksaan yang tak terelakkan. Yang dinamakan ”keterpaksaan tak terelakkan” dalam terminologi hukum sebenarnya

9

(21)

hanyalah kasus tertentu dari tekanan tak terelakkan - yakni kasus dimana tata hukum tidak mengenakan tanggungjawab. Ketika imputasi dilakukan, keterpaksaan tak terelakkan selalu muncul. Namun imputasi tidak berlangsung dalam setiap kasus dari keterpaksaan tak terelakkan. 10

Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa adanya kecocokan antara

determinisme dan pertanggungjawaban moral hanya dengan mengatakan bahwa

pengetahuan tentang determinisme kausal perilaku manusia masih belum memadai –

bahwa tidak tahu, atau tidak cukup diketahui penyebab-penyebab ini. Manusia tidak

akan berada dalam posisi membebankan tanggungjawab kepada seseorang atau

perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya; karena itu ada pepatah mengatakan:

”Memahami segala hal berarti memaklumi segala hal.” Memahami perbuatan

manusia berarti mengetahui sebab-sebabnya; memaklumi seseorang berarti mencabut

tanggung jawab atas perbuatannya, menolak menyalahkan atau menghukum dirinya,

menolak mengaitkan perbuatannya dengan sanksi dan ini berarti menolak melakukan

imputasi. Namun dalam banyak kasus dimana penyebab dari perbuatannya diketahui

dan karenanya perbuatannya dipahami, imputasi tidaklah ditiadakan, dan perbuatan

itu tidak dimaklumi atau dimaafkan. Pepatah tadi bersandar pada kesalahan anggapan

bahwa kausalitas meniadakan imputasi.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa yang memungkinkan dilakukannya

imputasi bukanlah kebebasan, yakni non-determinasi (tidak ditentukannya) kehendak,

melainkan lawan azasnya, yakni determinabilitas kausal dari kehendak. Orang tidak

mengimputasikan (mengalamatkan) suatu sanksi kepada perbuatan seseorang

10

(22)

individu karena dia bebas, namun individu itu bebas karena seseorang

mengimputasikan sanksi imputasi kepada perbuatannya. Imputasi dan kebebasan

(dalam hal ini) pada dasarnya saling terkait. Seperti yang telah dijelaskan dalam

kaitan yang lain, suatu norma dapat melarang perilaku yang memiliki akibat tertentu

(misalnya pembunuhan), dan suatu norma dapat memerintahkan perilaku tertentu

yang tidak hanya dikondisikan oleh perilaku individu lain. Namun juga oleh

fakta-fakta lain, misalnya norma moral untuk mencintai tetangga. Jika seseorang tengah

menderita seharusnya di bantu melepaskan dari penderitaan. Atau Norma Hukum,

jika seseorang dianggap membahayakan masyarakat karena dia menderita sakit

mental, dia seharusnya diasingkan secara paksa. Imputasi yang dilakukan berdasarkan

prinsip retribusi (dan yang merepresentasikan tanggung jawab moral dan hukum)

hanya merupakan kasus imputasi yang sangat khusus, meski juga sangat penting,

dalam arti yang lebih luas yakni, kaitan antara perilaku manusia dengan kondisi

dimana perilaku ini diperintahkan oleh sebuah norma.

Latar belakang mengapa wanita harus dibina adalah masih banyaknya wanita

yang terpuruk dan kualitas hidupnya rendah. Seperti dalam hal kesehatan, pendidikan

atau kesempatan mencari nafkah. Padahal menurut Meutia, sesunggugnya harus di

lihat perempuan sebagai aset, sumber daya manusia yang kreatif dan mau maju.11

11

(23)

a. Pembinaan

Pembinaan narapidana wanita tidak terlepas dari wanita yang berada di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita, sebab walaupun narapidana wanita Medan berada

di dalam Lembaga Pemasyarakatan mereka tetap wanita, wanita yang masih

mempunyai masa depan kelak dikemudian hari wanita-wanita yang berada di

Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita tetap ditangani sebagai wanita karena

yang hilang hanyalah kemerdekaan bergeraknya.

Pada dasarnya, tindakan pemidanaan (penahanan dan pemenjaraan) adalah

”upaya paksa” terhadap seseorang yang bertentangan dengan hak asasi manusia,

namun karena dijamin oleh peraturan perundangan, maka tindakan itu sah menurut

hukum. Lembaga pemasyarakatan dalam hal ini berfungsi sebagai tempat

pelaksanaan ”upaya paksa” tersebut. Sebagai tempat di lakukan pemidanaan, lembaga

pemasyarakatan, melaksanakan fungsinya berdasarkan teori pemidanaan yang

berlaku.

Sebagaimana di ketahui, teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami

perubahan. Pada zaman dahulu, pidana dijatuhkan dengan tujuan ”pembalasan”.

Keadilan masyarakat dicapai melalui pembahasan yang setimpal, mata di balas

dengan mata, dan gigi dibalas dengan gigi (an eye for an eye, and a tooth fot a tooth ;

(24)

baik yang ditujukan kepada di pelaku (special deterence) maupun kepada anggota

masyarakat (general).12

b. Tujuan Pembinaan

Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam konferensi Dinas

Kepenjaraan di Lembang Bandung, dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan

bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan adalah :

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.13

Ke sepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana, lebih

dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat ditarik dari

kesepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu : sebagai tujuan, proses dan

pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Sebagai tujuan, proses dan pelaksanaan

12

Marjaman, Warta Pemasyarakatan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Desember 2006, hlm. 3.

13

(25)

pidana penjara di Indonesia, pemasyarakatan telah berjalan lebih dari seperempat

abad. Dalam usianya yang semakin dewasa, pemasyarakatan baik sebagai tujuan,

proses, pelaksanaan pidana maupun sebagai disiplin ilmu, telah membuktikan

kemandiriannya, sekaligus telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya.

Sebagaimana di ketahui bahwa teori pemidanaan dari masa ke masa

mengalami perubahan. Di mana pada zaman dahulu pidana dijatuhkan dengan tujuan

pembalasan. Keadilan masyarakat hanya dicapai melalui pembalasan yang setimpal.

Pecah kulit, atau diikat dan ditarik dengan beberapa kuda dari semua arah, di

samping juga pengurungan dalam sel, merupakan bagian dari penjeraan seseorang.

Maksud mendapatkan ”rasa keadilan” si korban dan masyarakat pada kedua zaman

tersebut dilakukan melalui perlakukan fisik/kekerasan, yang lebih cenderung

termasuk kategori penyiksaan.

Pada masa selanjutnya sudah tidak ada lagi berorientasi kepada tujuan

pembalasan/penjeraan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu tujuan pemidanaan berubah pada orientasi rehabilitasi

(perbaikan, penyembuhan), namun masih dipandang berorientasi pada individu

dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karenanya,

pada masa kini pemidanaan diarahkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan

(26)

juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Dimana tata perlakuan ini

dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan (berlaku sejak 27 April 1964).14

Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk

mengembalikan warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga

bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan diulangi tindak pidana

oleh narapidana. Demikian juga Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan adalah

merupakan salah satu tempat untuk membina, pembinaan narapidana wanita.

2. Kerangka Konsepsi

Beberapa Pengertian :

1. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalah, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.15

2. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan.16

14

Nugroho, Warta Pemasyarakatan, Jakarta; Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Maret 2007, No. 24 hlm 19.

15

UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 2, hlm 3.

16

(27)

3. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik

pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.17

4. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan.18

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian :

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan hukum

normatif empiris sebab penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada

peraturan-peraturan dan perundang-undangan dan bahan hukum tertulis.19 Secara empiris

dikatakan karena dalam penelitian juga dilakukan penelitian lapangan (field research)

untuk melihat pelaksanaan sistem pembinaan narapidnaa di Lembaga Pemasyakatan

Klas II A Wanita Medan.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa dokumen-dokumen

hukum tertulis ditambah dengan dokumen-dokumen yang ada di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan.

17

UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 5, hlm 3.

18

UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 7, hlm 3.

(28)

3. Alat Pengumpulan Data

a. Studi dokumen dilakukan dalam studi kepustakaan meliputi :

1) Bahan hukum primer ; yaitu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini

adalah undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan berikut

peraturan pelaksanaan lainnya, kepmen, juklak, juknis.

2) Bahan hukum sekunder ; yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan

bahan-bahan hukum primer berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek

yang diteliti, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar dan internet juga menjadi

tambahan dalam penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan

dengan penelitian.

3) Bahan hukum tertier ; yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum,

kamus hukum dan ensiklopedi.

b. Pedoman Wawancara (interview) ;

Narasumber yang terdiri dari :

1) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan

2) Kasi pembinaan LP wanita Medan

3) Kepala Devisi pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

HAM RI Sumatera Utara di Medan

4) Narapidana Wanita

(29)

4. Analisa Data

Setelah data terkumpulkan, maka data tersebut diolah dan dianalisis melalui

pendekatan kualitatif. David D. Willem seorang peneliti yang banyak menggunakan

pendekatan kualitatif menyatakan bahwa pendekatan kualitatiflah yang cocok dan

tepat digunakan terhadap penelitian yang menghendaki diskripsi dan konklusi yang

kaya konteks. 20

Sebagi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, maka analisis

datanya bergerak secara induktif, yaitu dari data/fakta menuju tingkat abstraksi yang

lebih tinggi. Untuk itu dalam kerja menganalisis datanya dimulai dari membuat

deskripsi atau gambaran fakta-fakta hukum dalam pembinaan narapidana dan

pemberdayaan narapidana wanita untuk meningkatkan peranan dan fungsi Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, kemudian dikaitkan dengan

peraturan-peraturan serta edaran-edaran tentang pembinaan narapidana atau pemberdayaan

narapidana wanita hingga mencapai suatu analisis tentang peranan dan fungsi

Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan narapidana wanita.

20

(30)

Selanjutnya disampaikan di sini bahwa karena pendekatan yang digunakan

merupakan pendekatan kualitatif, maka analisis terhadap datanya telah dilakukan

sejak dari awal pekerjaan pengumpulan data.21

Guna menghindari bertumpuknya data yang dikhawatirkan akan dapat

mempersulit pemahaman kembali akan makna, bila dihubungkan dengan masalah

penelitian. Mengenai penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan

dengan analisisnya yang dalam bentuk uraian, tidak dilakukan secara terpisah antara

keduanya.

(31)

BAB II

SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1995

A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka kalau membahas

mengenai hukum maka tidak terlepas membicarakan tentang kehidupan manusia.

Hukum itu pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, mengusahakan

ketertiban dan yang dapat membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum

menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah

kekuasaan-kekuasaan yang mengusahakan ketertiban. Sekalipun hukum itu

kekuasaan, mempunyai hak untuk memaksa dan berlaku sebagai sanksi, namun

hendaknya di hindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang

berkuasa. Karena ada penguasa yang menyalah gunakan hukum, maka muncullah

istilah ”Rule of law”. Rule of Law berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur

adalah hukum, hukumlah yang memerintah atau yang berkuasa. Demikian ini berarti

supremasi hukum. Rule of Law ini jangan diartikan secara singkat sebagai

Govermance not by man but by law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah

perlindungan kepentingan manusia, sehingga Govermance not by man but by law “

tidak boleh diartikan bahwa manusia pasif sama sekali dan menjadi budak hukum. 22

22

(32)

Bangsa Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, maka segala

produk atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berlandaskan pada

hukum. Dalam kaitannya dengan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan

dalam penerapan pembinaan bagi narapidana wanita sesuai dengan apa yang

diinginkan masyarakat. Landasan hukum yang dipakai adalah :

1. Pancasila sila ke lima (Kemanusiaan yang adil dan beradab)

2. UUD 1945 (Dalam pembukaan Undang-undang Dasar)

3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

4. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

5. UU No. 12 Tahun 1995 (Tentang Pemasyarakatan)

6. PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan.

7. PP No. 57 tahun 1999 tentang syarat dan tata kerja sama penyelenggaraan

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

8. Per. Men Hukum dan Hak Azasi Manusia RI. No. M.09.PR.07.10 tahun

2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan

tonggak sejarah baru bagi Pemasyarakatan. Dengan Undang-undang ini maka diakhiri

segala atribut hukum kolonial yang mengatur mengenai kepenjaraan yang dalam

kenyataan telah lama ditinggalkan dan diganti dengan sistem Pemasyarakatan. Untuk

itu selanjutnya berbagai konsepsi dan sistem kemasyarakatan yang selama 30 tahun

(33)

undang-undang ini diberi landasan hukum yang kuat baik ditinjau dari segi formal

maupun material penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan

politik kriminal modern yaitu mempersiapkan warga binaan kembali menjadi warga

masyarakat yang bertanggung jawab, berguna bagi keluarga dan masyarakat pada

umumnya. Untuk mencapai hal-hal tersebut, undang-undang No. 12 Tahun 1995

tentang pemasyarakatan memuat konsepsi sebagai berikut :

1. Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem Kepenjaraan.

2. Petugas Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum.

3. Petugas Pemasyarakatan sebagai pejabat fungsional.

4. Pengaturan secara tegas mengenai hal-hal warga binaan Pemasyarakatan.

B. Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia Dengan Sistem Pemasyarakatan

Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 12 tahun 1995, tentang

pemasyarakatan disebutkan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan

pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana. Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah

suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara

pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki, dan tidak mengulangi

(34)

aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggung jawab.

CI Harsono mengemukakan bahwa:

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan sedikitnya ada 14 komponen yaitu : Filsafat, dasar, tujuan, pendekatan sistem, Kelasifikasi, pendekatan Kelasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana dan pembina/pemerintahan.23

Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan, pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan nilai dan harkat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana, tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah narapidana. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah perkembangan yang positif, mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana. Potensi itu akan sangat berguna bagi narapidana, melalui tangan para pembina narapidana yang mempunyai itikad baik, dedikasi tinggi, semangat tinggi, untuk memberikan motivasi bagi perubahan diri narapidana dalam mencapai hari esok yang lebih cerah.24

Untuk membantu naiknya kemajuan nilai narapidana, kepadanya diberikan

pendidikan dan pelajaran dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian. keagamaan,

semua sesuai dengan pengalamannya yang dilakukannya di dalam lembaga

semua dengan kemajuannya.25

Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas Azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus, dalam membina terpidana dikembangkan hidup kejiwaanya, jasmaninya, pribadi serta kemasyarakatannya,

23

CI. Harsono, Pembinaan narapidana. (Jakarta : UI Press, 1986) hlm. 5

24

Ibid, hlm . 43

25

(35)

mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat. Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam segi kehidupan dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lama pidananya yang wajib dijalani. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dari lembaga benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik. 26

Sistem pemasyarakatan di atas bertujuan untuk mengembalikan warga

binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk

melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga

binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam. Pancasila.

Fungsi dan tugas pembinaan dilaksanakan secara terpadu dengan

tujuan agar mereka setelah selesai menjalani masa pidana dapat menjadi

anggota masyarakat yang baik.

Dan petugas Pemasyarakatan sebagai abdi negara wajib menghayati serta

mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tanggung

jawab untuk melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang budaya

tepat guna dan berhasil guna. Petugas harus memiliki kemampuan profesional

dan integrasitas moral.

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di sesuaikan dengan

asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, dan yang perlu di lakukan adalah

memperbaiki tingkah laku dari narapidana tersebut agar pembinaan dapat dicapai.

26

(36)

Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan pada hakekatnya

merupakan kegiatan yang bersifat multidimensial, karena upaya pemulihan

kesatuan hubungan hidup kehidupan dan penghidupan merupakan masalah yang

sangat kompleks dan dalam pembinaan ini melibatkan banyak aspek, dan

pembinaannya dimulai sejak yang bersangkutan di tahan dirumah Warga

Binaan Pemasyarakatan (WBP) negara. Yang paling memprihatinkan dalam

pembinaan dan pembimbingan adalah meningkatkan kualitas demi ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, kualitas intelektual, kualitas sikap dan perilaku,

kualitas profesionalisme/ketrampilan (pemberdayaannya), kualitas kesehatan jasmani

dan rohani.

Sarana pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan

situasi kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan pemasyarakatan yang

merupakan bagian dari upaya meningkatkan Pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan (WBP) sosial dan kewarga Binaan Pemasyarakatan (WBP) nasional,

serta merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur tentang sejauh

mana hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan menurut

Adi Suyatno dalam bukunya sistem pemasyarakatan di Indonesia sebagai berikut :27

a. Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah dari pada kapasitasnya

b. Umumnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan

keamanan dan ketertiban akan menuntut.

27

(37)

c. Meningkatkan secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya

melalui proses asimilasi dan integrasi.

d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.

e. Semakin banyaknya jenis-jenis institusi sesuai dengan kebutuhan berbagai

jenis/golongan narapidana

f. Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang

industri dan pemeliharaan adalah 70 : 30

g. Prosentase kematian dan sakit sama dengan prosentase di masyarakat

h. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia pada umumnya

i. Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara

j. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi

nilai-nilai masyarakat kedalam Lembaga Pemasyarakatan dan semakin

berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam lembaga pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan memandang narapidana bukanlah objek tetapi subjek

pembinaan yang pada hakikatnya melakukan perbuatan melanggar hukum karena

adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang

bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya.

Narapidana dalam lembaga pemasyarakatan dalam proses penyembuhan

dengan syarat adanya terciptanya keserasian, keselarasan, keseimbangan hubungan

antar petugas sebagai pembina, narapidana sebagai warga binaan dan masyarakat

(38)

C. Perkembangan Pembinaan Narapidana di Indonesia

Dalam kehidupan narapidana, pembina harus mampu menciptakan grup,

kelompok, atau usaha bersama, dimana setiap anggota dapat belajar untuk

mempraktekkan saling ketergantungan. Kelompok-kelompok narapidana dalam suatu

Lembaga Pemasyarakatan/Rutan akan tumbuh subur, secara positif dalam kegiatan

yang positif, terarah dan mempunyai tujuan yang pasti, untuk saling bersaing dan

terobsesi untuk maju bersama. Banyak cara untuk membangkitkan gairah pembinaan

narapidana, dengan mengembangkan sumber daya manusia, sumber daya pribadi,

dengan mempraktekkan kehidupan dari ketergantungan menjadi mandiri dan saling

ketergantungan. Proses perkembangan kedewasaan akan memacu narapidana untuk

mengembangkan diri, mengembangkan sumber daya pribadi, dan untuk dijalankan

kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Praktek-praktek

psikologis, sangat diperlukan dalam perkembangan pribadi narapidana, untuk

menjadi mandiri, dewasa dan dapat menghanyati arti saling ketergantungan.28

Suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlepas dari tujuan

dijatuhkannya pidana tersebut bagi narapidana yang bersangkutan. Hukuman dalam

segala bentuknya pada awalnya merupakan ”Pembalasan Dendam”.

28

(39)

Menurut Kant dengan teorinya bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat di dalam apa yang disebut ”Katagorischen Imperative”, yakni yang

menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.29

Simon berpendapat, bahwa para penulis lama itu pada umumnya telah mencapai dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari

suatu pembinaan, disamping melihat dengan jelas bahwa tujuan awal dari adanya

pemidanaan sebagai pembalasan dendam, sedikit demi sedikit mulai bergeser dengan

tidak sekedar memikirkan untuk membalas dendam kepada pelaku kejahatan

membuatnya jera, namun juga mulai melihat pemidanaan untuk pembinaan. Hal

tersebut diketahui dari 10 prinsip teori pemasyarakatan sebagai berikut :30

1. Orang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup

sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat :

Bekal yang berguna untuk tidak hanya berupa finansial dan meteril, tetapi

yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan hingga orang

mempunyai kemauan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang

baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadap

narapidana, tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara

29

C.I Harsono, Op.cit, hlm. 29.

30

(40)

perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan

kemerdekaannya.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

bimbingan;

Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma

hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan

perbuatannya yang lampau;

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih

jahat dari pada sebelumnya dia masuk lembaga pemasyarakatan;

Karena harus diadakan pemisahan, antara :

a. Laki-laki dan perempuan

b. Sipil dan militer

c. Anak-anak dan dewasa

d. Orang terpidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)

e. Satu perkara yang menjadi perhatian masyarakat31

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

Menurut sistem pemasyarakatan tidak boleh diasingkan dari masyarakat

dalam arti secara kultural, secara bertahap mereka akan dibimbing ketengah

masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem

pemasyarakatan didasarkan kepada pembinaan yang ”Community Centered

31

(41)

dan berdasarkan interaktivitas dan ”Interdispliner Approach” antara

unsur-unsur pegawai, masyarakat, dan narapidana ;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan Lembaga atau Negara saja.

Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan Negara ;

Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat ditujukan kepada

pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana

dengan pembangunan nasional.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Asas Pancasila :

Pendidikan dan bimbingan harus diberikan asas-asas yang tercantum dalam

Pancasila, kepada narapinada harus diberikan pendidikan agama, serta

diberikan kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya,

ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa

persatuan, rasa kebangsaan harus diikutsertakan dalam segala kegiatan demi

kepentingan-kepentingan bersama dan umum.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun

ia telah sesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat;

Kepada narapidana tidak boleh selalu merasa bahwa ia adalah penjahat, ia

harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.

Sehubungan dengan itu petugas kemasyarakatan tidak boleh bersikap kasar

(42)

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; dan Narapidana

perlu diusahakan agar mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan

jalan menyediakan atau memberikan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda

dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan diluar pemasyarakatan.

10. Sarana fisik bangunan lembaga, dewasa ini merupakan salah satu gambaran

dalam pelaksaan sistem pemasyarakatan ; Perlu didirikan lembaga-lembaga

pemasyarakatan yang baru yang disesuaikan kebutuhan pelaksanaan program

pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang ada ditengah kota

ketempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses masyarakat. 32

Pembinaan narapidana ditinjau dari perkembangannya terdapat beberapa

pendapat antara lain :

Menurut Soejono Soekanto menyatakan bahwa :

Fungsi hukuman sebagai salah satu alat untuk ”menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang yang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan dari satu cara yang bersifat ”pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk perlindungan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan terus berubah dan berkembang kearah fungsi hukuman (Khususnya hukuman penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian kedalam masyarakat.33

Pendapat lainnya Bonger menyatakan bahwa sejak abad ke-18 terlihat adanya suatu perubahan yang sedang berlangsung dalam peradilan. Dahulu Hakim sedikit atau sama sekali tidak memikirkan keadaan pribadi penjahat. Jika sudah terbukti kesalahannya, tinggal kewajiban para hakim dengan tidak memandang bagaimana keadaan si terdakwa dijatuhi hukuman. Namun setelah peranan masyarakat (negara) makin besar, maka timbul perubahan di mana ”Pembalasan” dari pihak yang dirugikan dilarang baik menurut kesusilaan yang terdapat dalam masyarakat maupun

32

Undang-undang Pemasyarakatan No.12 Tahun 1995, Jakarta : Departemen Kehakiman dan Perundang-Undangan RI

33

(43)

menurut hukum pidana. Sehingga masalah hukum sepenuhnya dijatuhkan oleh negara.34

Selanjutnya Jhon P. Conrad setelah melakukan pengamatan dalil-dalil di 18

(delapan belas) negara mengemukakan dalil-dalil pembinaan narapidana yang

dimaksud adalah :

1. Pejahat mengalami kelainan-kelainan sosial, ada sesuatu yang salah pada dirinya;

2. Pelaksanaan pidana penjara tidak memberikan manfaat, berada di dalam penjara sudah merupakan hukuman penderitaan;

3. Selama dalam pembinaan narapidana harus diarahkan pada kehidupan yang baik dan berguna;

4. Oleh karena pembinaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing narapidana, maka baik lama pembinaan atau aktivitas beraneka ragam; dan 5. Semua petugas pembina berkewajiban mengawasi narapidana yang berada

dibawah asuhannya.35.

Pada perkembangan lebih jauh memandang hukuman sebagai cara yang

mengandung dua unsur, yaitu :

1. Memuaskan rasa dendam dan benci para anggota suatu kelompok yang

berarti agar kelompok tersebut merasa puas, maka penjahat dihukum.

2. Melindungi masyarakat agar terhindar dari gangguan penjahat sehingga

mengisolasikannya dari masyarakat.

Melihat penderitaan narapidana di penjara-penjara dan para Warga Binaan

Pemasyarakatan (WBP) yang belum tentu bersalah John Howard mencoba

34

Ibid, hlm. 9

35

(44)

melakukan pembaharuan di dalam sistem kepenjaraan dengan meluruskan makna

yang sebenarnya dari ”Hukuman Penjara” yang harus dititik beratkan kepada

pembinaan narapidana (dalam hal ini termasuk pendidikan) agar mereka dapat

kembali sebagai anggota masyarakat yang baik. Akhirnya pada akhir abad ke 19 dan

awal abad ke 20 hingga sekarang ini usaha-usaha rehabilitasi (pembinaan dan

pendidikan narapidana) mulai menunjukkan hasil yang baik dan efektif. Hal ini dapat

(45)

Tabel I : Perbandingan Kepenjaraan, Pemasyarakatan dan Pemasyarakatan Baru 36

No Sistem Komponen

Kepenjaraan Pemasyarakatan Pemasyarakatan Baru

01. Filasafat Liberal Pancasila Pancasila

02. Dasar Hukum Gestichten/Reglement Gestichten reglement dengan perubahan

Undang-undang Pemasyarakatan

03. Tujuan Penjaraan Pembinaan dengan tahap admisi/orientasi/pembinaan,

04. Pendekatan sistem Security Approach Security Approach Conciousness Approach 05. Klafisikasi Maximum Security Maximum security

Medium security

Maximum Security Maximum security Medium security

Top Down Approach Top Down Approach Bottom up approach

09. Sifat pembinaan Exploitasi Melatih bekerja Mandiri/percaya diri dapat mengembangkan kemampuan diri/pengembangan sumber daya manusia.

10. Remisi Anugrah ( 1917-1949) Hak (1950-1986) Hak dan kewajiban (1987 sampai dengan ada perubahan)

11. Bentuk bangunan Penjara Penjara (bangunan lama), bangunan baru belum sepenuhnya mencerminkan LP

Perlu dirancang secara khusus

12. Narapidana Dibiarkan/tidak diberikan bimbingan, pembinaan

Diberikan bimbingan/pembinaan Dikenalkan dirinya sendiri, diberikan teknik motivasi, baik untuk memotivasi diri sendiri maupun yang

lain/kelompok. Kemampuan mengembangkan diri sendiri/self development, pengembangan sumber daya manusia.

13. Keluarga Kurang diberi kesempatan untuk ikut membina ikut membina (cuti dan lain-lain)

Kesempatan penuh, keluarga diberitahukan tahap pembinaan yang dilakukan oleh LP bagi narapidana. Perkembangan kesadaran narapidana

Panutan. Sepanjang petugas LP tidak mampu menjadi panutan, sebaiknya mundur saja dari tugasnya. Petugas LP harus mempunyai kemampuan untuk memotivasi narapidana dan mengembangkan kepribadian/diri narapidana secara utuh. Harus selalu berfiki secara positif dan konstruktif.

36

(46)

Sistem Pemasyarakatan termuat di dalam Undang-undang Republik Indonesia

No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu pada Pasal 1 angka 2 :

”Sistem permasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan permasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan permasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”37

Untuk lebih berhasilnya pembinaan narapidana sebaiknya ada

bangunan-bangunan yang khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara narapidana :

a. Dewasa, dewasa muda, dan anak-anak;

b. Laki-laki dan wanita;

c. Residivis dan bukan Residivis;

d. Yang melakukan tindak pidana berat dan ringan; serta

e. Narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, menyebutkan sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarkan :

a. Pengayoman

Pengayoman merupakan dasar dari pembinaan narapidana Lembaga Pemasyarakatan yang intinya adalah menyayomi narapidana tersebut dari pengaruh yang tidak baik dalam kehidupannya di Lembaga Pemasyarakatan, baik pengaruh yang tidak baik dalam kehidupannya di Lembaga Permasyarakatan, baik yang datang dari temannya sendiri/sesama narapidana wanita maupun dari masyarakat sekitarnya.

37

(47)

b. Persamaan perlakukan dan pelayanan

Persamaan perlakuan dan pelayanan disini dimaksudkan setiap narapidana baik yang kaya maupun miskin setelah masuk ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Wanita Medan diperlakukan sama dan tidak memandang ras dan agama dan mantan pejabatpun diperlakukan sama juga tidak memandang apakah itu dari golongan kaya maupun miskin, pejabat atau rakyat jelata.

c. Pendidikan

Pembinaan narapidana wanita didasarkan kepada pemberian pendidikan yang merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang penekanannya pada pembentukan kualitas dalam, misalnya keimanan, ketakwaan, kepribadian, kecerdasan, kedisplinan, kreativitas dan juga kemandirian setiap narapidana wanita tersebut.

d. Pembimbingan

Pembinaan narapidana wanita juga didasarkan memberikan bimbingan pada setiap narapidana tersebut, pembimbingan dimaksud agar narapida dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya, dapat meningkatkan sumberdaya manusia, khususnya narapidana wanita. Dengan adanya peningkatan sumber daya wanita maka keterlibatan, wanita dalam segala aspek pembangunan akan terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Wanita Medan.

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia

Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana wanita pada dasarnya juga dilaksanakan azas dasar penghormatan harkat dan marbat manusia. Maksudnya walaupun mareka narapidana tapi mereka tetap dihormati sebagai manusia yang kelak akan tetap berguna bagi nusa dan bangsa.

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Dalam hal ini dimaksudkan setiap narapidana yang masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan hanya mengalami kehilangan kemerdekaan bergerak, kebebasannya untuk tidak bisa keluar Lembaga Pemasyarakatan kecuali telah memenuhi syarat pembinaan sebab itu narapidana dapat hak-hak lain seperti : makan, minum, tidur, rekreasi, pendidikan dan lain-lain kemerdekaan bergeraknya saja dicabut, yang lain hak-haknya harus dipenuhi oleh negara.38

38

(48)

Selanjutnya dalam Surat Edaran Kepala Direktorat pemasyarakatan No. KP.

10.13/3/1, tanggal 8 Februari 1965 dalam sistem pemasyarakatan diatur tentang

proses pembinaan narapidana yang meliputi empat tahap, yaitu :

1. Amisi Orientasi (pengawasan maximum security), yaitu : tahap tiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang dirinya ;

Pada tahap admisi orientasi ini narapidana tersebut diberikan penerangan-penerangan tentang tata tertib dan disiplin yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan; dan program apa saja yang diberikan baik program kerja maupun pembinaannya ; program kerja maupun pembinaannya ; tata cara dan prosedur pengajuan keluhan dari narapidana ; hak-hak dan kewajiban selama yang bersangkutan di Lembaga Pemasyarakatan ; pemberitahuan nama-nama petugas yang membimbing mereka serta kunjungan keluarga ke Lembaga Pemasyarakatan.

2. Tahap Pembinaan (pengawasan medium security) yaitu : jika proses pembinaan telah berlangsung 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat T.P.P sudah dicapai cukup kemajuan ; Tahap pembinaan medium security ini narapidana tersebut telah mulai menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana tersebut diberikan kebebasan lebih banyak dengan menggunakan pengawasan medium security.

3. Assimilasi (pengawasan minimum security), yaitu : jika proses pembinaan telah dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut T.P.P telah mencapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan Assimilasi dengan masyarakat luar.

Contoh : Melakukan sholat di mesjid Lembaga Pemasyarakatan Wanita atau ikut pertandingan olah raga di luar Lembaga Pemasyarakatan.39

Syarat-syarat narapidana diberikan asimilasi antara lain :

1) Telah menjalani 1/2 dari masa pidana

2) Berkelakuan baik selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan

3) Ada jaminan dari keluarga bahwa yang bersangkutan tidak akan melarikan

diri

Gambar

Tabel I : Perbandingan Kepenjaraan, Pemasyarakatan  dan  Pemasyarakatan Baru 36
Tabel 2 Penggolongan Narapidana Wanita  Berdasarkan Tindak Pidana Yang Dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu permasalahan yang diajukan dalam tesis ini adalah (1) Bagaimanakah pola pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

“ Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

“ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Narapidana Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan

Sistem Permasyarakatan itu sendiri adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu