1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga Pemasyarakatan merupakan bentuk dari 2 (dua) kata, yaitu
Lembaga dan Pemasyarakatan. Menurut Yunus, ditegaskan “Lembaga adalah
suatu wadah atau tempat yang menyelenggarakan suatu kegiatan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.”1 Bila dikaitkan pada dimensi yuridis maka yang dimaksud tentunya adalah tempat bagi orang-orang yang telah mendapat
putusan (vonis) hakim, sedangkan istilah pemasyarakatan berasal dari kata
dasar masyarakat.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, Narapidana
adalah terpidana yang menjalani pidana hilang di LAPAS.2 Pemasyarakatan
dibentuk dari kata dasar masyarakat yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”. Dalam ilmu tata bahasa bila dijumpai hal demikian maka akan memberi
makna membuat atau jadi. Olehnya itu istilah pemasyarakatan dimaknai
membuat jadi masyarakat, karena telah merubah menjadi kata kerja.
Perkembangan bagi Narapidana, sangat berkaitan erat dengan tujuan
pemidanaan. Pembinaan yang sekarang dilakukan, pada awalnya berangkat
dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai dengan kenyataan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988, Jakarta, hlm., 149
2
2
bahwa tujuan pemidanaan tidak sesui lagi dengan nilai- nilai yang hidup dan
tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Definisi Narapidana lebih jelas lagi di atur dalam Pasal 1 (ayat) 5 dan
Pasal 1 (ayat) 9, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan3 yaitu:
1. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
4. Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi penegak
hukum, merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana
penjara kepada para terpidana. Pelaksanaan hukuman penjara bagi narapidana
tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah upaya balas dendam dan
menjauhkan narapidana dari masyarakat.
Pembinaan Narapidana telah dituangkan dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana pembinaannya
3
3
diarahkan pada pendekatan pembinaan yang lebih bersifat manusiawi dalam
kerangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana, sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat aktif berperan
dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Memperlakukan narapidana diperlukan sistem pemasyarakatan, bahwa
tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh
terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan diberikan
kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat.
Menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari Negara. Tobat tidak
dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Narapidana
juga tidak dijatuhi pidana penyiksaan, melainkan pidana kehilangan
kemerdekaa. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada
waktunya akan mengembalikan kemerdekaan orang itu ke masyarakat lagi,
mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat4
Pemasyarakatan pada hakikatnya adalah merupakan salah satu
perwujudan dari pelembagaan reaksi formal masyarakat terhadap kejahatan.
Pelembagaan reaksi masyarakat pada awalnya hanya menitikberatkan unsur
pembinaan diderita semata-mata kepada pelanggar hukum. Namun sejalan
dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan falsafah penghukuman
4
4
maka unsur pemberian derita harus dibarengi dengan perlakuan yang
manusiawi dengan memperhatikan hak-hak asasi pelanggar hukum baik
sebagai individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk religius5
Pandangan yang lebih konkrit melihat hukum itu sebagai rangkaian
norma, kaidah atau aturan, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh,
apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang, sehingga benar-benar dapat
diterima oleh pelaku dalam menerima hukuman badan berupa pembinaan pada
lembaga pemasyarakatan atas putusan pengadilan terkait dengan perbuatan
yang dilakukan. Namun perbuatan tersebut belum tentu benar atau pasti.
Sehingga hukuman merupakan das sollen, karena hukuman dipandang sebagai
hukum normatif murni yang berhadapan langsung dengan pandangan realitas
yang terjadi.6
Sistem pemasyarakatan, terdapat proses pemasyarakatan yang
diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik
masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ketengah-tengah
masyarakat. Sistem Pemasyarakatan telah diatur dalam Pasal (1) Ayat (2 )
Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Permsyarakatan di jelaskan
bahwa:
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Narapidana Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Narapidana Pemasyarakatan agar
5
Yuyun Nurulaen, 2012, Lembaga Pemasyarakatan Masalah Dan Solusi, Nuansa Cendekia, Bandung, hlm., 27.
6
5
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.7
Sistem pemidanaan yang sangat menekankan pada unsur “balas dendam” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan
sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga
masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya.
Filosofis pemidanaan atas dasar pembalasan tersebut tidak lagi menjadi
acuan utama di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh MK dalam putusan
013/PUU-I/2003: bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi
pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi
merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di Negara kita yang lebih
merujuk kepada asas preventif dan edukatif.8
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan yang
menekankan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek
yang tidak juga berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat
melakukan kesalahan atau kehilafan yang dapat dikenakan pidana,
sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang
7
Lihat pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Permsyarakatan
8
6
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban
sosial lain yang dapat dikenakan pidana.9
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang
Pemasyarakatan dalam Pasal 5 disebutkan bahwa sistem pembinaan
pemasyarakatan berdasarkan asas: (a) Pengayoman, (b) persamaan
perlakuan, (c) Pendidikan, (d) Pembimbingan, (e) Penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia, (f) kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan, (g) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan
dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sebagai tindak lanjut dari
Undang-undnag tersebut diatas, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 1999, tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan
wewenang tugas dan tanggungjawab perawatan narapidana,
Perundang-undangan di atas merupakan das sollen penelitian ini.10
Pembinaan Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi
dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga
Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya
walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu juga ada ketidak adilan
perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas
yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi. Untuk
itu dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga
Pemsyarakatan, Pasal 14 ayat (1) secara tegas menyatakan narapidana
berhak:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
9
Todung Mulya Lubis, Alexsander Lay, 2009, Kontraversi Hukuman Mati, Gramedia, Jakarta, hlm, 63-64,.
10
7
b. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani. c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak . e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana.
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat cuti menjelang bebas. l. Mendapatkan cuti menjelang bebas
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku. Serta ketentuan dan syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana.
Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan dilakukan penggalangan atas dasar umum, jenis kelamin,
lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan pembinaan. Sehubungan dengan itu
khususnya yang berkaitan dengan penggolongan narapidana atas dasar
jenis kelamin, maka dikenal pembinaan narapidana jenis kelamin laki-laki
dan narapidana berjenis kelamin perempuan.
Pada dasarnya hak antara narapidana perempuan dan narapidana
pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita
maka ada beberapa hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana
pria yang berbeda dalam beberapa hal, diantaranya karena wanita
mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria yaitu
menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak
8
Undang-Undang maupun oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan
diseluruh wilayah Indonesia.
Khusus untuk Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat merupakan hak seorang Narapidana, baik dewasa
maupun anak, sebagai narapidana pemasyarakatan. Pelaksanaan perolehan
Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 jo.
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan
hak narapidana pemasyarakatan11
Pembinaan narapidana dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan
kodrat narapidana. Hal tersebut dapat saja terjadi akibat pengaruh
lingkungan sewaktu mereka berada dalam lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan. Sebagaimana diketahui tidak sedikit orang yang telah
menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan setelah keluar akan
mengalami beban psikologi, seperti merasa bersalah, dikucilkan oleh
lingkungannya sehingga hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap
kondisi kejiwaan dan prilakunya, keadaan seperti itu biasanya berakibat
pada terulangnya kembali perbuatan tindak pidana oleh mantan
narapidana, sehingga keadaan seperti ini dapat dikatakan tidak berhasilnya
11
9
proses pemasyarakatan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
tersebut.12
Perhatian terhadap narapidana yang dibina di Lembaga
Pemasyarakatan merupakan suatu hal yang dianggap urgen. Seperti halnya
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate cukup
banyak jumlahnya, selain itu latar belakang sosial ekonomi mereka
berbeda-beda. Sebagaimana yang telah terlihat, terhadap narapidana yang berstatus
sebagai ibu rumah tangga dan tidak sedikit juga yang berstatus masih Anak
Didik atau bahkan remaja. Dengan keadaan narapidana, pemasyarakatan
agar kelak menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate mempunyai
kapasitas menampung Tahanan dan Narapidana 400, orang. Lapas Kelas II
A Kota Ternate mempunyai luas kurang lebih 19,972 , yang dikelilingi
tembok setinggi 5 (lima) meter dengan pos-pos penjagaan setiap sudut
bangunan. Dan terbagi menjadi 8 (delapan) blok hunian. Saat ini jumlah
Tahanan dan Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Kota Ternate sebanyak kurang lebih 104 orong Tahanan dan Narapidana.
Meskipun terdapat 8 blok hunian namun diantaranya ada juga yang tidak
layak di gunakan sebagai tempat hunian narapidana. Dengan jumlah Petugas
pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kurang lebih 44 petugas. Petugas di
Lembaga Pemasyarakatn Kelas II A Kota Ternate terdiri dari dua golongan
12
10
yaitu, berdasarkan urutan kepangkatan dan berdasarkan tingkat
pendidikan.13
Pelaksanaan pembinaan Narapidana di lembaga pemasyarakatan
khususnya narapidana, maka menarik untuk dilakukan penelitian dengan
mengangkat topik pada aspek penerapan hak Narapidana tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka untuk mengetahui
bagaimana implementasi terhadap hak Narapidana dan Faktor-faktor Apa
saja yang memperhambat Implementasi Hak Narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implementasi hak Narapidana pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate?
2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat implementasi hak narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukakan pada
hakekatnya penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mempelajari dan menganalisis hak narapidana pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate.
13
11
b. Untuk mempelajari dan menganalisis factor apa saja yang
memperhambat implementasi hak narapidana pada lembaga
pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate
D. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini dijadikan bahan referensi dan sarana
rekaya sasosial dan pengkajian peraturan Perundang-undangan dalam
mengembangkan teori-teori hukum.
b. Secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap segenap unsur pelaksanaan
pemerintah pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate
dalam rangka memberikan informasi tentang perlindungan HAM
dalam Undang-undang Pemasyarakatan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu :
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatakan Social
Legal, yakni analisis yang berusaha memberikan gambaran
menyeluruh sistematis dan mendalam tentang suatu keadaan atau
gejala penelitian14
Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis tentang hak-hak
narapidana pada lembaga pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Untuk mengetahui keberadaan aturan mengenai
14
12
HAM di Indonesia. Adapun untuk mengetahui peranan Lapas dalam
pelaksanaan hak-hak narapidana dilakukan dengan penelitian empiris.
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate. Dipilih Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate tersebut, mengingat jumlah
penghuni tahanan dan narapidana yang cukup padat, sehingga cukup
untuk mewakili keseluruhan narapidana yang ada di Kota Ternate,
sehingga diharapkan informasi yang akurat mengenai pelaksanaan
Pembinaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
II A Ternate.
3. Jenis data dan Unit amatan
i. Jenis Data
Wujud penelitian ini bersifat normative dan empiris dengan
harapan bisa mempermudah perolehan dua jenis data dengan
sumber data yang berlainan, sebagai berikut:
a. Data primer, bersifat empiris karena bersumber dan
diperoleh secara langsung dari responden melalui teknik
wawancara dan pengedaran daftar pertanyaan (kuisioner)
melalui data primer ini akan ditemukan bagaimana
implementasi hak narapidana pada Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate dan faktor-faktor
13
narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan kelas II Kota
Ternate.
Data ini berasal dari sumber aslinya secara langsung
yang akan merespon atau memberi keterangan dalam
penelitian. Adapun spesifikasinya adalah sebagai berikut
1. Petugas pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate.
2. Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Kota Ternate.
b. Data sekunder ini akan diperoleh dengan berpedoman pada
literatur-literatur sehingga dinamakan penelitian
kepustakaan. Bahan hukum sekunder diperoleh dan
bersumber dari penelitian pustaka, meliputi, Peraturan
Perundang-undangan di dalamnya asas, norma dan kaidah
hukum yang termuat dalam Peraturan-peraturan lain yang
ada maupun melalui pendapat para sarjana atau ahli hukum.
Penelitian Kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan
dengan mempelajari bahan-bahan hukum yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti untuk memperoleh data
sekunder.
ii. Unit Amatan
Unit amatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
14
2. Kitab Undang-undang Hukun Acara Pidana dan
Penjelasannya
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan NarapidanaPemasyarakatan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
NarapidanaPemasyarakatan
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 147
Tahun 1999 Tentang Remisi.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2010
Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengelolaan Teknologi Tepat Guna.
iii. Unit Analisis
Unit Analisis dalam penelitian ini yaitu pemenuhan hak-hak
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota
Ternate mengenai hak-hak warga binaan.
F. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data primer dan data sekunder yang dapat
ditanggungjawabkan validitasnya dan keabsahannya, dipergunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Penelitian lapangan, bertujuan uantuk memperoleh fakta
dengan cara melihat langsung atau dengan cara wawancara
guna untuk mengatahui secara seksama uapaya yang dilakukan
15
narapidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap hak
narapidana Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Kota
Ternate. Wawancara dimaksud untuk memperoleh keterangan,
pendirian, pendapat, secara lisan dari seseorang (narapidana),
yang lazim disebut dengan responden dengan berbicara
langsung (face to face).15 Wawancara ini ditujukan kepada
petugas Lembaga Permasyarakataan Kelas II A Kota Ternate,
dan Narapidana
2. Penelitian kepustakaan, bertujuan untuk memperoleh dalil-dalil
normatif dan ilmiah dan dapat memberikan dukungan teoritis,
terutama dari segi sosio yuridis terhadap pelaksanaan Hak
narapidana ditinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
G. Sistematika Penulisan
untuk memberikan gambaran yang sistematika dari penulisan skripsi ini,
maka dibagi kedalam Tiga Bab yang meliputi:
Bab I yaitu merupakan Bab Pendahuluan yang menguraikan tentang:
1. Sub bagian pertama latar belakang masalah,
2. Sub bagian kedua perumusan masalah,
3. Sub bagian ketiga tujuan penelitian,
4. Sub bagian keempat manfaat penelitian,
5. Sub bagian kelima metode penelitian,
15
16
6. Sub bagian keenam sistematika penulisan
7. Sub bagian ketujuh daftar bacaan.
Bab II berisi tentang kajian pustaka dan pembahasan yaitu Apakah
Implementasi Hak NarapidanaLembaga Kemasyarakatan Kelas II A Kota
Ternate sesuai dengan UU No 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan.
Bab III yaitu merupakan Bab Penutup, yang berisi kesimpulan yang di