• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Galih Bakery

5.2.3. Faktor Penyebab

Faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu terdiri dari 7 (tujuh) faktor, yaitu:

1. Modal/ Dana

Implementasi Manajemen Mutu Terpadu tidaklah harus mahal. Meskipun demikian, segala sesuatunya membutuhkan biaya. Biaya yang dibutuhkan sebagian besar digunakan untuk pelatihan. Dana yang dibutuhkan ini harus selalu tersedia. Sayangnya, sulit sekali memperkirakan tingkat dan waktu pengembaliannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 332-333). Masalah modal juga menjadi masalah yang dihadapi Galih Bakery. Galih Bakery membiayai

keberlangsungan usahanya menggunakan dana pribadi yang berasal dari dana pensiun pemilik tanpa pernah menggunakan dana pinjaman dari pihak lain. Galih Bakery tidak pernah melakukan pinjaman kepada pihak lain seperti Bank dikarenakan proses pengajuan kredit yang terlalu lama dan bunga kredit yang tinggi.

Keterbatasan dana ini merupakan salah satu penyebab munculnya masalah yang menghambat penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Belum optimalnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Galih Bakery, kurangnya pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada karyawan dalam hal meningkatkan kualitas roti yang dihasilkan, serta tidak adanya riset untuk mengetahui harapan konsumen terhadap roti Galih Bakery merupakan beberapa contoh masalah yang timbul akibat terbatasnya dana yang dimiliki Galih Bakery.

2. Kompensasi

Galih Bakery memberikan kompensasi berupa gaji pokok untuk karyawan produksi sebesar Rp 15.000,00–Rp 33.000,00 per hari dan tambahan uang makan Rp 12.000,00–Rp 15.000,00 per hari. Penetapan gaji tersebut didasarkan atas kemampuan yang dimiliki oleh karyawannya.

Berbeda dengan karyawan produksi, karyawan penjualan tidak menerima gaji pokok, mereka hanya menerima insentif tambahan yang berupa uang sebesar Rp 6.000,00 apabila mereka berjualan. Uang tersebut dikumpulkan dan dijadikan sebagi dana talangan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pedagang. Selain itu, sama seperti perusahaan-perusahaan lain, Galih Bakery juga memberikan

tunjangan-tunjangan lain seperti tunjangan hari raya maupun tunjangan kesehatan bagi para karyawannya.

Selama ini, kompensasi yang diberikan Galih Bakery masih menggunakan pendekatan penghargaan dalam bentuk materi (uang). Padahal kompensasi dengan pendekatan pengakuan tidak kalah pentingnya. Pengakuan terhadap kinerja karyawan dapat meningkatkan munculnya keyakinan karyawan terhadap kontribusi mereka dalam menciptakan kualitas sesuai dengan pernyataan Tjiptono dan Diana (2001: 140-141) yang menyatakan di dalam model Manajemen Mutu Terpadu, peranan penghargaan dan pengakuan prestasi tidak akan menghasilkan total quality. Akan tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada, maka akan mengakibatkan hilangnya keyakinan karyawan terhadap nilai riil kualitas dan kontribusi mereka untuk memperbaiki kualitas. Perusahaan yang akan menerapkan Manajemen Mutu Terpadu harus melakukan pendekatan penghargaan dan pengakuan apabila ingin sukses dalam menerapkan sistem tersebut.

3. Komitmen

Hal utama yang harus ada agar penerapan Manajemen Mutu Terpadu dapat menjadi cara perusahaan menjalankan bisnis adalah komitmen utuh dari manajemen puncak. Komitmen yang dibutuhkan tidak hanya mencakup sumberdaya yang diperlukan, tetapi juga waktu yang dicurahkan. Perlunya keterlibatan langsung dari manajemen puncak bertujuan untuk memimpin dan menunjukkan bahwa Manajemen Mutu Terpadu sangat penting bagi perusahaan (Tjiptono dan Diana, 2001: 332).

Pimpinan Galih Bakery menunjukkan komitmennya melalui upaya-upaya yang telah dilakukan untuk perbaikan kualitas. Upaya tersebut seperti menggunakan kemasan plastik untuk semua jenis roti yang diproduksi, melengkapi dengan mesin-mesin produksi yang memadai walaupun dilakukan secara bertahap, merespon dengan baik kritik maupun saran dari konsumen seperti mengganti staples dengan isolasi untuk merapatkan kemasan, pergantian pemasok untuk pasta makanan karena aroma roti yang dihasilkan tidak wangi, dan mengganti bahan bakar oven yang pada awalnya menggunakan minyak tanah dan solar diganti menjadi gas. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah roti yang hangus, tetapi pimpinan Galih Bakery kurang terlibat langsung dalam upaya perwujudan komitmen tersebut. Pimpinan Galih Bakery lebih memilih untuk mendelegasikannya kepada manajer operasional. Padahal menurut Gaspersz (2005: 14) dalam sistem kualitas modern, manajemen puncak harus menunjukkan komitmen melalui kata dan tindakan bahwa kualitas adalah teramat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.

Hessel dalam Nasution (2005: 366) juga menyatakan hal yang sama, yaitu salah satu hambatan dalam penerapan Manajemen Mutu Terpadu adalah kurangnya komitmen manajemen puncak. Hal ini ditunjukkan dengan dukungan manajemen puncak hanya berpengaruh signifikan pada “manajemen arus proses”.

4. Informasi

Penerapan Manajemen Mutu Terpadu tidak terlepas dari informasi yang diperoleh dari pelanggan. Informasi dari pelanggan dapat dikelompokan menjadi

2 (dua) kategori, yaitu umpan balik dan masukan. Umpan balik biasanya diperoleh setelah fakta terjadi sedangkan masukkan diperoleh sebelum fakta terjadi (Tjiptono dan Diana, 2001: 118-119).

Galih Bakery mengumpulkan informasi secara tidak sengaja, yaitu informasi yang diperoleh organisasi tanpa mencari atau memintanya. Informasi ini berasal dari beberapa orang konsumen yang bersedia menyumbang saran dan juga berasal dari sesama pengusaha roti.

Keterbatasan dalam mendapatkan informasi ini menjadi salah satu penyebab belum optimalnya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Hal ini terjadi karena Galih Bakery belum menerapkan 2 (dua) atribut efisiensi, yaitu hubungan (contact) dan komunikasi (communication) baik kepada pelanggan atau konsumen maupun pada pemasok sehingga arus informasi menjadi terhambat.

5. Pengetahuan

Pengetahuan yang memadai sangat menentukan baik tidaknya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada suatu perusahaan karena akan mempersulit karyawan untuk menerima dan menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (Nasution, 2005: 367). Sama halnya dengan informasi, pengetahuan yang dimiliki SDM pada Galih Bakery kurang mumpuni. Pimpinan telah berusaha untuk menambah pengetahuan para SDM yang dimilikinya, seperti dengan cara mengadakan pelatihan yang bertujuan untuk mempercantik tampilan roti. Tetapi

karena sulit untuk merubah kebiasaan dari SDMnya, maka usaha yang telah dilakukan pun tiada berarti banyak.

Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya penerapan Manajemen Mutu Terpadu, karena perusahaan memang sangat membutuhkan karyawan yang ahli sebagai organisasi dimana kualitas produk atau jasa yang ditawarkan sangat dipengaruhi keahlian karyawan. Keterbatasan pengetahuan pada personil Galih Bakery ini mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang, manajemen produksi, manajemen pemasaran, evaluasi dan monitoring, lingkungan usaha, dan pengetahuan tentang sarana dan prasarana.

6. Budaya

Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan terhadap organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 75).

Budaya organisasi pada Galih Bakery tergolong baik karena didasari atas nilai-nilai kekeluargaan, salah satu contohnya adalah tidak adanya persaingan antar karyawan. Karyawan Galih Bakery berasal dari daerah yang sama yaitu Jawa Barat. Karyawan produksi berasal dari daerah Purwakarta, sedangkan karyawan penjualan berasal dari Bogor. Hal ini berdampak positif karena komunikasi antar karyawan dapat terjalin dengan baik. Walaupun secara umum

budaya organisasi Galih Bakery tergolong baik, tetapi belum cukup untuk mendukung terwujudnya budaya kualitas.

Menurut Goetsch and Davis dalam Tjiptono dan Diana (2001: 75) budaya kualitas adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas secara terus-menerus. Karyawan Galih Bakery, baik karyawan produksi maupun penjualan masih memiliki kebiasaan-kebisaan kerja yang kurang mendukung terwujudnya budaya kualitas.

Karyawan produksi dan karyawan penjualan masih kurang memperhatikan kualitas roti yang mereka hasilkan. Salah satu kebiasaan kerja itu adalah karyawan produksi kurang menjaga kebersihan diri saat akan memulai bersentuhan dengan adonan roti. Sedangkan karyawan penjualan kurang menjaga kebersihan diri terutama tangan pada saat bersentuhan dengan roti. Padahal, hal ini dapat menurunkan kualitas dari roti yang telah mereka hasilkan.

Perubahan budaya merupakan salah satu hal yang penting agar penerapan Manajemen Mutu Terpadu dapat berjalan optimal. Belum terjadinya perubahan budaya pada Galih Bakery terjadi berkaitan dengan belum optimalnya pelaksanaan salah satu unsur Manajemen Mutu Terpadu yaitu komitmen jangka panjang. Dimana komitmen jangka panjang yang dimiliki oleh pimpinan Galih Bakery untuk tetap mengutamakan kualitas sebagai daya saing usahanya belum tersosialisasikan menyeluruh dan menjadi pegangan karyawan Galih Bakery dalam menghasilkan roti. Hal ini juga sesuai dengan salah satu pernyataan Hessel dalam Nasution (2005: 367) yang menyatakan salah satu penyebab yang

menghambat penerapan Manajemen Mutu Terpadu adalah budaya organisasi yang kurang mendukung implementasi TQM. Dimana budaya organisasi yang belum sepenuhnya berfokus pada kepuasan pelanggan.

7. Awareness (Kesadaran)

Kesadaran seluruh organ penggerak perusahaan mengenai pentingnya menciptakan dan menjaga kualitas turut mendukung pencapaian penerapan Manajemen Mutu Terpadu. Kesadaran para karyawan akan pentingnya kualitas masih sangat kurang baik karyawan produksi maupun karyawan penjualan. Hal tersebut terlihat dari kegiatan karyawan sehari-hari yang hanya terkesan untuk menggugurkan kewajiban mereka saja, yaitu untuk membuat roti maupun untuk menjualnya.

Karyawan produksi kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat akan memulai bersentuhan dengan bahan baku maupun saat bersentuhan dengan adonan roti. Begitu juga karyawan penjualan juga kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat bersentuhan dengan roti yang akan mereka pasarkan. Kebersihan diri terutama kebersihan tangan merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga higienitas roti yang dihasilkan, terlebih untuk perusahaan seperti Galih Bakery yang sebagian besar proses produksinya masih menggunakan tangan (hand made).

5.2.4. Faktor-Faktor yang Paling Dominan Mempengaruhi Penerapan

Dokumen terkait