• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG

2.2 Faktor Penyebab Ijime di Jepang

Ada beberapa penyebab sehingga muncul ijime di Jepang. Adapun faktor – faktor tersebut adalah :

1. Budaya

Jepang memiliki struktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat kelompok atau lazim disebut sebagai shuudan shugi (集団主義). Taki (2003)

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah sebuah struktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari satu kelompok masyarakat dibandingkan individu sebagai seorang personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang – orang di sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam satu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi individu mendapatkan suatu identitas diri. Ketika seseorang diakui oleh satu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.

Sejak masa kanak – kanak, individu Jepang telah diajarkan sebuah prinsip sosial yang disebut shuudan ishiki(集団意識)atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok (Nakane Chie, 1984 : 8). Misalnya saja, ketika duduk di bangku TK mereka akan membentuk kelompok bermain yang disebut ~kumi/gumi. Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi mereka, anggota dari kumi di luar kelompok bermain adalah orang asing .

Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini mulai memperluas wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak – anak yang berasal dari TK yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama kelompok – kelompok inilah mereka akan menghabiskan masa SD mereka.

Pertemanan kelompok semacam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang kehidupan yang dimasuki maka semakin ketat dan beragam pula kriteria yang dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu terutama ketika seseorang menginjak usia remaja. Hal in terlihat jelas di kelompok – kelompok yang terbentuk semasa SMA, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena anggotanya tergabung dalam satu ekstrakurikuler yang sama.

Akan tetapi tidak semua individu sanggup memenuhi kriteria yang diminta oleh satu kelompok tertentu supaya dapat menjadi bagian dari kelompok mereka. Individu – individu inilah yang biasanya akan menjadi korban tindakan ijime. Ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kriteria kelompok dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, misalnya cacat fisik, prestasi belajar yang standar, orang yang lemah secara fisik maupun mental, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, korban ijime adalah orang – orang yang berbeda dengan orang – orang di sekeliling mereka. Terkadang perbedaan itu tidak selalu buruk, ada pula orang yang dijadikan sasaran ijime karena mereka memiliki kelebihan dalam bakat atau kepintaran.

Pernyataan di atas diperkuat oleh Merry White dalam Valentina (2008 : 30) yang merumuskan tiga tipe anak – anak yang umumnya menjadi ijimerakekko (korban ijime) seperti diuraikan di bawah ini :

1. Anak – anak yang tidak populer bukanlah bagian dari grup manapun; mereka diasingkan atau ditolak oleh grup – grup yanga ada di dalam kelas. Beberapa dari anak – anak ini berusaha untuk diterima dengan

bergaul, selalu terlihat oleh yang lain, atau dengan jelas memaksa untuk diterima (deshabari). Sebagian lainnya menarik diri dari pergaulan. Mereka diasingkan karena berbagai macam alasan misalnya karena dicap sebagai “orang yang sangat menggangu” atau “orang yang lambat”, “orang yang jorok dan berantakan”, “pembohong”, “bermuka dua”. Akan tetapi, umumnya mereka menjadi korban karena mereka “berbeda”. 2. Anak – anak ini mungkin memiliki kualitas yang menimbulkan rasa

ccemburu atau persaingan di dalam grup, terutama karena mereka majime (serius).

3. Anak – anak yang tidak populer adalah mereka dikatakan memiliki “mental korban (higaisha ishiki)” yang menyebabkan terjadinya ijime. Menurut Jhon Clammer dalam Valentina (2008 : 31) berpendapat bahwa bagi masyarakat Jepang yang mementingkan kebersamaan dalam kelompok, homogenitas individu menjadi sebuah keharusan supaya dapat bertahan hidup dalam sistem tersebut. Hal ini menyebabkan memiliki perbedaan dengan orang lain menjadi semacam momok yang manakutkan bagi masyarakat Jepang karena mereka akan dipaksa untuk menjadi sama atau dikucilkan. Sesuai dengan peribahasa yang mengatakan deru kugi wa utareru yang berarti paku yang menonjol harus dipalu. Peribahasa tersebut mengibaratkan orang – orang yang memiliki perbedaan sebagai sebuah paku yang menonjol. Paku tersebut harus dibuat sama kedudukannya dengan paku – paku lain dengan cara dipalu. Maka apabila seseorang berbeda dengan orang lain disekitarnya, dengan cara halus atau kasar orang tersebut akan dipaksa untuk menjadi sama dengan yang lain.

2. Berita yang Dimuat di Media Massa

Munculnya berita – berita mengenai masalah ijime yang serius melalui media massa seperti berita dengan judul : “Ijime Peristiwa Bunuh diri’ atau “Peristiwa Pembunuhan Balas Dendam Akibat di Ijime” dan lain – lain ini memberi kesan kepada para orang tua dan masyarakat lainnya di Jepang bahwa pendidikan di Jepang sedang mengalami kekacauan. Dengan meluasnya berita tentang ijime, kata ijime muncul sebagai istilah yang popular. Bukan populer terhadap kata itu saja, tetapi juga populer di dalam dunia anak – anak karena melalui acara – acara televisi atau buku cerita bergambar anak, membuat mereka mengenal apa yang disebut ijime. Banyak acara televisi yang dianggap tidak baik dan dapat mempengaruhi dunia anak salah satunya adalah acara yang menyangkut tentang ijime.

Morita Yoji dari sebuah universitas swasta di Osaka, adalah seorang yang meneliti tentang ijime. Ia mengatakan bahwa berita – berita di media massa tentang ijime menyebabkan timbulnya masalah masyarakat. Pandangan mengenai baik buruknya media massa memuat berita ijime dikatakannya bahwa ijime sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Walaupun ijime itu bukanlah sebuah tindakan yang baik, tetapi bisa ditemui atau bisa ada di dalam segala lapisan masyarakat apa saja.

Kalau diibaratkan sebagai sebuah warna, segala perbuatan baik berwarna putih dan perbuatan yang buruk berwarna hitam sedangkan ijime berwarna abu – abu. Tetapi karena semakin meluas dan berkembangnya konsep tentang ijime ini, lama – kelamaan ijime ini cenderung dikelompokkan ke dalam perbuatan buruk ( Jidoshinri, Oktober 1986, dikutip dan diterjemahkan oleh Nojuu, 1989 : 23 ).

Walaupun ijime itu dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya di dalam dunia anak ijime merupakan proses liku – liku kehidupan anak dalam masyarakat. Misalnya, dengan cara berkelahi anak – anak ingin menunjukkan apa yang ada pada dirinya. Ada kalanya ia diijime dan ada kalanya ia mengijime. Bagi anaka itu sendiri, melalui ijime ia belajar menyesuaikan diri di dalam lingkungannya.

3. Pendidikan Sekolah

Sekolah mempunyai fungsi yang amat dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena sekolah merupakan asosiasi yang lebih luas dari keluarga atau teman – teman. Selain itu sekolah tidak berasal dari hubungan darah, bukan juga dari pilihan bebas, tetapi dari pertemuan secara kebutuhan dan tidak dapat dielakkan di antara para murid yang dikumpulkan berdasarkan umur dan berbagai kondisi sosial yang hampir sama ( Nojuu, 1989 : 20 ).

Selain itu sekolah merupakan tempat untuk anak bertindak secara moral, yaitu bertindak dengan cara – cara tertentu yang meliputi konsistensi keteraturan tingkah laku dan wewenang. Yang disebut moral pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat tetap, sejauh kita berbicara mengenai jangka waktu yang tidak terlalu panjang, moral itu akan tetap sama dan tidak berubah ( Madubrangti, 1994 : 17 ).

Terdapat jarak yang besar antara moral ketika anak masih berada bersama keluarga, ketika anak menemukan dirinya dan ketika ia meninggalkan keluarga itu, sekolah dan lingkungannya merupakan sarana yang paling tepat untuk

pembentukan moral anak. Ada tiga unsur dalam moral, yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi si pelaku. Berarti pembentukan moral anak sekolah dapat dilihat dalam situasi di dalam kelas, karena kelas adalah suatu kelompok kecil, berarti tidak satupun dari anggota kecil ini akan bertindak sebagaimana jika mereka bertindak sendiri – sendiri karena akan mempengaruhi kelompoknya.

Di kelas ada cukup banyak hal – hal yang dapat dilihat dipelihara bersama dalam kehidupan kolektif kelas, hal ini untuk membangkitkan rasa solidaritas anak seperti memiliki ide – ide bersama, perasaan besama dan tanggung jawab bersama.

Sikap anak sekolah di Jepang akhir – akhir ini cenderung untuk tidak menyukai segala sesuatu bentuk – bentuk aturan yang bersifat keharusan, seperti disiplin atau aturan – aturan yang diwajibkan oleh guru kelas atau kelompok resmi di sekolah. Sehingga anak – anak sekolah di Jepang sekarang dengan adanya semacam tuntutan masyarakat sebagai Gakurekishakai ‘masyarakat beriwayat pendidikan’ yaitu masyarakat yang menuntut adanya riwayat pendidikan , dimana anak – anak sekolah dituntut untuk mengejar kemampuan ilmu pengetahuannya melalui persaingan belajar. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan oleh guru maupun orang tua antara lain dengan memberikan pelajaran tambahan atau menyuruh anaknya mengambil pelajaran tambahan untuk menghadapi ujian masuk Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi favorit dalam bentuk persaingan belajar dalam usaha mencapai hensachi ( peringkat prestasi belajar ).

Kemudian karena sangat banyak peraturan serta tuntutan sekolah yang diberikan kepada murid – muridnya, sehingga apabila murid tidak melakukannya sesuai dengan peraturan dan tuntutan tersebut maka ia akan menerima hukuman

fisik yang dilakukan oleh gurunya di sekolah maupun oleh orang tuanya di rumah ( Madubrangti, 1994 : 18 ).

Masalah anak sekolah yang sedang hangat dibicarakan orang pada waktu lalu yaitu masalah Konaiboryoku (kebrutalan anak di sekolah), yang pada saat itu sedang menjadi pembicaraan hangat di Jepang menjadi tidak begitu menonjol. Tetapi sebenarnya dengan meradanya masalah konaiboryoku di mata masyarakat bukan berarti masalah anak dapat diatasi sepenuhnya. Konaiboryoku dilakukan oleh anak sekolah sebagai salah satu wujud protes anak terhadap aturan – aturan sekolah yang begitu banyak. Walaupun demikian kebrutalan anak – anak sekolah di Jepang yang akhir – akhir ini kelihatannya sudah semakin berkurang bukan berarti mereka sudah sadar untuk tidak melakukan kebrutalan lagi. Tetapi sebenarnya berkurangnya jumlah kebrutalan anak di sekolah itu karena anak cemas akan semakin bertambah banyak dan kerasnya peraturan – peraturan sekolah apabila ia melakukan kebrutalan di sekolah. Selain itu peraturan – peraturan kecil tentang kehidupan anakpun sudah ditekankan pada anak – anak dengan memberikan hukuman fisik jika aturan itu tidak dipatuhi.

Akibatnya, cara lain yang dilakukan oleh anak untuk menghindari hukuman fisik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya ini, memunculkan tindakan lain yang dilakukan oleh anak sebagai ungkapan protes di dalam dirinya yaitu dengan melakukan tindakan tokokyohi (tidak mau pergi ke sekolah). Selain itu mereka cenderung membentuk semacam kelompok yang bersifat protes dengan cara mengijime seorang teman dari kelompoknya yang dianggap memiliki di kelasnya. Oleh karena itu anak yang dijadikan sasaran ijime itu mempunyai kelebihan atau kelainan yang tidak dimiliki oleh mayoritas teman – teman

sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama.

4. Lingkungan Keluarga

Cara pendidikan anak tradisional di Jepang dimana ibu secara langsung memeluk dan mengasuh anaknya sendiri semakin tidak terlihat akibat adanya perkembangan sarana mendidik anak yang tidak menunjukkan kehadiran ibu turun tangan secara langsung. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang mengakibatkan hilangnya hubungan ibu dan anak secara langsung ( Nojuu, 1989 : 68-70 ).

Yamamura Takeaki dari Universitas Rikkyo menjelaskan bahwa anak lahir dari sebuah keluarga yang merupakan kelompok paling inti di dalam masyarakat manusia. Di dalam kelompok itulah anak dibesarkan sesuai dengan keberadaan kelompok itu di dalam masyarakat sebagai satu unit kelompok yang lebih besar lagi. Ditekankan bahwa perkembangan anak di dalam keluarga sudah menunjukkan sifat bermasyarakat dan sifat bermasyarakat yang ada pada anak itu bukan dimulai dari adanya tahap – tahap perkembangan setelah anak itu lahir tetapi perkembangan itu sudah ada dengan sendirinys sejak bagitu anak dilahirkan oleh ibunya.

Ciri ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga. Seperti dikemukakan Gelles dalam Annisa (2005 : 34) pada kalimat pembukaan bukunya, “orang – orang di masyarakat lebih mungkin

dibinuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh anggota keluarganya sendiri daripada oleh orang lain di tampat lain”.

Anak – anak yang dianiaya oleh anggota keluarganya mungkin tidak mengungkapkan pengalamannya kepada orang lain karena tidak ingin dianggap sebagai pendusta atau pembuat masalah. Karena statusnya sebagai anggota yang relatif tak berdaya dalam sistem keluarga, anak paling beresiko menjadi sasaran perilaku agresif orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua. Seperti dikemukakan Tedechi, dkk dalam Annisa (2005 : 34) “orang – orang yang amat jarang menggunakan paksaan terhadap orang lain menganggap anaknya sebagai pengecualian.

Orang tua tunggal dan ibu – ibu remaja juga lebih berkemungkinan menganiaya anak – anaknya secara fisik. Begitu juga orang tua yang memiliki masalah penggunaan alkohol dan obat terlarang ( Wiehe dalam Annisa, 2005 : 35). Selain itu juga ditemukan bahwa orang tua yang menganiaya anak – anak secara fisik memiliki harapan tidak realistis terhadap kemampuan kontrol diri dan kemandirian anaknya. Kekurangan sumber keuangan dan dukungan sosial juga menjadi pemicu dari kekerasan terhadap anak.

Akibat menderita kekerasan fisik yang tentunya menderita sakit badaniah akibat tindakan yang dilakukan orang tua merupakan pengalaman yang sangat buruk bagi anak. Dengan demikian tidak mengejutkan bila banyak diantara anak – anak itu mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dalam hubungan sosial, dan perilaku sosial mereka secara umum. Penilaian diri yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri, ketidak mampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan

orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa anak – anak yang lazim dilaporkan (Miller, dkk 1999 : 65). Pengalaman penganiayaan fisik ini berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan perilaku menyimpang pada anak yang bersangkutan dan meningkat sampai beranjak dewasa, terutama pada remaja laki – laki (Englander, 1997 : 27). Karena tekanan dari orang tua, remaja tersebut meluapkannya kepada teman – temannya yang secara fisik berbeda dari yang lain. Ia akan terus melakoni tindak ijime secara terus – menerus.

Sejumlah anak yang diabaikan diperkirakan akan tumbuh menjadi pelaku ijime yang agresif. Ketiaadaan akan perhatian dan kehangatan terhadap anak, bersamaan dengan contoh perilaku menyimpang di rumah dan pengawasan yang kurang terhadap anak, menyediakan kesempatan yang sempurna akan terjadinya perilaku ijime (Loeber, dkk, 1998 : 53). Contoh perilaku menyimpang seperti kekerasan fisik dan kekerasan secara lisan orang tua terhadap anaknya atau menggunakaan kekerasan fisik terhadap satu sama lain. Karena anak sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dapat dipastikan bahwa perilaku penyimpangan oleh anak ketika ia beranjak remaja maka sebagian akan ditirunya dari yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut (Jaffe, dkk dalam Annisa, 2005 : 36).

Orang tua yang berpura – pura tidak melihat tabiat buruk anaknya mungkin memanjakan anak dengan cara lain. Orang tua memberikan terlalu banyak kasih sayang yang salah. Anak – anak menjadi terhambat perkembangannya. Anak seperti ini lalu terlalu banyak bergantung pada “pengabdian” yang diterimanya di rumah sehingga tidak memiliki kepercayaan pada dirinya. Agar diterima dan mendapatkan kasih sayang, anak lalu tidak berbuat apa – apa. Anak setuju saja

terhadap apapun yang dikatakan kepadanya. Tetapi dia tidak pernah yakin apakah berbuat benar atau salah akibatnya lalu menjadi cemas, yaitu merasa takut dan tegang. Baginya dunia merupakan tempat yang menakutkan dan manusia merupakan makhluk hidup yang tidak dapat dipercaya.

Keluarga Jepang saat ini, yang populer di kalangan pekerja kota biasanya mereka hidup dan tinggal di flat kecil terdiri dari dua kamar tidur dan satu dapur. Tetapi meskipun demikian, perabotan rumah tangganya lengkap dan berupa perabotan listrik. Pada tahun 1960-an mereka hanya menginginkan kulkas, mesin cuci, dan alat penyedot debu. Tetapi lama – kelamaan, keinginannya itu meningkat seperti AC, TV berwarna dan mobil. Untuk memenuhi keinginannya ini, biasanya suami istri bekerja. Dalam bahasa Jepang, suami istri yang bekerja disebut Tomokasegi.

Di lain pihak karen terlalu banyak menggunakan perabotan elektronik di dalam rumah tangga membuat jam kerja berkurang (terutama untuk istri). Dengan berkurangnya jam kerja, banyak istri yang menganggur. Biasanya para istri yang menganggur menghabiskan waktu senggangnya dengan memusatkan perhatian kepada pendidikan anak. Hal ini dikenal dengan istilah Kyooiku Mama.

Dalam Kyooiku Mama ini, ibu memiliki peranan yang sangat penting terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang tetapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak buruk yang timbul dalam diri si anak yang bersangkutan.

Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir tidak ada sehingga anak – anak merasa ditekan. Mereka belajar seakan – akan

hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya atau juga karena ia merasa takut dimarahi orang tuanya. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri si anak, meskipun ia melakukan tugas – tugasnya dengan baik. Di dalam rumah anak – anak memang patuh terhadap orang tua tetapi jika berada di luar rumah, mereka berontak dan melampiaskan kkketegangan mereka dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah (booryoku).

Dampak lain dari Kyooiku Mama adalah timbulnya rasa bersaing dalam diri anak karena selama ia dididik ibunya selalu menekankan agar anaknya masuk pergurungan tinggi no. 1. Perasaan bersaing ini akan terbawa terus. Hal inilah yang membuat orang Jepang ddijuluki sebagai masyarakat yang tidak bisa lepas dari rasa bersaing (Kyoosho Shakai). Karena memang orang Jepang selalu menerima status orang lain melalui pendidikannya yang dalam istilah Jepang disebut Gakurei Shakai.

Banyak suami istri yang bekeeerja di luar yang berarti meninggalkan anak – anaknya di rumah. Maka timbullah masalah yang disebut Kagikko (anak pembawa kunci). Maksudnya adalah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan membukakan pintu jika orang tuanya pulang dari bekerja. Setelah sekolah seorang anak pulang dengan perasaan hampa karena tidak ada seorang pun yang akan menyambut kedatangannya. Ia hanya ditemani oleh acara – acara TV saja sehingga tidak ada pengawasan dari orang tua khususnya ibu. Sehingga acara TV yang ia tonton terkadang membawa pengaruh yang buruk terhadap anak. Hal ini juga dapat dianggap sebagai hal – hal yang berkaitan dengan tindakan penyimpangan perilaku Jepang yang dikenal dengan Ijime.

Dokumen terkait