• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III USAHA – USAHA MENANGGULANGI IJIME

3.3 Sekolah

Merupakan kewajiban sekolah untuk melindungi peserta didik dari terjadinya tindak kekerasan terhadap siswa. Apabila tindak kekerasan di sekolah tidak ditangani secara serius akan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan belajar siswa. Kondisi lingkungan yang kurang kondusif untuk kegiatan belajar akan berdampak kepada penurunan prestasi belajar siswa dan prestasi sekolah secara umum. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh sekolah berkaitan dengan pencegahan atau minimalisasi terjadinya tindak kekerasan di sekolah. Langkah -langkah tersebut diantaranya :

1. Sekolah harus membangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus ijime di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya ijime serta sistem penanganan korban ijime di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban ijime bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban ijime, dll.

2. Di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang ijime dan dampaknya kepada semua warga sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti ijime perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua warga sekolah memahami dan mengerti apa itu ijime dan dampaknya.

3. Sekolah menyediakan berbagai kegiatan positif kepada siswa yang dapat membangun sikap sportifitas, kebersamaan, dan saling menyayangi antar warga sekolah.

4. Perlu dibangun komunikasi secara terbuka antara sekolah, orang tua dan siswa melaui pertemuan-pertumuan yang secara rutin diadakan. Pertemuan dengan orang tua ini bertujuan agar pihak sekolah dan guru mengetahui perhatian orang tua pada anaknya, pola hubungan anak dengan orang tua dan upaya orang tua dalam mendukung aktivitas anak di sekolah dan upaya orang tua dalam menanggulangi ijime melalui jejaring dengan banyak pihak. Selain dengan orang tua, pertemuan dan wawancara dengan siswa juga diperlukan untuk mengetahui secara mendalam tentang akar masalah, situasi sekolah, bentuk, alasan, dan kondisi ijime. Dengan adanya pertemuan dan wawancara dengan orang tua dan murid ini maka pihak sekolah maupun guru dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan keadaan yang terjadi.

5. Perlu tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan tindakan kekerasan di sekolah yang sudah melampaui batas-batas toleransi yang telah diberikan. 6. Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di

ramah anak dengan penerapan positive discipline di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dalam tahap ini.

7. Membangun kapasitas siswa dalam hal melindungi dirinya dari pelaku ijime dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti ijime serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti ijime di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.

8. Pihak sekolah memberikan perhatian khusus pada tempat – tempat seperti halaman bermain, toilet, kantin, tempat berolahraga dan gudang di sekolah. Hal ini penting sebab pada tempat – tempat inilah sering terjadi tindakan ijime. 9. Sekolah memberikan tindakan yang tegas kepada guru yang melakukan tindakan

ijime jika terbukti guru tersebut melakukan tindak kekerasan ataupun ijime.

Selain itu, guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses penanggulangan ijime. Adapun beberapa alasan peran guru sangat penting dalam penanggulangan ijime adalah :

1. Kebanyakan orang berpikir bahwa masalah ijime adalah masalah murid/siswa saja sehingga lebih memusatkan perhatian pada murid. Padahal ketidak pedulian guru terhadap siswa turut menjadi ekselator (pelestari) kesinambungan peristiwa ijime. Oleh karena itu, guru dituntut perhatiannya dalam masalah ijime ini sebab jika guru tidak memberikan penih perhatiannya terhadap masalah ini, maka masalah ini akan terus berlanjut.

2. Guru merupakan figur teladan yang langsung dapat dilihat oleh siswa/murid, bila guru tidak tidak menunjukkan kepedulian dalam berkata – kata dan

bertindak dengan benar setiap hari, maka siswa lebih mungkin melakukan ijime atau menjadi korban ijime. Itu sebabnya dalam proses belajar mengajar, guru harus sadar bahwa proses mengajar adalah untuk meningkatkan kapital sosial dan kognitif.

3. Guru merupakan konselor yang mudah dan cepat bagi siswa. Dalam hal ini semua guru menjadi sangat penting sebagai orang yang melakukan pertolongan pertama.

4. Guru sangat dibutuhkan perannya untuk menciptakan atmosfer yang yang

mengurangi ijime dan mendorong proses kelompok yang mendukung dan

merangkul siswa – siswa yang rentan mengalami ijime.

Begitu besarnya peran guru dalam proses penangulangan ijime, maka untuk menangulanginya seorang guru haruslah menjadi seorang guru yang profesional. Adapun guru yang profesional adalah :

a.Guru yang profesional selalu bekerja keras untuk memenangkan rasa hormat dari muridnya.

b. Guru yang profesional menghargai muridnya dan orang lain secara sejajar dan mencoba untuk memahami mereka secara individu. Berusaha sesering mungkin berkomunikasi secara terbuka dengan murid – muridnya, rekan – rekan guru, para orang tua dan atasannya. Ia menyadari bahwa interaksi sosial yang menyenangkan dan efektif akan mendorong terwujudnya pendidikan yang bermutu.

c.Guru yang profesional menyadari bahwa hubungannya dengan para muridnya harus memuaskan bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, ia mampu bertindak tenang, masuk akal dan tidak emosional, termasuk saat menangani masalah – masalah atau kesalahan - kesalahan murid yang serius.

d. Guru yang profesional secara aktif mendorong muridnya untuk mengembangkan bakat, kemampuan dan keterampilan dirinya. Ia merasa bahagia bila muridnya berhasil.

Selain peran dari sekolah dan guru, dalam rangka menanggulangi ijime di sekolah perlu adanya upaya – upaya bimbingan konseling yang terintegrasi. Pelaksanaan pemberian bimbingan konseling kepada siswa sebagai pelaku dan penderita ijime, atau guru – guru dan staf sekolah sebagai pelaku bisa saja dengan konseling kelompok atau konseling individual. Bimbingan kelompok diberikan kepada semua siswa sebagai upaya tidak langsung dalam merubah sikap dan perilaku siswa melalui penyajian informasi yang teliti atau menekankan dorongan untuk berfungsinya kemampuan – kemampuan kognitif. Selain itu bisa menggunakan media elektronik seperti pemutaran film terjadinya ijime dan dampaknya terhadap kehidupan seseorang korban ijime.

Pendekatan bimbingan konseling yang digunakan dalam mengatasi ijime di sekolah, bisa dengan menggunakan pendekatan eklektik yaitu suatu pendekatan yang terintegrasi seperti pendekatan perilaku, pendekatan berpusat pada pribadi, pendekatan transaksi analitis, humanistik dan sebagainya.

Pendekatan perilaku digunakan dalam konseling kelompok untuk mengatasi ijime, asumsinya bahwa perilaku, kognisi, perasaan bermasalah itu terbentuk karena dipelajari. Oleh karena itu semua dapat dirubah dengan suatu proses belajar yang baru. Pendekatan perilaku bisa mengintervensi dari teori belajar sosial (sosial-learning theory), seperti penguatan kembali (reinforcement), pemberian contoh (modellin), pembentukan, penataan kembali kognisi, latihan santai (relaxtion) dan sebagainya.\

Penguatan kembali (reinforcement), bisa dilakukan oleh guru – guru atau teman – teman supaya klien bisa percaya diri. Teknik ini bisa dilakukan sendiri dengan bagaimana berusaha untuk menguatkan diri sendiri dan meningkatkan kemampuan mengolah diri dan tidak tergantung pada orang lain. Pemberian contoh merupakan alat yang sangat kuat , karena secara tidak langsung siswa akan meniru dan melihat apa yang dilakukan oleh

gurunya atau temannya, misalnya bagaimana guru menghargai pendapat siswa walaupun salah, atau menghargai karyanya, siswa diajarkan untuk bisa menghargai, saling toleransi, saling menghormati, dan saling menyayangi.

Penataan kembali kognisi (cognitive restructuring), adalah proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, menemukan dampak negatif pemikiran tertentu dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistik dan cocok.

Pendekatan berpusat pada pribadi (person-center approach), didasari asumsi bahwa manusia cenderung bergerak ke arah keseluruhan dan perwujudan diri. Individu – individu di dalam dirinya memiliki sumber daya yang luas untuk memahami dirinya sendiri dan untuk mengubah konsep dirinya. Oleh karena itu, konselor bersifat menghargai tanpa syarat, empati dan keaslian.

Pendekatan Ekstensial Humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Teknik yang digunakan adalah kesadaran diri, kebebasan dan tanggung jawab, keterpusatan, dan kebutuhan akan orang lain.

Pendekatan Analisis Transaksional, berasumsi bahwa orang – orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir dan memutuskan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaannya. Pendekatan ini berlandaskan teori kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah yaitu orang tua, orang dewasa, dan anak. Kemudian berpendapat bahwa manusia memerlukan belaian baik secara fisik maupun emosional. Jika belaian tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan berkembang secara sehat. Oleh karena itu seorang konselor harus berperan memberikan perhatian pada masalah – masalah emosinal dan berperan sebagai guru, pelatih atau nara sumber yang penuh kasih sayang.

Dokumen terkait