• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas

2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas

Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak pada tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada tahun ke- 2 dari usia pernikahannya. Sebanyak 10% - 20% sisanya akan memiliki anak pada tahun ke-3 atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.

Walaupun pasangan suami istri dianggap infertil bukan tidak mungkin kondisi infertil sesungguhnya hanya dialami oleh sang suami atau sang istri. Hal tersebut dapat dipahami karena proses pembuahan yang berujung pada lahirnya seorang manusia baru merupakan kerjasama antara suami dan istri. Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua faktor yang harus dipenuhi adalah: a. Suami memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu

menghasilkan dan menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) ke dalam organ reproduksi istri

b. Istri memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan sel kelamin wanita (sel telur atau ovum)

Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.

2.1.1.1. Berbagai Gangguan yang Memicu terjadinya Infertilitas pada Wanita

a. Gangguan Organ Reproduksi

1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan membunuh sperma dan pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma ke vagina.

2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu, bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga dapat menutup serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke rahim

3. Tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu.

b. Gangguan Ovulasi

Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor cranial, stress, dan penggunaan obat-obatan yang menyebabkan terjadinya disfungsi

hipotalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi kedua hormon ini, maka folikel mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada gangguan ovulasi. c. Kegagalan Implantasi

Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam mempersiapkan endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses nidasi pada endometrium tidak berlangsung baik. Akibatnya fetus tidak dapat berkembang dan terjadilah abortus.

e. Endometriosis f. Faktor Immunologis

Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.

g. Lingkungan

Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas anastesi, zat kimia, dan pestisida dapat menyebabkan toksik pada seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi yang akan mempengaruhi kesuburan.

2.1.1.2. Penyebab Infertilitas pada Pria

a. Kelainan pada Alat Kelamin

1. Hipospadia yaitu muara saluran kencing letaknya abnormal, antara lain pada permukaan testis

2. Ejakulasi retrograd yaitu ejakulasi dimana air mani masuk kedalam kandung kemih

3. Varikokel yaitu suatu keadaan dimana pembuluh darah menuju buah zakar terlalu besar, sehingga jumlah dan kemampuan gerak spermatozoa berkurang yang berarti mengurangi kemampuannya untuk menimbulkan kehamilan 4. Testis tidak turun dapat terjadi karena testis atrofi sehingga tidak turun b. Kegagalan Fungsional

1. Kemampuan ereksi kurang

2. Kelainan pembentukan spermatozoa 3. Gangguan pada sperma

c. Gangguan di Daerah Sebelum Testis (Pre Testicular)

Gangguan biasanya terjadi pada bagian otak, yaitu hipofisis yang bertugas mengeluarkan hormon FSH dan LH. Kedua hormon tersebut mempengaruhi testis dalam menghasilkan hormon testosteron, akibatnya produksi sperma dapat terganggu serta mempengaruhi spermatogenesis dan keabnormalan semen. Terapi yang bisa dilakukan untuk peningkatan testosteron adalah dengan terapi hormon. d. Gangguan di Daerah Testis (Testicular)

Kerja testis dapat terganggu bila terkena trauma pukulan, gangguan fisik, atau infeksi. Bisa juga terjadi, selama pubertas testis tidak berkembang dengan baik, sehingga produksi sperma menjadi terganggu. Dalam proses produksi, testis sebagai pabrik sperma membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu tubuh, yaitu 34–35 °C, sedangkan suhu tubuh normal 36,5–37,5 °C. Bila suhu tubuh terus-menerus naik 2–3 °C saja, proses pembentukan sperma dapat terganggu.

e. Gangguan di Daerah Setelah Testis (Post Testicular)

Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat disalurkan dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu. Penyebabnya bisa jadi bawaan sejak lahir, terkena infeksi penyakit (seperti tuberkulosis), serta vasektomi yang memang disengaja.

f. Tidak Adanya Semen

Semen adalah cairan yang mengantarkan sperma dari penis menuju vagina. Bila tidak ada semen maka sperma tidak terangkut (tidak ada ejakulasi). Kondisi ini biasanya disebabkan penyakit atau kecelakaan yang memengaruhi tulang belakang.

g. Kurangnya Hormon Testosteron

Kekurangan hormon ini dapat mempengaruhi kemampuan testis dalam memproduksi sperma.

2.1.1.3. Penyebab pada Suami dan Istri

a. Gangguan pada Hubungan Seksual

Kesalahan teknik sanggama dapat menyebabkan penetrasi tak sempurna ke vagina, impotensi, ejakulasi prekoks, vaginismus, kegagalan ejakulasi, dan kelainan anatomik seperti hipospadia, epispadia.

b. Faktor Psikologis antara Kedua Pasangan (suami dan istri) - Masalah tertekan karena sosial ekonomi belum stabil - Masalah dalam pendidikan

c. Emosi karena Didahului Orang Lain Hamil

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada faktor di luar organ yang mempengaruhi ketidaksuburan, yaitu :

1. Faktor Usia

Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selama masih mengalami haid yang teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Kejadian infertilitas berbanding lurus dengan pertambahan usia perempuan. Perempuan dengan rentang 19-26 tahun memiliki kemungkinan untuk hamil dua kali lebih besar daripada perempuan dengan rentang usia antara 35-39 tahun (Hestiantoro, 2008).

Penelitian menunjukkan hanya sepertiga pria berumur diatas 40 tahun yang mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibanding dengan pria yang berumur dibawah 25 tahun. Selain itu, usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas sel sperma (Kasdu, 2001)

2. Berat Badan

Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih (over weight) atau mengalami kegemukan (obesitas), atau yang memiliki lemak tubuh 10-15% diatas lemak tubuh normal, maka perempuan tersebut akan menderita gangguan pertumbuhan folikel di ovarium yang terkait dengan sebuah sindrom ovarium poli kistik. Di samping berat badan yang berlebih maka berat badan yang rendah juga dapat mengganggu fungsi fertilitas seorang perempuan. Zat gizi yang cukup seperti karbohidrat, lemak dan protein sangat diperlukan untuk

pembentukan hormon reproduksi, sehingga pada perempuan kurus akibat asupan gizi yang sangat kurang akan mengalami defesiensi hormon reproduksi yang berakibat terhadap peningkatan kejadian infertilitas pada perempuan tersebut (Kasdu, 2001).

3. Gaya Hidup

Gaya hidup yang dimaksud adalah pola makan dan kebiasaan sehari-hari. Merokok dapat menjadi salah satu penyebab infertilitas. Di samping itu penyalahgunaan obat narkotika juga dapat menurunkan produksi hormon reproduksi. Alkohol telah pula terbukti menjadi penyebab gagalnya preses implantasi (Kasdu, 2001).

4. Lingkungan

Beberapa zat polutan seperti saat ini dicurigai memiliki kaitan yang erat dengan tingginya kejadian infertilitas akibat endometriosis terutama bagi perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (Kasdu, 2001).

2.1.1.4. Faktor Penyebab Infertilitas dari Segi Psikologis

Kesuburan wanita secara mutlak dipengaruhi oleh proses-proses fisiologis dan anatomis, di mana proses fisiologis tersebut berasal dari sekresi internal yang mempengaruhi kesuburan. Dalam hal ini kesuburan wanita itu merupakan satu unit psikosomatis yang selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor psikis dan faktor organis atau fisis. Kesulitan-kesulitan psikologis ini berkaitan dengan koitus dan kehamilan, yang biasanya mengakibatkan ketidakmampuan wanita menjadi hamil. Pengalaman-pengalaman membuktikan, bahwa unsur ketakutan serta kecemasan

berkaitan dengan fungsi reproduksi yang menimbulkan dampak yang merintangi tercapainya orgasme pada koitus. Pada umumnya dinyatakan bahwa sebab yang paling banyak dari kemandulan adalah ketakutan-ketakutan yang tidak disadari atau yang ada dibawah sadar, yang infantile atau kekanak-kanakan sifatnya.

Penelitian kedokteran juga menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin dan kadar Lutheinizing Hormon (LH) berhubungan erat dengan masalah psikis. Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat mengganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang mempengaruhi terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

Perasaan tertekan atau tegang yang dialami wanita berpengaruh terhadap fungsi hipotalamus yang merupakan kelenjar otak yang mengirimkan sejumlah sinyal untuk mengeluarkan hormon stres keseluruh tubuh. Hormon stress yang terlalu banyak keluar dan lama akan mengakibatkan rangsangan yang berlebihan pada jantung dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Kelebihan hormon stres juga dapat mengganggu keseimbangan hormon, sistem reproduksi ataupun kesuburan. Pernyataan ini seperti dikemukakan oleh Mark Saver pada penelitiannya tahun 1995, mengenai Psychomatic Medicine yang menjelaskan bahwa wanita dengan riwayat tekanan jiwa kecil kemungkinan untuk hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalaminya. Hal ini terjadi karena wanita tersebut mengalami ketidakseimbangan hormon (hormon estrogen). Kelebihan hormon estrogen akan memberikan sinyal kepada hormon progesteron untuk tidak berproduksi lagi karena kebutuhannya sudah

mencukupi. Akibatnya akan terjadi kekurangan hormon progesteron yang berpengaruh terhadap proses terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).

2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas

Dokumen terkait