• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Interpretasi Hasil Penelitian

Mekanisme koping pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas. Penelitian ini menghasilkan suatu konsep mengenai mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya Karo. Konsep ini mempunyai beberapa persamaan dan juga perbedaan dengan konsep dan hasil penelitian sebelumnya berkaitan dengan respon dan koping perempuan yang mengalami infertilitas.

Respon yang ditunjukkan oleh perempuan Karo yang mengalami infertilitas mempunyai beberapa persamaan dan ada juga perbedaan, beberapa kesamaan respon ini disebabkan karena mereka satu suku, yaitu suku Karo. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Hall,et.al (2007) yang menyatakan bagaimana perempuan berespon dan bertindak sangat dipengaruhi oleh persepsi sosial budaya dimana wanita itu tinggal, Potter dan Perry (2001) juga mengatakan bahwa pengalaman pribadi, ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang dianut mempengaruhi respon berduka seseorang yang diwujudkan dengan berbagai cara yang unik dari masing-masing.

Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Murray dan McKinney (2006) bahwa dampak psikologis pada perempuan yang mengalami infertilitas adalah pasangan merasa ternoda dan malu karena mengalami infertilitas, pengalaman infertilitas membuat mereka terisolasi sehingga menimbulkan stres dan cemas dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Hal yang sama dengan penelitian ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee (2001) dalam Anggreni, 2009 terhadap pasangan yang mengalami infertilitas di Thailand yang memperoleh hasil terjadinya peningkatan kecemasan dan ketegangan pada perempuan yang mengalami infertilitas. Kecemasan dan ketegangan ini mengganggu dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya sikap curiga yang berlebihan ketika berbicara dengan orang lain dan mudah terpicunya emosi jika ada pernyataan orang lain yang dianggap menyinggung harga dirinya sebagai perempuan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan Old, London & Ladewig, 2000; Watkins & Baldo, 2005 bahwa infertilitas dapat dikatakan sebagai pengalaman yang penuh ketegangan (stressfull), karena pasangan suami istri mempersepsikan masalah infertilitas sebagai ancaman terhadap kesejahteraan pasangan. Ketegangan yang timbul disebabkan karena adanya perasaan-perasaaan “kehilangan,” sedangkan perasaan “kehilangan” tersebut bisa bermacam-macam, seperti perasaan kehilangan identitas seksualnya, harga diri, konsep diri, hubungan dengan pasangan, keluarga, teman serta karir dan dapat berlanjut pada kehilangan kontrol diri terhadap tujuan hidup.

Hasil penelitian ini sesuai juga dengan hasil penelitian Tabong and Adongo, 2013 yang mengemukakan bahwa terlepas dari penyebab medis infertilitas, perempuan menerima kesalahan utama atas kemunduran reproduksi dan mereka menderita kesedihan pribadi dan frustrasi, stigma sosial, pengucilan dan kesulitan ekonomi yang serius, hal ini terlihat pada informan yang mengalami stres mendalam karena merasa dikucilkan, tidak berharga dan tidak mendapat biaya hidup dari pasangan karena tidak mempunyai anak.

Hasil penelitian yang telah dilakukan juga sesuai dengan hasil penelitian Ferrystoner, 2013 bahwa pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sering kali mengalami perasaan tertekan terutama pihak wanita yang pada akhirnya dapat jatuh pada keadaan depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan. Perasaan yang dialami para wanita tersebut timbul sebagai akibat dari hasil pemeriksaan, pengobatan dan penanganan yang terus menerus tidak membuahkan hasil. Hal inilah yang mengakibatkan wanita merasa kehilangan kepercayaan diri serta perasaan tidak enak terhadap diri sendiri, suami dan keluarga ataupun lingkungan dimana wanita itu berada.

Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Halman, Andrew, Abbey, 1994 dalam Bobak, 1995 yang mengemukakan bahwa wanita banyak yang mengalami stres terhadap pemeriksaan dan pengobatan, menempatkan kepentingan yang lebih besar dalam hal mempunyai anak dan menginginkan anak yang lebih banyak.

Ada persamaan dengan teori yang disampaikan oleh Shapiro (2008) yang menyatakan bahwa dampak emosional pada pasien yang infertil diwujudkan dengan depresi,cemas dan disfungsi seksual.

Dalam menghadapi respon psikologis yang dialaminya, perempuan Karo yang mengalami infertilitas melakukan berbagai tindakan yang dilakukan sebagai upaya dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri dari masalah. Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan bahwa dalam menghadapi infertilitas perempuan Karo menggunakan berbagai mekanisme koping. Berbagai mekanisme koping yang berhasil peneliti identifikasi, kemudian peneliti kelompokkan sesuai dengan penggolongan mekanisme koping oleh Stuart dan Sundeen (2005) yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Menurut Ma’rifah (2010) mekanisme koping sangat penting digunakan oleh individu untuk memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stres yang berkepanjangan. Mekanisme koping adaptif yang ditunjukkan oleh informan dalam penelitian ini adalah peningkatan spiritual, berpikir positif, menceritakan masalah kepada orang lain, merencanakan adopsi, tidak putus asa melakukan pengobatan dan pasrah.

Koping adaptif ini sesuai dengan hasil penelitian Parry di Amerika Serikat, Unisa di India dan Davis & Dearman di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan perempuan adalah dengan banyak membaca dan belajar mengenai keadaan mereka, berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik. Yang menunjukkan perbedaan adalah diantara informan

tidak ada yang mengatakan bahwa mereka banyak membaca dan belajar mengenai keadaan mereka.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ernestine S Donker and Jane Sandall tentang strategi koping perempuan dalam mencari pengobatan infertilitas di Ghana Utara yang menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh para perempuan adalah mempunyai harapan situasinya akan berubah, menceritakan masalah kepada orang lain untuk mendapatkan solusi, mencari pengobatan dari profesional, menyimpan perasaannya sendiri dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik.

Dalam Folkman & Lazarus, 1989 dikatakan bahwa menceritakan masalah kepada orang lain merupakan penggunaan mekanisme koping seeking social support. Hasil penelitian ini juga relevan dengan penelitian Nurfita yang meneliti pasangan infertil di Aceh yang mendapatkan hasil bahwa dengan menceritakan masalahnya kepada pasangannya dan kepada orang lain maka perempuan infertil merasa lebih tertolong dan terbantu.

Hasil penelitian ini dikuatkan oleh pendapat Thorn (2009) yang mengatakan bahwa koping untuk menghadapi infertilitas adalah adopsi, menerima kehidupan tanpa anak, berusaha tetap melakukan pengobatan, berpikir positif dan tetap beraktivitas.

Koping adaptif yang dilakukan perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas salah satunya adalah tetap melakukan pengobatan, hal ini sesuai dengan penelitian Woolet, 2004 dalam sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa

koping yang dilakukan perempuan yang infertil adalah mencari bantuan medis dan menambah pengetahuan mengenai infertilitas tetapi kebanyakan akan mencari pengobatan tradisional daripada medis, hal ini sesuai dengan hasil komunikasi dengan tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa suku Karo yang masih sebenarnya tidak mengenal pengobatan medis, sehingga kultur ini masih melekat bagi sebahagian orang yang hal ini ditunjukkan dengan mencari pengobatan ke pijat tradisional, dukun kampung dan mengkonsumsi ramuan tradisional.

Penelitian yang dilakukan oleh Paprean et.al (2000) di Dacca Bangladesh menunjukkan bahwa para wanita memilih cara pengobatan tradisional yaitu pergi ke dukun atau tabib disebabkan karena adanya roh-roh jahat yang melekat pada tubuh mereka sehingga mereka mengalami kesulitan mempunyai anak. Pada penelitian ini tidak ditemukan pendapat bahwa mereka tidak bisa hamil dikarenakan adanya roh jahat, tetapi memilih pengobatan tradisional karena suami enggan dan tidak mau diperiksa ke dokter dan adanya kesulitan finansial.

Penelitian yang dilakukan oleh Fido (2004) pada perempuan infertil di Kuwait menunjukkan antara kelompok buta huruf dengan kelompok terdidik, kelompok buta huruf mengatakan penyebab infertilitas karena supranatural, seperti roh-roh jahat, sihir dan hukuman dari Tuhan, sementara kelompok terdidik menyalahkan gizi, perkawinan dan faktor psikososial sebagai penyebab infertilitas mereka. Dalam penelitian ini, para informan tidak ada yang mengatakan mereka terkena sihir dan roh jahat, informan mengatakan bahwa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik pada waktu yang tepat.

Hasil penelitian ini mempunyai persamaan dengan penelitian Nurfita yang melakukan penelitian pada pasangan infertil di Aceh yang mendapatkan hasil bahwa pasangan infertil akan berupaya melakukan pengobatan baik secara medis atau tradisional dan menunjukkan sikap pasrah yang dilakukan pasangan.

Untuk mekanisme koping maladaptif yang ditunjukkan informan adalah menarik diri dari lingkungan dan mencoba melakukan bunuh diri.

Untuk menarik diri ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Murray dan McKinney (2006), bahwa pasangan yang mengalami masalah infertilitas seringkali merasa berbeda dari pasangan lain yang subur, mereka mungkin mengisolasi diri dari orang-orang untuk menghindari rasa sakit emosional, dengan mengisolasi diri dari sumber dukungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Weidge (2003) yang mengatakan untuk menghindari pembicaraan negatif kebanyakan memilih tidak mengikuti kegiatan sosial, baik di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan keluarga.

Hasil studi Davis & Dearman di Amerika menunjukkan banyak perempuan yang mengalami kesedihan mendalam dan frustasi, dengan melampiaskan emosi dan menangis biasanya mereka akan merasa lebih baik.

Informan mengatakan mengisolasi diri dan menarik diri dari lingkungan salah satunya adalah karena tidak diijinkan oleh suami untuk mengikuti kegiatan diluar rumah, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma’rifah (2010) yang meneliti perempuan Banyumas yang infertil mengatakan bahwa perempuan lebih banyak mendapat dukungan dari keluarga, mendapat ketenangan dari suami dan lingkungan. Sedangkan di suku Karo, laki-laki menganggap tidak punya anak adalah

kesalahan perempuan dan mengijinkan istrinya mengikuti kegiatan sosial di lingkungan akan membuat malu karena pasti akan ditanyakan selalu masalah anak.

Pada penelitian ini didapatkan adanya usaha informan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak tahan menghadapi tekanan dalam kehidupannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widge (2001) dalam tulisannya tentang sosial kultur di Indian mendapatkan bahwa angka bunuh diri pada perempuan lima kali lebih tinggi dibandingkan pada suami, dengan masalah infertilitas.

Berbeda dengan hasil penelitian Ma’rifah (2010) yang meneliti perempuan Banyumas yang infertil, tidak menemukan partisipan yang mempunyai keinginan untuk bunuh diri karena kondisi infertilitasnya, yang dikaitkan dengan budaya Jawa nrimo ing pandum yang sangat kuat dan menerima apa yang sudah digariskan oleh Tuhan

Penelitian Anwar, 1997; Olds, London, Ladewig, 2000 mengatakan beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan tanggungjawab perempuan. Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat

Studi yang dilakukan Rahmani dan Abrar (1999) menunjukkan keterkaitan perceraian dengan faktor ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan anak. Dalam penelitian ini juga salah satu informan diceraikan oleh pasangannya karena selama 4 tahun perkawinan belum juga dikaruniani anak,

hal ini berbeda dengan hasil penelitian Ma’rifah (2010) yang mendapatkan hasil pada suku Jawa di Banyumas tidak ditemukan adanya ancaman perceraian karena laki-laki Banyumas tidak tega apabila harus menceraikan istrinya hanya karena istrinya belum bisa memberikan keturunan, banyak partisipan mengatakan bahwa mereka mendapat dukungan dari suami dan keluarga mereka. Ini berbeda dengan suku Karo yang menganggap bahwa anak adalah sesuatu yang sangat berharga dan dianggap tidak sempurna jika dalam keluarga belum ada anak sehingga untuk mendapatkannya dapat dilakukan dengan mencari perempuan lain yang dianggap mampu untuk memberikan keturunan nantinya.

Dokumen terkait