MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE
KEC. KABANJAHE KAB. KARO
TESIS
Oleh
IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
COPING MECHANISMS OF KARONESE WOMEN WITH INFERTILITY IN KABANJAHE DISTRICT, DISTRICT KARO
THESIS
By
IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM
MASTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE
KEC. KABANJAHE KAB. KARO
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
IMELDA MUTIARA BR SITEPU 127032032/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI
INFERTILITAS DI KABANJAHE KEC. KABANJAHE KAB. KARO
Nama Mahasiswa : Imelda Mutiara br Sitepu Nomor Induk Mahasiswa : 127032032/IKM
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D) (Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah Diuji
pada Tanggal : 25 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes
PERNYATAAN
MEKANISME KOPING PADA PEREMPUAN SUKU KARO YANG MENGALAMI INFERTILITAS DI KABANJAHE
KEC. KABANJAHE KAB. KARO
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014
ABSTRAK
Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang belum sempurna dan belum lengkap bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak. Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.
Jenis penelitian adalah kualitatif dengan teknik wawancara mendalam/ in depth interview dengan menggunakan tape recorder. Lokasi dilakukan di Kabanjahe dan melibatkan empat orang informan. Analisis data dilakukan menurut prosedur penelitian kualitatif dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode penelitian kualitatif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon psikologis yang muncul pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas adalah sedih, depresi dan stres. Mekanisme koping yang dilakukan meliputi mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif yang dilakukan adalah peningkatan spiritual, berpikir positif, menceritakan masalah kepada orang lain, adopsi, melakukan pengobatan dan pasrah. Sedangkan mekanisme koping maladaptif yang dilakukan adalah menarik diri dari lingkungan dan melakukan percobaan bunuh diri.
Diharapkan ibu berusaha meningkatkan koping adaptif dengan berbagai cara dan upaya diantaranya peningkatan spiritualitas, tetap melakukan pengobatan dan berusaha ikhlas menerima keadaannya. Bagi Pemerintah/penentu kebijakan dalam menyusun perencanaan perlu memberikan prioritas pada program sosialisasi infertilitas, dikaitkan dengan nilai dan kepercayaan yang masih kuat di masyarakat
ABSTRACT
Getting married and having children are a phase that is undertaken by humans in their life cycle. Most of the people of Indonesia will think that it is not perfect and complete yet if a family is not gifted with the presence of children. Infertility is defined as a condition in which a couple who has married for more than 1 (one) year without using contraception and has not had children when they have been regularly having sexual intercourse as much as one to three times a week. The purpose of this study was to indentify the concept of coping mechanism in the women experiencing infertility influenced by Karonese socio-cultural factor in Kabanjahe Subdistrict, Karo District.
The data for this qualitative study conducted in Kabanjahe involving 4 (four) informants were obtained through in-depth interview by using tape recorder. The data obtained were analyzed according to qualitative research procedures by collecting the verbatim interviews and then were processed through qualitative research method.
The result of this study showed that the psychological responses given by the Karonese women experiencing infertility were sadness, depression and stress. Coping mechanism done included adaptive coping mechanism and maladaptive coping mechanism. The adaptive coping mechanisms done were spiritual elevation, positive thinking, telling the problem to others, adoption, taking medication and being resigned to the problem. While maladaptive coping mechanism done was to withdraw from the environment or neighborhood and to attempt to commit suicide.
It is expected that the women do their best to improve adaptive coping through various ways such as spiritual elevation, keeping doing the treatment, and trying to sincerely accept the condition. The government/policy maker, in planning process, should prioritize the infertility socialization program related to the values and beliefs which are still strongly practiced in the community.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas di Kabanjahe Kec. Kabanjahe Kab. Karo”
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A, (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara yang telah membimbing kami dan memberikan masukan serta saran dalam
4. Namora Lumongga Lubis M.Sc, Ph.D dan Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes,
selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari pengajuan judul hingga penulisan tesis ini selesai.
5. dr Ria Masniari Lubis, M.Si dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Komisi
Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini.
6. Para Dosen dan Staf di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda H. Sitepu dan Ibu
A br. Ginting serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril serta
doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.
8. Teristimewa buat suami tercinta Amsah Perangin-angin dan anak-anak tersayang
David Nicholas dan Diego Chabrena yang merupakan motivasi terbesar penulis
dalam menyelesaikan studi ini.
9. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam
penyusunan tesis ini.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
Penulis menyadari segala keterbatasan yang ada, untuk itu, saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, September 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Imelda Mutiara br Sitepu, lahir pada tanggal 23 April 1982
di Kabanjahe, Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara,
beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jalan Jamin Ginting Simp Berhala
Kabanjahe. Penulis merupakan anak dari pasangan ayahanda Harta Sitepu dan
ibunda Asnawaty br Ginting, anak kedua dari empat bersaudara.
Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari SD Methodist Kabanjahe
(1994), SMP Negeri 1 Kabanjahe (1997), SMU Negeri 1 Kabanjahe (2000),
Diploma III Kebidanan Akbid Pemkab Karo Kabanjahe (2003), Program Studi D-IV
Bidan Pendidik di Universitas Sumatera Utara (2005), Program Sarjana Keguruan
dan Ilmu Pendidikan di Universitas Karo (2008) dan tahun 2012 – 2014 penulis
menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat minat studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Pada tahun 2005 diterima sebagai PNS dan bekerja di Akademi Kebidanan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Infertilitas ... 11
2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas ... 12
2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas ... 20
2.1.3. Pencegahan Infertilitas ... 23
2.1.4. Respon Psikologis yang Mengalami Infertilitas ... 23
2.2. Mekanisme Koping ... 28
2.2.1. Pengertian Koping ... 28
2.2.2. Pengertian Mekanisme Koping ... 29
2.2.3. Mekanisme Koping Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 31
2.3. Infertilitas Dilihat dari Faktor Budaya ... 34
2.3.1. Infertilitas Menurut Suku Karo ... 35
2.4. Kerangka Pikir ... 41
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42
3.1. Desain Penelitian ... 42
3.2. Subjek Penelitian ... 43
3.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 43
3.2.2. Jumlah Informan Penelitian ... 43
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44
3.2.4. Lokasi Penelitian ... 44
3.3. Metode Pengumpulan Data ... 44
3.3.1. Wawancara ... 45
3.4.1. Pedoman Wawancara ... 46
3.4.2. Alat Perekam ... 46
3.5. Prosedur Analisis Data ... 46
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48
4.2. Karakteristik Informan ... 49
4.2.1. Karakteristik Informan I ... 49
4.2.2. Karakteristik Informan II ... 49
4.2.3. Karakteristik Informan III ... 50
4.2.4. Karakteristik Informan IV ... 50
4.3. Gambaran Hasil Penelitian tentang Mekanisme Koping pada Perempuan Suku Karo yang Mengalami Infertilitas ... 51
4.3.1. Respon Psikologis Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 51
4.3.2. Mekanisme Koping Adaptif pada Perempuan yang Mengalami Infertilitas ... 54
4.3.3. Mekanisme Koping Maladaptif ... 58
4.3.4. Nilai dan Kepercayaan Masyarakat Suku Karo terhadap Perempuan Infertil ... 59
BAB 5. PEMBAHASAN ... 63
5.1. Interpretasi Hasil Penelitian ... 63
5.2. Keterbatasan Penelitian ... 71
5.2.1. Peneliti sebagai Instrumen ... 71
5.2.2. Referensi Artikel ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1. Kesimpulan ... 73
6.2. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Demografi ... 79
2. Pedoman Wawancara Kepada Responden ... 80
3. Verbatim Wawancara ... 81
4. Surat Izin Penelitian ... 108
ABSTRAK
Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang belum sempurna dan belum lengkap bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak. Infertilitas didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.
Jenis penelitian adalah kualitatif dengan teknik wawancara mendalam/ in depth interview dengan menggunakan tape recorder. Lokasi dilakukan di Kabanjahe dan melibatkan empat orang informan. Analisis data dilakukan menurut prosedur penelitian kualitatif dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode penelitian kualitatif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon psikologis yang muncul pada perempuan suku Karo yang mengalami infertilitas adalah sedih, depresi dan stres. Mekanisme koping yang dilakukan meliputi mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif yang dilakukan adalah peningkatan spiritual, berpikir positif, menceritakan masalah kepada orang lain, adopsi, melakukan pengobatan dan pasrah. Sedangkan mekanisme koping maladaptif yang dilakukan adalah menarik diri dari lingkungan dan melakukan percobaan bunuh diri.
Diharapkan ibu berusaha meningkatkan koping adaptif dengan berbagai cara dan upaya diantaranya peningkatan spiritualitas, tetap melakukan pengobatan dan berusaha ikhlas menerima keadaannya. Bagi Pemerintah/penentu kebijakan dalam menyusun perencanaan perlu memberikan prioritas pada program sosialisasi infertilitas, dikaitkan dengan nilai dan kepercayaan yang masih kuat di masyarakat
ABSTRACT
Getting married and having children are a phase that is undertaken by humans in their life cycle. Most of the people of Indonesia will think that it is not perfect and complete yet if a family is not gifted with the presence of children. Infertility is defined as a condition in which a couple who has married for more than 1 (one) year without using contraception and has not had children when they have been regularly having sexual intercourse as much as one to three times a week. The purpose of this study was to indentify the concept of coping mechanism in the women experiencing infertility influenced by Karonese socio-cultural factor in Kabanjahe Subdistrict, Karo District.
The data for this qualitative study conducted in Kabanjahe involving 4 (four) informants were obtained through in-depth interview by using tape recorder. The data obtained were analyzed according to qualitative research procedures by collecting the verbatim interviews and then were processed through qualitative research method.
The result of this study showed that the psychological responses given by the Karonese women experiencing infertility were sadness, depression and stress. Coping mechanism done included adaptive coping mechanism and maladaptive coping mechanism. The adaptive coping mechanisms done were spiritual elevation, positive thinking, telling the problem to others, adoption, taking medication and being resigned to the problem. While maladaptive coping mechanism done was to withdraw from the environment or neighborhood and to attempt to commit suicide.
It is expected that the women do their best to improve adaptive coping through various ways such as spiritual elevation, keeping doing the treatment, and trying to sincerely accept the condition. The government/policy maker, in planning process, should prioritize the infertility socialization program related to the values and beliefs which are still strongly practiced in the community.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan
menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).
Perkawinan merupakan wujud menyatunya pria dan wanita ke dalam satu
tujuan yang sama, dan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seorang
individu. Menurut Duval dan Miller (2001) perkawinan adalah suatu hubungan yang
diakui secara sosial antara pria dan wanita, yang mensahkan adanya hubungan
seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Widarjono (2007)
mengatakan bahwa tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagian yang langgeng
bersama pasangan hidup.
Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia
dalam siklus kehidupannya. Memiliki keturunan sebagai penerus generasi dirasakan
sebagai satu keharusan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Keberadaan anak
dianggap mampu menyatukan dan menjaga agar suatu keluarga dan pernikahan tetap
utuh (Wirawan, 2004 dalam Aisah, 2010).
Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, keberadaan anak mempunyai nilai
sehingga muncul anggapan dalam masyarakat bahwa keluarga baru dapat dikatakan
lengkap bila pasangan tersebut mampu menghasilkan anak (Pranata, 2009).
Diperolehnya keturunan sangat didambakan oleh tiap pasangan suami istri
(Hidayah, 2005). Memiliki anak yang baik dapat merupakan kebanggaan tersendiri
dan secara ekonomi juga dianggap menguntungkan sebagai infestasi masa tua. Anak
mempunyai peranan sosial yang sangat penting, keberadaan anak menyebabkan
ikatan keluarga menjadi kokoh, tidak mudah goyah, anak merupakan sumber
motivasi keluarga menata masa depan yang lebih baik. Kebanyakan masyarakat
Indonesia akan memandang “belum sempurna dan belum lengkap“ bila suatu
keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak (Samsulhadi, 2005).
Norma budaya masih menghendaki wanita harus menjadi ibu (Albrecht, dkk,
1997). Payne (dalam Burns dan Covington, 1999), menegaskan anggapan kultural
yang sangat kuat bahwa masyarakat sering menanyakan “berapa jumlah anak yang
dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada pasangan suami istri daripada
menanyakan “apakah mereka ingin mempunyai anak”. Dalam realisasinya tidak
semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di tengah
gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (Keluarga Berencana) di
berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami istri yang justru
mengalami kesulian untuk memperoleh anak atau infertilitas (Kasdu, 2001).
Infertilitas dalam bahasa awam disebut tidak subur tetapi bukan kemandulan.
dari satu tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin
melakukan hubungan seksual satu sampai tiga kali dalam seminggu (BKKBN, 2012).
Di seluruh dunia, lebih dari 70 juta pasangan menderita infertilitas , mayoritas
terjadi pada penduduk di negara berkembang (Tabong and Adongo, 2013).
Berdasarkan studi WHO dan laporan lainnya, diamsusikan bahwa secara konservatif
8-12 % pasangan yang mengalami infertilitas selama masa reproduktif mereka. Di
Amerika Serikat, sekitar 2.1 juta pasangan yang sudah menikah mengalami kesulitan
mempunyai anak (Gibson, Donna Myers, Jane E, 2002). Di Australia, 15% atau 3
juta pasangan bermasalah dengan kesuburan (Ried and Alfred, 2013).
Di negara Sub Sahara Afrika didapatkan jumlah pasangan infertil tertinggi
mencapai 30 persen atau lebih pada beberapa area (Mogobe, 2005). Di Ghana,
infertilitas merupakan masalah kesehatan yang dialami 15 persen dari pasangan usia
subur (Afr J Reprod Health, 2009). Di Indonesia, kejadian infertilitas menurut
Inspektorat Pelayanan dan Statistik Nasional hasil pendataan tahun 2000
menunjukkan jumlah pasangan usia subur (PUS) di Indonesia adalah sebanyak
38.783.347 pasangan. 15% atau sekitar 5.812.502 PUS di Indonesia mengalami
infertilitas atau kesulitan untuk mempunyai anak (Samsulhadi, 2005).
Angka infertilitas di Indonesia yang dikemukakan oleh Sumapraja (2005)
berkisar 12-15 persen. Banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat
diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak
yang masih hidup. Menurut sensus penduduk terdapat 12 persen, baik di desa ataupun
2005), dari jumlah tersebut terdapat perempuan infertil 15 % pada usia 30-34 tahun,
30 % pada usia 35-39 tahun, dan 64 % pada usia 40-44 tahun (Hestiantoro, 2008).
Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita mengetahui ketidakharmonisan
rumah tangga karena tidak adanya anak sebagai buah dari suatu perkawinan. Tidak
jarang kondisi tersebut kemudian berakhir dengan terjadinya poligami dan
perceraian. Secara statistik belum ditemukan data yang mengemukakan besaran
kejadian poligami dan perceraian karena alasan tidak punya anak. Namun studi yang
dilakukan Rahmani dan Abrar (1999) menunjukkan keterkaitan perceraian dengan
faktor ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa laki-laki mempunyai
kecenderungan untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan
anak. Ketidakhadiran seorang anak dalam rumah tangga tentunya akan mempunyai
konsekuensi tersendiri. Kondisi yang tidak menggembirakan adalah satu kenyataan
bahwa kasus infertil dalam suatu lingkungan sosial budaya mengandung bias jender
(Pranata, 2009).
Pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sering kali mengalami
perasaan tertekan terutama pihak wanita yang pada akhirnya dapat jatuh pada
keadaan depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan. Perasaan yang dialami para
wanita tersebut timbul sebagai akibat dari hasil pemeriksaan, pengobatan dan
penanganan yang terus menerus tidak membuahkan hasil. Hal inilah yang
mengakibatkan wanita merasa kehilangan kepercayaan diri serta perasaan tidak enak
berada. Keadaan wanita yang lebih rileks ternyata lebih mudah hamil dibandingkan
dengan wanita yang selalu dalam keadaan stress (Ferrystoner, 2013).
Bagi masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga, yaitu ada ayah, ibu dan
anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang
budaya dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki beberapa fungsi. Pertama,
anak sebagai simbol kesuburan dan keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah
banyak anak banyak rejeki. Keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai
kegagalan besar. Kedua, anak sebagai pelanjut keturunan. Ketiga, anak sebagai teman
dan penghibur. Keempat, anak merupakan amanat dan anugerah Tuhan yang tidak
boleh disia-siakan. Kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong
orangtuanya di dunia dan akhirat (Moelok, 1986 dalam Aisah, 2010).
Hasil penelitian Anggraeni, 2009 tentang dukungan sosial yang diterima oleh
perempuan yang belum berhasil dalam pengobatan infertilitas menunjukkan bahwa
perempuan yang infertil memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dengan
mengganggap bahwa penyebab belum ada anak dalam pernikahannya adalah hanya
karena adanya masalah pada diri perempuan, para perempuan juga merasa bersalah
karena belum bisa memberi keturunan untuk suami dan keluarga besarnya, mereka
menjadi mudah tersinggung, sensitif dan merasa tidak nyaman dan menghindari
pembicaraan ataupun pertanyaan seputar keberadaan anak yang belum juga hadir
dalam pernikahannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana (2005) menunjukkan meskipun
sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen
pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari
alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara
bertanya terhadap tenaga kesehatan yang menangani masalahnya dan berbagai
dengan pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan
dengan masalah infertilitas (Tirtaonggana, 2005 dalam Anggraeni, 2009).
Jika individu berada pada posisi stress, manusia akan menggunakan berbagai
cara untuk mengatasinya. Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan
hidup tanpa anak-anak. Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk
memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari
stress yang berkepanjangan(Tabong and Adongo, 2013).
Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan
bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam
menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita
infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah.
Dalam mengatasi masalah berkaitan dengan infertilitas pasangan menggunakan
mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non
medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah
dari kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah
Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal.
Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam
keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya
(Koentjaraningrat, 1999). Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal
yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju
masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki, karena ini
berhubungan dengan penerus keturunan dari klannya.
Pada suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah
bertahun-tahun membina rumah tangga, ada upacara yang dipercayai dan dilakukan orang
Karo untuk memperoleh keturunan yaitu Upacara Nengget. Nengget adalah upacara
yang dilakukan dengan memberikan kejutan (sengget), ke suatu keluarga dengan
alasan tertentu dan dengan tujuan tertentu, tidak boleh diketahui sebelumnya oleh
keluarga yang akan di sengget dan dianggap batal dan tidak berhasil jika mereka
mengetahuinya. Kegiatan ini juga akan dilakukan jika keluarga tersebut hanya
memiliki anak perempuan saja karena dianggap belum sempurna (Tarigan, 2010).
Perempuan pada suku Karo dianggap sebagai tanah ataupun lahan yang akan
ditanami. Jika tidak dapat memiliki keturunan dianggap tanah itu tandus dan gersang
sehingga jika ditanam bibit yang bagus sekalipun pasti tidak akan pernah tumbuh.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan cara melakukan komunikasi
personal terhadap seorang perempuan suku Karo berinisial (BS), yang bercerai
dengan suaminya pada tahun keempat perkawinan mereka. Hal ini terjadi karena
suaminya. Pada awal perkawinan suami dan mertuanya sangat sayang dan perhatian
terhadap ibu BS, karena merupakan menantu perempuan satu-satunya di keluarga dan
statusnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil. Memasuki tahun kedua perkawinan,
mertuanya khawatir dan mulai terlihat tidak menyukai ibu BS karena belum ada
tanda-tanda hamil. Suaminya yang selama ini sabar dan mendukungnya juga
mengalami perubahan, selalu menyalahkan ibu BS atas keadaan yang terjadi, karena
sejak gadis memang siklus haid ibu BS tidak teratur karena ada kista di rahimnya
tetapi pada bulan keenam perkawinan mereka sudah diobati dan dinyatakan sembuh
oleh dokter.
Ibu BS mengatakan bahwa belum mempunyai anak merupakan stresor bagi
dirinya dan pasangan. Adanya pertanyaan dari keluarga, tetangga dan teman dekat
akan kehadiran anaknya semakin menimbulkan rasa sedih, hal yang paling membuat
sedih kalau mengingat mertuanya yang selalu sengaja menyakiti hatinya dengan
mengingatkan mantan-mantan pacar anaknya yang semuanya sudah memiliki anak,
seakan-akan menyesal memiliki menantu BS dan selalu berusaha agar ibu BS terlihat
buruk di mata suaminya.
Suami BS yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dan selama ini dekat
sekali dan patuh kepada ibunya lebih memilih ibunya dibanding ibu BS, suaminya
mengatakan tidak perlu lagi berobat kemana-mana karena ibu BS pasti penyebabnya
karena BS adalah perempuan mandul. Karena kondisi keluarganya yang tidak pernah
suami kehidupannya justru lebih nyaman, tidak tertekan, lebih bebas dan menjadi
lebih pemberani (Komunikasi interpersonal BS, tanggal 8 Februari 2013).
Dengan melihat uraian diatas, penelitian ini akan mempelajari secara
mendalam tentang mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang
dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo
serta mendapatkan informasi secara detail dan jelas tentang bermacam upaya untuk
menanggulangi permasalahannya. Terlebih lagi, adanya perspektif baru dalam
memandang masalah kesehatan dan penyakit yang tidak hanya melibatkan aspek
biologis, melainkan juga aspek psikologis dan sosial, maka sangat terasa kebutuhan
untuk menggali informasi yang lebih kaya tentang sumbangan aspek psikologis
terhadap kesehatan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah “Bagaimana mekanisme koping pada perempuan suku Karo yang mengalami
infertilitas?”
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi konsep tentang mekanisme koping pada perempuan
yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi faktor sosial budaya Karo di
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah kepustakaan khususnya yang
berkaitan dengan teori dan konsep mekanisme koping pada perempuan yang
mengalami infertilitas yang dipengaruhi sosial budaya Karo
1.4.2. Bagi Perempuan yang Mengalami Infertilitas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan
yang berharga bagi ibu yang mengalami infertilitas dalam melihat dan belajar
melalui pengalaman serupa dalam menjalani infertilitas dan mengatasi
permasalah yang ada serta mendapat gambaran untuk menggunakan
mekanisme koping dan beradaptasi dengan masalah infertilitas
1.4.3. Bagi Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
mekanisme koping perempuan yang mengalami infertilitas yang dipengaruhi
oleh sosial budaya Karo. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
masukan dalam pembuatan program kesehatan bagi perempuan yang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infertilitas
Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri
belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak
2 – 3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi
jenis apapun (Djuwantoro, 2008).
Menurut Kasdu (2001), infertilitas adalah bila pasangan suami istri, setelah
bersanggama secara teratur 2-3 kali seminggu, tanpa memakai metode pencegahan
belum mengalami kehamilan selama satu tahun.
Pasangan suami istri dianggap infertil apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Pasangan tersebut berkeinginan untuk memiliki anak.
b. Selama satu tahun atau lebih berhubungan seksual, istri sebelum mendapatkan
c. Frekuensi hubungan seksual minimal 1– 3 kali dalam setiap minggunya.
d. Istri maupun suami tidak pernah menggunakan alat ataupun metode kontrasepsi,
baik kondom, obat-obatan dan alat lain yang berfungsi untuk mencegah
(Djuwantono, 2008).
Secara medis infertilitas dibagi menjadi dua jenis, yaitu infertilitas primer
setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa
menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun dan infertilitas sekunder yang
berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya tetapi saat
ini belum mampu memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual
sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi jenis
apapun (Kasdu, 2001).
2.1.1. Faktor Penyebab Infertilitas
Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak pada
tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada tahun
ke-2 dari usia pernikahannya. Sebanyak 10% - ke-20% sisanya akan memiliki anak pada
tahun ke-3 atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.
Walaupun pasangan suami istri dianggap infertil bukan tidak mungkin kondisi
infertil sesungguhnya hanya dialami oleh sang suami atau sang istri. Hal tersebut
dapat dipahami karena proses pembuahan yang berujung pada
lahirnya seorang manusia baru merupakan kerjasama antara suami dan istri.
Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua faktor yang harus dipenuhi adalah:
a. Suami memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu
menghasilkan dan menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) ke dalam organ
reproduksi istri
b. Istri memiliki sistem dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu
menghasilkan sel kelamin wanita (sel telur atau ovum)
Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian
membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri
40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan
bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.
2.1.1.1. Berbagai Gangguan yang Memicu terjadinya Infertilitas pada Wanita
a. Gangguan Organ Reproduksi
1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan membunuh
sperma dan pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma
ke vagina.
2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu
pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan
sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu, bekas operasi pada serviks yang
menyisakan jaringan parut juga dapat menutup serviks sehingga sperma tidak
dapat masuk ke rahim
3. Tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi
obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu.
b. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti
adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh
besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor cranial,
hipotalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi kedua hormon ini, maka
folikel mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada gangguan ovulasi.
c. Kegagalan Implantasi
Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam
mempersiapkan endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses
nidasi pada endometrium tidak berlangsung baik. Akibatnya fetus tidak dapat
berkembang dan terjadilah abortus.
e. Endometriosis
f. Faktor Immunologis
Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu
memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat
menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.
g. Lingkungan
Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas anastesi, zat kimia, dan
pestisida dapat menyebabkan toksik pada seluruh bagian tubuh termasuk organ
reproduksi yang akan mempengaruhi kesuburan.
2.1.1.2. Penyebab Infertilitas pada Pria
a. Kelainan pada Alat Kelamin
1. Hipospadia yaitu muara saluran kencing letaknya abnormal, antara lain pada
permukaan testis
2. Ejakulasi retrograd yaitu ejakulasi dimana air mani masuk kedalam kandung
3. Varikokel yaitu suatu keadaan dimana pembuluh darah menuju buah zakar
terlalu besar, sehingga jumlah dan kemampuan gerak spermatozoa berkurang
yang berarti mengurangi kemampuannya untuk menimbulkan kehamilan
4. Testis tidak turun dapat terjadi karena testis atrofi sehingga tidak turun
b. Kegagalan Fungsional
1. Kemampuan ereksi kurang
2. Kelainan pembentukan spermatozoa
3. Gangguan pada sperma
c. Gangguan di Daerah Sebelum Testis (Pre Testicular)
Gangguan biasanya terjadi pada bagian otak, yaitu hipofisis yang bertugas
mengeluarkan hormon FSH dan LH. Kedua hormon tersebut mempengaruhi testis
dalam menghasilkan hormon testosteron, akibatnya produksi sperma dapat
terganggu serta mempengaruhi spermatogenesis dan keabnormalan semen. Terapi
yang bisa dilakukan untuk peningkatan testosteron adalah dengan terapi hormon.
d. Gangguan di Daerah Testis (Testicular)
Kerja testis dapat terganggu bila terkena trauma pukulan, gangguan fisik, atau
infeksi. Bisa juga terjadi, selama pubertas testis tidak berkembang dengan baik,
sehingga produksi sperma menjadi terganggu. Dalam proses produksi, testis
sebagai pabrik sperma membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu tubuh,
yaitu 34–35 °C, sedangkan suhu tubuh normal 36,5–37,5 °C. Bila suhu tubuh
e. Gangguan di Daerah Setelah Testis (Post Testicular)
Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat disalurkan
dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu. Penyebabnya bisa jadi bawaan
sejak lahir, terkena infeksi penyakit (seperti tuberkulosis), serta vasektomi yang
memang disengaja.
f. Tidak Adanya Semen
Semen adalah cairan yang mengantarkan sperma dari penis menuju vagina. Bila
tidak ada semen maka sperma tidak terangkut (tidak ada ejakulasi). Kondisi ini
biasanya disebabkan penyakit atau kecelakaan yang memengaruhi tulang
belakang.
g. Kurangnya Hormon Testosteron
Kekurangan hormon ini dapat mempengaruhi kemampuan testis dalam
memproduksi sperma.
2.1.1.3. Penyebab pada Suami dan Istri
a. Gangguan pada Hubungan Seksual
Kesalahan teknik sanggama dapat menyebabkan penetrasi tak sempurna ke vagina,
impotensi, ejakulasi prekoks, vaginismus, kegagalan ejakulasi, dan kelainan
anatomik seperti hipospadia, epispadia.
b. Faktor Psikologis antara Kedua Pasangan (suami dan istri)
- Masalah tertekan karena sosial ekonomi belum stabil
c. Emosi karena Didahului Orang Lain Hamil
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada faktor di luar organ
yang mempengaruhi ketidaksuburan, yaitu :
1. Faktor Usia
Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selama masih mengalami
haid yang teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Kejadian infertilitas
berbanding lurus dengan pertambahan usia perempuan. Perempuan dengan
rentang 19-26 tahun memiliki kemungkinan untuk hamil dua kali lebih besar
daripada perempuan dengan rentang usia antara 35-39 tahun (Hestiantoro,
2008).
Penelitian menunjukkan hanya sepertiga pria berumur diatas 40 tahun yang
mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibanding dengan pria yang
berumur dibawah 25 tahun. Selain itu, usia yang semakin tua juga
mempengaruhi kualitas sel sperma (Kasdu, 2001)
2. Berat Badan
Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih (over weight) atau
mengalami kegemukan (obesitas), atau yang memiliki lemak tubuh 10-15%
diatas lemak tubuh normal, maka perempuan tersebut akan menderita
gangguan pertumbuhan folikel di ovarium yang terkait dengan sebuah sindrom
ovarium poli kistik. Di samping berat badan yang berlebih maka berat badan
yang rendah juga dapat mengganggu fungsi fertilitas seorang perempuan. Zat
pembentukan hormon reproduksi, sehingga pada perempuan kurus akibat
asupan gizi yang sangat kurang akan mengalami defesiensi hormon reproduksi
yang berakibat terhadap peningkatan kejadian infertilitas pada perempuan
tersebut (Kasdu, 2001).
3. Gaya Hidup
Gaya hidup yang dimaksud adalah pola makan dan kebiasaan sehari-hari.
Merokok dapat menjadi salah satu penyebab infertilitas. Di samping itu
penyalahgunaan obat narkotika juga dapat menurunkan produksi hormon
reproduksi. Alkohol telah pula terbukti menjadi penyebab gagalnya preses
implantasi (Kasdu, 2001).
4. Lingkungan
Beberapa zat polutan seperti saat ini dicurigai memiliki kaitan yang erat dengan
tingginya kejadian infertilitas akibat endometriosis terutama bagi perempuan
yang tinggal di daerah perkotaan (Kasdu, 2001).
2.1.1.4. Faktor Penyebab Infertilitas dari Segi Psikologis
Kesuburan wanita secara mutlak dipengaruhi oleh proses-proses fisiologis dan
anatomis, di mana proses fisiologis tersebut berasal dari sekresi internal yang
mempengaruhi kesuburan. Dalam hal ini kesuburan wanita itu merupakan satu unit
psikosomatis yang selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor psikis dan faktor
organis atau fisis. Kesulitan-kesulitan psikologis ini berkaitan dengan koitus dan
kehamilan, yang biasanya mengakibatkan ketidakmampuan wanita menjadi hamil.
berkaitan dengan fungsi reproduksi yang menimbulkan dampak yang merintangi
tercapainya orgasme pada koitus. Pada umumnya dinyatakan bahwa sebab yang
paling banyak dari kemandulan adalah ketakutan-ketakutan yang tidak disadari atau
yang ada dibawah sadar, yang infantile atau kekanak-kanakan sifatnya.
Penelitian kedokteran juga menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin
dan kadar Lutheinizing Hormon (LH) berhubungan erat dengan masalah psikis.
Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan
murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat
mengganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang
mempengaruhi terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).
Perasaan tertekan atau tegang yang dialami wanita berpengaruh terhadap
fungsi hipotalamus yang merupakan kelenjar otak yang mengirimkan sejumlah sinyal
untuk mengeluarkan hormon stres keseluruh tubuh. Hormon stress yang terlalu
banyak keluar dan lama akan mengakibatkan rangsangan yang berlebihan pada
jantung dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Kelebihan hormon stres juga dapat
mengganggu keseimbangan hormon, sistem reproduksi ataupun kesuburan.
Pernyataan ini seperti dikemukakan oleh Mark Saver pada penelitiannya tahun 1995,
mengenai Psychomatic Medicine yang menjelaskan bahwa wanita dengan riwayat
tekanan jiwa kecil kemungkinan untuk hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak
mengalaminya. Hal ini terjadi karena wanita tersebut mengalami ketidakseimbangan
hormon (hormon estrogen). Kelebihan hormon estrogen akan memberikan sinyal
mencukupi. Akibatnya akan terjadi kekurangan hormon progesteron yang
berpengaruh terhadap proses terjadinya ovulasi (Kasdu, 2001).
2.1.2. Penatalaksanaan Infertilitas 2.1.2.1. Penatalaksanaan pada wanita
Langkah pertama adalah anamnesis, ini merupakan cara yang terbaik untuk
mencari penyebab infertilitas pada wanita. Banyak faktor penting yang berkaitan
dengan infertilitas dapat ditanyakan pada pasien. Anamnesis meliputi hal-hal berikut,
misalnya lama fertilitas, riwayat haid, ovulasi, dan dismenorea, riwayat sanggama,
frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi pascapartum, abortus,
kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, kontrasepsi yang pernah digunakan,
pemeriksaan infertilitas dan pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sistematik
(tuberkulosis, diabetes melitus, tiroid), pengobatan radiasi, sitostatika, alkoholisme,
riwayat bedah perut/hipofisis/ginekologi, riwayat PID, PHS, leukorea, riwayat keluar
ASI dan pengetahuan kesuburan.
Langkah kedua adalah analisis hormonal, dilakukan jika dari hasil anamnesis
ditemukan riwayat, atau sedang mengalami gangguan haid, atau dari pemeriksaan
dengan suhu basal badan ditemukan anovulasi. Hiperprolaktinemia menyebabkan
gangguan sekresi GnRH yang akibatnya terjadi anovulasi. Kadar normal prolaktin
adalah 5-25 ng/ml. Pemeriksaan dilakukan antara pukul 7 sampai 10. Jika ditemukan
kadar prolaktin >50 ng/ml disertai gangguan haid, perlu dipikirkan ada tumor di
hipofisis. Pemeriksaan gonadotropin dapat memberi informasi tentang penyebab tidak
Langkah III adalah uji pasca-sanggama. Tes ini dapat memberi informasi
tentang interaksi antara sperma dan getah serviks. Jika hasil uji pasca senggama
negatif, perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap sperma. Hasil uji pasca senggama
yang normal dapat menyimpulkan penyebab infertilitas suami.
Langkah IV adalah penilaian ovulasi. Penilaian ovulasi dapat diukur dengan
pengukuran suhu basal badan (SBB). SBB dikerjakan setiap hari pada saat bangun
pagi hari, sebelum bangkit dari tempat tidur, atau sebelum makan atau minum. Jika
wanita memiliki siklus haid berovulasi, grafik akan memperlihatkan gambaran
bifasik, sedangkan yang tidak berovulasi gambaran grafiknya monofasik.
Pada gangguan ovulasi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui, induksi
ovulasi dapat dicoba dengan pemberian estrogen (umpan balik positif) atau
antiestrogen (umpan balik negatif). Untuk umpan balik negatif, diberikan klomifen
sitrat dosis 50-100 mg, mulai hari ke-5 sampai ke-9 siklus haid. Jika dengan
pemberian estrogen dan klomifen sitrat tidak juga terjadi sekresi gonadotropin, untuk
pematangan folikel terpaksa diberikan gonadotropin dari luar. Cara lain untuk menilai
ovulasi adalah dengan USG. Jika diameter folikel mencapai 18-25 mm, berarti
menunjukkan folikel yang matang dan tidak lama lagi akan terjadi ovulasi.
Langkah V yaitu pemeriksaan bakteriologi. Perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologi dari vagina dan porsio. Infeksi akibat Clamydia trachomatis dan
gonokokus sering menyebabkan sumbatan tuba. Jika ditemukan riwayat abortus
berulang atau kelainan bawaan pada kehamilan sebelumnya perlu dilakukan
Langkah VI adalah analisis fase luteal. Kadar estradiol yang tinggi pada fase
luteal dapat menghambat implantasi dan keadaan seperti ini sering ditemukan pada
unexplained infertility. Pengobatan insufisiensi korpus luteum dengan pemberian
sediaan progesteron alamiah. Lebih diutamakan progesteron intravagina dengan dosis
50- 200 mg daripada pemberian oral.
Langkah VII yaitu diagnosis tuba falopii. Karena makin meningkatnya
penyakit akibat hubungan seksual, pemeriksaan tuba menjadi sangat penting. Tuba
yang tersumbat, gangguan hormon, dan anovulasi merupakan penyebab tersering
infertilitas. Untuk mengetahui kelainan pada tuba tersedia berbagai cara, yaitu uji
insuflasi, histerosalpingografi, gambaran tuba falopii secara sonografi, hidrotubasi,
dan laparoskopi. Penanganan pada tiap predisposisi infertilitas bergantung pada
penyebabnya, termasuk pemberian antibiotik untuk infertilitas yang disebabkan oleh
infeksi. (Timang, 2011)
2.1.2.2. Penatalaksanaan pada Pria
Umumnya adalah dengan analisis sperma. Dari hasil analisis sperma dapat
terlihat kualitas dan kuantitas dari spermatozoa. Jika ditemukan fruktosa di dalam
semen, harus dilakukan tindakan biopsi testis. Jika tidak ditemukan fruktosa di dalam
semen, menunjukkan tidak adanya kelainan vesikula dan vasa seminalis yang bersifat
congenital (Timang, 2011).
Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi, seperti perbaikan
memperhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang mengandung
spermatisida (Ferrystoner, 2013)
2.1.3. Pencegahan Infertilitas
a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi
prostate, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi di daerah
tersebut harus ditangani serius.
b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitian menunjukkan pengaruh
buruk rokok terhadap jumlah dan kualitas sperma.
c. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormon
testosteron yang tentunya akan menganggu pertumbuhan sperma.
d. Seringkali sebabkan oleh penyakit menular seksual, karena itu dianjurkan untuk
menjalani perilaku seksual yang aman guna meminimalkan risiko kemandulan
dimasa yang akan datang.
e. Imunisasi gondongan/mumps telah terbukti mampu mencegah gondongan dan
komplikasinya pada pria (orkitis). Kemandulan akibat gondongan bisa dicegah
dengan menjalani imunisasi gondongan.
f. Beberapa jenis alat kontrasepsi memiliki risiko kemandulan lebih tinggi misalnya
IUD. IUD tidak dianjurkan untuk dipakai pada wanita yang belum pernah
memiliki anak. (Ferrystoner, 2013).
2.1.4. Respon Psikologis Pasangan yang Mengalami Infertilitas
Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan
dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan
menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997;
Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya
adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis
oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu
penyebabnya (perempuan atau laki-laki). Masalah infertilitas juga menyebabkan stres
pada laki-laki, namun stres lebih banyak dan lebih cepat dialami oleh perempuan
(Watkins & Baldo, 2005). Tidak jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat
ketidakadilan memandang masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya
perempuan yang menjadi korban baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun
psikososial (Greil, 1997 dalam Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer,
2002 dalam Watkins & Baldo, 2004; Old, London & Ladewig, 2000).
Isu ketidaksuburan secara fisik memang tidak mengancam kehidupan dan
bukan merupakan suatu penyakit, namun dampak psikologis yang terjadi mungkin
dapat sebanding dengan penyakit kronis (Anwar, 1997; Benyamini, Gozlan & Kokia,
2004). Adanya konflik-konflik emosional dan penghayatan perasaan akan dirinya
berbeda dengan wanita yang memiliki anak akan mengurangi kegembiraan dan
kebahagiaanya. Disisi lain, kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang
merupakan indikator yang penting bagi kesehatan mental.
Masalah kehamilan, melahirkan anak dan menjadi seorang ibu merupakan isu
yang sangat kompleks dalam masyarakat. Perempuan yang mengalami infertilitas
didefenisikan secara biologis yaitu perempuan yang hamil, melahirkan kemudian
mengasuh sedangkan bapak lebih didefenisikan secara sosial,laki-laki membutuhkan
anak sebagai ahli waris, penerus garis keluarga dan untuk menunjukkan maskulinitas
mereka (Hardy & Makach, 2001; Widge, 2001).
Pada umumnya perempuan akan menginternalisasi perannya sebagai ibu yang
harus melahirkan anak, sehingga ketika pasutri menghadapi masalah infertilitas, maka
perempuan akan merasa tidak mempunyai nilai, dan ditandai dengan timbulnya
perasaan takut, cemas dan lain-lain. Masalah utama infertilitas secara sosial adalah
berhubungan dengan kekeluargaan, warisan, pola perkawinan dan perceraian. Hal ini
akan mengancam identitas kewanitaan, legalitas wanita sebagai istri, stabilitas
perkawinan mereka, ikatan dan perannya dalam keluarga dan masyarakat, harga
diripun menurun sehingga timbul frustasi dan perasaan tidak berdaya (Lee, Sun &
Chao; Widge, 2001).
Masalah psikologis yang terjadi pada wanita yang menghadapi infertilitas juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lee (2001) terhadap yang mengalami
infertilitas di Thailand memperoleh hasil terjadinya peningkatan kecemasan dan
ketegangan pada perempuan yang mengalami infertilitas. Kecemasan dan ketegangan
ini mengganggu dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya sikap curiga
yang berlebihan ketika berbicara dengan orang lain dan mudah terpicunya emosi jika
ada pernyataan orang lain yang dianggap menyinggung harga dirinya sebagai
Hasil penelitian Tabong and Adongo, 2013 di Ghana Utara, yang meneliti
pengalaman pasangan infertil menunjukkan bahwa mereka merasa tertekan, frustrasi,
menarik diri dari pergaulan, merasa terhina dan dianggap terkutuk bukan hanya di
dunia tetapi juga di akhirat. Perempuan dilaporkan lebih khawatir tentang
ketidakmampuan mereka untuk melahirkan anak daripada laki-laki. Perempuan tanpa
anak-anak di usia tua mereka sering dicap sebagai penyihir dan ditinggalkan oleh
keluarga mereka.
Perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan anak-anak
orang lain karena mereka dianggap bisa menyihir dan menyebabkan kematian
anak-anak orang lain. Wanita infertil berbahaya bagi masyarakat di usia tua mereka karena
mereka menjadi iri terhadap anak orang lain dan dapat menyebabkan kematian
anak-anak orang lain. Ketidakbahagiaan mereka juga memiliki dampak langsung pada
kehidupan seksual mereka yakni berkurangnya minat dalam aktivitas seksual dengan
pasangan mereka.
Beberapa reaksi psikologis pada pasangan yang mengalami infertilitas :
1. Shock
Shock dan terkejut merupakan reaksi awal yang sering ditemui pada pasangan
infertilitas, biasanya pada pasangan yang sehat berharap tidak ada masalah untuk
bisa mempunyai keturunan. Reaksi mereka berbeda-beda tergantung dari
2. Guilt
Salah satu pasangan yang di diagnosa mengalami masalah infertilitas mungkin
merasa bersalah karena dia yang menyebabkan tidak bisa mempunyai anak.
Menyesali perilaku masa lalu yang ternyata mempengaruhi kesuburan mereka,
seperti praktek seksual yang tidak sehat yang mengakibatkan infeksi pada organ
reproduksi.
3. Isolation
Pasangan yang mengalami masalah infertilitas seringkali merasa berbeda dari
pasangan lain yang subur, mereka mungkin mengisolasi diri dari orang-orang,
untuk menghindari rasa sakit emosional, dengan melakukan itu mereka juga
mengisolasi diri dari sumber-sumber dukungan.
4. Depression
Salah satu atau kedua pasangan yang mengalami infertilitas mungkin mengalami
depresi, terutama jika terapi tidak berhasil dengan cepat. Harapan dan
keputusasaan untuk hamil datang silih berganti di setiap siklus menstruasi, tetapi
dalam jangka waktu panjang utuk mengurangi kekecewaan mereka mencoba
untuk tidak terlalu berharap banyak. Dalam hal ini mungkin pasangan pun bisa
marah dan menghakimi orang lain.
Infertilitas memberikan dampak yang besar pada kesejahteraan fisik dan
psikologis seseorang. Proses pengobatan infertilitas merupakan metode invasif
yang membutuhkan waktu yang lama dan merupakan prosedur yang membuat
Banyak pasangan yang merasa ternoda dan malu karena mereka
mengalami infertilitas. Pengalaman infertilitas membuat mereka terisolasi
sehingga menimbulkan stres dan cemas dalam berbagai aspek kehidupan
sehari-hari mereka. Tingkat keberhasilan pengobatan rendah, sehingga banyak pasangan
yang mengalami kesedihan dan kehilangan yang berulang sehingga membuat
depresi. Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan juga dapat membuat stres
pasangan yang sedang menjalani pengobatan. Masalah emosi yang muncul pada
pasangan yang infertil yaitu, kehilangan harga diri, berkabung, ancaman, rasa
bersalah, masalah perkawinan dan juga masalah kesehatan.
2.2. Mekanisme Koping 2.2.1. Pengertian Koping
Koping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah pengatasan atau
penanggulangan (to cope with artinya mengatasi/menanggulangi).
Koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan.
Koping sering dimaknai sebagai cara memecahkan masalah (problem solving).
Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga
bersifat kognitif.
Koping diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai
situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan atau ancaman. Jadi
koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi
2.2.2. Pengertian Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang ditujukan untuk
penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2007)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang
dimulai sejak awal timbulnya stressor dan saat mulai disadari dampak stressor
tersebut. Kemampuan belajar ini tergantung pada kondisi eksternal dan internal,
sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor
tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor
tersebut.
Mekanisme koping bersumber dari ego, sering di sebut sebagai mekanisme
pertahanan mental, yaitu yang terdiri dari; denial ( menyangkal) menghindarkan
realitas ketidak setujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya,
projeksi yaitu mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada
objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain, regresi
yaitu menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan
yang lebih awal, displacement (mengisar) yaitu mengalihkan emosi yang seharusnya
diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak
membahayakan, mencari dukungan sosial seperti keluarga mencari dukungan atau
bantuan dari keluarga, tetangga, teman atau keluarga jauh, reframing yaitu mengkaji
ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya, mencari
pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah, dan yang terakhir adalah
menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan, keluarga berusaha mencari
sumber-sumber komunitas dan menerima bantuan orang lain.
Mekanisme koping yang berorientasi pada tugas digunakan untuk
menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar.
Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu; prilaku menyerang
(Fight), prilaku menarik diri (withdrawl), dan kompromi (Rasmun, 2004).
Pada prilaku menyerang, individu menggunakan energinya untuk melakukan
perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya. Prilaku yang
ditampilkan dapat merupakan tindakan konstruktif maupun destruktif yaitu tindakan
agresif (menyerang) terhadap obyek, dapat berupa benda, barang, orang lain atau
bahkan terhadap diri sendiri. Sedangkan tindakan konstruktif adalah upaya individu
dalam menyelesaikan masalah secara asertif, yaitu dengan kata-kata terhadap rasa
ketidak senangannya. Seperti kompromi juga merupakan tindakan konstruktif yang
dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah. Lazimnya kompromi
dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi. Secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan
masalah dapat diselesaikan.
Prilaku menarik diri adalah perilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari
lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar pergi
meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya; individu
infeksi. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis,
pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu
(Rasmun, 2004).
Menurut Stuart dan Sundeen (2005), mekanisme koping juga dapat di
golongkan menjadi 2 (dua) yaitu : mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping
maladaptif. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan yang dianggap sebagai sinyal
peringatan dan individu menerima peringatan dan individu menerima kecemasan itu
sebagai tantangan untuk di selesaikan). Sedangkan mekanisme koping maladaptif
adalah mekanisme yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan
cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak
makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu
konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi).
2.2.3. Mekanisme Koping Perempuan yang Mengalami Infertilitas
Penelitian yang dilakukan oleh Tirtaonggana (2005) menunjukkan meskipun
infertilitas merupakan stressor yang berat namun tidak semua pasangan memiliki
sikap yang negatif, terdapat pasangan yang semakin menguatkan komitmen
pernikahan, mendekatkan diri kepada Tuhan, saling menguatkan agar sabar, mencari
alternatif sebagai solusi terhadap masalah ketidakhadiran seorang anak dengan cara
pasangan lain yang memiliki masalah yang sama. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan adanya pengaruh positif dukungan yang diberikan kepada perempuan
dengan masalah infertilitas.
Jika individu berada pada posisi stress manusia akan menggunakan berbagai
cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping
yang tersedia. Seseorang yang mengalami masalah serius dan dianggap sebagai
penyakit akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya yang
tampak pada perilakunya sehari-hari. Individu memerlukan segala usaha untuk
mengatasi stress akibat kondisi yang dialaminya.
Memiliki strategi koping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa
anak-anak . Mekanisme koping tergantung pada sumber daya internal seperti kekuatan
batin, rasa percaya diri, dan penerimaan yang benar tentang nasib mereka, mampu
bergantung pada struktur dukungan atau mencoba untuk melanjutkan dengan
berfokus pada masa depan.
Mekanisme koping dapat digunakan individu untuk memecahkan masalah,
koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stress yang
berkepanjangan(Tabong and Adongo, 2013).
Studi tentang mekanisme koping pada penderita infertilitas menunjukkan
bahwa mekanisme koping memiliki keterkaitan dengan respon individu dalam
menghadapi masalah, hasil studi menunjukkan bahwa perempuan penderita
infertilitas mengalami respon kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah.
mekanisme koping dengan cara melakukan pengobatan secara medis maupun non
medis, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mengambil hikmah dari
kondisi dan mencari dukungan keluarga, teman serta menceritakan masalah kepada
orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Ernestine S Donker and Jane Sandall tentang
strategi koping perempuan dalam mencari pengobatan infertilitas di Ghana Utara
menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh para perempuan adalah
95 % mempunyai harapan situasinya akan berubah, menceritakan masalah kepada
orang lain untuk mendapatkan solusi, 41 % mencari pengobatan dari profesional, 85
% menyimpan perasaannya sendiri dan 95 % percaya bahwa Tuhan akan memberikan
yang terbaik.
Hasil studi Davis & Dearman di Amerika menunjukkan banyak perempuan
yang mengalami kesedihan mendalam dan frustasi, dengan melampiaskan emosi dan
menangis biasanya mereka akan merasa lebih baik. Woolet, dalam sebuah studi di
Amerika Serikat menemukan bahwa koping yang dilakukan perempuan yang infertil
adalah mencari bantuan medis dan menambah pengetahuan mengenai infertilitas.
Hasil penelitian Parry di Amerika Serikat, Unisa di India dan Davis & Dearman di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa mekanisme koping yang dilakukan perempuan
adalah dengan banyak membaca dan belajar mengenai keadaan mereka, berdoa dan
2.3. Infertilitas Dilihat dari Faktor Budaya
Berbagai budaya di belahan dunia masih menggunakan simbol dan upacara
adat untuk merayakan fertilitas ataupun keberhasilan pasangan dalam memperoleh
keturunan. Salah satu upacara yang masih bertahan sampai saat ini ialah adat istiadat
melempar beras ke arah pengantin pria dan wanita. Ada juga yang memberikan
rokok, permen ataupun pensil sebagai ucapan selamat kepada pria yang baru menjadi
ayah sebagai antisipasi kelahiran anak. Banyak budaya yang masih menjamur
terutama ditengah-tengah masyarakat kita yang menyatakan bahwa suatu
ketidaksuburan itu merupakan tanggung jawab wanita (Ferrystoner, 2013).
Beberapa budaya menganggap suatu ketidaksuburan merupakan
tanggungjawab perempuan. Terlepas dari penyebab medis infertilitas, perempuan
menerima kesalahan utama atas kemunduran reproduksi dan mereka menderita
kesedihan pribadi dan frustrasi, stigma sosial, pengucilan dan kesulitan ekonomi yang
serius (Tabong and Adongo, 2013). Ketidakmampuan perempuan untuk mengandung
dihubungkan dengan dosa-dosanya, perbuatan yang tidak senonoh dimasa lalu, dan
menunjukkan bahwa perempuan adalah individu yang tidak adekuat (Anwar, 1997;
Olds, London, Ladewig, 2000). Perempuan pada awalnya merasa bahwa dirinya
adalah penyebab ketidaksuburan, dan seringkali perempuan yang pertama divonis
oleh masyarakat sebagai individu penyebab masalah tanpa melihat terlebih dahulu
penyebabnya (perempuan atau laki-laki).
Masalah infertilitas juga menyebabkan stres pada laki-laki, namun stres lebih
jarang kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat ketidakadilan memandang
masalah terkait infertilitas, sehingga pada akhirnya perempuan yang menjadi korban
baik secara fisik, ekonomi, seksual maupun psikososial (Greil, 1997 dalam
Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004; Gibson & Myer, 2002 dalam Watkins & baldo
2004; Old, London & Ladewig 2000).
Di Kamerun, infertilitas adalah alasan untuk perceraian pada suku Bangangte
yang menyebabkan seorang wanita kehilangan aksesnya dan sama sekali tidak
dihargai terutama oleh keluarga suaminya. Di Mesir, perempuan harus menjalani
ritual yang rumit yang dikenal sebagai Kabsa dalam upaya untuk mengatasi
ketidaksuburan. Di Nigeria Barat, perempuan diperlakukan sebagai orang buangan
dan setelah mereka mati, mayat mereka dimakamkan di pinggiran kota dengan
orang-orang orang-orang yang mengalami sakit gangguan mental (Tabong and Adongo, 2013).
2.3.1. Infertilitas Menurut Suku Karo
Karo adalah salah Suku Bangsa yang mendiami
Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah
yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yait
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan ata
nama merga silima, tutur siwaluh, da
sedangkan untberu. Merga atau beru ini disandang di
belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok,
Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut budaya patrilineal.
Dalam masyarakat patrilineal suami merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam
keluarga, termasuk keputusan perempuan untuk menentukan hak-hak reproduksinya.
Dalam filosofi Karo, tujuan hidup seseorang adalah untuk mendapatkan
kesangapen (hidup sejahtera), yaitu ertuah (mempunyai keturunan) dan bayak
(memiliki kekayaan), yang artinya jika salah satunya tidak terpenuhi maka hidupnya
dikatakan tidak sejahtera. Tugas perkawinan dalam suku Karo salah satunya adalah
sebagai sarana untuk meneruskan keturunan (fungsi reproduksi). Mendapatkan
keturunan bagi masyarakat Karo, adalah hal yang amat penting. Walaupun dengan
perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira la