• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penyebab Stres Kerja

BAB II LANDASAN TEOR

4. Faktor Penyebab Stres Kerja

Stres kerja adalah tekanan yang berasal dari karakter individual, pekerjaan dan lingkungan (Greenberg, 2002). Artinya stres dapat berasal dari salah satu ataupun gabungan antara faktor karakter individual, pekerjaan maupun lingkungan. Rollinson (2005) menyebutkan banyak sekali faktor penyebab stres kerja yang digolongkannya kedalam 4 faktor utama yakni lingkungan, faktor organisasi, faktor hubungan sosial dan faktor individu itu sendiri dalam konteks organisasi.

a. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan memiliki tekanan yang berasal di luar karyawan atau organisasi yang kemudian dapat berpotensi mengganggu karyawan tersebut atau organisasinya. Faktor lingkungan ini mencakup faktor ekonomi dan stabilitasnya, faktor sosial dan politik yang dapat berupa pemerintahan yang baru, iklim politik di sebuah daerah, dan bagaimana orang-orang disekitar kita berinteraksi. Faktor sosial dan politik disini berkaitan dengan adanya perubahan perubahan yang membawa nasib seorang karyawan dalam ketidakpastian. Selain itu perubahan lingkup sosial juga akan menyebabkan adanya rasa takut dan insecurity pada karyawan. Sehingga berpotensial menyebabkan stres. Selain faktor ekonomi dan sosial-politik, ada faktor teknologi serta faktor pekerjaan dan keluarga. Faktor teknologi dapat disebabkan karena cepatnya perkembangan teknologi sehingga menyebabkan kesulitan beradaptasi bagi beberapa orang dan dapat menjadi salah satu penyebab stres. Pada faktor pekerjaan dan keluarga, diyakini bahwa adanya masalah pekerjaan yang dibawa ke dalam rumah, baik oleh individu itu sendiri maupun orang lain di dalam keluarganya, dapat memicu stres bagi anggota keluarga yang lain (Jones & Fletcher dalam Rollinson, 2005). Selain itu adanya ambiguitas kewajiban berperan dengan tuntutan yang berbeda pada saat berada di tengah keluarga dan rekan kerja juga dapat menjadi salah satu faktor stres bagi seorang karyawan ( Lewis & Cooper, dalam Rollinson 2005).

b. Faktor organisasi

Stres juga dapat berasal dari organisasi, dimana seluruh aspek dari organisasi berpotensial membangkitkan stres pada karyawan. Adanya kebingungan peran mengenai pekerjaan, batasan kekuasaan dan ketidakpastian dalam pekerjaan dapat menjadi penyebabnya. Selain itu pada sebuah perusahaan yang strukturnya bersifat kaku juga dapat menyebabkan kecemasan dan stres, karena karyawan merasa kesempatannya untuk berkembang atau mendapatkan promosi sangat sedikit. Iklim dan budaya organisasi yang tidak nyaman serta politik organisasi yang tidak kooperatif juga dapat menjadi tekanan bagi seorang karyawan. Pada sebuah organisasi seperti perusahaan, saling bergantung dan kecendrungan untuk bekerjasama sangat dibutuhkan. Namun tidak semua karyawan mau bersikap kooperatif dengan karyawan lainnya. Artinya timbul iklim persaingan disini. Hal ini juga menimbulkan stres pada karyawan dalam menghadapi tuntutan perusahaan dan lingkungan kerjanya yang tidak kooperatif karena adanya kepentingan politik masing-masing.

c. Faktor sosial dalam konteks organisasi

Hubungan sosial memiliki peran penting di dalam kehidupan manusia. Bagi seorang karyawan, hal ini bisa dilihat dari hubungannya dengan atasan, suasana tempat kerja dan hubungan interpersonal dengan anggota lainnya

didalam kelompok tersebut. Stres bisa terjadi dari hasil hubungan seorang karyawan dengan atasannya. Adanya instruksi yang kurang jelas, kurangnya dukungan secara fisik maupun emosional dan kurangnya penghargaan dari atasan dapat membuat karyawan merasa bekerja di bawah tekanan. Selain itu kurangnya pengarahan yang adekuat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan serta apa yang mau dilakukan selanjutnya juga membuat karyawan merasa berada di dalam ketidakpastian yang dapat menyebabkannya berada dalam keadaan stres (Schuller, 2002).

Lebih spesifik lagi, Greenberg (2002) menyatakan bahwa stres juga meningkat ketika seseorang merasa ada ketidakjelasan di dalam pekerjaannya. Misalnya terlalu banyak atau terlalu sedikitnya pekerjaan, ambiguitas peran dan ketidakjelasan tuntutan dalam pekerjaan (Schaufeli & Peeters, 2000).

Mengenai hubungan sosialnya dengan anggota kelompok pada sebuah organisasi atau perusahaan, Argyris dalam Rollinson (2005) menyebutkan bahwa konflik dengan teman kerja dapat menjadi faktor stres pada karyawan. Kurangnya rasa saling percaya, kurangnya rasa saling menghargai dan tidak bersimpati satu sama lain dapat berkembang menjadi lingkungan sosial yang memberi distress bagi performa karyawan.

d. Faktor individu dalam konteks organisasi

Pada faktor individu, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada stres kerja karyawan. Faktor pertama, kondisi fisik dan penyakit yang akan

mempengaruhi bagaimana tubuh merespon. Tubuh yang sakit secara fisik akan menyebabkan tekanan secara biologis maupun psikologis sehingga seseorang berada dalam keadaan stres. Selain itu, konflik yang terjadi di dalam individu sendiri juga dapat menjadi faktor stres karena individu dihadapkan pada pilihan untuk menjauh dan mendekat (approaching dan avoiding) dari sumber stres (Sarafino, 2011). Dalam hal ini individu harus memutuskan untuk memilih salah satu atau menyeimbangkan keduanya, yang mana hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan (Sarafino, 2011). Rice (1987) juga mengemukakan bahwa stres banyak disebabkan oleh bagaimana cara seseorang berpikir dan menginterpretasi kejadian yang ada di sekitarnya

Faktor kedua, job design yang berkaitan dengan jadwal karyawan, setting pekerjaan dan shift pekerjaan. Pada karyawan dengan shift malam, tekanan yang dihasilkan akan lebih tinggi karena mereka harus melawan kebutuhan biologis untuk beristirahat di malam hari. Sementara itu, pada karyawan dengan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi sangat tinggi, juga rentan mengalami kecemasan akibat tanggung jawab yang dipikul yang kemudian dapat menjadikannya stres. Berbeda lagi dengan karyawan yang memiliki pekerjaan rutin, yang lama kelamaan menjadi terbiasa dan tidak merasakan adanya tantangan. Hal ini akan membawa mereka pada kebosanan dan kecemasan yang mengakibatkan stres hingga depresi (Makin et al dalam Rollinson, 2005).

Faktor keempat adalah kompleksitas, konflik dan adanya ambiguitas peran. Sebuah peran akan dinyatakan kompleks dan berkonflik ketika karyawan sendiri sudah merasa tidak percaya diri dengan posisinya serta tidak lagi berkomitmen akan perusahaan tersebut (Kahn et al. dalam Rollinson, 2005). Ambiguitas peran terjadi ketika tugas dan ekspektasi terhadap performansi individu tidak didefinisikan dengan jelas (Aamodt, 2007, Berry 1998; Rice 1992). Ketika kebingungan ini terus terjadi, seorang karyawan mengalami stres yang membuatnya tidak bersemangat dalam bekerja, tidak percaya diri dalam bertindak, tidak merasa puas akan pekerjaannya hingga depresi (French dan Caplan,1973).

Struktur perusahaan juga dapat menimbulkan stres kerja pada seorang karyawan. Stres kerja dapat terjadi disini karena seseorang akan merasa bekerja dibawah tekanan yang berat ketika ia bertanggung jawab akan pekerjaan orang lain (Sarafino, 2011). Stres yang dialami seorang manajer dalam menghadapi ketidakpastian perubahan perusahaan tidak hanya mengenai dirinya sendiri, namun juga menyangkut ketidakpastian karyawan yang berada dibawahnya (French & Caplan, 1973).

Faktor Internal seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja juga menjadi faktor penting dalam stres kerja. Ketika seorang karyawan telah bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama, perubahan yang timbul dalam perusahaan tersebut menimbulkan ketakutan pada karyawan karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi (Aamodt, 2007).

Pada jenis kelamin, Fink (2007) menyatakan bahwa wanita mengalami banyak stres karena menghadapi stressor tertentu (role conflict) lebih sering daripada pria, dan wanita dan pria mungkin bereaksi berbeda terhadap stres. Pada faktor usia lebih menekankan pada adanya penurunan kesehatan fisik pada usia yang semakin tua sehingga rentan menjadi pemicu stres (Fink, 2007).

Selain faktor- faktor di atas, Sarafino (1998) juga mengemukakan life change events sebagai sebuah keadaan yang menyebabkan seseorang merasa stres. Life-change events yang dimaksud adalah peristiwa yang melibatkan perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan penyesuaian atau adaptasi dalam menghadapinya. Ibarra (2003) menyatakan perubahan yang terjadi dalam dunia pekerjaan akan menuntut seorang karyawan untuk mengadaptasikan peran, sikap, nilai dan prilakunya terhadap norma atau aturan baru yang dikehendaki perusahaan dan hal ini tentu tidak mudah. Terutama pada pekerja dengan usia yang menengah (midlife), yang terkategori masih produktif untuk bekerja, namun tidak untuk memulai sebuah pekerjaan baru dengan lahan yang baru. Sementara menurut Skirbek (2003), produktifitas pekerja akan mengalami penurunan mulai dari usia 50 tahun keatas. Perubahan pada pekerjaan dengan rentang usia ini dapat menimbulkan stres tersendiri (Government of Alberta Human Services, 2007).

B. DECLINE STAGE

Decline stage adalah sebuah tingkatan atau fase terjadinya penurunan terus menerus dalam seluruh kegiatan di dalam sebuah organisasi (Robbins dan Barnwell, 2002). Sebuah organisasi akan mengalami beberapa fase pada perkembangannya. Fase ini kemudian dikenal sebagai Organisational Life Cycle atau OLC (Robbins, 1990). OLC membantu sebuah organisasi, dalam hal ini perusahaan untuk memprediksi keadaannya dan membantu untuk mempersiapkan diri menuju langkah berikutnya (Dark, 2005).

Organisational Life Cycle atau OLC adalah tahapan yang dilalui perusahaan mulai dari pembukaan hingga penutupannya (Daft & Murphy, 2010). Menurut Robbins (2008), OLC memiliki 5 tahapan yang terus mengalami proses selama sebuah organisasi terbentuk. Kelima tahapan tersebut adalah : start-up stage, growth stage, maturity stage, revival stage dan berakhir di decline stage.

1. Start up stage

Start-up stage atau stase awal melibatkan banyak sekali uji coba. Pada fase ini, organisasi atau sebuah perusahaan baru saja dibentuk. Penstrukturan organisasi masih sederhana dan terpusat (centralized). Artinya semua keputusan dan tindakan akan diinstruksikan dari pihak pemilik perusahaan ataupun direksi yang berkuasa. Tujuan perusahaan saat berada pada tahap ini adalah menstabilkan keadaan perusahaan, mengembangkan kompetensi dan

menempatkan produk di pasaran. Selain itu, intensitas pemasaran dan produksi terus meningkat, beriringan dengan pengembangan brand image atas perusahaan itu sendiri.

Masalah yang biasa terjadi pada tahap ini biasa berupa masalah administrasi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang baru berdiri tentunya masih harus mengurus banyak administrasi untuk melakukan persiapan pemasaran produk, pembelian mesin, perekrutan karyawan dan lainnya. Pada tahapan start-up stage perusahaan membutuhkan karyawan yang kreatif, tangguh dan berani untuk bertransisi untuk membantu perusahaan bergerak maju dan mendapatkan tempat di pasaran. Ketika perusahaan telah mendapat tempat di pasaran dengan penjualan yang cukup sesuai target, maka tahap start-up stage akan berpindah ke tahapan berikutnya.

2. Growth stage

Pada tahapan ini penjualan perusahaan terus tumbuh. Produk diterima di pasaran sehingga tidak begitu membutuhkan inovasi untuk pengembangan produk. Struktur di dalam perusahaan juga telah lebih matang dengan menggunakan sistem hirarki. Artinya, saat ini keputusan tidak lagi diambil oleh pemilik perusahaan, namun sudah didelegasikan pada manajer atau superior yang terkait untuk

permasalahan-permasalahan yang rutin terjadi, atau bukan merupakan kasus khusus.

Masalah yang terjadi pada growth-stage adalah krisis otonomi. Krisis otonomi disini disebabkan oleh kuangnya inovasi yang dibutuhkan dan menyebarnya kekuasaan, sehingga sensitivitas perusahaan mengenai persaingan pasar secara progresif berkurang.

3. Maturity stage

Pada tahapan ini, perusahaan berada dalam kedaan prima dan kompetitif di pasaran. Selain itu pengembangan teknologi terus dimaksimalikan sehingga produk yang dihasilkan juga semakin membaik dan membawa profit yang tinggi untuk perusahaan.

Strukturisasi perusahaan pada tahap ini mengalami sedikit perubahan karena kestabilan pemasaran dan efektifitas perusahaan yang baik. Tidak terlalu banyak delegasi kekuasaan pada maturity stage, hanya ada beberapa manajer yang menjadi kunci pengoprasian perusahaan. Namun pada tahapan ini, pengambilan keputusan menjadi kurang inovatif, kurang proaktif dan lebih beresiko daripada tahapan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti sistem birokrasi, proses perencanaan secara formal (formal planning process), teknik koordinasi yang digunakan, kerjasama karyawan dan lainnya.

Masalah yang sering terjadi pada tahapan ini adalah perhatian perusahaan yang terpusat pada kompetisi. Pada dasarnya kompetisi adalah hal yang baik untuk memajukan perusahaan, namun yang terjadi pada tahapan ini adalah perusahaan yang fokus pada kompetisi promosi, bukan kompetisi inovasi produk. Sehingga perusahaan tidak melakukan banyak inovasi seperti yang dilakukannya pada tahap sebelumnya. Selain itu, dana perusahaan telah diatur sedemikian rupa untuk dikeluarkan sesuai dengan produk saja (product-based company). Hal ini menyebabkan perusahaan akan lebih memprioritaskan pengeluaran dana untuk hal-hal yang sifatnya lebih kepada kebiasaan perusahaan daripada proyek berpotensial tinggi misalnya pengembangan teknologi.

Pada akhirnya, keadaan perusahaan yang stabil dan kekurangan inovasi inilah yang kemudian perlahan akan membawanya pada tahap penurunan (decline stage). Selama penurunan terjadi secara perlahan, perusahaan, manajer dan karyawan juga akan ikut terjebak oleh kemampuan melakukan inovasi dan daya saing yang terus melemah.

4. Revival stage

Revival stage merupakan tahapan yang sifatnya opsional yang terjadi diantara maturity stage dan decline stage. Artinya tahapan ini bisa saja dilalui oleh perusahaan tersebut, namun bisa pula tidak. Jika

sebuah perusahaan mengalami tahapan ini, maka manajer ataupun karyawan telah menyadari adanya penurunan yang terjadi secara perlahan maupun drastis pada perusahaan.

Tahapan ini melibatkan perkembangan yang luar biasa pada perusahaan. Inovasi yang melonjak, pengambilan keputusan yang cepat dan beresiko tinggi tidak dapat terelakkan. Untuk mengantisipasi kesalahan yang mungkin akan memperburuk keadaan perusahaan, maka akan dibentuk sebuah tim proyek (project team) yang bertugas menganalisa masalah yang terjadi pada perusahaan. Project team juga dibentuk untuk menciptakan inovasi baru dan melakukan analisa secara scientific mengenai rencana langkah yang akan diambil berikutnya. Project team terdiri dari beberapa karyawan dan manajer yang ahli untuk masing-masing bidang yang dibutuhkan.

Masalah pada tahapan ini adalah kesalahan yang terjadi pada tahapan sebelumnya telah membuat perusahaan rapuh. Sehingga pada tahapan ini biasanya perusahaan seperti mengulang birth stage, namun lebih kompleks karena harus menyelesaikan masalah yang sudah ada terlebih dulu. Akhir dari revival stage ini hanya memiliki 2 pilihan. Pilihan pertama adalah usaha untuk meperbaiki keadaan perusahaan tidak berhasil, sehingga perusahaan akan memasuki tahap berikutnya yakni decline stage, atau pilihan kedua yakni tahapan ini berhasil dilalui dan mengembalikan perusahaan pada posisi yang lebih stabil

bahkan mengembangkannya menjadi perusahaan yang lebih besar daripada sebelumnya.

5. Decline stage

Decline stage merupakan tahapan terakhir yang dilalui perusahaan sebelum akhirnya perusahaan ini dinyatakan tutup atau berakhir. Pemasaran produk yang stagnan bahkan menurun serta profit perusahaan yang juga ikut menurun menjadi ciri utama tahapan ini. Perubahan sumber daya alam (dalam hal ini kehabisan sumber daya gas) juga dapat menyebabkan penurunan produksi pada perusahaan yang menyebabkanya masuk pada tahapan ini (Robbins dalam Vendetti 2010).

Penjualan produk pada tahapan ini telah jauh menurun jika dibandingkan dengan penjualan pada maturity stage. Perusahaan mulai melakukan penjualan berbagai produk yang tidak esensial atau bukan merupakan produk utama yang diproduksi selama ini. Secara struktural perusahaan juga melakukan perampingan misalnya dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan. Selain itu melemahnya proses penyampaian informasi yang terjadi antar divisi juga dapat semakin memperburuk keadaan perusahaan. Adanya perluasan tugas (job enlargement) pada karyawan yang belum tentu

memiliki skill untuk beberapa tugas juga terjadi, yang kemudian akan menimbulkan stres tersendiri pada karyawan (Daft & Murphy, 2010).

Akhirnya, perusahaan akan terus mendekati masa akhirnya. Revival stage mungkin saja akan menjadi solusi untuk tahapan ini, namun merealisasikannya akan sangat sulit sehingga perusahaan akan terus turun dan akhirnya berakhir.

Bagi karyawan PT. X, decline stage merupakan hal yang baru bagi kehidupan pekerjaan mereka. Banyak perubahan yang terjadi pada pekerjaan serta kehidupan karyawan dan keluarga semenjak PT. X mengalami decline stage. Decline stage menjadi perubahan yang besar dalam kehidupan para karyawan yang selanjutnya disebut sebagai life change events. Life change events adalah peristiwa yang melibatkan perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan penyesuaian atau adaptasi dalam menghadapinya. Perubahan tidak pernah mudah dan dapat menjadi sumber stres karena perubahan itu memaksa kita untuk menyesuaikan diri (Nevid, 2005). Perubahan yang terjadi pada PT. X ini di rasakan oleh karyawan yang bekerja dalam rentang waktu cukup lama dan sangat familiar terhadap keadaan perusahaan sebelum mengalami decline stage. Sehingga perubahan ini menimbulkan stres tersendiri pada karyawan dengan usia paruh baya (midlife), yang terkategori masih produktif untuk bekerja, namun tidak untuk memulai sebuah pekerjaan baru dengan lahan yang baru (Government of

Alberta Human Services, 2007). Hal inilah yang terjadi pada karyawan PT. X yang kebanyakan sedang berada pada rentang usia paruh baya (midlife).

Menurut Papalia et al. (2007) usia paruh baya (midlife) berada pada rentang 40-65 dimana usia ini dikarakteristikkan dengan tanggung jawab yang semakin berat, mematuhi aturan, membesarkan dan mensukseskan anak, masih merawat orang tua dan memulai karir baru. Usia ini masih dikategorikan produktif dilihat dari banyaknya tanggung jawab dan tugas yang harus mereka selesaikan (Lachman & Firth, 2004). Namun Skirbekk (2003) menyatakan bahwa usia produktif untuk bekerja adalah sampai 50 tahun, karena lebih dari itu akan banyak terjadi pengurangan secara koginitif maupun motorik secara perlahan.

Murphy dalam Colligan dan Higgins (2005) menyebutkan perubahan peran, struktur dan iklim perusahaan sangat mempengaruhi performansi seorang karyawan. Ketika perubahan organisasi ini bersifat penurunan (dalam hal ini decline stage), maka kemungkinan adanya perampingan karyawan dan perluasan variasi pekerjaan yang harus dilakukan seorang karyawan akan semakin besar. Hal – hal ini dapat berkembang menjadi variety overload dan qualitative overload yang juga menyebabkan stres kerja pada karyawan (Rollinson, 2005).

Dokumen terkait