• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN OLEH

B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana

Dalam hal menjalankan tugasnya, notaris mempunyai kewajiban serta hal yang terpenting yakni yang tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 (a) UUJN diantaranya bertindak jujur dan tidak memihak. Setiap notaris dituntut agar memberikan akses terhadap informasi yang seimbang diantara para pihak yang berkontrak, sehingga harus dicegah terjebaknya salah satu pihak ke dalam suatu kontrak karena tidak atau kurang dipahaminya persyaratan dari kontrak yang sesungguhnya yang dapat merugikan pihak yang tidak cukup memahami persyaratan dari kontrak tersebut.

Sejalan diatas, maka dipegang teguh sikap kemandirian tersebut menimbulkan kepercayaan masyarakat pada profesi notaris sebagai abdi masyarakat. Diabaikannya unsur persamaan akses atas informasi dapat menyebabkan akta notaris rentan dalam resiko pembatalan dari akta atau perjanjian yang bersangkutan oleh hakim.

Di dalam membahas sebab-sebab yang menimbulkan tindak pidana, banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya sesuai dengan bidangnya masing- masing. Timbulnya tindak pidana disebabkan karena berbagai faktor yang untuk satu

faktor tertentu dapat menimbulkan tindak pidana lainnya. Sebab-sebab terjadinya suatu tindak pidana sangat kompleks dan terlihat adanya faktor-faktor yang saling mempengaruhi. Adapun faktor penyebab timbulnya tindak pidana83, adalah sebagai berikut:

a. Faktor Endogen, yang merupakan faktor yang terdapat pada diri individu itu sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya tentang faktor kepribadian pada diri individu ini dapat dilihat antara lain:

1. Usia : Usia 15 sampai dengan 25 tahun lebih banyak melakukan kejahatan dari pada unsur selebihnya.

2. Pendidikan : Baik formal maupun non formal sangat membentuk kepribadian seseorang. Orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan anaknya, serta selalu memberikan contoh yang kurang baik, akan mengarahkan sifat-sifat yang jahat di dalam diri si anak tersebut. Orang yang berpendidikan tinggi pun belum menjamin tidak terjadinya suatu kejahatan.

3. Agama: mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, merupakan landasan pokok bagi manusia bersikap tindak. Norma-norma yang terdapat di dalamnya mempunyai nilai yang tinggi dalam hidup manusia, sebab selalu membimbing manusia ke jalan yang baik dan benar. Dengan demikian, kemunduran dan kemerosotan kepercayaan seseorang terhadap ajaran agama, sering dipandang sebagai sebab yang potensial dari timbulnya

83

kejahatan, sekalipun pandangan tersebut mungkin belum dapat dibuktikan, namun tidak dapat diabaikan begitu saja.

b. Faktor Eksogen, merupakan faktor yang berada diluar diri individu tersebut, berpokok pangkal pada lingkungan. baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan dengan masyarakat luas. Untuk mencari hal-hal yang mempunyai korelasi dengan tindak pidana, faktor inilah yang menurut para ahli merupakan faktor yang menetukan atau mendominir perbuatan individu kearah tindak pidana. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang di dalamnya hidup manusia lain yang beraneka ragam tingkat kehidupannya. Lingkungan ternpat tinggal merupakan salah satu sarana untuk merubah sifat seseorang didalam pergaulannya sehari-hari.

Dalam kriminologi, dikenal adanya beberapa teori mengenai faktor penyebab timbulnya kejahatan yaitu salah satunya teoriBorn Kriminalyang dikemukakan oleh

Cesare Lombroso. Menurut Cesare Lombroso menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan penjahat.84 Dalam perkembangan teorinya Lombroso mendapati kenyataan bahwa manusia jahat dapat ditandai dari sifat-sifat fisiknya, antara lain

84 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,Kriminologi, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

telinga yang tidak sesuai ukurannya, dahi yang menonjol, tangan yang panjang, rahang yang menonjol ataupun hidung yang bengkok.85

Hal ini berbeda menurut teori yang dikemukakan oleh Lacassagene, bahwa kejahatan merupakan suatu jenis penyakit yang disebabkan oleh kuman, namun berkembangnya kuman tetapi digantungkan pada kondisi manusianya.86 Maksudnya bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.87 Dengan kata lain, masyarakatlah (lingkungan) yang memiliki peranan sangat besar dibandingkan faktor-faktor lainnya.88

Kritik lain juga dilontarkan oleh Tarde, yang menyatakan bahwa perilaku jahat seseorang sesungguhnya timbul dari hukum imitasi atau meniru perilaku orang lain.89 Kemudian Enrico Ferri, murid Lombrosso menengahi dengan merangkum semua teori diatas yang menekankan bahwa kejahatan terjadi karena adanya hubungan yang erat antara faktor fisik, antropologis dan sosial:90

1. Faktor-faktor fisik: suku bangsa, iklim, letak geografis, pengaruh-pengaruh musim, temperatur, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor anthropologis: umur, kelamin, kondisi-kondisi organis, kondisi- kondisi psikologis, dan sebagainya.

85 Ibid, halaman 24. 86 Ibid, halaman

87 http://www.syamsul-rijal.co.cc/2010/10/tujuan-hukum-pidana.html, tanggal 17 Desember

2010.

88http://www.effendi.googlepages.com/PertemuanVIdanVII.pdf, tanggal 17 Desember 2010. 89 http://verry-punyaverry.blogspot.com, tanggal 17 Desember 2010.

3. Faktor-faktor sosial: rapatnya penduduk, kebiasaan, susunan pemerintahan, kondisi-kondisi ekonomis, kondisi-kondisi industri, dan sebagainya.

Sebagian besar tindakan yang dilakukan notaris dalam jabatannya yang paling dominan adalah adanya penurunan tarif pada akta-akta yang dibuatnya. Hal ini cukup beralasan mengingat jumlah notaris saat ini yang kian hari kian meningkat jumlahnya, sehingga menimbulkan persaingan yang semakin ketat diantara mereka. Tindakan pidana yang dilakukan oleh notaris yang bersumber dari diri notaris itu sendiri berarti bahwa pribadi dari notaris yang bersangkutan sendirilah yang menyebabkan terjadinya tindakan pidana tersebut. Penyebab dari hal tersebut sangat bervariasi diantaranya rendahnya integritas dan moral dari notaris yang bersangkutan, disusul dengan adanya tuntutan kesejahteraan, dan hambatan lain berupa keterbatasan kemampuan dari notaris yang bersangkutan. Pernyataan ini dapat dilihat seperti pada contoh kasus dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 303 K/Pid/2004 :

Pada hari sabtu, tanggal 29 Pebruari 1992, H. Mohammad Afdal Gazali, SH dengan Syamsuri Bin Soemodikromi dan Ir. Soediono bertempat di jalan Hang Lekir II Blok H Nomor 19 RT 009, RW 06, Kelurahan Gunung, Kebayoran Baru Selatan, untuk membuat surat akta otentik atau memalsukan surat otentik, yang dapat menerbitkan suatu hak, dengan maksud untuk memakai surat itu seolah- olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.

Pada tahun 1971, Soetono (orang tua Ir. Soedono) membeli dua bidang tanah masing-masing Sertifikat Hak Milik Nomor : 435/Bangka seluas 1.660 m2 atas nama Saenah Bin Djali yang berasal dari C.244 persil 16 Blok DI terletak di Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan sesuai Akta Jual Beli Nomor : 541/M.P/1971 tanggal 23 Oktober 1971 yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT Camat Mampang Prapatan R.E Soetisna dan sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor : 434/Bangka seluas 651 m2 atas nama Entong Bin Djaenal yang berasal dari Girik Nomor C. 1463 persil 68 Blok D.I terletak di Kelurahan Bangsa, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sesuai

Akta Jual Beli Nomor 610/M.P/1971 tanggal 10 Desember 1971, yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Notaris/PPAT Camat Mampang Prapatan R.E Soetisna; selanjutnya dialihkan haknya menjadi atas nama Soetono.

Pada tahun 1972, di atas masing-masing tanah tersebut didirikan sebuah bangunan rumah tinggal sesuai surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) Nomor : 778/IB/T/S/72 tanggal 8 September 1972, yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Tata Kota Wilayah Jakarta Selatan, Drs. K. Osman Arun. Pada tahun 1976 sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor : 435/Bangka seluas 1.660 m2, atas nama Soetono beserta bangunan diatasnya dijual kepada Ny. Siswo Sunarto, sesuai Akta Jual Beli Nomor : 55/1976 tanggal 9 Agustus 1976 yang dibuat dan ditandatangani dihadapan notaris PPAT/Camat J.F.T Sinjal; selanjutnya berdasarkan Akta Jual Beli tersebut dialihkan haknya menjadi atas nama Ny. Siswo Sunarto.

Pada tahun 1977 sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor : 434/Bangka luas 651 m2atas nama Soetono dijual kepada Nyonya Siswo Sunarto, sesuai Akta Jual Beli Nomor : 153/1977.

Pada tanggal 4 September 1989 Siswo Sunarto meninggal dunia, sesuai Surat Kematian nomor : 474.3/45/89 tanggal 20 Maret 1998 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Sunarto, Sekretaris Kelurahan Panularan, kecamatan Lawiyan Kotamadya Surakarta, pada tanggal 8 Maret 1998 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Sunarto, Sekretaris Kelurahan Panularan. Selanjutnya Nyonya Siswo Sunarto meninggal dunia, dan kedua bidang tanah beserta bangunan tersebut dikuasai dan diduduki sebagai tanah miliknya oleh Ir. Soediono dan Noes Soediono (isteri Ir. Soediono), dengan alasan kedua bidang tanah tersebut adalah milik almarhum Soetono (orang tua Ir. Soediono) dimana jual beli yang pernah dilakukan terhadap Ny. Siswo Sunarto hanya bersifat formalitas/pinjaman nama saja; selanjutnya kedua bidang tanah beserta bangunannya dialihkan haknya menjadi atas nama Noes Soediono (isteri Ir. Soediono), Soediono menghubungi Samsuri (salah satu staffnya) dan H. Mohammad Afdal Gazali (notaris-PPAT yang berkedudukan di Pekanbaru) yang telah dikenalnya dengan baik untuk membuat surat kuasa khusus atas nama Syamsuri atas tanah sertipikat Hak Milik Nomor : 435/Bangka dan Nomor : 434/Bangka atas nama Ny. Siswo Sunarto secara fiktif pada Notaris/PPAT H. Mohamad Afdal Gazali, SH. Selanjutnya Ir. Sordiono dan Syamsuri memberikan data-data atas dua bidang tanah yang ada sesuai dengan Sertipikat Hak Milik Nomor : 435/Bangka dan Nomor : 434/Bangka atas nama Ny. Siswo Sunarto, kemudian berdasarkan data-data yang diberikan tersebut Notaris/PPAT M. Afdal Gazali (Notaris di Pekanbaru) menyiapkan dua buah konsep surat kuasa atas nama Syamsuri masing-masing surat kuasa nomor 61 dan 62 tanggal 29 Pebruari 1992 yang masing-masing berisi untuk bertindak mewakili pemberi kuasa Ny. Siswo Sunarto dalam segala hal dan perbuatan yang tidak dikecualikan atas sebidang tanah sertifikat hak milik nomor 435/Bangka dan sebidang tanah hak milik nomor 434/Bangka. Kedua buah konsep surat kuasa tersebut ditandatangani

oleh M. Afdal Gazali dan Syamsuri dengan disaksikan oleh Ir. Sudiyono dengan memalsukan tandatangan Almarhumah Ny. Siswo Sunarto, yang seolah-olah bahwa kedua surat kuasa tersebut benar dan tidak dipalsukan. Padahal baik Notaris/PPAT Mohamad Afdal Gazali, SH maupun Ir. Soediono dan Syamsuri telah mengetahui bahwa Ny. Siswo Sunarto sudah meninggal dunia. Berdasarkan surat kuasa nomor 61 dan 62 tanggal 29 Pebruari 1992 atas nama Syamsuri digunakan untuk menjual sebidang tanah sertifikat hak milik nomor 435/Bangka atas nama Ny. Siswo Sunarto, seharga Rp. 174.000.000, dan Sertifikat Nomor : 434/Bangka atas nama Nyonya Siswo Sunarto kepada Nyonya Noes Soediono seharga Rp. 71.610.000 (tujuh puluh satu juta enam ratus sepuluh ribu rupiah) sesuai akta jual beli nomor 04/M/Prapatan/IV/1992 tanggal 24 April 1992, dibuat dihadapan Notaris/PPAT Syahrim Abdulmanan.

Selanjutnya berdasarkan dua buah Akta Jual Beli Nomor : 03/M.Prapatan/ IV/1992 dan Nomor : 04/M.Prapatan/IV/1992 tertanggal 24 April 1992 yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT Syahrim Abdulmanan, dialihkan haknya menjadi atas nama Noes Soediono yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan tanpa sepengetahuan dan seizin para ahli waris almarhum Ny. Siswo Sunarto. Atas perbuatan tersebut mengakibatkan para ahli waris almarhum Ny. Siswo Sunarto menderita kerugian kehilangan hak atas kedua bidang tanah dimaksud.

Permasalahan yang sangat penting dalam Akta Jual Beli tersebut adalah sebagai berikut :

1. Setelah Siswo Sunarto beserta istrinya Ny. Siswo Sunarto meninggal dunia, kedua bidang tanah milik mereka dikuasai dan diduduki oleh Ir. Soediono beserta istrinya Noes Soediono, dengan alasan bahwa kedua bidang tanah tersebut adalah milik almarhum Soetono (ayah Ir. Soediono).

2. Ir. Soediono meminta H. Mohamad Afdal Gazali (notaris-PPAT yang berkedudukan di Pekanbaru) yang telah dikenalnya dengan baik untuk membuat surat kuasa khusus atas nama Syamsuri (salah satu staffnya).

3. H. Mohamad Afdal Gazali membuat dua surat kuasa yang kemudian ditandatangani olehnya beserta Syamsuri, disaksikan oleh Ir. Soediono dengan

memalsukan tanda tangan almarhumah Ny. Siswo Sunarto, seolah-olah kedua surat kuasa tersebut adalah benar dan tidak dipalsukan.

4. Kedua surat kuasa tersebut digunakan untuk menjual kedua bidang tanah kepada Noes Soediono, yang kemudian di balik nama dan dialihkan haknya menjadi atas nama Noes Soediono.

5. H. Mohamad Afdal Gazali adalah notaris-PPAT yang berkedudukan di Pekanbaru, hal ini melanggar ketentuan Peraturan Jabatan Notaris bahwa kedua surat kuasa tersebut dibuat diluar wilayah kerja yang sudah ditentukan.

Adapun unsur-unsur yang telah terpenuhi dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP, adalah sebagai berikut :

a. Unsur Objektif.

1. Membuat surat palsu.

Pemenuhanunsurnya adalah bahwa H. Mohamad Afdal Gazali, sebagai notaris telah membuat surat palsu sesuai dengan permintaan Soediono, seolah-olah surat itu berasal dari Ny. Siswo Sunarto, serta menandatangani surat itu dengan cara meniru tanda tangan Ny. Siswo Sunarto.

2. Yang dapat menerbitkan suatu hak.

Pemenuhan unsurnya yaitu bahwa dengan dibuatnya surat tersebut terbitlah suatu hak, yaitu adanya hak dari Syamsuri untuk menjual tanah milik Ny. Siswo Sunarto, atas nama Ny. Siswo Sunarto sendiri.

1. Untuk mempergunakan atau memakai surat itu, seolah-olah asli dan tidak palsu.

Pemenuhan unsurnya yaitu Soediono ingin memiliki tanah hak milik kepunyaan Ny. Siswo Sunarto yang dibeli dari almarhum ayahnya. Selanjutnya Soediono meminta H. Mohamad Afdal Gazali untuk menerbitkan sebuah surat kuasa palsu untuk digunakan menjual tanah tersebut kepada istrinya melalui stafnya, yaitu Syamsuri. Selanjutnya surat tersebut digunakan seolah surat tersebut asli dan tidak palsu. Padahal isinya tidak benar, serta tanda tangan yang ada dalam surat itu adalah tiruan tanda tangan seseorang yang telah meninggal, yaitu pemilik sah bidang tanah tersebut.

2. Pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pemenuhan unsurnya adalah akibat dilangsungkannya jual beli tersebut ahli waris sah dari Ny. Siswo Sunarto dirugikan dan kehilangan hak-hak atas bidang tanah tersebut, selain itu juga karena H. Mohamad Afdal Gazali adalah notaris Pekan Baru, maka ia dapat dikatagorikan melanggar ketentuan yang dimuat dalam peraturan yang berlaku, sehingga merugikan notaris yang berwenang diwilayah jabatannya.

Dengan demikian, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi faktor penyebabnya terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh notaris antara lain : 1. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Pelaksanaan pengawasan tentunya memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit mengingat wilayah yang diawasi cukup luas. Berdasarkan keterangan yang

didapat dari hasil wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah, biaya operasional sementara ini berasal dari swadaya para anggota karena belum adanya kejelasan mengenai anggaran dari pemerintah. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat pekerjaan pengawasan sangat bergantung pada dana yang diturunkan oleh pemerintah, karena apabila tidak terdapat dana yang cukup maka operasional pengawasan akan terhambat dan tidak dapat terlaksana dengan baik. Mengenai anggaran, Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah menerangkan bahwa setiap wilayah hanya kebagian Rp. 50 juta, itu pun harus dibagi-bagi lagi ke setiap MPD, karena anggaran Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan MPD melekat pada anggaran Kanwil. Sementara MPN Pusat Melekat pada anggaran Ditjen AHU. Sehingga anggaran dana yang tidak memadai ini dampaknya adalah pelaksanaan tugas menjadi tidak efektif.

2. Turunnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum

Berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran hukum yang berakibat pudarnya rasa aman masyarakat ini secara mendasar disebabkan oleh turunnya kepatuhan91dan disiplin masyarakat92 terhadap hukum. Kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum merupakan prasyarat sekaligus tantangan dalam menciptakan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Perbedaan pemahaman terhadap

91 Contoh turunnya kepatuhan hukum yaitu mempermudah prosedur dengan melawan hukum

seperti tidak melihat asli surat, akan tetapi hanya melihat foto copy surat saja seperti salah satu kasus notaris yang ditangani MPD dalam hal pelaksanaan pengikatan jual beli. Dimana notaris dalam melakukan pengikatan jual beli hanya berdasarkan foto kopi dari SK Camat/Lurah tanpa melihat asli bukti kepemilikan tanah persil tersebut. Setelah dilakukan pengikatan jual beli, ternyata tanah tersebut mempunyai 2 surat yang dikeluarkan oleh camat/lurah.

keanekaragaman budaya, kondisi sosial, kesenjangan kesejahteraan, tingkat penangguran, tingkat kemiskinan, serta kepadatan penduduk merupakan faktor korelatif kriminogen dan police hazard yang apabila tidak dibina dan dikelola secara baik dapat mendorong munculnya kejahatan dan konflik horizontal. Faktor korelatif kriminogen dan police hazard ini hanya dapat diredam oleh sikap, perilaku dan tindakan masyarakat yang patuh dan disiplin terhadap hukum.

Selain dari faktor penyebab diatas, dapat juga dilihat dari faktor : a. Subtansi hukum.

Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa modernisasi hukum biasanya hanya menyangkut unsur struktur hukum (aparatur pembuat undang-undang dan penegak hukum) dan substansi hukum (undang-undang, peraturan-peraturan, norma-norma hukum, putusan pengadilan) saja, sedangkan kultur hukumnya jarang mendapatkan perhatian yang seksama. Artinya, Friedman ingin mengingatkan betapa pentingnya peranan kultur hukum, yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur hukum juga bisa berupa persepsi masyarakat tentang hukum, harapan-harapan masyarakat terhadap hukum dan pandangan mereka mengenai peranan hukum dalam masyarakat, untuk berjalannya suatu sistem hukum. Kalau sistem hukum diumpamakan sebagai suatu pabrik, struktur hukum (aparatur hukum) itu adalah mesin-mesin pabrik, sedangkan substansi hukum (hukum yang dihasilkan dan dipedomani oleh aparatur hukum) adalah apa yang dihasilkan oleh mesin-mesin pabrik, sementara kultur hukum dapat disamakan dengan orang-orang yang menjalankan mesin- mesin pabrik tersebut. Orang-orang itulah yang justru sangat menentukan apa yang akan dihasilkan oleh mesin-mesin pabrik, kapan mesin-mesin pabrik dihidupkan ataupun dimatikan. Berdasarkan pemikiran diatas, maka Prof. Erman Rajagukguk mengatakan, bahwa sistem hukum tanpa kultur hukum, bagaikan ikan yang tergolek dalam baskom, bukan ikan yang lincah berenang di dalam air. Namun demikian, masih dalam tulisan Prof. Erman Rajagukguk, bahwa Lawrence M. Friedman menyadari kultur hukum seseorang itu tergantung kepada sub culture, yaitu pengaruh dari, antara lain, nilai-nilai, pendidikan, agama, posisi dan kepentingan-kepentingan. Artinya, perundang-undangan yang dihasilkan, bekerja aparatur penegak hukum, taat atau tidak seseorang kepada undang-undang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi sub culture tersebut. pembangunan aparatur penegak hukum seyogyanya tidak lepas dari pembangunan sistem hukum secara sinergis, tidak hanya memperhatikan aparat penegak hukumnya semata, tetapi juga substansi hukum dan kultur hukumnya

diperhatikan. Sistem hukum tanpa kultur hukum, bagaikan ikan yang tergolek dalam baskom, bukan ikan yang lincah berenang di dalam air. Demikian juga pembangunan aparatur penegak hukum tanpa pembangunan kultur hukum, sama saja tidak memberdayakan aparatur penegak hukum, seperti ikan yang tergolek dalam baskom yang tidak berdaya apa-apa.

b. Aparat pelaksana.

Menurut Soerjono ialah faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, namun dalam hal ini yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kalangan yang mencakup yakni mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Oleh karena itu orang yang memiliki kedudukan tertentu, lazim disebut orang yang mempunyai peranan (role occupant). Kedudukan tersebut sebenarnya suatu wadah yang berisikan kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu yang harus di penuhi, sehingga itulah nantiya yang akan menjadi peran dari penegak hukum itu. Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, dimana James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum misalkan saja seperti beberapa kasus akhir-akhir ini dimana tersangkanya adalah para penegak hukum yang diharapkan dapat menegakkan supremasi hukum di Negara ini contohnya saja Jaksa Urip Tri Guanawan, Antasari, dan masih banyak lagi para jaksa, hakim, dan pengacara lainnya yang terlibat dalam kasus penyuapan, pemerasan dan kasus-kasus pidana lainnya. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dari masyarakat terhadap penegak hukum lainnya, dan lama-kelamaan kepercayaan pada hukum-pun akan semakin sirna.93

c. Kesadaran hukum masyarakat.

Penegakan hukum yang dilakukan untuk sebuah keadilan dan kedamaian bagi masyarakat akan menuntut masyarakatnya untuk banyak berparisipasi. Kesadaran masyarakat sangatlah penting sehingga ketika masyarakat menjalankan hukum karena takut, maka hukum akan berlalu begitu saja. Lain halnya ketika

93 http://blog.unand.ac.id/syahrulfitra/2010/10/15/integritas-penegakan-hukum-di-indonesia,

masyarakat melaksanakan hukum karena kesadaraannya. Di indonesia kesadaran masyarakat terhadap hukum sangat jarang sekali di temui, pelaksanaan hukum masih terpaku pada menonjolnya sikap apatis serta menganggap bahwa penegakan hukum merupakan urusan aparat penegak hukum semata dan tidak

Dokumen terkait