BAB IV UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
B. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan undang-- undang sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 16 huruf a Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), seorang notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Disamping itu notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat dalam membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum. Peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul merupakan sikap yang harus dimiliki notaris sehingga akan menumbuhkan keberanian dalam mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika.
Kepercayaan masyarakat terhadap notaris adalah salah satu bentuk wujud nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya. Akta yang dibuat notaris harus
mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta, dan sebagainya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum penandatanganan dilakukan terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh notaris yang membuat akta tersebut. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan notaris. Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum, dan tentunya hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.
Penegakan hukum (Law Enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak pihak. Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein. Bilamana ketimpangan interaksi terus berlangsung, maka penegakan hukum pada umumnya kurang dapat mencerminkan wujud keadilan yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu politik penegakan
hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, institusi dan aparat penegak hukum, dan budaya hukum.131
Dalam kondisi penegakan hukum parsial, maka menjadi tidak mudah membangun kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Membangun citra baik suatu sistem peradilan, baik untuk urusan hukum publik maupun hukum privat atau keperdataan secara lebih berwibawa dan terpadu sangat diperlukan. Praktek mafia peradilan dan timbulnya campur tangan kekuasaan terhadap kemandirian peradilan, yang pada masa lalu acapkali menjadi cermin buruk sistem peradilan di Indonesia harus segera dihindarkan.
Kurangnya kesadaran menerapkan sistem peradilan terpadu (an integrated justice system), atau karena ego sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat masyarakat tidak mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung. Melihat persoalan hukum sangat legal formal, kurang mau menggunakan yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika berpikir hukum kaca mata kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan tidak berwibawa.132
131
http://law.uii.ac.id/berita-yes/berita-coba/seminar-nasional-prospek-politik-penegakan- hukum-di-indonesia.html, tanggal 10 Juli 2010.
132 . http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/53-fullteks.pdf, tanggal 25 Oktober
Sebagai pengemban amanat dan kepercayaan masyarakat, notaris sebagai pejabat umum sudah seharusnya mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan jabatannya. Adapun upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dilakukan oleh notaris dapat melalui upaya represif/pidana karena melakukan perbuatan pemalsuan merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.133Upaya represif tersebut dapat dilakukan dengan cara :134
a. Klausula penundukan pada undang-undang.
Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang dapat diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain kecuali taat. Jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi ini lalu diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarnya. Dalam rumusan kode etik profesi dicantumkan ketentuan : “pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku”.
b. Legalisasi kode etik.
Tata cara mengenai hal ini: dalam rumusan kode etik ditentukan apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan melalui dewan kehormatan, mana yang harus diselesaikan lewat pengadilan. Untuk memperoleh legaliasasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat agar kode etik profesi disahkan dengan akte penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggotanya.
Selain dari pada itu, ada juga usaha-usaha lain yang dapat dilakukan untuk menegakkan norma-norma profesional, yaitu dapat berupa :135
133
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan Bapak Asmui, SH, tanggal 27 September 2010.
134 http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/53-fullteks.pdf, tanggal 25 Oktober 2010. 135 Ibid.
a. Masing-masing organisasi profesional harus mengevaluasi kembali peraturan- peraturan disiplinnya yang benar-benar diusahakan untuk menjamin perlindungan kepentingan masyarakat dan profesi. Normanya harus jelas dan disosialisasikan. b. Di samping peraturan-peraturan displin baik yang bersifat moral (kode etik), perlu
dirumuskan secara jelas standar profesi, dalam rangka sebagaimana tersebut di atas.
c. Dalam batas-batas tertentu penegakan hukum displin perlu pula dilakukan oleh pemerintah.
d. Setiap organisasi profesional perlu memperkuat dana dan stafnya untuk kepentingan investigasi apabila terjadi perbuatan yang menyimpang.
e. Penyederhanaan prosedur di dalam peradilan disiplin. Di berbagai negara hambatan-hambatannya antara lain adalah sanksi yang tidak dapat diterapkan dengan cepat, keanggotaan ganda di berbagai organisasi professional dan usaha untuk menjaga reputasi profesional yang berkelebihan.
f. Perlunya peningkatan pendidikan dan kursus etika profesional yang mendidik profesional serta peningkatan pendidikan klinis profesional.
g. Perlu adanya kajian yang bersifat intern dan multidisipliner terhadap hukum profesi.
h. Perlu adanya standarisasi kualitas bagi lembaga-lembaga yang mendidik calon profesional.
i. Mendayagunakan sanksi sosial (boykot), sanksi organisasi (pemecatan, anggota ikatan profesi) dan sanksi administrasi (pencabutan ijin praktek).
j. Apabila hukum positif sudah memungkinkan, korporasi yang terlibat atau memperoleh keuntungan dari kejahatan profesional harus dipertanggungjawabkan pula dalam hukum pidana.