• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN

C. Faktor Penyebab Terjadinya Tuntutan Pembatalan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada asasnya perkawinan itu monogami, suami masih dimungkinkan untuk berpoligami dengan ketentuan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya suami menghendaki perkawinan dengan wanita lain itu, sedangkan istri tidak keberatan atas perkawinan tersebut dengan alasan yang sifatnya alternatif, artinya hanya perlu dipenuhi salah satu saja, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila salah satu alasan di atas dipenuhi, maka suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 5 UUP, yang bersifat kumulatif, artinya semua syarat itu harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah (1) adanya persetujuan dari istri/istri-istri, (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan (3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Mengenai persetujuan dari istri/istri-istri, untuk menyatakan ada atau tidak ada persetujuan tersebut harus dibuat tertulis. Jika hanya persetujuan lisan, maka persetujuan itu harus diucapkan di muka persidangan pengadilan. Persetujuan ini tidak diperlukan apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan

tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, misalnya karena sakit ingatan (gila), atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim.

Mengenai syarat kedua yaitu kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, suami harus memperlihatkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat ia bekerja, atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. Mengenai ada atau tidak jaminan berlaku adil, suami membuat pernyataan atau janji dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Dalam praktek walaupun poligami menjadi hal yang ditentang oleh kaum wanita tetapi tetap saja ada yang telah merelakan suami untuk menikah lagi, isteri yang semula merestui dan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selain itu, ditemukan pula adanya perkawinan poligami tanpa izin dari pihak isteri seperti halnya yang terjadi di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Medan, dimana pihak suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin baik oleh pihak isteri maupun pengadilan sehingga menyebabkan pihak isteri mengajukan pembatalan perkawinan.

Pengajuan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin tersebut dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan. Dalam hal ini UU perkawinan

menentukan siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 yang untuk singkatnya dapat disebut sebagai berikut:

a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri b. Suami atau isteri

c. Pejabat yang berwenang d. Pejabat yang ditunjuk e. Jaksa.54

Di samping itu, sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam Pasal 24 UU Perkawinan salah satu dari kedua pihak dalam perkawinan yang

masih terikat dapat juga mengajukan pembatalan ini dengan ketentuan bahwa isi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan diperhatikan. Di lain pihak, para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri dapat memintakan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.55Maksud dari ketentuan ini adalah oknum yang dapat memberi izin menjadi wali terhadap calon mempelai.56

       54

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 31.

55

Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. 56

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No.

1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, CV. Zahir, cet. I, Medan 1975,

Akan tetapi di dalam Pasal ini tidak menentukan apa macamnya garis keturunan itu (patrilinealkah, matrilinealkah atau bilateralkah) sehingga jika kepercayaan atau agama yang dianut tidak menentukannya maka masih berlaku garis keturunan menurut adat setempat.57 Khusus dalam hubungan suami atau isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yang disebabkan karena keadaan-keadaan yang disebut dalam Pasal 27 UU Perkawinan yaitu; dalam perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, tetapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya, untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.58

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan. Kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Apabila salah satu dari syarat perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah (batal) demi hukum.59

       57

Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974,: Tintamas Indonesia, Jakarta cet. I, 1975, hal. 25.

58

Lihat ayat 2 Pasal 26 dan ayat 1,2 dan 3 Pasal 27 Undang-undang Perkawinan. 59

UU Perkawinan Pasal 22 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya.60

Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori:

a. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam

b. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh hukum Islam.

c. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam undang-undang, misalnya:

- Pasal 8 tentang larangan perkawinan

- Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain - Pasal 10 tentang ruju’/kembali setelah talak tiga.61

Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan Pasal 27 dapat dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan, antara lain:

       60

R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya Amin Surabaya, 1985, hal. 70.

61

a. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang

b. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah c. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi.

d. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Sebagai Contoh : seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya.62

Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan.

       62

e. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri.63

Salah sangka yang dimaksud disini adalah mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut

status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan.

Dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i;

b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya;

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas;

       63

Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, Hal. 35.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoran dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri;

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria yang mafqud.

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami li’an;

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Hasil penelitian pada Pengadilan Agama Medan diketahui bahwa pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan

Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.64

Hal ini ditunjukkan dari penelaahan pada kasus yang dipilih sebagai sampel diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan poligami tanpa izin yaitu putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan (lihat Lampiran), di mana dalam hal ini pihak isteri mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan adalah perkawinan poligami dilakukan tanpa izin baik izin isteri maupun izin pengadilan dan dalam perkawinan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur tersebut telah mempunyai seorang anak.

Dari hasil penelaahan terhadap perkara tersebut kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, memutuskan membatalkan perkawinan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai Timur karena Tergugat I melakukan pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka. Hal ini selanjutnya juga diikuti, dengan dibatalkannya Kutipan Akta Nikah Nomor 113/06/IV/2006 Tanggal 4-3-2002 yang dikeluarkan KUA Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.65

       64

Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Medan, Juni 2010.   65

Hafifullah mengatakan bahwa dalam kasus tersebut pihak Tergugat I melakukan tanpa adanya izin dari isteri dan juga izin pengadilan. Bahkan ia telah memanipulasi statusnya yang mengaku jejaka padahal Tergugat I, padahal ia telah terikat perkawinan dengan isterinya (Penggugat) dengan Akta Nikah Nomor 292/1987 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Labuhan Deli. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan tuntutan penggugat untuk membatalkan perkawinan kedua yang dilakukan Tergugat I.66 Jadi dalam hal ini pada kasus tersebut faktor yang paling mendorong dilakukan tuntutan pembatalan adalah melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya.

Pendapat ini juga dibenarkan oleh penggugat sebagai pihak isteri yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang dilakukan suaminya yang telah melakukan pernikahan dengan tergugat kedua tanpa terlebih dahulu meminta izin darinya dan telah merkayasa statusnya sebagai jejaka padahal suaminya (Tergugat I) jelas telah bukan lagi seorang jejaka karena telah memiliki seorang isteri yang sah telah terikat perkawinan dengan isterinya (Penggugat) yang dibuktikan dengan adanya Akta Nikah Nomor 292/1987 dan telah memiliki dua orang anak.67

       66

Hasil Wawancara dengan, Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010

67

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa apabila dikaitkan dengan pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.

A.Pembatalan Perkawinan

Sudah menjadi Sunnatullah bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini diciptakan Allah SWT dan suatu kenyataan pula dalam keberadaan mahluk hidup di muka bumi ini adalah mereka terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, kedua jenis mahluk hidup ini baik pada segi fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis, kedua jenis mahluk tersebut adalah saling membutuhkan, sehingga menjadi berpasang-pasangan atau berjodoh-jodoh.68

Perbedaan ini bukan merupakan perbedaan yang ditimbulkan oleh hukum dan sejarah, tetapi perbedaan tersebut mengandung hikmah yang dalam sebagai bentuk ketentuan Allah SWT. Untuk menyatukan kedua jenis manusia dalam suatu ikatan yang sah maka disyari’atkan perkawinan, adapun pengertian perkawinan menurut hukum Islam secara ekplisit di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 adalah: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.69

       68

M. Zufran Sabrie, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor. 19 Th. 1995, hal. 49

69

Instruksi Presiden RI No. 1 Th. 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000, hal. 14

Baik istilah fasad maupun istilah batal sama-sama berarti suatu pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik karena tidak lengkap syarat atau rukunnya atau karena ada penghalang (mani') bisa disebut akad fasad dan boleh pula disebut akad batal.70

Kata sah berasal dari bahasa Arab "Sahih" yang secara etimologi berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya.Fasad dan batal adalah lawan dari istilah

sah, artinya bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal. 71

Menurut bahasa fasid atau fasad berasal dari bahasa Arab yang berarti rusak.72Andi Tahir Hamid juga berpendapat: bahwa suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat dimohonkan pembatalannya (fasid).73Batalnya akad pernikahan juga disebut fasakh. Adapun pengertian fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah adalah bahwa memfasakh nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antar suami isteri.74

       70

Satria Effendi M. Zein, Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis

Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah), Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 21.

71

Ibid., hal 20-21. 72

A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya 1997, hal. 92 dan 1055.

73

Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 22.

74

Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut al-Qur'an-as-Sunnah dan

Dari pengertian di atas, maka tidak berlebihan kiranya apabila penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud pembatalan nikah adalah usaha membatalkan nikah yang telah sah antara suami isteri disebabkan suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’ atau dibenarkan dalam ketentuan UU Perkawinan.

Hukum perkawinan nasional mengenal adanya perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika perkawinan dilaksanakan, tapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah.75

Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan terpaksa harus dibatalkan, bila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan dianggap sejak semula tidak pernah terjadi.36 Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu

menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula.

Kemudian karena fasid nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan suami isteri itu terpisah untuk selamalamanya, tetapi dapat juga menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah.76

       75

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Ahmad Rofiq,

Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Jakarta ,1995, hal. 75.

76

Gatot Suparmono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 37.

Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Mengenai batalnya perkawinan banyak faktor penyebabnya, dimana jika dilihat dari sudut pandang UU Perkawinan, hal ini terdapat pada Pasal 22 yang berbunyi “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Ketentuan ini ditujukan pada adanya kekurangan-kekurangan dalam memenuhi persyaratan perkawinan dan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan sehingga perkawinan menjadi tidak sah.

Dengan berlakunya UU Perkawinan, sah tidaknya perkawinan oleh Negara ditentukan oleh sah tidaknya perkawinan itu menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu, maka pembatalan perkawinan juga menggunakan ketentuan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya itu.77

Adapun hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu dapat dibatalkan, hal ini sesuai dengan isi Pasal 24, Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut :

       77

Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 63.  

1. Pihak yang melakukan perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan itu mereka dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru (Pasal 24 UU No. I/1974). 2. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang

tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi (Pasal 26 ayat (1) UU No. 1/1974). Menurut hukum Islam, wali nikah yang tidak sah itu apabila wali nikah adalah anak angkat dan tidak memenuhi enam syarat untuk sahnya menjadi wali. Sedangkan syarat sahnya menjadi wali adalah :

a. Beragama Islam b. Dewasa

c. Sehat fikirannya d. Merdeka, bukan budak e. Laki-laki bukan banci

f. Adil yaitu baik menurut agama yaitu tidak pernah melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan atau sembunyi (zina, judi, membunuh orang) dan tidak terus menerus dengan terang-terangan/sembunyi melakukan dosa- dosa kecil (minum-minuman keras).78

3. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau

       78

A.B. Loebis, UU Perkawinan Yang Baru (Komentar dan Analisa). Jakarta, (tanpa tahun), hal. 26.  

isteri (Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No. I/1974). Maksud dari di bawah ancaman yang melanggar hukum ialah ancaman dengan itikad buruk. Misalnya ancaman dari orang tua si gadis yang sudah dihamili oleh seorang pemuda, agar pemuda mengawini anaknya maka bukanlah ancaman yang melanggar hukum. Sedangkan salah sangka mengenai diri suami bisa saja terjadi apabila disangka ia masih bujangan/jejaka tetapi kemudian diketahui sudah mempunyai isteri lain.

Sesuai dengan peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 27 ayat (1) sebagai berikut: “Apabila perkawinan telah berlangsung kemudian dapat larangan menurut hukum munakahat atau perundang-undangan tentang perkawinan, maka pengadilan agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU Perkawinan. Pasal 25 UU Perkawinan menentukan bahwa pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Hal ini disebabkan karena terdapatnya kata ‘dapat’ dibatalkan, penjelasan undang-undang perkawinan mengatakan “Pengertian ‘dapat’ pada Pasal ini (maksudnya Pasal 22 UU Perkawinan) diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Tegasnya, dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan ini pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mereka yang

perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika menurut ketentuan agama perkawinan itu sah, pengadilan tidak dapat membatalkan perkawinan itu.79

Batalnya suatu perkawinan tidak batal dengan sendirinya. Tetapi, perkawinan itu dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi selain Islam. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya.

Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah yang diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal 12 UU Perkawinan.80 Atau seperti yang diterangkan oleh Elis T. Sulistini dalam bukunya: Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata:

Dokumen terkait