• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN

A. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki- laki dan perempuan bersuami isteri.31

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.32 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan

al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad.33 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti

bahwa perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku

       31

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.

32

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468.

33

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media,

III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan.

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.34

       34

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.

Masyarakat manapun di berbagai daerah memiliki aturan dan pola kebiasaan mengatur seksualitas, kelahiran dan mengasuh anaknya. Institusi untuk melingkupi aturan dan pola kebiasaan ini adalah melalui perkawinan. Institusi ini dengan berbagai bentuknya telah ada sepanjang peradaban manusia, misalnya dengan bentuk monogami, poligami, eksogami, endogami dan lain-lain.

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia dan pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya UUP, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu :”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.

Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing

agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.35 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan

       35

perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu :

Pasal 3

(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2)Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3)Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Kemudian menurut Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak

nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel.36 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.37

Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa :

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau ibuan atau keibubapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem kekerabatan antar suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk

       36

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5.

37

lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upaya perkawinannya berbeda-beda”. Amir Syarifuddin juga menjelaskan bahwa :

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.38

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Pasal 45 UU Perkawinan menentukan bahwa hubungan hukum antara orang tua dengan anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri.

Dalam pelaksanaan perkawinan di tengah masyarakat, dikenal beberapa istilah yang menjadi model perkawinan yaitu :

       38

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.

1. Perkawinan Monogami

Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya.

2. Perkawinan Poligami

Perkawinan Poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama. Perkawinan bentuk poligami ini merupakan lawan dari monogamy.

3. Perkawinan Bigami

Perkawinan Bigami adalah bentuk perkawinan, dimana seorang laki-laki mengawini dua perempuan atau lebih dalam masa yang sama dan semuanya bersaudara.

4. Perkawinan Poliandri

Perkawinan Poliandri adalah bentuk perkawinan, dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan.39

Dua istilah model perkawinan di atas yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukum/perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam, Sementara istilah model perkawinan bigami dan poliandri sama sekali tidak dibenarkan.

Dokumen terkait