AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN
POLIGAMI TANPA IZIN DAN KAITANNYA DENGAN
STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
(Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)
TESIS
Oleh
YOLA ARDIZA
087011132
/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
NAMA : YOLA ARDIZA
NIM : 087011132
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN
JUDUL PENELITIAN :
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
(Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)
PEMBIMBING : Prof. Sanwani, S.H.
Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
HARI/TANGGAL :
PUKUL :
TEMPAT : Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana USU
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami
Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)
Nama Mahasiswa : Yola Ardiza
Nomor Pokok : 087011132
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. Sanwani Nasution, S.H. )
Ketua
( Syahril Sofyan, SH, M.Kn. ) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H.)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
(Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)
Yola Ardiza Prof. Sanwani, S.H. Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
ABSTRAK
Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hukum Perkawinan menganut asas monogami tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan poligami asalkan memenuhi ketentuan yang berlaku termasuk dalam hal ini izin dari pihak isteri dan pengadilan. Namun dalam kenyataannya masyarakat terjadi poligami yang dilakukan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan isteri dan izin pengadilan sehingga menimbulkan tuntutan pembatalan sebagaimana yang diatur Pasal 22 UU Perkawinan yang menentukan bahwa “perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dalam seperti dalam putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan yaitu Putusan No. 260/Pdt.G/2004/ PA.Medan, di mana dalam hal ini pihak isteri mengajukan pembatalan perkawinan karena keberatan dengan tindakan suaminya yang menikah lagi tanpa izin.
Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin, pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin dan kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang akibat hukum pembatalan perkawinan poligami dan kaitannya dengan status anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di Pengadilan Negeri Klas IA Medan. Analisis data menggunakan metode kualitatif, sedangkan pengolahan data menggunakan metode deduktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin pada kasus sampel penelitian alasan yang diajukan oleh pihak isteri pertama adalah akibat pihak suami pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka. Pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin adalah karena adanya kecacatan dalam pelaksanaan perkawinan yang dikhususnya pada ketentuan dalam UU Perkawinan khususnya dalam hal tidak terpenuhinya syarat menurut undang-undang walaupun menurut ketentuan syari’at Islam sudah dipenuhi oleh para pihak. Kedudukan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan mempunyai kedudukan yang penuh sebagai anak sah, baik dalam arti yuridis maupun dalam arti sosial, baik anak itu lahir dari perkawinan pertama, kedua, maupun perkawinan selanjutnya, sehingga kedua orang tua tetap bertanggung jawab penuh terhadap anak tersebut.
Kata Kunci
THE LAW CAUSES OF THE CANCELATION OF MARRIAGE WHITHOUT PERMISSION AND THE
RELATIONS WITH THE CHILDREN STATUS
BASED ON THE ACT 1 1974
Article 3 of the Constitutions no 1 of 1974 about Marriage explain that (1) Basically on a marriage a man may only has a wife. A woman may only has a husband. (2) The court can give permission to a husband to have one or more wives if it is desired by people involved. The Law of Marriage holds on to Monogamy principle but in a certain condition, Polygamy can be done if it is fulfills the conditions including the permission of the wife and the court itself. In fact, Polygamy is done secretly by the society without being known by their wives and the court and makes any prosecution of cancellation that sets up at the Article 22 of the Marriage Constitutions that explains, “Marriage can be cancelled if it doesn’t fulfill the conditions to make a marriage that fits in the decision of the Religion Court I-A Class Medan, it is No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan, in this matter the wife submits a cancellation of the marriage because of the objection to her husband’s misbehave that get married to another woman without any permissions.
This writing goals to explain the factors of the reasons why the prosecutions of cancellation of without permission of polygamy marriage, the consideration of the Judge on the prosecution of cancellation of without permission of polygamy marriage and the position of the children and the responsibility of the parents of their children in the result of the cancellation polygamy marriage.
The researching using analist descriptive researches method with yuridical normative, that explains and analizes about the prosecution of the cancellation of polygamy marriage and its relation with the status of the children according to the Constitutions No. 1 of 1974 of the Religion Court I-A Class Medan. The data analizing using qualitative method, meanwhile the process of the data using deductive method to get a conclusion.
From the result of the research, in common, it is known that the factors of the cause of the prosecution of the cancellation of without permission of polygamy marriage can be caused ; (1) the husband do the polygamy without permission from his wife or the Religion Court, (2) the woman whom taken as a wife still has a marriage status with other person, (3) the marriage is done without any guardian or unvalid guardians and the mariage is on underpressure. In the sample of the case of the causes that being given by the first wife is the cause of the husband do the second marriage without any permission and the court and the husband counterfits his status as a singel man. The consideration of the Judge on the prosecution of the cancellation polygamy marriage without permission is because of there is a disability in the run of the marriage on the set of the Marriage Constitutions especially in the uncompleted conditions based on the set of Islamic Syari’ah has been fulfilled by the people involved. The position of the children whom was born in a marriage have the equal position as legal children, both in yuridicial meaning and social meaning, it is also valid on the first, second, thirth or further marriaages, so the both parents should be full of responsibility on that children.
Key Words
KATA PENGANTAR
Bismiillahirrahmanrrahim
Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena
hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI DAN
KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)”. Penulisan tesis ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
(M.Kn.) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Prof. Sanwani, S.H. , Bapak Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. dan
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Komisi Pembimbing yang telah
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan
dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan
kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat
bermanfaat kepada Penulis selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar
mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf / Pegawai di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani
7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah banyak
memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya yaitu Ayahanda
H. Ir. Muchrizal dan Ibunda Hj. Ardina, “I’m feeling so proud having
parents like you both, I’m nothing without you by my side and I would like to
dedicate this thesis for you both”.
9. Saudara saudari ku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis
yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu dan kepada sepupu-sepupu ku
Qiquq “you’re the best sista i ever had”, Ita dan Kak Pipit. Untuk
sahabat-sahabatku yang sama-sama berjuang Dessy dan Azmi “years go by and I’m
feeling so happy that we’re still together until now, I hope that we could be
best friends forever”.
10.“My special one Muhammad Reza Fahlevi, thanks so much for your endless
support, love and patient, I do appreciate it ‘Bun-bun’.”
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya
dan ilmu kenotariaan pada khususnya.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Juli 2010
Penulis,
Yola Ardiza
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ………... i
ABSTRACT .……... ii
KATA PENGANTAR ……... iii
DAFTAR ISI ………….……… vii
BAB I. PENDAHULUAN A.Latar belakang ... 1
B.Identifiksi Masalah ... 10
C.Tujuan Penelitian ... 11
D.Manfaat Penelitian …... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 14
G.Metode Penelitian ... 30
BAB II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN A.Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 …..……… 35
B.Poligami dalam Sistem Hukum Indonesia …….………….. 44
1. Pengertian dan Sejarah Poligami di Indonesia …..…..…. 44
2. Perkembangan Hukum masalah Poligami di Indonesia …..……… 48
BAB III. PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
TUNTUTAN PEMBATALAN PERKAWINAN
POLIGAMI TANPA IZIN
A.Pembatalan Perkawinan …….……… 69
B.Alasan Pembatalan Pekawinan menurut Undang-undang
Perkawinan ……… 77
C.Pertimbangan Hakim Terhadap Tuntutan Pembatalan
Perkawinan Poligami Tanpa Izin ……….. 83
BAB IV. KEDUDUKAN ANAK DAN TANGGUNG JAWAB
ORANG TUA TERHADAP ANAK YANG LAHIR
DARI PERKAWINAN POLIGAMI YANG DIBATALKAN
A.Pengertian Anak dan Kedudukan Anak …..………. 91
B.Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak …..…….…… 110
C.Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak yang
Lahir Dari Perkawinan Poligami yang Dibatalkan …….….. 120
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……... 133
B. Saran ……... 134
DAFTAR PUSTAKA ……... 137
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
(Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)
Yola Ardiza Prof. Sanwani, S.H. Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
ABSTRAK
Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hukum Perkawinan menganut asas monogami tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan poligami asalkan memenuhi ketentuan yang berlaku termasuk dalam hal ini izin dari pihak isteri dan pengadilan. Namun dalam kenyataannya masyarakat terjadi poligami yang dilakukan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan isteri dan izin pengadilan sehingga menimbulkan tuntutan pembatalan sebagaimana yang diatur Pasal 22 UU Perkawinan yang menentukan bahwa “perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dalam seperti dalam putusan Pengadilan Agama Klas I-A Medan yaitu Putusan No. 260/Pdt.G/2004/ PA.Medan, di mana dalam hal ini pihak isteri mengajukan pembatalan perkawinan karena keberatan dengan tindakan suaminya yang menikah lagi tanpa izin.
Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin, pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin dan kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang akibat hukum pembatalan perkawinan poligami dan kaitannya dengan status anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di Pengadilan Negeri Klas IA Medan. Analisis data menggunakan metode kualitatif, sedangkan pengolahan data menggunakan metode deduktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin pada kasus sampel penelitian alasan yang diajukan oleh pihak isteri pertama adalah akibat pihak suami pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka. Pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin adalah karena adanya kecacatan dalam pelaksanaan perkawinan yang dikhususnya pada ketentuan dalam UU Perkawinan khususnya dalam hal tidak terpenuhinya syarat menurut undang-undang walaupun menurut ketentuan syari’at Islam sudah dipenuhi oleh para pihak. Kedudukan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan mempunyai kedudukan yang penuh sebagai anak sah, baik dalam arti yuridis maupun dalam arti sosial, baik anak itu lahir dari perkawinan pertama, kedua, maupun perkawinan selanjutnya, sehingga kedua orang tua tetap bertanggung jawab penuh terhadap anak tersebut.
Kata Kunci
THE LAW CAUSES OF THE CANCELATION OF MARRIAGE WHITHOUT PERMISSION AND THE
RELATIONS WITH THE CHILDREN STATUS
BASED ON THE ACT 1 1974
Article 3 of the Constitutions no 1 of 1974 about Marriage explain that (1) Basically on a marriage a man may only has a wife. A woman may only has a husband. (2) The court can give permission to a husband to have one or more wives if it is desired by people involved. The Law of Marriage holds on to Monogamy principle but in a certain condition, Polygamy can be done if it is fulfills the conditions including the permission of the wife and the court itself. In fact, Polygamy is done secretly by the society without being known by their wives and the court and makes any prosecution of cancellation that sets up at the Article 22 of the Marriage Constitutions that explains, “Marriage can be cancelled if it doesn’t fulfill the conditions to make a marriage that fits in the decision of the Religion Court I-A Class Medan, it is No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan, in this matter the wife submits a cancellation of the marriage because of the objection to her husband’s misbehave that get married to another woman without any permissions.
This writing goals to explain the factors of the reasons why the prosecutions of cancellation of without permission of polygamy marriage, the consideration of the Judge on the prosecution of cancellation of without permission of polygamy marriage and the position of the children and the responsibility of the parents of their children in the result of the cancellation polygamy marriage.
The researching using analist descriptive researches method with yuridical normative, that explains and analizes about the prosecution of the cancellation of polygamy marriage and its relation with the status of the children according to the Constitutions No. 1 of 1974 of the Religion Court I-A Class Medan. The data analizing using qualitative method, meanwhile the process of the data using deductive method to get a conclusion.
From the result of the research, in common, it is known that the factors of the cause of the prosecution of the cancellation of without permission of polygamy marriage can be caused ; (1) the husband do the polygamy without permission from his wife or the Religion Court, (2) the woman whom taken as a wife still has a marriage status with other person, (3) the marriage is done without any guardian or unvalid guardians and the mariage is on underpressure. In the sample of the case of the causes that being given by the first wife is the cause of the husband do the second marriage without any permission and the court and the husband counterfits his status as a singel man. The consideration of the Judge on the prosecution of the cancellation polygamy marriage without permission is because of there is a disability in the run of the marriage on the set of the Marriage Constitutions especially in the uncompleted conditions based on the set of Islamic Syari’ah has been fulfilled by the people involved. The position of the children whom was born in a marriage have the equal position as legal children, both in yuridicial meaning and social meaning, it is also valid on the first, second, thirth or further marriaages, so the both parents should be full of responsibility on that children.
Key Words
A. Latar Belakang
Terbentuknya masyarakat manusia dimulai dari hubungan antara dua orang
manusia yang berlainan jenis, yaitu seorang pria dan wanita yang hidup bersama.
Adanya keinginan untuk hidup bersama mendorong orang untuk melakukan
perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab
antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur
tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.
Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri
untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya
hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga,
karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah
keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan
kasih mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa
diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Peraturan ini mengalami
dipengaruhi oleh pengetahuan,kepercayaan dan keagamaan yang dianut dalam
masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di
Indonesia sebelum Tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan
penduduk indonesia, yaitu :1
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama
yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang
indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan
berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam
hukum islam.
2. Bagi orang-orang indonesia lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan
Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan
asing lainnya berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat
tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.
Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu
aturan yang merupakan realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki undang-undang
yang bersifat nasional dan sesuai dengan falsafal Pancasila.
Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan).
Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman
dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan
tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali
seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan
lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.
Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja
atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin
merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.2
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
2
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Iman Jauhari mengemukakan bahwa :
Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya itu.
2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
3. Perkawinan berasas monogami.
4. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan.
5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun.
6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.
7. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang
menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang
3
melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang
mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan
anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Didasarkan Pasal 45 UU Perkawinan hukum antara orang tua dengan anak
menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara
dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri.
Hubungan perkawinan juga dapat putus bukan hanya karena kematian atau
perceraian, tetapi juga karena pembatalan sekalipun perkawinan tersebut telah
diperoleh keturunan. Bagaimanapun ketatnya pengawasan kemungkinan terjadi
perkawinan yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi, sudah selayaknya
perkawinan itu dapat dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Adanya
larangan soal pembatalan dapat diajukan lewat pengadilan, agar suatu perkawinan
tertentu sah atau batal.
Pembatalan perkawinan dengan putusan pengadilan itu dianggap seolah-olah
sama sekali tidak terjadi perkawinan, ataukah perkawinan yang dinyatakan batal
itu harus disamakan dengan suatu perkawinan yang terputus secara talaq.
Sehingga akibat hukum yang terjadi sebelum putusan itu tetap dipertahankan,
seperti misalnya kalau sudah ada anak dari perkawinan itu, maka anak tersebut
tetap merupakan anak sah dari suami istri.4
4
Banyak faktor yang melatar belakangi pembatalan perkawinan tersebut,
salah satunya adalah keinginan suami untuk memiliki istri lebih dari satu atau
disebut juga poligami. Kaum wanita memandang poligami sebagai sesuatu yang
menakutkan, karena sebagian wanita beranggapan bila suaminya melakukan
perkawinan poligami menandakan bahwa rumah tangganya berantakan gara-gara
poligami. Oleh karena itu, banyak yang menentang adanya poligami dalam
pernikahan atau hubungan perkawinannya.
Mengenai dibolehkannya poligami ini Pasal 3 UU Perkawinan menentukan
bahwa :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan juga menyebutkan bahwa
pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa persyaratan yang
tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Perkawinan telah dipenuhi harus mengingat
pula ketentuan hukum perkawinan dari calon suami yang mengizinkan
perkawinan.
Pasal 4 UU Perkawinan menentukan bahwa:
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya ditentukan bahwa permohonan izin poligami harus memenuhi
syarat, (1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, (2) adanya kepastian suami
mampu memenuhi keperluan hidup isteri dan anak-anaknya, (3) adanya jaminan
suami memenuhi keperluan hidup isteri dan anak-anaknya.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa hukum perkawinan Nasional
walaupun menganut prinsip monogami tetapi dibuka peluang bagi seorang
pria untuk berpoligami apabila dapat memenuhi ketentuan yang berlaku.
Dengan adanya peluang untuk melakukan poligami menyebabkan pihak suami
melakukan tindakan yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Menurut ketentuan Undang-undang perkawinan beristeri lebih dari satu
orang harus mempunyai izin dari pengadilan agama dan memenuhi syarat lain
(1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, (2) isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan (3) isteri tidak dapat
melahirkan keturunan. Namun demikian, dalam praktek peluang tersebut
kemudian disalahgunakan oleh pihak suami sehingga menyebabkan terjadinya
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa di dalam hukum perkawinan yang ada di
Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada
azaznya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri apabila seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang maka harus
mengajukan permohonan kepada pengadilan, undang-undang perkawinan tidak
melarang tetapi membatasi seorang suami untuk mudah beristri lebih dari satu.
Salah satu syaratnya adalah persetujuan dari istrinya. Apabila istri tidak
mengizinkan suaminya untuk berpoligami maka perkawinan yang dilakukan
suaminya dapat dibatalkan.
Pembatalan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 22
UU Perkawinan yang menentukan bahwa “perkawinan dapat dibatalkan apabila
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Alasan-alasan
yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang.
2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,
3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
4. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum,
5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
Pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh salah satu dari suami istri
yang bersangkutan, antar lain karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas dari suami atau istri. Selain itu, dapat pula diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang lain yang berkepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut. Apabila perkawinan tersebut
merupakan perkawinan kedua kalinya dari suami istri, maka pembatalan dapat
diajukan oleh orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu dari
pasangan suami istri tersebut.
Perkawinan yang kedua bagi seorang suami hanya dapat dilangsungkan
dengan izin dari istri pertama. Apabila tidak diperoleh izin, suami berhak
mengajukan permohonan perkawinan ke pengadilan. Namun kenyataannya
perkawinan kedua seorang suami dilakukan baik tanpa izin istri maupun tanpa izin
pengadilan. Perkawinan yang dilakukan tanpa seizin dari istri pertama dapat
dibatalkan.
Putusnya perkawinan karena pembatalan, tidak saja berakibat terhadap
hubungan antara suami istri atau harta benda dalam perkawinan, tetapi juga
terhadap status si anak dan hubungan orang tua dengan anak. Apabila salah satu
orang tua menolak untuk bertanggung jawab dalam pemeliharaan anak, baik dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya, maka
Hasil penelitian pada Pengadilan Agama Klas I-A Medan diketahui
bahwa terdapat salah satu kasus pembatalan perkawinan yaitu Putusan
No. 260/Pdt.G/2004/PA.Medan, di mana dalam hal ini pihak isteri mengajukan
pembatalan perkawinan karena keberatan dengan tindakan suaminya yang
menikah lagi tanpa izin dan dijadikan objek penelitian. Dalam perkara ini yang
menjadi alasan atau dasar tuntutan pembatalan perkawinan adalah perkawinan
poligami dilakukan tanpa izin baik izin isteri maupun izin pengadilan dan dalam
perkawinan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2002 di KUA Kecamatan Binjai
Timur tersebut telah mempunyai seorang anak.
Berdasarkan uraian sebagaimana yang diuraikan tersebut, maka penulis
berkeinginan melakukan penelaahan lebih lanjut tentang akibat hukum
perkawinan poligami tanpa izin dikaitkan dengan status anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Hasill penelitian ini kemudian dituangkan dalam
sebuah tesis dengan judul : “AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PERKAWINAN POLIGAMI DAN KAITANNYA DENGAN STATUS
ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi di
Pengadilan Agama Klas I-A Medan)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa
1. Apakah faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami
tanpa izin ?
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan
poligami tanpa izin ?
3. Bagaimana kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak anak
yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi
tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan
poligami tanpa izin .
2. Untuk menjelaskan pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan
perkawinan poligami tanpa izin.
3. Untuk menjelaskan kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap
anak anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak baik
bagi peneliti, para pihak yang nantinya dihadapkan dalam tuntutan pembatalan
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur
kepustakaan tentang pembatalan perkawinan poligami, dan memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum
pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya, terutama tentang
bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan poligami terhadap status
anak.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
kalangan praktisi dalam menangani suatu perkara termasuk perkara perkawinan
poligami yang saat ini diketahui banyak terjadi di masyarakat. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan
bagi praktisi hukum, penasehat perkawinan, advokat, mahasiswa dan
masyarakat umum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis
1. Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Poligami yang
dilangsungkan Tanpa Izin Pengadilan (Studi Kasus pada Pengadilan Agama
Padang) Oleh Nani Ika Nim 047011012. Rumusan masalah yang dibahas
adalah (a) faktor penyebab dilakukan poligami tanpa izin, (b) akibat hukum
yang timbul dari perkawinan poligami tanpa izin, dan (c) tindakan hukum yang
dilakukan pihak isteri pertama terhadap poligami tanpa izin.
2. Penelitian dengan Judul “Kedudukan Perjanjian Perkawinan dan Akibat
Hukumnya Ditinjau dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Kota Medan) Oleh
Fitrianti Chuzaimah Nim. 057011032. Rumusan masalah yang dibahas adalah
(a) kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (b) peran Notaris dalam pembuatan
akta perjanjian Perkawinan dan (c) akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan
perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya.
3. Penelitian dengan Judul “Perbandingan Satus Anak Angkat dalam
Kewarisan Hukum Islam dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Penelitian pada Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Agama
Medan), Oleh Erwansyah, 057011028. Rumusan masalah yang dibahas adalah
(a) kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dan KUH Perdata, (b)
Pertimbangan hakim dalam memberikan hak kearian bagi anak angkat dan
(c) hak anak angkat terhadap warisan orang tua angkat menurut hukum Islam
Dari ketiga judul penelitian di atas terlihat tidak ada kesamaan dengan
penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul “AKIBAT HUKUM
PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI TANPA IZIN DAN
KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)” ini
belum ada yang membahasnya, sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi,5 dan satu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.6 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.7
Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata
sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan
hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang
5
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 6
Ibid., hal. 203
7
akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis
dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa :
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.8
Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,
apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah,
sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi
unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah
merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak
menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang
diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau
ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiaban terhadap yang diperintah,
keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak
yang berdaulat.9
Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang
dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab
manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang
8
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.
9
anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum. Anak dilahirkan karena adanya
perkawinan orang tuanya.
Perkawinan menurut UU Perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang
merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri.
Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan
ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang
bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana
untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau
merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat.10
Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk waktu yang lama
atau suatu hubungan hukum anatara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup
bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.
Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan
yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif yaitu
syarat- 10
syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang
diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari :
1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.
3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
4. Tidak ada larangan perkawinan.
5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.
6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.
7. Harus telah lewat waktu tunggu/masa iddah bagi janda.
Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. Tata cara
melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan
pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut
didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada
keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan
dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.
Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak,
Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi
mengenai hal-hal yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari
ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, yaitu :
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan.
2. Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak perkawinan tersebut.
3. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya.
4. Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
5. Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.
Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai
berikut :
(1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami tedahulu.
(4) Dispensasi. (5) Izin Pengadilan. (6) Persetujuan
(7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata.
(8) Perjanjian perkawinan apabila ada
(9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
(10)Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan
perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang
suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak
memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya
ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca
dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak istri yang
dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan
Agama.
Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seseorang untuk
berpoligami. Perkawinan seseorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu yang diputuskan pengadilan.
pihak harus masak jiwa dan raganya dan adanya itikad baik, agar tujuan
perkawinan dapat tercapai dan mendapatkan keturunan yang baik.
Mengenai dibolehkannya poligami ini Pasal 3 UU Perkawinan menentukan
bahwa :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa pengadilan dalam
memberikan putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi harus mengingat pula ketentuan hukum
perkawinan dari calon suami yang mengizinkan perkawinan.
Pasal 4 menentukan bahwa:
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya ditentukan bahwa permohonan izin poligami harus memenuhi
syarat, (1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, (2) adanya kepastian suami
suami memenuhi keperluan hidup isteri dan anak-anaknya. Dengan demikian,
jelaslah bahwa dalam hukum perkawinan Nasional walaupun menganut prinsip
monogami tetapi dibuka peluang bagi seorang pria untuk berpoligami.
Pada dasarnya perkawinan termasuk perkawinan poligami bertujuan untuk
membentuk rumah tangga sekali seumur hidup, tetapi dalam kenyataannya
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian maupun pembatalan.
Didasarkan Pasal 22 UU Perkawinan perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap perkawinan adalah
sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat akte resmi yang
juga dimuat dalam pencatatan.
Pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat
yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk
tersebut Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
Didasarkan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bahwa diantara kedua calon
larangan perkawinan dibedakan antara dua, yaitu larangan tetap dan larangan
sementara. Larangan tetap yaitu perkawinan yang dilakukan karena adanya
pertalian darah, pertalian semenda, pertalian susuan. Larangan sementara ialah
mengawini dalam waktu yang sama wanita bersaudara, mengawini lebih dari
empat wanita dalam waktu yang sama, isteri yang telah ditalak tiga kali, wanita
isteri orang lain, wanita yang masih dalam masa iddah, wanita yang tidak
beragama islam.11
Menurut Pasal 70 dan 71 Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara
perkawinan batal demi hukum dengan perkawinan dapat dibatalkan, yaitu
perkawinan batal apabila :
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu
dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raji’I (talak tiga/ talak besar);
2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya (talak dari
suami bahwa isterinya telah selingkuh);
3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali jika bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria
lain yang kemudian bercerai lagi dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya.
11
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
semenda dan susunan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974.
5. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
atau isteri-isterinya.
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama;
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
isteri pria lain;
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974;
5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak;
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Di dalam hukum adat di Indonesia tidak dikenal adanya lembaga pembatalan
perkawinan, karena pada dasarnya hukum adat tidak berpegang pada persyaratan
perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas
umur, larangan poligami, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan
perkawinan.12
12
Mengenai akibat hukum perkawinan yang tidak sah, masih terdapat
perbedaan pendapat diantara para sarjana hukum, apakah suatu perkawinan
hanya dapat dibatalkan atau mungkin suatu perkawinan batal demi hukum.
Menurut R. Soetojo. yang dikutip Ali Afandi, istilah batalnya perkawinan tidak
tepat, yang tepat adalah dapat dibatalkan. Alasannya bilamana perkawinan itu
tidak memenuhi syarat-syarat maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah
diajukan ke pengadilan, artinya perkawinan tersebut sah sampai dinyatakan batal
oleh hakim.13
Pendapat ini didasarkan pada ketentuan Pasal 22 UU Perkawinan, maka
perkawinan hanya mungkin dapat dibatalkan tidak mungkin menjadi batal
karena hukum. Sedangkan Ali Afandi sendiri berpendapat pada prinsipnya,
suatu perkawinan yang telah dilangsungkan adalah sah sampai pada saat
perkawinan dinyatakan batal.14
Ridwan Syahrani berpendapat bahwa sebenarnya istilah perkawinan batal
demi hukum tidak tepat karena berarti perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada. Dengan demikian pembatalan perkawinan adalah :
Perkawinan putus demi hukum yang maksudnya perkawinan tidak sah beserta segala akibat hukumnya apabila ternyata perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan agama dan kepercayaannya masing-masing pihak yang melakukan pekawinan terhitung sejak perkawinan itu dilaksanakan, artinya perkawinan tersebut walupun tidak sah sejak
13
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 117 .
14
perkawinan dilaksanakan, bukan berarti perkawinan tersebut tidak pernah ada.15
Perkawinan bukan hanya masalah antara seorang pria dan seorang wanita
yang akan melaksanakan perkawinan melainkan juga menimbulkan akibat hukum,
baik terhadap suami isteri, harta kekayaan, maupun hubungan antara pasangan
tersebut dengan anak yang lahir dari perkawinan.
Anak yang lahir dari suatu perkawinan mempunyai hak dan kewajiban.
Masalah hak dan kedudukan anak benar-benar dilindungi oleh Negara. Pengertian
anak berdasarkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Di dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam
Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan
terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta
kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga catatan sipil.16
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak
kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak
kandung yang sah. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya. Dilihat dari segi perlindungan hukum anak,
maka hal ini sangat merugikan anak yang lahir di luar perkawinan, karena ia tidak
15
Ridwan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hal. 50.
16
berhak dibiayai hidup dan pendidikan oleh ayahnya, yang turut menyebabkan ia
lahir didunia dan oleh karena itu seharusnya ikut bertanggung jawab atas
kehidupan dan kesejahteraan anak tersebut.17
Untuk dapat membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan dengan
cara :18
1. Adanya akte kelahiran
2. Surat keterangan kenal lahir
3. Kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan surat
keterangan dokter, bidan, dukun bayi, dan lain-lainnya.
Menentukan apakah seorang anak lahir sebagai akibat dari suatu perkawinan
atau bukan dilihat dari panjang masa kehamilan ibunya, namun Undang-undang
Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini seperti juga dalam Hukum Adat.
Pada asasnya, anak yang dilahirkan lebih dari 179 (seratus tujuhpuluh Sembilan)
hari sesudah perkawinan, tidak dapat diingkari keabsahannya, sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Pedata.19
Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
khusus,kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan sesuai dengan martabat kemanusiaan,
untuk itu di perlukan Undang-Undang untuk melindungi kepentingan anak.
17
K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal.44 18
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan
Pelaksanaan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm.43
19
Undang-undang perlindungan anak yaitu Undang-umdang No.23 Tahun 2002
dibentuk untuk mengatur bahwa semua tindakan yang menyangkut diri anak harus
mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan terbaik si anak. Negara wajib
memberikan perawatan yang memadai jika orang tua atau wali gagal
memberikannya.
Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab negara tetapi
terutama menjadi tanggung jawab orang tua anak tersebut. Kitab Undang-undang
Hukum Perdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua dimana kekuasaan
orang tua yang tidak hanya menyangkut hak asuh orang tua tetapi juga pengurusan
orang tua terhadap hak anak yang berhubungan dengan harta kekayaan atau
warisan.
Didasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 diatur mengenai kekuasaan
orang tua bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Salah seorang atau kedua
orang tuanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang.20
Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pemeliharaan anak yang masih
dibawah umur atau belum dewasa adalah hak ibunya, sedangkan seluruh biaya
20
pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sampai
anak itu dewasa atau mandiri.
Kewajiban orang tua terhadap anak dalam Hukum Adat harus dilihat
dari susunan masyarakat kekerabatan yang bersangkutan.21 Dalam masyarakat
dengan susunan kekerabatan yang patrilineal maka tanggung jawab untuk
memelihara anak-anaknya adalah berada di pihak ayah, sedangkan dalam
masyarakat dengan susunan kekerabatan matrilineal adalah pihak ibu. Dalam
susunan kekerabatan parental yang mempunyai tanggung jawab untuk memelihara
anak-anaknya adalah ayah dan ibunya.
2. Konsepsional
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang
lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam
hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.22
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.23
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977, hal.140 22
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397 23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu
penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak
menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational
definition). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang
dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi
sebagai berikut :
1. Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan dengan adanya suatu
peristiwa atau perbuatan yang dikaitkan dengan ketentuan hukum yang berlaku
dalam ruang lingkup peristiwa atau perbuatan hokum tersebut.
2. Perkawinan adalah Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan).
3. Pembatalan perkawinan adalah suatu perbuatan yang menganggap perkawinan
yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap
tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak
tidak memenuhi syarat dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU
Perkawinan).24
24
4. Poligami adalah Ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih
dari satu orang isteri dalam waktu yang sama.25
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
6. Status anak adalah kedudukan dan hubungan secara hukum anak dengan orang
tuanya dalam hal ini terhadap anak yang lahir dari perkawinan poligami yang
dibatalkan.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan
penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus
menganalisis tentang akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap status
anak. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.26
Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah
tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan
metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum
25
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal.43
26
normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir
pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan
kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk
(teoritis).
Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perundang-undanagn yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari
aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang
hidup di tengah-tengah masyarakat.
2. Lokasi dan Populasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Medan khususnya pada Pengadilan
Agama Medan. Dalam hal ini data diperoleh dari populasi penelitian yang
terdiri dari para pihak yang terlibat dalam pembatalan perkawinan poligami
pada Pengadilan Agama Medan.
3. Sumber data
Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang
diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a. Peraturan perundang-undangan
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan
hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,
tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
yang relevan dengan peneltian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan
hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia.
Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (field research)
dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam
penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis
permasalahan yang telah dirumuskan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang
berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah,
majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan
b. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang
berkaitan dengan materi penelitian.
Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara
langsung kepada responden27 dan informan28 dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun penelitian
lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai dengan Hakim dan Panitera
Pengadilan Agama Medan sebagai responden dan Ketua Pengadilan Agama
Medan sebagai informan.
5. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang
penting.
27
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71, menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan
28
b. Wawancara29 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview
quide)30. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini
dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam
(depth interview).
6. Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder
secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan
membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan
berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam
tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah
dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan
dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk
menmperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
29
Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
30
Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,