• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PERMASALAHAN HUTANG KARTU KREDIT

Dalam dokumen T1 222010001 Full text (Halaman 38-46)

Dari pengalaman-pengalaman negara Hongkong SAR, Korea Selatan, Taiwan, Amerika, dan Indonesia dapat diambil beberapa faktor-faktor yang mengubah hutang kartu kredit menjadi sebuah masalah bagi industri perbankan dan negara, sebagai berikut:

55

Laporan Perbankan Indonesia 2013

Kartu kredit , 223,369,577.14 Kartu debit, 3,797,370,437.75 - 500,000,000.00 1,000,000,000.00 1,500,000,000.00 2,000,000,000.00 2,500,000,000.00 3,000,000,000.00 3,500,000,000.00 4,000,000,000.00 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

39 Keadaan Ekonomi Makro yang Tidak Stabil

Keadaan makroekonomi yang tidak stabil penyebab pertama terjadinya krisis perbankan (Vodova, 2003). Dari negara-negara yang digunakan dalam penelitian ini, peningkatan penggunaan dan hutang kartu kredit yang cepat diakibatkan oleh peralihan pemerintah ke sektor konsumsi karena menurunnya sektor investasi dan ekspor. Hutang rumah tangga melalui hutang kartu kredit dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara melalui pertumbuhan sektor rumah tangga, seperti yang terjadi di Korea Selatan, Hongkong SAR, dan Taiwan. Pemerintah negara tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi yang telah mengalami resesi akibat krisis Asia tahun 1997.

Selanjutnya negara Amerika juga mengalami permasalahan hutang kartu kredit yang juga dipengaruhi oleh keadaan makro ekonomi yang tidak stabil akibat krisis Global 2008. Krisis ini meningkatkan tingkat pengangguran di Amerika dan membuat pengguna kartu kredit mengalami kesulitan membayar hutangnya. Akibatnya, hutang kartu kredit menjadi ketakutan krisis selanjutnya bagi Amerika karena kartu kredit sudah menjadi gaya hidup transaksi mayoritas bagian dan masyarakat Amerika.

Gelembung Hutang Kartu Kredit (Credit Bubble)

Asset price bubbles atau credit booms – bust atau credit crunch memicu krisis keuangan (Kose dan Claessens, 2013). Credit bubble adalah menggelembungnya hutang kartu kredit dan meledak. Menggelembungnya hutang kartu kredit terlihat dari semakin besarnya hutang kartu kredit yang dimiliki negara hingga mulai terganggu fungsi intermediasinya karena tidak ada kewajiban hutang yang terbayarkan.

Hutang kartu kredit meledak ketika perbankan dan lembaga kartu kredit menggunakan wewenangnya untuk meningkatkan tingkat bunga, biaya yang wajib dibayar per bulan, dan biaya pinalti keterlembatan untuk menghindari gagal bayar. Bukan terhindarnya gagal bayar, tetapi semakin besarnya pengguna yang gagal bayar dan mengajukan kebangkrutan pribadi. Pemotongan pendapatan dan penghilangan hak hutang dari penerbit kepada pemegang kartu kredit membuat pemegang kartu kredit semakin tidak mampu membayar hutang mereka di sisi lain mereka memiliki kehidupan yang perlu dibayar. Kebijakan penghentian hak

40

hutang pemegang kartu kredit dari kesepakatan terdahulu ditetapkan agar jumlah hutang tidak semakin besar, baik untuk penerbit kartu kredit tetapi bagi pemegang kartu kredit yang tidak lagi memiliki pendapatan dan aset yang cukup untuk menutup hutang mereka menjadi tombak karena gali lubang tutup lubang tidak bisa digunakan.

Ketidaksiapan Penerbit Kartu Kredit dan Pemerintah Menghadapi Liberalisasi Keuangan

Liberalisasi keuangan adalah membuat semakin efisienya sistem pembayaran dan transaksi dalam sistem keuangan. Industri kartu kredit adalah salah satu bentuk liberalisi keuangan. Ketidaksiapan dalam liberalisasi keuangan dalam industri kartu kredit menjebak penerbit kartu kredit, pemegang kartu kredit, dan pemerintah.

Ketidaksiapan liberalisasi keuangan terlihat dari kurangnya pengetahuan dan pengalaman pelaku kartu kredit baru ataupun lama di industri kartu kredit (Kang dan Ma, 2009; Vodova, 2003). Bentuk ketidaksiapan adalah proses penyaringan peminjam dan standar peminjaman (underwriting standard) yang dianggap ringan hingga standarnya diturunkan untuk mendapatkan pemegang kartu kredit, seperti apakah memiliki pendapatan, kemampuan membayar kewajiban, dan riwayat pinjaman calon pemegang kartu kredit. Bentuk ketidaksiapan yang lain adalah terbatasnya infrastruktur pelaporan dan saling berbagi informasi tentang kredit, seperti riwayat pemegang kartu kredit yang baik atau buruk, siapa yang memiliki kartu kredit di suatu penerbit, dan seberapa besar kewajiban pengguna tersebut. Meskipun terbatasnya infrastruktur pelaporan kredit, beberapa lembaga penerbit dan perbankan sengaja menyembunyikan informasi sebagai bentuk monopolisitik industri kartu kredit bagi perusahaan mereka.

Manajemen Hutang Pemegang Kartu Kredit yang Buruk

Hutang kartu kredit macet yang besar ketika tidak dimanajemen dengan baik akan membawa penggunanya bukan sebagai pengguna gagal bayar, tetapi menjadi personal bankruptcy. Besarnya hutang diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama pengguna kartu kredit ingin memenuhi standar hidup tinggi yang

41

tidak bisa mereka capai tanpa kartu kredit, karena alasan status dan ingin kehadirannya dihormati.

Kedua, penggunaan kartu kredit yang tidak semestinya seperti perjudian dan menggunakannya untuk mayoritas konsumsinya tanpa melihat apakah dia mampu melunasi atau tidak. Ketiga, ekspektasi pengguna bahwa pendapatan mereka akan bertambah di masa yang akan datang dan pemikiran bahwa dia besok akan mendapatkan pekerjaan. Pemikiran ini mendorong penggunanya untuk melakukan konsumsi di atas kemampuan rata-ratanya karena berpikir besok akan bisa melunasinya. Tetapi ketika ekspektasi tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah penumpukan hutang yang belum terbayarkan dan pengeluaran yang berlebihan hingga melebihi pendapatan (over budget).

Ketika pengguna kartu kredit dihadapkan pada hutang yang menumpuk dan relatif besar, mereka seharusnya tidak lagi menggunakan hutang-hutangnya dan mulai mencari pendapatan untuk segera melunasi hutang. Tetapi khususnya revolvers yang mengalami kecanduan akan kartu kredit akan terus menggunakan hutangnya hingga mulai sadar sudah mencapai batas limit kreditnya, sehingga hutang semakin besar dan menjadi beban hidup mereka.

Informasi Asimetris

Informasi asimetris merupakan faktor utama terciptanya pemegang kartu kredit bermasalah dan pemegang kartu kredit yang gagal bayar. Informasi asimetris diwakili dengan kurangnya informasi pokok tentang pemegang kartu kredit kartu kredit dan informasi tentang industri kartu kredit.

Informasi asimetris disebabkan oleh turunnya standar pinjaman akibat kompetisi antar pembuat kartu kredit, kurangnya pengalaman dan pengetahuan para pelaku industri kartu kredit, dan penerbit kartu kredit yang tidak transparan. Salah satu standar peminjaman adalah penyaringan pemegang kartu kredit yang sesuai (screening) seperti apakah memiliki pendapatan yang sesuai, mampu membayar kewajiban, dan riwayat kredit calon maupun pemegang kartu kredit. Karena turunnya standar peminjaman untuk mendapatkan pengguna yang banyak, terdapat pengguna yang tidak memiliki pendapatan bisa memperoleh kartu kredit hingga yang memiliki pendapatan rendahpun dapat memiliki kartu kredit dengan limit yang diminta pengguna. Dampak informasi asimetris mengenai pengguna

42

berdampak pada pemberian proporsisi hutang yang tidak sesuai seperti lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dan tabungan aktual mereka.

Informasi asimetris tidak hanya dari pengguna tetapi juga dalam bentuk tidak transparannya penerbit kartu kredit kepada calon atau pemegang kartu kredit mengenai dampak negatif dari kartu kredit, seperti wewenang penerbit untuk mengubah tingkat bunga, batas minimum pembayaran perbulan dan biaya pinalti keterlambatan, kemudian memanfaatkan minimnya pengetahuan pengguna mengenai fungsi tingkat bunga yang bersifat eksponen bukan aritmatika.

Penipuan Manajemen oleh Penerbit Kartu Kredit

Penipuan manajemen adalah ketika penerbit kartu kredit atau oknum tertentu menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Penipuan yang sering terjadi adalah pemberian informasi tentang industri kartu kredit yang kurang transparan dari lembaga penerbit kepada pengguna kartu kredit, khususnya dampak-dampak apa yang akan terjadi jika pengguna kartu kredit telat dan/atau gagal bayar, perhitungan tingkat bunga, charge, dan fee.

Penerbit kartu kredit sering menawarkan kartu kredit hanya dengan informasi tingkat bunga rendah hingga 1 persen, reward, bonus, dan kemudahan. Ketika pengguna kartu kredit terlambat membayar, banyak penerbit kartu kredit menerapkan universal default, yaitu penggandaan tingkat bunga dan biaya pinalti yang tak diketahui dengan pasti batas besarannya oleh pemegang kartu kredit. Hal-hal inilah yang membebani pemegang kartu kredit untuk membayar tagihan hingga terjadi kredit macet. Sebagai contoh kasus di Indonesia, terdapat pemegang kartu kredit yang memiliki hutang kartu kredit sebesar Rp 17 juta dengan limit kartu kredit Rp 4 juta. Pemegang kartu kredit tidak lagi menggunakan kartu kredit karena telah mengalami kebangkrutan. Namun, setelah 10 tahun berlangsung tidak memakai kartu kredit, keluarga dekat pemegang kartu kredit tersebut mendapatkan telepon yang mengagetkan dari salah satu penerbit kartu kredit terkait, yaitu hutang kartu kredit yang harus dibayar pemegang kartu kredit tersebut telah mencapai Rp 107 juta.

43

Kurangnya Manajemen Resiko Kredit yang Diterapkan Penerbit Kartu Kredit

Kompetisi intensif antar penerbit kartu kredit untuk mendapatkan keuntungan tinggi membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pemegang kartu kredit yang baru. Pelonggaran standar pinjaman yang meningkatkan resiko pengguna yang gagal bayar dan masalah likuiditas bagi perbankan dan lembaga penerbit.

Pelonggaran standar pinjaman menunjukkan bahwa manajemen resiko yang dilakukan perbankan dan lembaga penerbit tidak tepat. Ketidaktepatan ini memperbesar hubungan antara pelonggaran standar pinjaman dengan pengajuan personal bankruptcy karena kurangnya informasi akan kemampuan para pemegang kartu kredit membayar kewajibanya.

Kesalahpahaman Penerbit Kartu Kredit dan Hyperbolic Discounters Tentang Keberadaan Kartu Kredit

Kesalahan utama bagi pemegang kartu kredit adalah menganggap kartu kredit sebagai sumber pendapatan selain pendapatan dan tabungan aktual yang mereka miliki terutama pengguna yang masuk dalam kategori revolvers atau hyperbolic discounters. Kesalahan yang kedua adalah menyalahgunakan kartu kredit bukan untuk kebutuhan mereka tetapi lebih kepada keinginan dan kesenangan seperti perjudian. Dalam kasus ini, ibaratnya memberi gula kepada pasien diabetes56.

Kemudian, kesalahpahaman penerbit kartu kredit adalah menganggap kartu kredit menjadi obligasi, yaitu mendapatkan profit tetap dari tingkat bunga personal loan yang tinggi karena resiko kredit macet yang tinggi. Selain itu, mereka juga menjadikan kredit konsumsi menjadi aktifa produktif untuk mendapatkan penerimaan yang berkelanjutan dengan mengubah sudut pandang keuntungan terbesar bukan berasal dari orang yang melunasi hutang mereka, tetapi pemegang kartu kredit yang konstan berhutang kepada penerbit kartu kredit (Ogilvie, 2009). Bank-bank memosisikan revolvers atau hyperbolic discounters

56

Ibarat ini menyatakan bahwa penyakit diabetes akan semakin parah jika penderitanya terus diberi gula, sama seperti pengguna kartu kredit revolvers atau hyperbolic discounters yang diberi kebabasan menggunakan kartu kredit semaunya akan membawa mereka hutang yang besar.

44

menjadi sasaran empuk dan tidak memikirkan dampak negatif dari resiko kredit macet para revolvers atau hyperbolic discounter terutama ketika mereka mendominasi pengguna industri kartu kredit penerbit tersebut. Akibatnya, ketika terjadi kredit macet, pemegang kartu kredit berhadapan pada beban hutang yang besar dan debt collector, kemudian penerbit kartu kredit berhadapan pada NPL yang dapat terus meningkat hingga mengarahkan mereka ke dalam masalah likuiditas.

Kesalahan Penetapan Kebijakan Oleh Pemerintah

Pertumbuhan ekonomi merupakan hal penting yang mencerminkan kekuatan ekonomi negara. Ketika kartu kredit dapat menyeimbangkan perekonomian pemerintah menetapkan kebijakan untuk menyuburkan pertumbuhuan kartu kredit dengan menciptakan kondisi yang mudah bagi para pelaku industri kartu kredit.

Kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah bergantung pada sektor konsumsi yang beresiko bubble dan melakukan ekspansi kredit yang pesat. Ketika ratio household loan to disposable income lebih dari 50 persen, hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak pemegang kartu kredit yang memiliki proporsisi hutang lebih besar dibanding pendapatan aktual. Dari inilah gelembung hutang mulai meledak dan dapat mengganggu sistem perbankan dan sistem keuangan.

Pembuat kebijakan seharusnya meminimalkan resiko hutang dan memperlambat pertumbuhan kredit karena resikonya yang besar, bukan menampilkan kekuatan ekonomi bubble yang akhirnya menciptakan resesi dan pengeluaran fiskal yang besar karena terjadinya krisis perbankan.

KESIMPULAN

Dari seluruh kasus–kasus tentang kartu kredit di Hongkong SAR, Korea, Taiwan, Amerika, dan Indonesia, karakter kartu kredit ketika menjadi kawan dan lawan terlihat dari seberapa besar NPL dan dampak yang diberikan. Kartu kredit menjadi kawan untuk pertamanya adalah pertumbuhan ekonomi karena peningkatan konsumsi dari konsumsi rumah tangga. Kartu kredit mengubah pola konsumsi pengguna kartu kredit dan masyarakat ketika mayoritas masyarakat

45

negara tersebut memasukkan kartu kredit sebagai gaya hidup dan budaya. Selain itu, penyebab perubahan pola konsumsi adalah borrowing/liquidity constraint, kekayaan dan kesejahteraan tambahan, self control, tingkat bunga pinjaman, usia, serta ekspektasi pendapatan. Dampak lain adalah terbentuknya masyarakat konsumtif yang memiliki budaya hutang karena terpenuhinya kesejahteraaan “ilusi” yang bersumber dari illusion money (kartu kredit). Masyarakat konsumtif dapat menjadi dampak positif ketika mereka melakukan konsumsi domestik sehingga neraca perdagangan tidak berkurang.

Kemudian, kartu kredit menjadi lawan melalui efek negatif yang diberikan dari jumlah hutang kartu kredit yang besar (NPL tinggi). Jumlah hutang kartu kredit yang besar dan macet akan mengarah pada credit card bubble yang siap untuk meledak. Ledakan inilah yang menciptakan bank dan perusahaan penerbit kartu kredit mengalami kebangkrutan, krisis perbanakan, dan resesi. Selain itu, munculnya pemegang kartu kredit yang menjadi personal bankruptcy karena tidak ada lagi aset yang dimiliki untuk menutup hutang kartu kredit yang besar dan kurang termanajemen dengan baik serta kehadiran predatory lending menambah terjadinya kredit macet.

Hal – hal yang menjadi akar dalam permasalahan hutang kartu kredit yang dapat dipelajari adalah kurang tepatnya manajemen resiko kredit melalui penipuan manajemen (universal default dan sales vs rules), informasi asimetris, dan dengan menjadi predatory lending oleh para penerbit kartu kredit. Kemudian, dari sisi pemegang kartu kredit adalah pemakaian kartu kredit yang tidak bertanggungjawab, yaitu menganggap kartu kredit sebagai alat berhutang untuk memenuhi kepuasan maksimal mereka.

Di Indonesia, Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah menyatakan bahwa Indonesia sudah belajar dari krisis perbankan Korea Selatan tahun 2003 sehingga memperlambat pertumbuhan kartu kredit. Namun, Indonesia masih memiliki permasalahan kartu kredit, yaitu penipuan manajemen sales vs rules, keberadaan debt collector dan credit card fraud yang mengurangi rasa kepercayaan dan keamanan para pemegang kartu kredit terhadap para penerbit kartu kredit. Peningkatan pengawasan dan sanksi yang tegas oleh BI kepada bank dan perusahaan penerbit kartu kredit menjadi cara untuk menekan penerbit nakal

46

yang secara tidak langsung menerapkan sales vs rules dan universal default. Kemudian, peningkatan teknologi keamanan dan database kartu kredit Indonesia untuk mengurangi munculnya credit card fraud, yang hal ini menjadi agak sulit untuk diatasi ketika dihadapkan pada fakta bahwa pelakunya adalah hacker berdasi.

Dalam dokumen T1 222010001 Full text (Halaman 38-46)

Dokumen terkait