1
PENDAHULUAN
Kartu kredit merupakan hasil perkembangan kecanggihan teknologi sistem pembayaran dunia, diawali dari charge card oleh DinersClub pada tahun 1950an, kemudian credit card untuk traveler saja hingga menjadi kartu kredituntuk semua jenis transaksi oleh Visa dan MasterCard. Kecanggihan dan kemudahan bertransaksi menggunakan kartu kredit sudah diakui oleh dunia, dibuktikan dengan jumlah pemegang kartu kredit seluruh dunia yang terus bertambah mengalahkan jumlah penggunaan kartu debit dan volume pembayaran yang terus bertambah (grafik 1).
Grafik 1
Volume Pembayaran Kartu Kredit dan Kartu Debit Visa dan MasterCard
Sumber: NerdWallet.com
Namun, penerapan kartu kredit untuk meningkatkan perekonomian menjadi pertentangan pro dan kontra bagi pemerintah, dunia perbankan, pembuat kebijakan (otoritas moneter), hingga akademisi. Dari sisi pro1, pinsip “buy first pay later” membuat semakin efisiennya proses transaksi antara konsumen dengan merchant karena berkurangnya biaya memegang uang tunai dan resiko kehilangan uang tunai. Terdapat pemerintah dan pembuat kebijakan yang menyandarkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor konsumsi dan kartu kredit menjadi instrumennya (Kang dan Ma, 2007; Lim dan Yoon, 2011). Kemudian perbankan dan perusahaan penerbit kartu kredit memanfaatkan pertumbuhan kartu kredit untuk mendapatkan keuntungan, karena tingkat bunga kartu kredit lebih tinggi dibanding dengan produk kredit yang lain (Kang dan Ma, 2007). Kemudian dari sisi kontra2, pertumbuhan kartu kredit dianggap sama saja dengan pertumbuhan kredit, yang memiliki resiko menggelembung dan meledak (Kose dan Claessens,
1 Ketika kartu kredit menjadi kawan 2
Ketika kartu kredit menjadi lawan 0 1000 2000 3000 4000 5000
2007 2008 2009 2010 2011
Kartu Kredit
2
2013), yang kemudian merembet pada krisis perbankan (Kang dan Ma, 2007,2009; Lim dan Yoon, 2011) dan resesi (Kose dan Claessens, 2013). Selanjutnya, kartu kredit memiliki resiko kredit macet yang dapat menghasilkan personal bankruptcy (White, 2007) dan masalah – masalah sosial, yaitu fenomena bunuh diri dan pembunuhan nasabah oleh debt collector atau perusahaan penagih hutang.
Indonesia saat ini sedang dalam proses pencapaian cashless society, yaitu pengurangan penggunaan uang tunai dalam transaksi. Hal ini didukung oleh BI karena pembuatan uang tunai merupakan beban anggaran terbesar kedua BI dan alat pembayaran menggunakan kartu menjadi salah satu alat untuk mencapai cashless society. Indonesia dapat dikategorikan sebagai emerging market yang pertumbuhan kartu kreditnya sedang lepas landas, sehingga perlu pembelajaran-pembelajaran penting mengenai industri kartu kredit mengingat karakter-karakter dari kartu kredit. Oleh karena itu, dengan menggunakan negara – negara yang telah mengalami permasalahan kartu kredit, penelitian ini akan menjelaskan apa saja dampak – dampak dari penerapan penggunaan kartu kredit dan yang kedua adalah penyebab permasalahan dari hutang kartu kredit. Setelah itu, penelitian ini akan mengemukakan pembelajaran dan pertimbangan bagi Indonesia khususnya pelaku – pelaku dalam industri kartu kredit. Penelitian ini menggunakan sumber literatur melalui jurnal, koran, media masa online, dan artikel ilmiah popular. Negara – negara yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korea Selatan, Hongkong SAR dan Taiwan yang mengacu dari Kang dan Ma (2009), kemudian Amerika Serikat dimana hutang kartu kredit sempat menjadi momok krisis selanjutnya setelah krisis 2008, dan Indonesia yang sempat mengalami permasalahan debt collector kartu kredit.
INDUSTRI KARTU KREDIT
Kartu kredit adalah salah satu bentuk produk keuangan sebagai alat pembayaran. Sistem pembayaran elektronik memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi, cepat, mudah, aman, nyaman (Fuad3, 2013), oleh karena itu keberadaan kartu kredit membuat semakin praktisnya pembayaran, karena pengguna kartu
3
3
kredit tidak perlu memegang uang tunai (Kang dan Ma, 2009). Prinsip kartu kredit adalah “buy first pay later”, yaitu para pengguna kartu kredit dapat bertransaksi terlebih dahulu tanpa perlu memikirkan uang tunai yang mereka miliki saat itu. Prinsip ini berguna ketika kartu kredit sebagai jaminan atau uang muka, seperti pembelian mobil, rumah, atau pembayaran rumah sakit.
Konsep kartu kredit pertama kali muncul pada tahun 1887 dalam novel Looking Backward yang ditulis oleh Edward Bellamy hingga 11 kali. Kartu kredit pertama kali hanya digunakan para pengendara pada tahun 1920an di Amerika Serikat untuk membayar bensin, kemudian kartu kredit mulai diterima untuk kegiatan bisnis pada tahun 1938. Tahun 1921, Western Union mulai membuat kartu tagihan untuk konsumen reguler.
Tahun 1928, Farrington Manufacturing Co memperkenalkan kartu kredit modern melalui sistem baru “Charge-Plate”. Tahun 1950an, Farrington Manufacturing Co membuat kartu kredit dari lempengan besi dengan sistem Addressograph seperti milik militer yang berisi nama, kota, negara dan kartu kertas berisi tanda tangan pengguna.
Tahun 1934, Air Travel Card dengan Air Transport Association menciptakan kartu kredit dengan sistem penomoran yang dapat mengidentifikasi penggunanya dan penciptanya. Kartu tersebut digunakan untuk pembelian tiket dengan pembayaran belakangan (pay later) dan dapat diskon 15 persen. Setelah 10 tahun, 17 perusahaan penerbangan menggunakan kartu kredit tersebut untuk meningkatkan travel penerbangan dan diterima sebagai kartu tagihan pada tahun 1948.
4
dengan nama Visa. Tahun 1960, Bank of America mengeluarkan MasterCard, kemudian tahun 1966 mulai berkompetisi dengan kartu Amerika yang lain dengan bekerjasama dengan Citibank melalui terbitan Everything Card. Penerbitan kartu kredit diikuti oleh negara lain, pertama kali oleh United Kingdom pada tahun 1966, yaitu Barclaycard.
Pelaku – pelaku industri kartu kredit antara lain4:
1. Pemegang kartu adalah pengguna yang sah dari Kartu Kredit
2. Prinsipal adalah bank atau lembaga selain bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi Kartu Kredit yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
3. Penerbit adalah bank atau lembaga selain bank yang menerbitkan Kartu Kredit.
4. Acquirer adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan kerjasama dengan pedagang (merchant), yang dapat memproses Kartu Kredit yang diterbitkan oleh pihak lain.
5. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit.
6. Penyelenggara kliring adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi Kartu Kredit.
7. Penyelenggara penyelesaian akhir adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi Kartu Kredit berdasarkan hasil perhitungan dari penyelenggara kliring.
Kartu Kredit dibagi menjadi 2 bagian, yaitu volume dan nilai transaksi.Volume transaksi adalah jumlah transaksi yang menggunakan kartu kredit dalam periode tertentu, sedangkan nilai transaksi adalah nilai/nominal yang
4
5
dilakukan menggunakan kartu kredit dalam perode tertentu. Kemudian, dibagi kembali menjadi 2, yaitu belanja dan tunai:
- Volume tunai Kartu Kredit adalah jumlah transaksi penarikan tunai yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
- Nominal tunai Kartu Kredit adalah nilai/nominal dari transaksi penarikan tunai yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu. - Volume belanja Kartu Kredit adalah jumlah transaksi pembelanjaan yang
dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
- Nominal belanja Kartu Kredit adalah nilai/nominal dari transaksi pembelanjaan yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
Kartu kredit terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kartu kredit tunai dan kartu kredit belanja. Kartu kredit tunai digunakan untuk menarik uang tunai, berbeda dengan ATM/Debit. Kemudian kartu kredit belanja digunakan untuk bertransaksi.
DAMPAK
–
DAMPAK PEMAKAIAN KARTU KREDIT
Kartu Kredit dan Konsumsi
Kartu kredit mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga karena mempercepat proses transaksi dan mendekatkan konsumen dengan merchant. Manfaat ini menjadikan kartu kredit menjadi salah satu alat kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang dilakukan Korea Selatan setelah Krisis Asia 1997 dan Beijing – China setelah penurunan ekspor akibat krisis global 20085. Kedua negara tersebut memanfaatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi agregat. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan kartu kredit dengan konsumsi, akan diawali dengan teori konsumsi J. M. Keynes (1936), Permanent Income Hypothesis M. Friedman (1957), dan Life – Cycle Hypothesis Franco Modigliani dan Albert Ando (1963).
5
6
J. M. Keynes dalam General Theory of Employmet, Interest, and Money yang dipublikasikan tahun 19366 menjelaskan bahwa tingkat konsumsi individu hanya dipengaruhi oleh pendapatan. Besar pengaruh pendapatan terhadap konsumsi dilihat dari nilai marginal propensity to consume (MPC), semakin besar pendapatan maka semakin besar pula konsumsi individu7. Keynes mengasumsikan bahwa nilai MPC tetap dan tidak melebihi 1, karena tidak mungkin individu melakukan pengeluaran melebihi apa yang ia dapatkan. Kemudian, teori ini dapat memprediksi bagaimana perubahan ekonomi suatu negara dari pergerakan pendapatan nasional akibat perubahan konsumsi agregat, melalui rata – rata MPC individu – individu.
Tahun 1957, M. Friedman mengembangkan teori Keynes dengan memaparkan Permanent Income Hypothesis (PIH), yaitu tentang pola konsumsi masyarakat yang rata (smoothy consumption) dan perilaku individu yang rasional serta bijaksana dalam mengatasi masalah konsumsi (Miller, 1996). Permanent Income adalah pola konsumsi individu yang proporsional (smooth) dengan pendapatan aktual mereka dan menghindari elemen yang menyebabkan konsumsi menjadi fluktuatif. Jenis pendapatan ini melakukan konsumsi sesuai dengan rata-rata pendapatan jangka panjang mereka – bukan pendapatan aktual mereka, sehingga ketika terjadi perubahan sementara di pendapatan aktualnya, perilaku pengeluaran/konsumsi hanya terpengaruh sedikit. Tetapi, ketika ekpektasi konsumsi individu fluktuatif dan mempengaruhi permanen income-nya, individu diasumsikan melakukan pinjaman untuk mempermudah/memuluskan konsumsi (smooth consumption). Hal ini serupa dengan Life-Cycle Hypothesis (LCH) Franco Modigliani dan Albert Ando pada tahun 1963, yaitu mengasumsikan pendapatan aktual akan lebih rendah daripada pendapatan ekpektasi individu, sehingga individu akan melakukan pinjaman untuk memenuhi konsumsi. Pinjaman tersebut dibayar ketika pendapatan mereka meningkat dan sisa uangnya akan ditabung. Besarnya jumlah yang akan ditabung tidak akan sama dengan jumlah pinjaman, karena adanya tingkat bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan, tingkat bunga pinjaman berpengaruh negatif terhadap tingkat tabungan, ketika
6
Tim Miller: “Explaining Keynes’ Theory of Consumption, and Assessing its Strengts and Weaknesses” dari http://www.economic-truth.co.uk/
7
7
tingkat bunga pinjaman tinggi, maka jumlah yang ditabung akan semakin berkurang (Miller, 1996). Modigliani dan Ando menambahkan (meskipun menjadi banyak pertentangan dan kurang pendukung di dunia akademis), individu akan terus menabung (saving) pada masa mudanya dan akan menghabiskannya (dissaving) pada masa tua.
Hutang kartu kredit jika ditempatkan dalam PIH dan LCH, akan menjadi pinjaman untuk mengoptimalkan konsumsi sesuai dengan permanent income. Tetapi dalam praktiknya, keberadaan hutang kartu kredit dapat membuat PIH menjadi tidak signifikan, karena dalam pemakaiannya terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi pola konsumsi para pemegang kartu kredit. Faktor pertama borrowing atau liquidity constraint. Zeldes (1989) menemukan permanent income tidak signifikan atau tidak proporsional dengan pendapatan karena liquidity/borrowing constraint, yaitu ketidaksempurnaan pasar modal (imperfect capital markets) yang digambarkan dengan pembatasan pinjaman yang tidak memungkinan individu berkonsumsi sesuai keinginan melalui hutang di pasar uang (Lim dan Yoon, 2011), dan pola konsumsi dipengaruhi pendapatan saat ini/current income (Lim dan Yoon, 2011; Holmes, 2011). Borrowing constraint digambarkan Ludvigson (1999) dan Breu (2013) dalam bentuk deregulasi pinjaman, ketika deregulasi diturunkan maka liquidity constraint akan menjadi longgar sehingga pemegang kartu kredit dapat meningkatkan konsumsinya karena mudah mendapatkan pinjaman. Dikaitkan dengan hutang kartu kredit, pemegang kartu kredit ketika mudah mendapatkan hutangnya, maka mereka dapat menggunakan hutang kartu kredit untuk mendorong konsumsinya8. Tetapi ketika borrowing constraint ditingkatkan, pemegang kartu kredit berhadapan dengan limit kredit sehingga konsumsi pemegang kartu kredit yang sebelumnya disokong oleh hutang kartu kredit menjadi terbatas.
Berkaitan dengan itu, Lim dan Yoon (2011) menemukan bahwa total konsumsi masyarakat Korea Selatan dipengaruhi oleh borrowing dan liquidity constraint pada tahun 2000 – 2002Q2 (credit card bubble) dan tahun 2003 (credit
8Penerimaan hutang kartu kredit seharusnya sesuai dengan pendapatan pemegang kartu kredit
8
card crunch), berbeda dengan Kang dan Ma (2007) yang menyatakan hutang kartu kredit digunakan untuk memuluskan konsumsinya. Masa credit card bubble adalah masa pembuatan kartu kredit yang berlebihan oleh penerbit kartu kredit karena dukungan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang telah mengalami resesi akibat Krisis Asia 1997 dengan pelonggaran deregulasi atau standar pinjaman oleh pemerintah dan penerbit kartu kredit. Konsumsi nominal9 bertumbuh 10 persen pada tahun 2001 dan 11 persen pada tahun 2002, kemudian GDP yang menurun 6.9 persen pada tahun 1998 mulai meningkat 9.5 persen pada tahun 1999, 8.5 persen pada tahun 2000, dan 4.0 persen pada tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2003, consumption bubble meledak menjadi credit card crunch akibat skandal SK Group. Perusahaan penerbit kartu kredit menghindari masalah likuiditas dan resiko gagal bayar dengan meningkatkan tingkat bunga hingga 20 persen, lebih tinggi dari bank komersial dan langsung memotong hak hutang bagi pemilik kartu kredit (borrowing constraint). Setelah penetapan tersebut, konsumsi pemilik kartu kredit mulai menurun karena tidak ada hutang lagi untuk memenuhi konsumsi dan beban hutang telah mengurangi pendapatan aktual mereka. Hal ini dikarenakan, ketika pemilik kartu kredit melakukan konsumsi berdasarkan hutang kartu kredit dan kemudian hutang kartu kredit dipotong atau dihilangkan, konsumsi mereka turun sesuai dengan hak hutang mereka dan konsumsi mereka kembali didasarkan pada pendapatan aktual mereka yang relatif lebih kecil dibanding beban hutang mereka. Selain itu, kewajiban melunasi hutang kartu kredit memotong pendapatan aktual, sehingga konsumsi akan semakin terbatas seiring penurunan pendapatan mereka.
Faktor yang kedua adalah kekayaan dan kesejahteraan tambahan. Kartu kredit memberi uang tambahan sehingga menambah kekayaan pemilik kartu kredit10. Dalam industri kartu kredit, pemegang kartu kredit terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengguna yang menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi atau pembayaran sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan mereka, disebut dengan transactor (Kang dan Ma, 2007) atau rational discounters (White, 2007). Kemudian, yang kedua adalah revolvers (Kang dan Ma, 2007) atau hyperbolic
9 Didorong oleh kartu kredit, karena lebih dari 50 persen total hutang adalah hutang kartu kredit.
10
9
discounters (White, 2010), yaitu pengguna yang memiliki pemikiran untuk menabung di masa depan tetapi lebih memilih untuk berkonsumsi di masa sekarang (Liabson, 1997 – White, 2007), menempatkan hutang sebagai pendapatan untuk berkonsumsi dan kartu kredit sebagai alat berhutang. Revolvers merasa kekayaannya bertambah karena mendapat uang tambahan dari kartu kredit, sehingga keinginan untuk konsumsi menjadi bertambah. Namun di sisi lain, kekayaan dari hutang kartu kredit dapat mencekik kesejahteraan para pemegang kartu kredit ketika hutang kartu kredit lebih besar daripada pendapatan. Para pemegang kartu kredit mungkin merasa kaya dan sejahtera karena dapat berkonsumsi dengan leluasa, tetapi ketika diperlihatkan pada fakta yang sebenarnya, kekayaan yang mereka miliki hanya ilusi. Morgan dan Toll (1997) menemukan bahwa hutang kartu kredit telah mencekik kekayaan pemegang kartu kredit Amerika Serikat terutama kaum minoritas, yaitu orang berkulit hitam. Contohnya perempuan kulit hitam membeli barang-barang apapun itu (melalui kartu kredit) untuk meningkatkan identitas diri (merasa layak) dan mendapatkan harga diri (Myers11, 2004). Kemudian, saat kembali ke kehidupan nyata, kesejahteraan ilusi membuat mereka hidup dalam hutang besar yang harus segera dibayar.
Faktor ketiga adalah kontrol pribadi (self control). Self control menggambarkan keinginan konsumsi dan seberapa bijaksana pemegang kartu kredit menggunakan kartu kreditnya. Self control tidak memandang tingkat pendapatan para pemiliki kartu kredit, karena tergantung dari individu tersebut. Bagi transactor yang menggunakan hutang kartu kredit secara rasional memiliki self control yang lebih baik dibanding revolvers, sehingga pola konsumsinya mungkin tidak terlalu berubah. Sedangkan revolvers sering memiliki self control yang kurang dalam menggunakan hutangnya, karena mereka akan terus melakukan konsumsi semaksimal mungkin hingga mencapai limit kartu kerdit.
Faktor keempat reward atau discount. Faktor ini sering menjadi alasan calon atau pemegang kartu kredit untuk memiliki kartu kredit dan menjadi cara penerbit kartu kredit untuk menarik calon pemilik kartu kredit. Pemberian reward atau discount mendorong konsumsi individu karena merasa dipermudah dan
11 Linda James Myers – Profesor psikologi dan studi tentang orang Afrika – Amerika di Ohio State
10
diberi keuntungan. Sebagai contoh, Ibu Rusmani12 seorang asisten administrasi salah satu perusahaan elektronik di Jakarta memiliki 13 kartu kredit. Alasan dia memilikinya karena terpikat dengan hadiah dan discount13 jika menggunakan kartu kredit, seperti potongan harga pembelian minum kesukaannya (Starbucks), diskon 50 persen untuk Pizza Marzano, dan mendapat tiket film.
Faktor yang kelima adalah tingkat bunga pinjaman. Tingkat bunga pinjaman menentukan apakah individu melakukan konsumsi atau menyimpan. Ketika tingkat bunga pinjaman rendah, individu akan mengajukan kartu kredit dibandingkan dengan menyimpan. Dengan acuan ini, tingkat bunga yang rendah (mencapai 1 persen) menjadi alat iklan penerbit kartu kredit untuk menarik pemegang kartu kredit baru.
Faktor keenam adalah usia. Modigliani dan Ando menyebutkan bahwa individu berusia muda akan lebih memilih untuk menabung, kemudian saat tua akan melakukan konsumsi dari tabungan mereka. Tetapi, saat pernyataan ini dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit, pernyataan tersebut menjadi tidak terbukti ketika pemegang kartu kredit lebih didominasi oleh individu muda, hal ini menunjukkan bahwa individu muda lebih memilih untuk melakukan konsumsi dibanding menabung. Di Amerika, individu muda pada kisaran 18 – 25 tahun seperti mahasiswa mendominasi pemakaian kartu kredit, hal ini dikarenakan pemakaian kartu kredit sudah lazim dalam kehidupan sosial mereka dan telah memberikan rasa harga diri. Selain itu, penyebab individu muda lebih melakukan konsumsi ketika memegang kartu kredit adalah mereka sedang memasuki masa transisi menuju “kedewasaan” yang menganggap dirinya sudah mampu memanajemen keuangan mereka sendiri, sehingga mereka hanya memikirikan yang penting konsumsi sekarang bukan berapa pendapatan yang dimiliki (Sotiropoulos dan D’Astous, 2012). Ekici dan Dunn (2009) sependapat bahwa hutang kredit terbesar didominasi oleh individu muda, namun dia menambahkan bahwa hutang kartu kredit mulai menurun saat pemegang kartu kredit memasuki usia 30an. Hal ini dikarenakan, pemegang kartu kredit muda telah banyak
12
http://online.wsj.com/news/articles/SB10001424127887324539404578339851149437598
13
11
berkonsumsi hingga melebihi anggaran (overspending consumption). Kemudian, melihat besarnya hutang yang dimiliki saat muda membuat pemegang kartu kredit yang memasuki usia dewasa hingga tua, menurunkan konsumsi melalui kartu kredit, karena mereka lebih mempertahankan kekayaannya daripada memuluskan konsumsinya (Holmes, 2011).
Faktor ketujuh adalah ekspektasi pendapatan (Ekici dan Dunn, 2010). Hal ini paling dirasakan oleh para revolvers, mereka bereksepktasi bahwa pendapatan mereka akan bertambah dan nantinya dapat digunakan untuk membayar hutang kartu kredit mereka, sehingga mereka tidak merasa salah ketika berkonsumsi dan melebihi pendapatan mereka saat itu. Tetapi, ketika ekpektasi mereka tidak terwujud dengan masih tetap atau menurunnya pendapatan mereka, mereka dihadapkan pada hutang kartu kredit yang beresiko menjadi kredit macet dan liquidity constraints dari pembatasan hutang yang mereka dapatkan. Akibatnya, konsumsi mereka menjadi berkurang atau langsung terpotong.
Kartu Kredit, Personal Bankruptcy, Predator Lending, dan Debt Collector Fenomena gagal bayar atau kredit macet adalah ketika pemegang kartu kredit tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya tepat waktu sesuai dengan kesepakatan. Gagal bayar sering dihadapi oleh pemegang kartu kredit yang terus menggunakan kartu kredit untuk “tujuan utama” pribadi, yaitu meningkatkan harga diri – kehormatan, merasa layak14, pengalihan mendapatkan kebahagiaan15, pemberi pemenuhan kebutuhan, dan pinjaman16. Sehingga mereka tidak melakukan konsumsi atas apa kebutuhan mereka dan seberapa besar transaksi yang sesuai dengan kemampuan bayar mereka. Akibatnya, pemegang kartu kredit tersebut sering dihadapkan pada hutang yang melebihi pendapatan dan relatif terus membengkak, sehingga mereka harus bekerja keras untuk membayar kewajibannya dengan pendapatan mereka yang seadanya. Di tengah pembayaran kewajiban, porsi pendapatan untuk membayar hutang akan menurun karena pemegang kartu kredit tersebut juga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dari pendapatan mereka, hal ini memungkinkan pemilik kartu kredit
14
Kasus hutang kartu kredit orang Amerika berkulit hitam 15
Ive League membeli sepatu dan baju mahal karena memiliki gaji yang kurang layak bagi dia dan pekerjaan yang tidak disukainya; Cheryl Smith memperbolehkan orang lain
16
12
memperlambat pembayaran kewajibannya hingga tergoda untuk menyatakan dirinya tidak mampu membayar/credit card defaulter (Morgan, 1997). Keadaan tersebut berlanjut menjadi personal bankruptcy, yaitu pemegang kartu kredit sudah tidak memiliki aset untuk membayar kewajiban kartu kreditnya, karena hutang yang terus membesar tersebut tidak dimanajemen dengan baik (Ausubel, 1997 dan White, 2007). Jenis pemegang kartu kredit yang rentan berhadapan dengan hal ini adalah revolvers atau hyperbolic transactor karena cara pandang penggunaan kartu kredit mereka dan mudahnya mereka menjadi sasaran penerbit kartu kredit untuk menyuburkan pertumbuhan kartu kredit.
“You feel you have money all the time when you have credit cards,” he said. “You gradually realize the truth when you see your bills in the months that follow. And you can’t seem to stop them from growing bigger.”
– kamu merasa memiliki uang sepanjang waktu ketika memiliki beberapa kartu kredit. Lalu kamu mulai menyadari kebenaran
ketika melihat tagihan – tagihan bulan sebelumnya. Dan kamu
tidak bisa menghentikan pertumbuhan mereka yang semakin
membesar.17
Selain dari sisi pemegang kartu kredit, kredit macet juga disebabkan oleh tindakan bank dan perusahaan penerbit kartu kredit yang mengubah diri mereka menjadi “predatory lending”. Di Amerika Serikat, Stadler (2012) menyebut para penerbit kartu kredit sebagai predatory lending karena mereka seperti predator buas yang memakan mangsa- mangsa yang lemah, yaitu mangsa – mangsa calon pemegang kartu kredit yang sebenarnya tidak layak memiliki kartu kredit, seperti orang miskin atau orang yang memiliki riwayat tidak boleh memperpanjang kredit, tidak masuk dalam kualifikasi pemegang kartu kredit pada umumnya, dan riwayat kredit yang buruk. Para predatory lending melakukan promosi besar-besaran dengan masuk ke universitas untuk menarik orang muda dan mengirim surat kepada sasaran mereka, kemudian menyatakan kalau para sasaran ini sudah
17
13
setengah diterima sebagai calon pemegang kartu kredit (pre-approved) seolah-olah sudah masuk standar kualifikasi. Para sasaran ini mendapat dorongan impulsif dan kompulsif dengan keberadaan kartu kredit ini (Mansfield, Pinto, dan Robb, 2013), sehingga mereka akan menyetujui kepemilikan kartu kredit tersebut mengingat semakin rendah level pendapatan maka semakin tinggi keinginan untuk melakukan konsumsi karena terbatasnya materi-materi yang mereka miliki. Penuruan dan pelonggaran standar pinjaman kartu kredit disebabkan oleh kompetisi-kompetisi antar penerbit kartu kredit yang inging meningkatkan pertumbuhan kartu kredit mereka sendiri (Kang dan Ma, 2009) dan tidak ada peraturan atau sanksi tegas dari otoritas mengenai penurunan standar pinjaman oleh para predatory lending (Stadler, 2012). Akibatnya, 1 pemegang kartu kredit dapat memiliki kartu kredit lebih dari 1 (satu), meskipun pemegang kartu kredit tesrebut tidak tidak sesuai dengan standar peminjaman dan peminjam buruk (worst borrower).
Hasil dari penurunan standar peminjaman oleh penerbit kartu kredit adalah gagal bayar (credit card default) (Ausubel, 1997) karena proporsi hutang kartu kredit pemegang kartu kredit menjadi lebih besar dibanding pendapatan aktual mereka. Hal ini diperparah jika mayoritas nasabahnya adalah revolver, karena mereka menggunakan kartu kredit sebagai pinjaman untuk memenuhi keinginan dibanding dengan kebutuhan. Selain itu, kurangnya pemahaman pemegang kartu kredit tentang industri kartu kredit yaitu lembaga penerbit memiliki wewenang (semaunya) mengubah tingkat bunga kartu kredit, limit kewajiban per bulan, dan biasaya pinalti. Sehingga, ketika pemilik kartu kredit mengalami gagal bayar, hutangnya bisa semakin besar karena sifat bunga yang eksponensial, tingkat bunga berubah-berubah, pembayaran minimum naik, dan charge yang bisa besar. sehingga beban hutangnya semakin besar. Hal-hal inilah yang dimanfaatkan para penerbit kartu kredit dan jika hutang tersebut tidak dimanajemen dengan baik oleh pemilik kartu kredit, maka mulailah dia mengarahkan hidupnya kebangkrutan pribadi (personal bankruptcy).
14
collector terkenal dengan tindakan kekerasan seperti penganiayaan agar pemilik kredit yang belum bayar segera melunasi tagihan mereka. Selain itu, juga terdapat perusahaan penagih hutang yang sistemnya lebih parah dibanding debt collector seperti menculik salah satu keluarga atau merusak properti keluarga pemilik kartu kredit. Ketika bank penerbit atau debt collector tidak menemukan pemilik kartu kredit yang gagal bayar, mereka akan menagih ke keluarga pemilik kartu kredit yang namanya ditulis di kesepakatan. Jika aset keluarga pemegang kartu kredit terkait tidak dapat melunasi seluruhnya, mulailah personal bankruptcy ini berkembang menjadi family bankruptcy.
Kartu Kredit dan Krisis Perbankan
Claessens dan Kose (2013) mengartikan krisis keuangan sebagai manifestasi dari hubungan timbal balik antara sistem keuangan dengan ekonomi riil yang sering didahului oleh aset dan kredit yang menggelembung, kemudian meledak. Penyebab krisis perbankan pada umumnya disebabkan oleh bank runs dan/atau hilangnya nilai hutang dalam pasar aset seperti real estate (Casselens dan Kose, 2013). Tetapi, pada kenyataannya pemicu krisis perbankan dapat berasal dari hutang sektor rumah tangga, yaitu hutang kartu kredit. Dalam menjelaskan bagaimana kartu kredit berkontribusi pada krisis perbankan, digunakan contoh kasus krisis perbankan Korea Selatan pada tahun 2003 dan mengacu pada tulisan Kang dan Ma (2007).
15
Perbankan Korea Selatan mulai beralih ke sektor rumah tangga dengan menerbitkan kartu kredit sebanyak mungkin karena banyaknya permintaan hutang kartu kredit dan keuntungan besar yang didapatkan dari margin18-nya dibanding jenis kredit yang lain. Akibatnya, kartu kredit dapat meningkatkan sektor konsumsi sebesar 8,87 persen pada tahun 1999. Sektor konsumsi menopang lebih dari 60 persen nilai GDP dan 80 persen sektor konsumsi berasal dari konsumsi rumah tangga, sehingga peningkatan konsumsi rumah tangga berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi Korea Selatan.
Sumber: WorldBank
Besarnya pengaruh kartu kredit terhadap pertumbuhan ekonomi membuat pemerintah melakukan intervensi langsung untuk mendorong pertumbuhan kartu kredit lebih tinggi lagi agar pertumbuhan kartu kredit dapat terdorong melalui sektor konsumsi rumah tangga. Dalam mencapai hal tersebut, pemerintah memberikan pajak manfaat (benefit tax) kepada merchant yang menggunakan kartu kredit dalam transaksi mereka, memotong pajak penghasilan bagi masyarakat uang menggunakan kartu kredit, merubah regulasi dengan menghapus batas tertinggi administratif kas bulanan sebesar KRW 700.000 (USD610) dan limit hutang hingga 20 kali modal bagi penerbit kartu kredit, serta peraturan persyaratan modal bagi penerbit kartu kredit khusus hanya 7 persen. Akibatnya permintaan dan penawaran kartu kredit semakin meningkat dan terjadi pertumbuhan kartu kredit hingga tahun 2002.
18
Hutang kartu kredit merupakan hutang tanpa jaminan, sehingga penerbit akan memberikan tingkat bunga yang tinggi untuk menghindari kredit macet. Margin adalah biaya atau jaminan yang harus dibayarkan kepada penerbit seperti pembayaran minimum setiap bulan.
63.87 Final consumption expenditure, etc. (% of GDP)
16
Pertumbuhan kartu kredit yang cepat mengubah laba bersih bank menjadi positif meskipun loan to deposit Korea menurun 10 – 15 persen poin pada tahun 1998 – 2000. Hal ini membuat bank dan perusahaan kartu kredit berkompetisi untuk mendapatkan pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya dan berakibat pada peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar hingga 3 kali lipat dari 39 juta pada tahun 1999 menjadi 105 juta kartu pada tahun 2002 dan laba bersih perbankan yang dari angkat negatif menjadi angka positif pada tahun 2000 (Kang dan Ma, 2007).
Hutang kartu kredit selain digunakan untuk konsumsi19, juga digunakan masyarakat untuk mendapatkan pendapatan tetap dari Investment Trust Companies (ITCs), membayar dana pensiun, dan asuransi (Kang dan Ma, 2007). Selain itu, pemakaian hutang kartu kredit didominasi oleh pengguna kartu kredit dari masyarakat kelas menengah dan ke bawah20 karena kartu kredit membantu mereka untuk dapat hidup seperti masyarakat kelas atas dengan standar hidup Korea Selatan yang tinggi, yaitu memiliki barang – barang superior.
Dari dampak positif yang diberikan kartu kredit terhadap industri kartu kredit dan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan di atas, pemerintah dan penerbit kartu kredit memperlihatkan ketidaksiapannya dalam liberalisasi keuangan yang mulai membawa Korea Selatan kepada krisis perbankan, yaitu pelonggaran standar peminjaman dan infrastruktur informasi pemegang kartu kredit yang terbatas. Pertama pelonggaran standar pinjaman oleh para penerbit kartu kredit akibat kompetisi antar penerbit kartu kredit dan kurangnya pengalaman pendatang-pendatang baru di sektor perbankan. Besarnya pangsa pasar kartu kredit dan kemudahan yang diberikan pemerintah membuat para penerbit kartu kredit berkompetisi mendapatkan pemegang kartu kredit. Mereka menempatkan revolvers sebagai sasaran utama karena mudahnya mereka memakai kartu kredit yang ditawarkan kepada mereka tanpa melihat kemampuan membayar dan riwayat kredit para revolvers tersebut. Akibatnya, 1 orang pemegang kartu kredit memiliki lebih dari 1 kartu kredit dari berbagai bank dan perusahaan penerbit
19
Kartu kredit belanja meningkat hingga 45.7 persen dari pengeluaran private consumption dan kartu kredit tunai melonjak 65 persen dari total tagihan kartu kredit
20 Masyarakat miskin menurut Kang dan Ma (2007) memiliki pertumbuhan kartu kredit yang lebih
17
dengan batas limit yang pemegang kartu kredit inginkan dan orang tidak bekerja dapat memiliki kartu kredit yang terlihat dari jumlah pemegang kartu kredit pada tahun 2001 yang mencapai puncaknya sebesar 104 juta pengguna dengan jumlah masyarakat bekerja hanya 22 juta orang (Lim dan Yoon, 2011).
Selanjutnya yang kedua adalah infrastruktur pelaporan kredit Korea terbatas, yaitu pelaporan pemberi pinjaman sistem kredit Korea, data pemegang kartu kredit, dan jenis data yang dikumpulkan. Bank dan perusahaan penerbit kartu kredit menyimpan data pemegang kartu kreditnya karena ingin memonopoli industri kartu kredit, sehingga tidak diketahui dengan pasti bagaimana riwayat pemegang kartu kredit tersebut, apakah sudah memiliki hutang yang lebih besar dibanding asetnya, apakah mengalami kredit macet, dan apakah merupakakan pemegang kartu kredit yang layak. Keterbatasan informasi ini didukung dengan kebijakan pemerintah Korea pada Mei 2001 yang menghapus setengah data pelanggaran pemegang kartu kredit dalam asosiasi bank lokal sehingga mempersulit penerbit kartu kredit untuk mengidentifikasi pelamar kartu kredit mana yang baik dan buruk.
18
memotong hutang kartu kredit pemegang kartu kreditnya untuk mengatasi krisis likuiditas mereka, tetapi yang terjadi adalah ledakan gelembung hutang kartu kredit.
Gelembung hutang kartu kredit diperlihatkan dari semakin besarnya hutang kartu kredit yang macet dan krisis likuiditas yang dihadapi oleh bank dan perusahaan penerbit kartu kredit. Selain itu, hutang yang dimiliki para pemegang kartu kredit menjadi semakin besar karena tingkat bunga dan biaya pinalti yang semakin tinggi. Pendapatan para pemegang kartu kredit yang telat membayar dan/atau belum sanggup melunasi seluruhnya, diancam dan/atau dipotong oleh penerbit kartu kredit sebagai bentuk pelunasan, akibatnya banyak dari mereka yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga sektor konsumsi menurun.
“Choi Pyong Jin memiliki kebiasaan menggunakan seluruh 18
kartu kreditnya ke ATM. Rata-rata hutangnya perbulan mencapai
USD25.000 melebihi pendapatannya. Pada masa pelunasan, Choi
tidak mampu membayar hutangnya. Meskipun sudah menjual
rumahnya kepada perusahaan kartu kreditnya, hutangnya masih
USD113.000. Memotong-motong kartu kredit menjadi tindakan
yang sia-sia.”
Bank of Korea mengatasi krisis tersebut dengan menghimbau para penerbit kartu kredit untuk tetap merendahkan tingkat bunganya meskipun masih ada yang menetapkan tingkat bunga tinggi. Kemudian mengatasi permasalahan dalam pasar saham yang berkaitan dengan hutang kartu kredit dengan memberi injeksi sebesar KRW 4 triliun melalui sistem operasi pasar terbuka dengan membeli obligasi pemerintah dan menebus Monetary Stabilisation Bonds. Setelah itu menginjekasi LG Card sebesar KRW 3,7 triliun karnea LG Card21 sebagai penerbit kartu terbesar Korea yang timbunan hutangnya 70 persen dari pinjaman buruk dari tahun 2000 – 2001 dan operasi serta dana hutang kartu kreditnya berasar dari bank-bank komersial yang mencapai KRW 11,2 triliun (Kang dan
21
19
Ma, 2007). NPL tinggi membuat perusahaan-perusahaan kartu kredit dan bank-bank komersial bangkrut dengan kualitas aset yang buruk.
Claessens dan Kose (2013) menyatakan bahwa krisis perbankan yang mempengaruhi ekonomi riil negara, hal ini terbukti dari pengetatan deregulasi dan pemotongan hutang langsung sebagai cara mengatasi krisis hutang kartu kredit Korea Selatan terbukti menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.91 persen. Penurunan konsumsi ini sangat dirasakan oleh masyarakat menengah dan miskin (Lim dan Yoon, 2011). Hal ini serupa dengan penemuan Tufan dan Dunn (2010) di Amerika bahwa pertumbuhan hutang kartu kredit berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga
Dampak dari ledakan ini tidak hanya dirasakan dunia perbankan dan perekonomian saja, tetapi efek sosial mulai terasa ketika tagihan dadakan diberikan ke pemegang kartu kredit. Pendapatan pemegang kartu kredit berkurang, tidak ada lagi kemampuan membeli keinginan mereka untuk memiliki standar hidup yang tinggi, dan muncul kriminalitas hingga bunuh diri.
“Pada musim semi, Koran dan TV Korea ramai memberikan berita kejadian bunuh diri yang berhubungan dengan
hutang. Wanita berumur 34 tahun mendorong dua anaknya yang
berumur 3 dan 7 tahun dari jendela apartemennya di lantai 15.
Kemudian, perempuan itu juga melompat sambil mengendong
anaknya laki-laki yang berumur 6 tahun. Pihak kepolisian
menyatakan, perempuan itu diidentifikasi sebagai Ibu Sohn yang
memiliki hutang kartu kredit sebesar USD25.000. Dia putus asa
karena tidak dapat melunasi hutangnya karena suaminya hanya
seorang pekerja konstruksi”.
Money Illution, Masyarakat Konsumtif, dan Budaya Hutang
20
konsumsi bukan berdasarkan apa kebutuhan mereka, melainkan keinginan khususnya para pemegang kartu kredit revolvers atau hyperbolic discounters yang menempatkan kartu kredit sebagai alat berhutang, sehingga mereka menjadi kecanduan berkonsumsi dan kecanduan berhutang.
Keinginan yang sering menjadi alasan penggunaan kartu kredit yang berlebihan adalah untuk mendapatkan harga diri, rasa hormat, diterima, kebahagiaan, dan status. Hal-hal tersebut dijadikan alasan pemegang kartu kredit untuk merasa layak dan diterima, terutama masyarkat menengah dan kebawah yang merasa memiliki status setelah dapat mengikuti konsumsi kelas menengah keatas dan kelas atas. Contoh nyata adalah kehidupan dan pola konsumsi masyarakat Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan merasa dihormati keberadaanya ketika mereka mampu memenuhi standar hidup mereka yang tinggi seperti membeli superior good – barang bermerek dengan keadaan pendapatan mereka rendah. Tercatat pada tahun 2012 pendapatan terendah sekitar $4.31/jam, oleh karena itu, terlihat bahwa kartu kredit menjadi jawaban yang tepat bagi mereka untuk merasakan rasa hormat versi masyarakat Korea Selatan.
Kebiasaan mengubah kartu kredit sebagai sumber pendapatan mereka berlangsung menjadi sebuah kecanduan bagi pemegang kartu kredit untuk berkonsumsi dan berhutang serta mulai menjadi sebuah budaya, yaitu budaya hutang. Dalam budaya hutang, pemegang kartu kredit bukan lagi sebagai pemegang kartu kredit melainkan debtor dan kartu kredit sudah mendarah daging dalam kehidupan para penggunanya, seperti di Amerika Serikat dan Korea Selatan. Meskipun Korea Selatan pernah mengalami krisis perbankan pada tahun 2003 akibat kartu kredit, hutang rumah tangga pada tahun 2012 mencapai 152.3 persen meningkat menjadi 164 persen dari disposable income pada tahun 201322 dan tabungan rumah tangga menurun dari 20 persen pada pertengahan 1990an menjadi hanya 3 persen pada tahun 2013. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa hutang rumah tangga Korea Selatan melebihi pendapatan penggunanya dan kebiasaan menabung sudah dikalahkan dengan kebiasaan konsumsi. Selain itu, hutang kartu kredit telah mendominasi perekonomian negara, terlihat dari total
22
21
hutang rumah tangga pada September 2012 mencapai $888.8 miliar yang merupakan ¼ dari seluruh perekonomian Korea Selatan.
Pemerintahan Korea Selatan yang baru tahun 2012 memasukann budaya hutang kartu kredit menjadi bagian masyarakat ke bawah, yaitu masyarakat miskin. Tujuan kebijakan ini adalah menggunakan masyarakat untuk meningkatkan pengeluaran domestik demi menyeimbangkan perekonomian, akibat melambatnya pertumbuhan perusahaan besar manufaktur.
One of the poorest citizen Mr Park Jong-hyun has 10 active credit
cards. – Pak Park Jong-hyun merupakan salah satu orang termiskin
di Korea selatan yang memiliki 10 kartu kredit aktif.
Cara yang dilakukan pemerintah Korea Selatan adalah dengan membantu masyarakat termiskin memanajemen hutang kartu kredit mereka dengan membuat Korea’s National Happines Fund, yaitu organisasi ini memiliki tugas memanajemen hutang kartu kredit masyarakat miskin seperti memotong hutang yang harus dikembalikan dengan fakta bahwa rata-rata hutang pemegang kartu kredit mencapai $10.000, sedangkan rata-rata pendapatan pemegang kartu kredit kurang dari ½ total rata-rata hutang.
Mr Park (the happy man) dipotong kewajibannya hingga 50 persen
oleh salah satu manajer Korea’s National Happines Fund.
22
transaksi naik 5.6 persen per tahun (2012) sebesar 646.5 triliun won setara dengan US$576 miliar. Alasan tingginya rata-rata transaksi ini, menurut Bank of Korea sebagai upaya Korea Selatan untuk meningkatkan permintaan domestik dan pajak penerimaan setelah krisis keuangan Asia 1997 – 1998.
Melihat bagaimana alasan penggunaan kartu kredit hingga membudidayanya hutang dalam kehidupan pemegang kartu kredit, keberadaan kartu kredit diibaratkan sebagai uang ilusi (illusion money), karena konsumsi bukan berdasarkan jumlah uang yang beredar tetapi berapa hutang yang beredar. Resiko uang ilusi ini konsumsi tinggi yang menghasilkan inflasi dan dalam jangka panjang meningkatkan standar hidup. Jika hutang kartu kredit dihilangkan secara tiba-tiba, mungkin masyarakat Korea Selatan akan sadar bahwa standar hidup yang tinggi dan inflasi merupakaan ciptaan merka sendiri karena mengejar kesejahteraan ilusi melalui kartu kredit.
Memiliki masyarakat konsumtif tidak selalu menjadi sebuah konsep negatif, pemakaian kartu kredit untuk mengonsumsi barang dan jasa domestik tidak hanya memberi pertumbuhan ekonomi, melainkan juga peningkatan neraca perdagangan. Tetapi ketika mengonsumsi barang dan jasa impor akan mengurangi neraca perdagangan negara tersebut. Syarat ketika masyarakat konsumtif dan penggunaan kartu kredit menjadi dampak positif dalam perekonomian adalah tidak menghasilkan kredit macet, karena kredit macet akan memberikan, consumption bubble yang ketika meledak, akan memberikan resesi ekonomi.
KASUS NEGARA
Hongkong SAR (2002)
23
pengangguran di Hongkong SAR. Pertumbuhan kartu kredit yang tahun 2000 – 2001 mampu mendorong pertumbuhan konsumi rumah tangga yang lesu akibat pemotongan kekayaan dari krisis Asia 1997. Banyaknya permintaan kartu kredit, menarik perusahaan penerbit kartu kredit dari luar negeri untuk membuka cabang di Hongkong secara langsung dan tidak bekerjasama dengan bank lokal. Kang dan Ma (2007) melalui tulisan Dell’Ariccia dan Marquez (2006) menjelaskan bahwa semakin kuat ekspansi kartu kredit dikarenakan semakin longgarnya standar kepemilikan kartu kredit. Ketersediaan kartu kredit memudahkan masyarakat Hongkong mendapatkan kartu kredit, sehingga mereka mudah berkonsumsi meskipun sedang menganggur.
Sumber: WorldBank
Tahun 2000, pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik 4.52 persen dan tahun 2001 1.40 persen. Porsi kartu kredit dalam GDP meningkat, dari 3 persen pada tahun 1998 menjadi 5 persen pada tahun 2001 (Kang dan Ma, 2007). Tetapi memasuki pertengahan 2001 hingga tahun 2003, Hongkong SAR telah diserang virus SARS yang berdampak negatif terhadap perekonomian Hongkong. Pertumbuhan GDP turun 0.6 persen terutama dari sektor investasi dan pariwisata, tingkat pengangguran meningkat terutama setelah pemangkasan biasa pekerja oleh investor, dan menurunya harga aset properti, mortgage serta credit card.
9.26%
24
Pada masa SARS, masyarakat Hongkong dilarang keluar rumah untuk isolasi agar tidak tertular dan menyebar, hal ini menghalangi masyarakat pemilik kartu kredit mendapatkan pendapatan terutama mereka yang sudah menjadi penggangguran. Bank dan perusahaan penerbit menghadapi masalah dengan meningkatnya hutang yang tidak terbayarkan. Delliquency ratio, yaitu rasio hutang kartu kredit yang belum dibayar melebihi 90 hari jatuh tempo, dari tahun 2001 – 2003 tertinggi mencapai 1.9 persen pada kuarter 1 tahun 2001. Hal ini menunjukkan bank dan perusahaan menerbit kartu kredit di Hongkong menanggung 1.15 Miliar HKD. Pengetatan peraturan oleh penerbit kartu kredit menjadi liquidity constraint bagi pengguna kartu kredit. Hal ini mengubah pemilik kartu kredit yang memiliki hutang dan menyandarkan konsumsinya menajdi personal bankruptcy. Berbeda dengan negara lain, Hongkong melakukan rezim memaafkan pemilik kartu kredit yang sudah mengalami personal bankruptcy (Kang dan Ma, 2007).
Taiwan (2006)
Kang dan Ma (2007) menjelaskan, krisis Asia tahun 1997 membuat keadaan makroekonomi Taiwan memburuk dari resesi dan melambatnya sektor domestik. Pada masa pemulihannya, ekspor Taiwan terkena dampak negatif dari perlambatan ekonomi dunia akibat ledakan dot.com (2000) dan serangan 9/11 di Amerika Serikat. Keadaan Taiwan tersebut membuat para enterprenuer Taiwan lari ke China, kemudian dengan populernya pasar sekuratis membuat rendahnya permintaan pinjaman akan investasi terhadap bank-bank di Taiwan meskipun tingkat bunga riil dan nominal sudah rendah. Di sisi lain, pinjaman rumah tangga khususnya kartu kredit meningkat, masyarakat menggunakannya untuk pembayaran hipotek, pinjaman mobil, dan pinjaman kesejahteraan pekerja. Akhirnya, 50 bank dan 315 perusahaan kredit di Taiwan lebih fokus pada pinjaman rumah tangga dibanding kredit yang lain.
25
kredit belanja dan kartu kredit tunai (Kang dan Ma, 2007). Selain dari peningkatan permintaan kartu kredit, pertumbuhan kartu kredit yang tajam dipengaruhi dari ketersediaannya kartu kredit yang juga terus bertambah, karena dalam liberalisasi keuangan ini, jumlah penerbit kartu kredit meningkat dua kali lipat dan membuat pasar semakin ramai. Dari grafik 4, terlihat kartu kredit yang diterbitkan dari tahun 2004 meningkat tajam dan memuncak pada kuarter 4 tahun 2005 pada bulan Desember sebesar 45,494 miliar kartu.
Grafik 4
Kartu Kredit yang Beredar (Card in Force)
Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.
Efek dari banyaknya pernerbit kartu kredit adalah kompetisi mendapatkan calon pemilik kartu kredit dengan cara apapun tanpa mempertimbangkan pendapatan dan riwayat kredit buruk atau tidak. Hal ini terlihat dari pekerjaan baru para pemilik kartu kredit sebagai “broker kartu kredit” (Kang dan Ma, 2007). Mereka memoles data mereka agar terlihat sebagai akun yang baik (membayar tepat waktu) dengan sistem gali lubang tutup lubang melalui kartu-kartu yang mereka miliki. Tetapi, para broker kartu kredit ini hanya menutup sebagian kecil hutangnya karena tidak mungkin pengguna membayar semua hutangnya tanpa berkonsumsi ketika mereka menjdi revolver. Akibatnya, hutang kartu kredit makin menumpuk sedikit demi sedikit dan mencapai limit kredit masing-masing.
26
Grafik 5 Hutang Kartu Kredit (Revolving Balance)
Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.
Penerbit mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayarkan oleh pemegang kartu kredit dengan asusmi hutang kartu kredit lunas, tetapi ketika pemegang kartu kredit hanya membayar bunga dan/atau pembayaran minimum saja, yang ada bank akan membayar lebih dan bisa bangkrut karena masalah likuiditas. Merasa terancam, penerbit kartu kredit mulai mengetatkan stadar pinjaman dan ketersediaan kartu kredit. Tetapi yang terjadi adalah hutang-hutang kartu kredit yang terus meningkat, puncaknya pada akhir tahun 2005 yang mencapai TW$494,710 milyar dari 45,49 juta kartu kredit yang beredar.
Financial Supervisory Commission bekerjasama dengan bank – bank penerbit mengatasi krisis kartu kredit dengan melakukan write off atau penghapusan hutang-hutang yang tidak dapat dibayarkan. Tahun 2005, bank mengalokasikan 12 persen persediaannya untuk menghapus TW$234 miliar dan bank-bank komersial Taiwan menghapus TW$9.6 miliar pada kuarter kedua tahun 2006. Tercatat pada Februari 2006, 519.000 pemegang kartu kredit memiliki hutang yang berlebih yang berkontribusi pada NPL yang mencapai TW$160 milyar23.
Hutang kartu kredit mengalami penurunan 0,12% pada awal tahun 2006 karena write off yang dilakukan bank penerbit. Hal ini terlihat dari penurunan hutang kartu kredit pada tahun 2006, dan peningkatan write off yang dilakukan bank penerbit kartu kredit yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya (grafik 6), write off terbesar mencapai TW$ 115,178 miliar pada Desember 2006. Batas
23
Berdasarkan data Financial Supervisory Commision dari Insight (2007) 0
27
ratio write-off to revolver account sebelum krisis sektira 4 – 5 persen, memasuki masa krisis pada tahun 2006 mencapai 32.87 persen (Kang dan Ma, 2007). Hal ini membuat 12 bank dan perusahaan penerbit kartu mengalami kebangkrutan dan tutup karena mengalami masalah likuiditas akibat kredit macet dan write off.
Dari pembelajaran Taiwan, pengembangan kredit di waktu yang singkat, penurunan borrowing constraint melalui pelonggaran standar pinjaman, dan memperbolehkan keberadaan “broker kartu kredit” akan menghasilkan ledakan hutang kartu kredit yang dapat membuat penutupan bank penerbit kartu kredit dan beresiko sistemik terhadap sistem perbankan. Meskipun Taiwan tidak sampai pada krisis finansial (Kang dan Ma, 2007), permasalahan hutang kartu kredit memunculkan permasalahan sosial, yaitu mengubah personal bankruptcy menjadi tuna wisma karena harus menjaminkan rumah mereka, pengangguran, dan bunuh diri tercatat mencapai 2.172 orang dan maraknya penjualan narkotika untuk membayar hutang mereka24.
Grafik 6
Hutang Kartu Kredit yang Dihapuskan (Write Off)
Sumber : Financial Supervisory Commission
24
http://sevenpillarsinstitute.org/case-studies/taiwans-credit-card-crisis
Annual-Write Off, 115,178,081.00
28 Grafik 7
Perbandingan Revolving Balance, Annual-Writte Off, dan Card in Force
Sumber : Financial Supervisory Commission
Amerika (2008)
Kartu kredit adalah “American Lifestyle” dan “at the very heart of American History” (Ritzer, 1995), ungkapan yang menunjukkan bagaimana kartu kredit yang memberi kenyamanan kepada masyarakat Amerika dalam pembayaran (Johnson, 2004) dan mengubah kehidupan sosial masyarakat Amerika menjadi budaya yang unik, yaitu kecanduan belanja (addiction spending) dan kecanduan hutang (addiction to debt) (Ritzel, 1995). Wright (2010) memaparkan bahwa tujuan dari kartu kredit bagi masyarakat Amerika adalah alat pembayaran yang harus dimiliki oleh setiap orang abad 21 tahun ini, karena status, mempermudah transaksi terutama yang mengharuskan seperti transaksi online, dan kebutuhan lain seperti travel dan lodging. Budaya populernya kartu kredit dimulai tahun 1980’an bersamaan dengan “Yuppie (young upwardly mobile professionals)” atau adalah orang-orang yang memiliki kehidupan sosial di luar budaya seperti kaum hippie. Mereka mengubah budaya USA, yaitu untuk memperlihatkan status harus memiliki mobil mewah, televise proyeksi, kapal, dapur renovasi, liburan mewah, dan mode yang tinggi. Budaya tersebut mudah dicapai oleh masyarakat miskin, namun bagi kaum menengah dan menengah kebawah mengalami kesulitan sehingga kartu kredit menjadi satu-satunya
Annual-Write Off, 115,178,081.00
Card in force, 38,323,706
Revolving balance, 350,430,086
29
jawbaan, terutama mudahnya mencapai program lay-away25. Tahun 1970 dan 1980’an, masyarakat Amerika dikenal dengan pembayaran tagihan yang tepat waktu dan menggunakan uang tunai, tetapi ketika konsep uang tunai mulai tergantikan dengan kartu kredit, mereka mulai membayar menggunakan hutang dan mulailah tumpukan hutang terjadi.
Awal tahun 2000, banyak iklan-iklan dari penerbit kartu kredit yang memaparkan betapa hebatnya dan mudahnya menggunakan kartu kredit26.Penggunaan kata-kata persuasif27 di tengah standar hidup yang tinggi memudahkan penerbit kartu kredit mendapatkan pemegang kartu kredit dengan standar pinjaman yang sengaja mereka turunkan, akibatnya hutang kartu kredit meningkat. Tahun 1967, 1977, dan 1988 hutang kartu kredit masing-masing $1.4 milyar, $39 milyar, dan $169 milyar, hutang kartu kredit dilihat dari grafik 7 terus meningkat hingga menjadi gelembung hutang kartu kredit sebesar $1.005 tirilun pada tahun 200828.
Grafik 8
Hutang Kartu Kredit Amerika Tahun 2002 - 2012
Sumber: Credit.com
Di tengah penawaran dan permintaan kartu kredit yang besar, standar pinjaman, dan kurangnya pengetahuan pemegang kartu kredit, para penerbit kartu kredit telah mengubah dirinya menjadi predator lending untuk mendapatkan pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya. Mereka menjaga diri dari hutang yang beresiko gagal bayar dengan menerapkan universal default dan biaya pinalti
25Membeli barang di toko serba ada dan akan mendapatkan ketika cicilan sudah lunas. Hal ini
dilakukan oleh masyarakat menengah dan menengah ke bawah, terutama menjelang Natal (hadiah Natal)
26
Marketing yang agresif
27 Kata – kata yang digunakan seperti “everywhere you want to be” – geseklah kartu kredit dan
kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau dimanapum kamu berada. 28
http://www.credit.com/debt/five-shocking-credit-card-debt-statistics/
0 200 400 600 800 1000 1200
30
yang kejam. Universal default adalah menggandakan tingkat bunga kartu kredit bisa dua kali hingga tiga kali. Kemudian biaya pinalti yang kejam adalah pemberian biaya pinalti sesuai keinginan penerbit kartu kredit. Dari hal-hal itulah penerimaan mereka akan menjadi meningkat. Dampak dari kebijakan dan kondisi pasar kartu kredit Amerika di atas, hutang kartu kredit menjadi meningkat, dan pengajuan personal bankruptcy meningkat. Dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004, jumlah pengajuan personal bankruptcy meningkat dari 288.000 menjadi 1.5 juta per tahun.
Personal bankruptcy terus meningkat karena beban hutang pemegang kartu kredit terus membengkak terutama kebijakan tingkat bunga dan biaya pinalti yang semena-mena. Kebijakan pemerintah tidak membantu mengurangi pemegang kartu kredit yang mengalami gagal bayar, karena mereka tidak bisa mengajukan diri sebagai personal bankruptcy jika belum lebih dari 5 tahun. Asumsinya adalah diberi waktu agar bisa melunasi hutang mereka, tetapi yang terjadi pemegang kartu kerdit terus meningkat.
Tahun 2007 – 2008, The Fed mulai menetapkan tingkat bunga rendah dalam pinjaman mortgage loan dan menciptakan krisis Global 2008. Hal ini berdampak langsung kepada hutang kartu kredit, karena masyarakat Amerika menopang konsumsi mereka dan melakukan pembayaran-pembayaran dengan kartu kredit mereka di tengah krisis tersebut. Desember 2007, hutang kartu kredit untuk pertama kali mencapai angka $1 triliun. Memasuki tahun 2008, pada bulan April bank diberi kebijakan untuk mengetatkan pinjaman kredit di tengah peningkatan hutang kartu kredit karena tingginya harga gas. Mei 2008, pemegang kartu kredit sudah mencapai batas kredit mereka dan mengalami kesulitan untuk memenuhi pembayaran minimum, akhirnya Juli 2008 hutang kartu kredit mencapai tertinggi $1.022 triliun29.
Tindakan predator lending dengan kebijakannya yang “kejam” dan keadaan ekonmi membawa Amerika menjadi ketakutan Amerika setelah krisis Global. Pemerintah mulai menetapkan Credit Card Accountability Responsibility and Disclosure Act (CARD Act) tahun 2009 untuk mengurangi masyarakat menuju personal bankruptcy, antara lain mengharuskan penerbit kartu kredit
29
31
melakukan pemberitahuan pada setiap perubahan peraturan kartu kredit termasuk tingkat bunga, pemberitahuan tagihan sebelum 21 hari jatuh tempo. Memasuki tahun 2009, hutang kartu kredit mulai menurun dan tingkat menabung masyarakat Amerika meningkat, Mei 2009 tercatat meningkat 6.9 persen. Penurunan hutang kartu kredit ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika mulai membeli sesuatu yang harus dimiliki bukan apa yang bagus untuk dimiliki (Amadeo, 2014).
Indonesia
Penggunaan kartu kredit dalam proses pembiayaan sudah berlangsung sejak lama, seperti pada tahun 1946 oleh Hotel Indonesia yang sudah menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran. Pertama kali kartu kredit dikenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh Bank Duta pada tahun 1980an, Bank Duta menjadi bank nasional pertama yang menerbitkan kartu kredit dengan bekerjasama dengan principal internasional seperti Visa dan MasterCard International30. Mulai menonjolnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran membuat pemerintah Indonesia membuat peraturan tentang kartu kredit yang dikenal dengan istilah “paket Desember 1998”, yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Peraturan tersebut meningkatkan pertumbuhan penerbitan kartu kredit oleh bank dan nonbank31. Tetapi operasi Bank Duta berhenti dan industri kartu kredit dilanjutkan oleh BCA sebagai bank swasta pertama yang menerbitkan kartu kredit tetapi hanya lingkup internal/nasabah BCA saja32, kemudian diikuti Citibank33 sebagai bank asing pertama yang masuk ke Indonesia pada tahun 1989.
Tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan deregulasi perbankan, yaitu UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Nasional. Peraturan tersebut dalam pasal 6 ayat 1 memaparkan bahwa usaha kartu kredit adalah salah satu bentuk
30
http://bukukartukredit.blogspot.com/2012/06/mempelajari-sejarah-kartu-kredit-di.html MasterCard International berubah nama mnejadi MasterCard Worlwide pada tahun 2006 31
Contoh perusahaan swasta yang mengeluarkan kartu kredit : Hero Supermarket, Indomobil Group, Astaga, dan Rimo. http://www.carikredit.com/berita/detail/16/04/2012/490/sejarah-masuknya-kartu-kredit-ke-indonesia/#.U8M4l5SSx1g
32
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/07255082/Meraup.Untung.dari.Masyarakat.Pe nggesek
33
32
usaha yang dapat dilakukan oleh bank, tetapi belum mengatur dengan jelas penerbitan dan penyelenggaran kartu kredit serta kartu kredit sebagai alat pembayaran. Tahun 2001, penerbit dan pengguna kartu kredit dihadapkan pada masalah carding atau pembobolan oleh pengguna palsu. Sebagai contoh perisitiwa penangkapan para pembobol kartu kredit (carder)oleh kepolisian DIY pada tahun 2001, yaitu Jouvendi Ardinand, Simod Nagari, Arifin, dan Indra Sitompul yang membobol kartu kredit dan melakukan transaksi jutaan rupiah dengan merchant luar negeri34.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan BI bekerjasama menggelar Bulan Pengaduan Konsumen Kartu Kredit dan ATM pada Minggu ketiga Februari sampai minggu ketiga Juni 2005. YLKI dan BI menemukan pengaduan dan permasalahan perbankan menduduki posisi pertama dalam daftar pengaduan konsumen, terutama kartu kredit sebanyak 262 kasus dan total tahun 2005 mencapai 337 kasus. Rahayu35 (2006) memaparkan terdapat tiga masalah, yaitu bunga tagihan kartu kredit, penyampaian informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit, dan masalah penagih hutang (debt collector). Permasalahan bunga tagihan dianggap konsumen sebagai penambah beban hutang dan informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit terlihat dari penawaran pembuatan kartu kredit oleh sales dan pengiriman kartu kredit atas nama calon pemegang kartu kredit yang sebenarnya tidak diaplikasi oleh calon pemegang kartu kredit tersebut. Kemudian masalah terakhir yang belum diatur tata cara penagihannya oleh BI36 adalah masalah keberadaan pihak ketiga (debt collector) yang digunakan bank dan lembaga penerbit untuk menagih hutang. Debt collector menagih dengan sistem yang dapat mengarah ke pidana, seperti mengamuk di tempat kerja pengguna kartu kredit, teror melalui telepon, dan ancaman dibunuh.
BI menyadari bahwa kartu kredit sebagai alat pembayaran perlu diatur berkaitan dengan masalah yang muncul, oleh karena itu BI mengeluarkan
34
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2466/kejahatan-internet-marak-pemilik-kartu-kredit-resah. Sabtu, 21 April 2001.
35
Karunia Asih Rahayu – Legal and Public Complain YLKI.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15973/ulah-idebt-collectori-masih-dikeluhkan-pengguna-kartu-kredit
36
33
Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 tentang penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu37 pada tahun 2005. Peraturan ini menjelaskan bagaiamana persetujuan penyelenggaran kegiatan oleh principal, penerbit (bank dan lembaga selain bank), Acquirer, pemberian kartu kredit, penghentian kegiatan, kliring dan penyelesaian akhir, pengawasan oleh BI, peningkatan keamanan teknologi alat pembayaran dengan menggunakan kartu38, dan sanksi penyelenggaraan kartu kredit.
Dalam perkembangannya, penggunaan kartu kredit telah meningkat dari masuknya kartu kredit dalam transaksi online yang mempermudah merchant dan konsumen, serta meningkatnya nilai transaksi kartu kredit. Oleh karena itu, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/8/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)39 pada tanggal 20 Februari 2008 dan ketentuan teknis dimuat dalam Surat Edaran (SE) perihal tata cara penyelenggaraan kegiatan APMK; SE perihal prinsip perlindungan nasabah dan kehati-hatian40, serta peningkatan keamanan dalam penyelenggaraan APMK; dan SE perihal pengawasan terhadap penyelenggaraaan kegiatan APMK41. Peraturan 2008 ini menambahkan aturan penambahan nominal transaksi yang dapat digunakan dengan kartu kredit, aturan penyelenggaraan kartu kredit secara
37http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/pbi%2075205.aspx
38
Berkaitan dengan pembobolan kartu kredit oleh merchant
39 Sebelum peraturan ini, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank pada 4 Februari 2008. Selanjutnya, 8 Februari 2008 menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/4/UKMI Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
Perubahan dalam peraturan ini terlihat Pada pasal 1 ayat 18 Perusahaan Personalisasi adalah perusahaan yang melakukan input data Pemegang Kartu ke dalam media Alat Pembayaran Dengan Menggunakan kartu. Kemudian pada ayat 19 Penyelenggara Kliring Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah lembaga yang melakukan perhitungan akhir atas seluruh transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Serta pada pasal 33 yang mengatur peyelenggaran kegiatan APMK secara online
40
SE BI No. 10/20/DASP Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati – hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
41 21 Februari 2008, SE BI No. 10/7/DASP Pengawasan Penyelenggaran Kegiatan Alat
34
online dan peningkatan keamanan karena rentannya kasus carding dan pencurian data pemegang kartu kredit di internet.
Mulai dengan peraturan baru, dalam laporan pengaduan konsumen terhadap perbankan keberadaan debt collector mengalahkan kasus pemalsuan kartu kredit. Bagi penerbit kartu kredit, tagihan macet karena pemegang kartu kredit yang “nakal” lebih berat dibandingkan dengan kasus carding. Para penerbit kartu kredit menggunakan debt collector untuk menjaga NPL kartu rendah dan jauh dari masalah likuiditas ketika menyuburkan pertumbuhan kartu kredit. Tetapi ketika melihat dari sisi pemegang kartu kredit, terjadi kasus bunuh diri Johan Hasan karena kekerasan fisik berupa ancaman dan kekerasan psikis berupa caci maki dari debt collector. Selanjutnya, kekerasan yang dirasakan Ny Amin – seorang ibu rumah tangga yang memiliki hutang mencapai Rp 12 juta karena usaha suaminya yang bangkrut42. Selain itu, Ny Amin melakukan kesalahan dengan memberi uang dan beberapa emas kepada para debt collector dengan tujuan tagihannya berkurang, tetapi yang sering terjadi pembayaran tersebut tidak mengurangi tagihannya, karena tidak didistribusikan oleh debt collector kepada bank penerbit kartu kredit terkait. Hal ini dikarenakan debt collector hanya memiliki tugas “menagih” bukan mengambilkan tagihan nasabah ke penerbit kartu kredit, hal ini dimanfaatkan oleh debt collector nakal.
Berkaitan dengan terus bertambahnya pelaporan tentang debt collector yang memiliki sistem penagihan yang kasar, seperti mendobrak rumah, mengancam membunuh, teror telepon, mendatangi tempat kerja pemegang kartu kredit dengan teriak-teriak, dan memukul sampai nasabah babak belur. Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia Nomor11/11/PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan SE No 11/10/DASP tentang tata cara pelaksanaan penagihan kredit macet kepada pihak ketiga yang isinya mengutamakan keselamatan nasabah dan tidak menggunakan kekerasan. Tetap diijinkan dan diakuinya keberadaan debt collector oleh BI, karena bank – bank penerbit merasa NPL terbukti turun dengan keberadaan debt collector dibanding pemberian charge, tingkat bunga, dan pembayaran minimum tiap bulan. Hal ini
35
terlihat dari penurunan NPL kartu kredit Indonesia per Februari 2011 turun mencapai 32.89 persen (Pramono43, 2011).
Meskipun sudah adanya penekanan pada pengutamaan keselamatan nasabah kartu kredit, kasus debt collector tetap muncul dan memuncak dengan kematian salah satu nasabah Citibank, Sekjen Parti Pemersatu Bangsa (PBB) Irzen Octa di tangan debt collector. Pemerintah melalui Komisi XI DPR menganggapi kasus tersebut dengan memaksa BI untuk segera merevisi peraturan keberadaan debt collector dan diusahakan untuk dihapus. Penghilangan debt collector ditolak oleh para penerbit kartu kredit karena satu – satunya cara paling efektif untuk menjaga NPL tetap rendah dan menyalahkan pemegang kartu kredit yang tidak segera membayar tagihannya. Kemudian, bank – bank penerbit kartu kredit mengancam akan meningkatkan charge lebih tinggi dari sebelumnya jika debt collector dihapuskan. BI menengahi pertikaian antara penerbit kartu kredit dengan pemerintah dengan tetap mempertahankan keberadaan debt collector karena menghindari penjualan NPL kartu kredit oleh bank – bank penerbit kepada perusahaan penagihan hutang yang sistemnya lebih parah dibanding debt collector oleh penerbit kartu kredit (Johansyah44, 2011). 6 Januari 2012, BI menetapkan Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/201245 tentang prubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang penyelenggaraan kegiatan APMK yang dilatarbelakangi dengan peningkatan aspek kehati – hatian, aspek perlindungan konsumen, dan manajemen resiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan APMK46. Selain itu, peraturan ini mengurangi masalah kredit
43
Sigit Pramono – Ketua Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) 44
Difi Ahmad Johansyah – Pelaksana Tugas Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia
45
Teknis perlindungan nasabah tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegaitan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
46 Pokok – pokok peratuaran dalam perubahan PBI APMK yang diutarakan BI dalam sesi Tanya
jawab.
a. Pengaturan batas maksmium suku bunga kartu kredit, yang besarnya ditetapkan Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia
b.Pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit, seperti batas minimum usia, batas minimum pendapatn, batas maksimum plafond an maksimum jumlah penerbit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit yang secara rinsi akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia