• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASUS NEGARA

Dalam dokumen T1 222010001 Full text (Halaman 22-38)

Hongkong SAR (2002)

Krisis Asia tahun 1997 telah menurunkan investasi dan permintaan kredit akan investasi, terlihat dari loan to deposit ratio hanya 15 persen pada tahun 1995 dan 20 persen pada tahun 2000 (Kang dan Ma, 2007) sedangkan standar normal LDR adalah 80 – 110 persen. Kebijakan ekspansif untuk menarik investor dengan tingkat bunga pinjaman yang rendah tidak meningkatkan permintaan kredit investasi, tetapi meningkatkan kredit konsumtif, yaitu pinjaman rumah tangga melalui hutang kartu kredit. Banyaknya permintaan kartu kredit karena krsisis Asia 1997 menghancurkan sektor investasi dan menciptakan tingginya tingkat

23

pengangguran di Hongkong SAR. Pertumbuhan kartu kredit yang tahun 2000 – 2001 mampu mendorong pertumbuhan konsumi rumah tangga yang lesu akibat pemotongan kekayaan dari krisis Asia 1997. Banyaknya permintaan kartu kredit, menarik perusahaan penerbit kartu kredit dari luar negeri untuk membuka cabang di Hongkong secara langsung dan tidak bekerjasama dengan bank lokal. Kang dan Ma (2007) melalui tulisan Dell’Ariccia dan Marquez (2006) menjelaskan bahwa semakin kuat ekspansi kartu kredit dikarenakan semakin longgarnya standar kepemilikan kartu kredit. Ketersediaan kartu kredit memudahkan masyarakat Hongkong mendapatkan kartu kredit, sehingga mereka mudah berkonsumsi meskipun sedang menganggur.

Sumber: WorldBank

Tahun 2000, pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik 4.52 persen dan tahun 2001 1.40 persen. Porsi kartu kredit dalam GDP meningkat, dari 3 persen pada tahun 1998 menjadi 5 persen pada tahun 2001 (Kang dan Ma, 2007). Tetapi memasuki pertengahan 2001 hingga tahun 2003, Hongkong SAR telah diserang virus SARS yang berdampak negatif terhadap perekonomian Hongkong. Pertumbuhan GDP turun 0.6 persen terutama dari sektor investasi dan pariwisata, tingkat pengangguran meningkat terutama setelah pemangkasan biasa pekerja oleh investor, dan menurunya harga aset properti, mortgage serta credit card.

9.26% 8.58% 7.85% 6.50% 1.63% 3.72% 5.54% -5.50% 1.05% 4.52% 1.40% -1.05% -1.56% 7.13% 3.54% 6.10% 8.65% 1.90% 0.18% 6.11% 8.43% 4.25% -8.00% -6.00% -4.00% -2.00% 0.00% 2.00% 4.00% 6.00% 8.00% 10.00%

Hong Kong SAR, China

Grafik 3

24

Pada masa SARS, masyarakat Hongkong dilarang keluar rumah untuk isolasi agar tidak tertular dan menyebar, hal ini menghalangi masyarakat pemilik kartu kredit mendapatkan pendapatan terutama mereka yang sudah menjadi penggangguran. Bank dan perusahaan penerbit menghadapi masalah dengan meningkatnya hutang yang tidak terbayarkan. Delliquency ratio, yaitu rasio hutang kartu kredit yang belum dibayar melebihi 90 hari jatuh tempo, dari tahun 2001 – 2003 tertinggi mencapai 1.9 persen pada kuarter 1 tahun 2001. Hal ini menunjukkan bank dan perusahaan menerbit kartu kredit di Hongkong menanggung 1.15 Miliar HKD. Pengetatan peraturan oleh penerbit kartu kredit menjadi liquidity constraint bagi pengguna kartu kredit. Hal ini mengubah pemilik kartu kredit yang memiliki hutang dan menyandarkan konsumsinya menajdi personal bankruptcy. Berbeda dengan negara lain, Hongkong melakukan rezim memaafkan pemilik kartu kredit yang sudah mengalami personal bankruptcy (Kang dan Ma, 2007).

Taiwan (2006)

Kang dan Ma (2007) menjelaskan, krisis Asia tahun 1997 membuat keadaan makroekonomi Taiwan memburuk dari resesi dan melambatnya sektor domestik. Pada masa pemulihannya, ekspor Taiwan terkena dampak negatif dari perlambatan ekonomi dunia akibat ledakan dot.com (2000) dan serangan 9/11 di Amerika Serikat. Keadaan Taiwan tersebut membuat para enterprenuer Taiwan lari ke China, kemudian dengan populernya pasar sekuratis membuat rendahnya permintaan pinjaman akan investasi terhadap bank-bank di Taiwan meskipun tingkat bunga riil dan nominal sudah rendah. Di sisi lain, pinjaman rumah tangga khususnya kartu kredit meningkat, masyarakat menggunakannya untuk pembayaran hipotek, pinjaman mobil, dan pinjaman kesejahteraan pekerja. Akhirnya, 50 bank dan 315 perusahaan kredit di Taiwan lebih fokus pada pinjaman rumah tangga dibanding kredit yang lain.

Dari tahun 1991 – 2005, kartu kredit berperan pada pertumbuhan ekonomi Taiwan melalui sektor konsumsi rumah tangga (Lee dan Huang, 2011). Tahun 2002, 5 persen GDP berasal dari transaksi kartu kredit, kemudian tahun 2005 meningkat menjadi 9 persen. Pertumbuhan kartu kredit di Taiwan sejak tahun 1998 hingga tahun 2005 mencapai sekitar 420 persen, yang terdiri dari kartu

25

kredit belanja dan kartu kredit tunai (Kang dan Ma, 2007). Selain dari peningkatan permintaan kartu kredit, pertumbuhan kartu kredit yang tajam dipengaruhi dari ketersediaannya kartu kredit yang juga terus bertambah, karena dalam liberalisasi keuangan ini, jumlah penerbit kartu kredit meningkat dua kali lipat dan membuat pasar semakin ramai. Dari grafik 4, terlihat kartu kredit yang diterbitkan dari tahun 2004 meningkat tajam dan memuncak pada kuarter 4 tahun 2005 pada bulan Desember sebesar 45,494 miliar kartu.

Grafik 4

Kartu Kredit yang Beredar (Card in Force)

Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.

Efek dari banyaknya pernerbit kartu kredit adalah kompetisi mendapatkan calon pemilik kartu kredit dengan cara apapun tanpa mempertimbangkan pendapatan dan riwayat kredit buruk atau tidak. Hal ini terlihat dari pekerjaan baru para pemilik kartu kredit sebagai “broker kartu kredit” (Kang dan Ma, 2007). Mereka memoles data mereka agar terlihat sebagai akun yang baik (membayar tepat waktu) dengan sistem gali lubang tutup lubang melalui kartu-kartu yang mereka miliki. Tetapi, para broker kartu kredit ini hanya menutup sebagian kecil hutangnya karena tidak mungkin pengguna membayar semua hutangnya tanpa berkonsumsi ketika mereka menjdi revolver. Akibatnya, hutang kartu kredit makin menumpuk sedikit demi sedikit dan mencapai limit kredit masing-masing.

34,000,000 36,000,000 38,000,000 40,000,000 42,000,000 44,000,000 46,000,000 48,000,000 Ju n i' 0 4 A g u stu s' 0 4 O k to b e r' 0 4 D e se m b e r' 0 4 F e b ru ar i' 0 5 A p ri l' 0 5 Ju n i' 0 5 A g u stu s' 0 5 O k to b e r' 0 5 D e se m b e r' 0 5 F e b ru ar i' 0 6 A p ri l' 0 6 Ju n i' 0 6 A g u stu s' 0 6 O k to b e r' 0 6 D e se m b e r' 0 6 Card in force

26

Grafik 5 Hutang Kartu Kredit (Revolving Balance)

Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.

Penerbit mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayarkan oleh pemegang kartu kredit dengan asusmi hutang kartu kredit lunas, tetapi ketika pemegang kartu kredit hanya membayar bunga dan/atau pembayaran minimum saja, yang ada bank akan membayar lebih dan bisa bangkrut karena masalah likuiditas. Merasa terancam, penerbit kartu kredit mulai mengetatkan stadar pinjaman dan ketersediaan kartu kredit. Tetapi yang terjadi adalah hutang-hutang kartu kredit yang terus meningkat, puncaknya pada akhir tahun 2005 yang mencapai TW$494,710 milyar dari 45,49 juta kartu kredit yang beredar.

Financial Supervisory Commission bekerjasama dengan bank – bank penerbit mengatasi krisis kartu kredit dengan melakukan write off atau penghapusan hutang-hutang yang tidak dapat dibayarkan. Tahun 2005, bank mengalokasikan 12 persen persediaannya untuk menghapus TW$234 miliar dan bank-bank komersial Taiwan menghapus TW$9.6 miliar pada kuarter kedua tahun 2006. Tercatat pada Februari 2006, 519.000 pemegang kartu kredit memiliki hutang yang berlebih yang berkontribusi pada NPL yang mencapai TW$160 milyar23.

Hutang kartu kredit mengalami penurunan 0,12% pada awal tahun 2006 karena write off yang dilakukan bank penerbit. Hal ini terlihat dari penurunan hutang kartu kredit pada tahun 2006, dan peningkatan write off yang dilakukan bank penerbit kartu kredit yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya (grafik 6), write off terbesar mencapai TW$ 115,178 miliar pada Desember 2006. Batas

23

Berdasarkan data Financial Supervisory Commision dari Insight (2007) 0 100,000,000 200,000,000 300,000,000 400,000,000 500,000,000 600,000,000

27

ratio write-off to revolver account sebelum krisis sektira 4 – 5 persen, memasuki masa krisis pada tahun 2006 mencapai 32.87 persen (Kang dan Ma, 2007). Hal ini membuat 12 bank dan perusahaan penerbit kartu mengalami kebangkrutan dan tutup karena mengalami masalah likuiditas akibat kredit macet dan write off.

Dari pembelajaran Taiwan, pengembangan kredit di waktu yang singkat, penurunan borrowing constraint melalui pelonggaran standar pinjaman, dan memperbolehkan keberadaan “broker kartu kredit” akan menghasilkan ledakan hutang kartu kredit yang dapat membuat penutupan bank penerbit kartu kredit dan beresiko sistemik terhadap sistem perbankan. Meskipun Taiwan tidak sampai pada krisis finansial (Kang dan Ma, 2007), permasalahan hutang kartu kredit memunculkan permasalahan sosial, yaitu mengubah personal bankruptcy menjadi tuna wisma karena harus menjaminkan rumah mereka, pengangguran, dan bunuh diri tercatat mencapai 2.172 orang dan maraknya penjualan narkotika untuk membayar hutang mereka24.

Grafik 6

Hutang Kartu Kredit yang Dihapuskan (Write Off)

Sumber : Financial Supervisory Commission

24 http://sevenpillarsinstitute.org/case-studies/taiwans-credit-card-crisis Annual-Write Off, 115,178,081.00 0 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000

28 Grafik 7

Perbandingan Revolving Balance, Annual-Writte Off, dan Card in Force

Sumber : Financial Supervisory Commission

Amerika (2008)

Kartu kredit adalah “American Lifestyle” dan “at the very heart of American History” (Ritzer, 1995), ungkapan yang menunjukkan bagaimana kartu kredit yang memberi kenyamanan kepada masyarakat Amerika dalam pembayaran (Johnson, 2004) dan mengubah kehidupan sosial masyarakat Amerika menjadi budaya yang unik, yaitu kecanduan belanja (addiction spending) dan kecanduan hutang (addiction to debt) (Ritzel, 1995). Wright (2010) memaparkan bahwa tujuan dari kartu kredit bagi masyarakat Amerika adalah alat pembayaran yang harus dimiliki oleh setiap orang abad 21 tahun ini, karena status, mempermudah transaksi terutama yang mengharuskan seperti transaksi online, dan kebutuhan lain seperti travel dan lodging. Budaya populernya kartu kredit dimulai tahun 1980’an bersamaan dengan “Yuppie (young upwardly mobile professionals)” atau adalah orang-orang yang memiliki kehidupan sosial di luar budaya seperti kaum hippie. Mereka mengubah budaya USA, yaitu untuk memperlihatkan status harus memiliki mobil mewah, televise proyeksi, kapal, dapur renovasi, liburan mewah, dan mode yang tinggi. Budaya tersebut mudah dicapai oleh masyarakat miskin, namun bagi kaum menengah dan menengah kebawah mengalami kesulitan sehingga kartu kredit menjadi satu-satunya

Annual-Write Off, 115,178,081.00 Card in force, 38,323,706 Revolving balance, 350,430,086 0 100,000,000 200,000,000 300,000,000 400,000,000 500,000,000 600,000,000

29

jawbaan, terutama mudahnya mencapai program lay-away25. Tahun 1970 dan 1980’an, masyarakat Amerika dikenal dengan pembayaran tagihan yang tepat waktu dan menggunakan uang tunai, tetapi ketika konsep uang tunai mulai tergantikan dengan kartu kredit, mereka mulai membayar menggunakan hutang dan mulailah tumpukan hutang terjadi.

Awal tahun 2000, banyak iklan-iklan dari penerbit kartu kredit yang memaparkan betapa hebatnya dan mudahnya menggunakan kartu kredit26.Penggunaan kata-kata persuasif27 di tengah standar hidup yang tinggi memudahkan penerbit kartu kredit mendapatkan pemegang kartu kredit dengan standar pinjaman yang sengaja mereka turunkan, akibatnya hutang kartu kredit meningkat. Tahun 1967, 1977, dan 1988 hutang kartu kredit masing-masing $1.4 milyar, $39 milyar, dan $169 milyar, hutang kartu kredit dilihat dari grafik 7 terus meningkat hingga menjadi gelembung hutang kartu kredit sebesar $1.005 tirilun pada tahun 200828.

Grafik 8

Hutang Kartu Kredit Amerika Tahun 2002 - 2012

Sumber: Credit.com

Di tengah penawaran dan permintaan kartu kredit yang besar, standar pinjaman, dan kurangnya pengetahuan pemegang kartu kredit, para penerbit kartu kredit telah mengubah dirinya menjadi predator lending untuk mendapatkan pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya. Mereka menjaga diri dari hutang yang beresiko gagal bayar dengan menerapkan universal default dan biaya pinalti

25Membeli barang di toko serba ada dan akan mendapatkan ketika cicilan sudah lunas. Hal ini dilakukan oleh masyarakat menengah dan menengah ke bawah, terutama menjelang Natal (hadiah Natal)

26

Marketing yang agresif

27 Kata – kata yang digunakan seperti “everywhere you want to be” – geseklah kartu kredit dan kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau dimanapum kamu berada.

28 http://www.credit.com/debt/five-shocking-credit-card-debt-statistics/ 0 200 400 600 800 1000 1200 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

30

yang kejam. Universal default adalah menggandakan tingkat bunga kartu kredit bisa dua kali hingga tiga kali. Kemudian biaya pinalti yang kejam adalah pemberian biaya pinalti sesuai keinginan penerbit kartu kredit. Dari hal-hal itulah penerimaan mereka akan menjadi meningkat. Dampak dari kebijakan dan kondisi pasar kartu kredit Amerika di atas, hutang kartu kredit menjadi meningkat, dan pengajuan personal bankruptcy meningkat. Dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004, jumlah pengajuan personal bankruptcy meningkat dari 288.000 menjadi 1.5 juta per tahun.

Personal bankruptcy terus meningkat karena beban hutang pemegang kartu kredit terus membengkak terutama kebijakan tingkat bunga dan biaya pinalti yang semena-mena. Kebijakan pemerintah tidak membantu mengurangi pemegang kartu kredit yang mengalami gagal bayar, karena mereka tidak bisa mengajukan diri sebagai personal bankruptcy jika belum lebih dari 5 tahun. Asumsinya adalah diberi waktu agar bisa melunasi hutang mereka, tetapi yang terjadi pemegang kartu kerdit terus meningkat.

Tahun 2007 – 2008, The Fed mulai menetapkan tingkat bunga rendah dalam pinjaman mortgage loan dan menciptakan krisis Global 2008. Hal ini berdampak langsung kepada hutang kartu kredit, karena masyarakat Amerika menopang konsumsi mereka dan melakukan pembayaran-pembayaran dengan kartu kredit mereka di tengah krisis tersebut. Desember 2007, hutang kartu kredit untuk pertama kali mencapai angka $1 triliun. Memasuki tahun 2008, pada bulan April bank diberi kebijakan untuk mengetatkan pinjaman kredit di tengah peningkatan hutang kartu kredit karena tingginya harga gas. Mei 2008, pemegang kartu kredit sudah mencapai batas kredit mereka dan mengalami kesulitan untuk memenuhi pembayaran minimum, akhirnya Juli 2008 hutang kartu kredit mencapai tertinggi $1.022 triliun29.

Tindakan predator lending dengan kebijakannya yang “kejam” dan keadaan ekonmi membawa Amerika menjadi ketakutan Amerika setelah krisis Global. Pemerintah mulai menetapkan Credit Card Accountability Responsibility and Disclosure Act (CARD Act) tahun 2009 untuk mengurangi masyarakat menuju personal bankruptcy, antara lain mengharuskan penerbit kartu kredit

29

31

melakukan pemberitahuan pada setiap perubahan peraturan kartu kredit termasuk tingkat bunga, pemberitahuan tagihan sebelum 21 hari jatuh tempo. Memasuki tahun 2009, hutang kartu kredit mulai menurun dan tingkat menabung masyarakat Amerika meningkat, Mei 2009 tercatat meningkat 6.9 persen. Penurunan hutang kartu kredit ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika mulai membeli sesuatu yang harus dimiliki bukan apa yang bagus untuk dimiliki (Amadeo, 2014).

Indonesia

Penggunaan kartu kredit dalam proses pembiayaan sudah berlangsung sejak lama, seperti pada tahun 1946 oleh Hotel Indonesia yang sudah menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran. Pertama kali kartu kredit dikenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh Bank Duta pada tahun 1980an, Bank Duta menjadi bank nasional pertama yang menerbitkan kartu kredit dengan bekerjasama dengan principal internasional seperti Visa dan MasterCard International30. Mulai menonjolnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran membuat pemerintah Indonesia membuat peraturan tentang kartu kredit yang dikenal dengan istilah “paket Desember 1998”, yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Peraturan tersebut meningkatkan pertumbuhan penerbitan kartu kredit oleh bank dan nonbank31. Tetapi operasi Bank Duta berhenti dan industri kartu kredit dilanjutkan oleh BCA sebagai bank swasta pertama yang menerbitkan kartu kredit tetapi hanya lingkup internal/nasabah BCA saja32, kemudian diikuti Citibank33 sebagai bank asing pertama yang masuk ke Indonesia pada tahun 1989.

Tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan deregulasi perbankan, yaitu UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Nasional. Peraturan tersebut dalam pasal 6 ayat 1 memaparkan bahwa usaha kartu kredit adalah salah satu bentuk

30

http://bukukartukredit.blogspot.com/2012/06/mempelajari-sejarah-kartu-kredit-di.html MasterCard International berubah nama mnejadi MasterCard Worlwide pada tahun 2006 31

Contoh perusahaan swasta yang mengeluarkan kartu kredit : Hero Supermarket, Indomobil Group, Astaga, dan Rimo. http://www.carikredit.com/berita/detail/16/04/2012/490/sejarah-masuknya-kartu-kredit-ke-indonesia/#.U8M4l5SSx1g

32

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/07255082/Meraup.Untung.dari.Masyarakat.Pe nggesek

33

32

usaha yang dapat dilakukan oleh bank, tetapi belum mengatur dengan jelas penerbitan dan penyelenggaran kartu kredit serta kartu kredit sebagai alat pembayaran. Tahun 2001, penerbit dan pengguna kartu kredit dihadapkan pada masalah carding atau pembobolan oleh pengguna palsu. Sebagai contoh perisitiwa penangkapan para pembobol kartu kredit (carder)oleh kepolisian DIY pada tahun 2001, yaitu Jouvendi Ardinand, Simod Nagari, Arifin, dan Indra Sitompul yang membobol kartu kredit dan melakukan transaksi jutaan rupiah dengan merchant luar negeri34.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan BI bekerjasama menggelar Bulan Pengaduan Konsumen Kartu Kredit dan ATM pada Minggu ketiga Februari sampai minggu ketiga Juni 2005. YLKI dan BI menemukan pengaduan dan permasalahan perbankan menduduki posisi pertama dalam daftar pengaduan konsumen, terutama kartu kredit sebanyak 262 kasus dan total tahun 2005 mencapai 337 kasus. Rahayu35 (2006) memaparkan terdapat tiga masalah, yaitu bunga tagihan kartu kredit, penyampaian informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit, dan masalah penagih hutang (debt collector). Permasalahan bunga tagihan dianggap konsumen sebagai penambah beban hutang dan informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit terlihat dari penawaran pembuatan kartu kredit oleh sales dan pengiriman kartu kredit atas nama calon pemegang kartu kredit yang sebenarnya tidak diaplikasi oleh calon pemegang kartu kredit tersebut. Kemudian masalah terakhir yang belum diatur tata cara penagihannya oleh BI36 adalah masalah keberadaan pihak ketiga (debt collector) yang digunakan bank dan lembaga penerbit untuk menagih hutang. Debt collector menagih dengan sistem yang dapat mengarah ke pidana, seperti mengamuk di tempat kerja pengguna kartu kredit, teror melalui telepon, dan ancaman dibunuh.

BI menyadari bahwa kartu kredit sebagai alat pembayaran perlu diatur berkaitan dengan masalah yang muncul, oleh karena itu BI mengeluarkan

34

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2466/kejahatan-internet-marak-pemilik-kartu-kredit-resah. Sabtu, 21 April 2001.

35

Karunia Asih Rahayu Legal and Public Complain YLKI.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15973/ulah-idebt-collectori-masih-dikeluhkan-pengguna-kartu-kredit

36

Meskipun sudah diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP Tanggal 30 Desember 2005 Perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati – hatian, serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

33

Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 tentang penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu37 pada tahun 2005. Peraturan ini menjelaskan bagaiamana persetujuan penyelenggaran kegiatan oleh principal, penerbit (bank dan lembaga selain bank), Acquirer, pemberian kartu kredit, penghentian kegiatan, kliring dan penyelesaian akhir, pengawasan oleh BI, peningkatan keamanan teknologi alat pembayaran dengan menggunakan kartu38, dan sanksi penyelenggaraan kartu kredit.

Dalam perkembangannya, penggunaan kartu kredit telah meningkat dari masuknya kartu kredit dalam transaksi online yang mempermudah merchant dan konsumen, serta meningkatnya nilai transaksi kartu kredit. Oleh karena itu, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/8/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)39 pada tanggal 20 Februari 2008 dan ketentuan teknis dimuat dalam Surat Edaran (SE) perihal tata cara penyelenggaraan kegiatan APMK; SE perihal prinsip perlindungan nasabah dan kehati-hatian40, serta peningkatan keamanan dalam penyelenggaraan APMK; dan SE perihal pengawasan terhadap penyelenggaraaan kegiatan APMK41. Peraturan 2008 ini menambahkan aturan penambahan nominal transaksi yang dapat digunakan dengan kartu kredit, aturan penyelenggaraan kartu kredit secara

37http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/pbi%2075205.aspx

38

Berkaitan dengan pembobolan kartu kredit oleh merchant

39 Sebelum peraturan ini, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank pada 4 Februari 2008. Selanjutnya, 8 Februari 2008 menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/4/UKMI Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.

Perubahan dalam peraturan ini terlihat Pada pasal 1 ayat 18 Perusahaan Personalisasi adalah perusahaan yang melakukan input data Pemegang Kartu ke dalam media Alat Pembayaran Dengan Menggunakan kartu. Kemudian pada ayat 19 Penyelenggara Kliring Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu adalah lembaga yang melakukan perhitungan akhir atas seluruh transaksi Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Serta pada pasal 33 yang mengatur peyelenggaran kegiatan APMK secara online

40

SE BI No. 10/20/DASP Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati – hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu

41 21 Februari 2008, SE BI No. 10/7/DASP Pengawasan Penyelenggaran Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) terbit dan mencabut SE No. 7/61/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan APMK

34

online dan peningkatan keamanan karena rentannya kasus carding dan pencurian data pemegang kartu kredit di internet.

Mulai dengan peraturan baru, dalam laporan pengaduan konsumen terhadap perbankan keberadaan debt collector mengalahkan kasus pemalsuan kartu kredit. Bagi penerbit kartu kredit, tagihan macet karena pemegang kartu kredit yang “nakal” lebih berat dibandingkan dengan kasus carding. Para penerbit kartu kredit menggunakan debt collector untuk menjaga NPL kartu rendah dan jauh dari masalah likuiditas ketika menyuburkan pertumbuhan kartu kredit. Tetapi ketika melihat dari sisi pemegang kartu kredit, terjadi kasus bunuh diri Johan Hasan karena kekerasan fisik berupa ancaman dan kekerasan psikis berupa caci maki dari debt collector. Selanjutnya, kekerasan yang dirasakan Ny Amin – seorang ibu rumah tangga yang memiliki hutang mencapai Rp 12 juta karena usaha suaminya yang bangkrut42. Selain itu, Ny Amin melakukan kesalahan dengan memberi uang dan beberapa emas kepada para debt collector dengan tujuan tagihannya berkurang, tetapi yang sering terjadi pembayaran tersebut tidak mengurangi tagihannya, karena tidak didistribusikan oleh debt collector kepada bank penerbit kartu kredit terkait. Hal ini dikarenakan debt collector hanya memiliki tugas “menagih” bukan mengambilkan tagihan nasabah ke penerbit kartu kredit, hal ini dimanfaatkan oleh debt collector nakal.

Berkaitan dengan terus bertambahnya pelaporan tentang debt collector yang memiliki sistem penagihan yang kasar, seperti mendobrak rumah, mengancam membunuh, teror telepon, mendatangi tempat kerja pemegang kartu kredit dengan teriak-teriak, dan memukul sampai nasabah babak belur. Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia Nomor11/11/PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan

Dalam dokumen T1 222010001 Full text (Halaman 22-38)

Dokumen terkait