a. Proses mencuci tangan yang kurang baik b. Sanitasi lingkungan yang tidak bersih c. Penyediaan air bersih yang kurang baik
d. Makan dan minum ditempat jualan yang kurang bersih 3. Usia Penderita:
Bisa dialami semua usia 4. Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan darah tepi: Leukosit: normal, leukopeni b. Pemeriksaan CRP dan LED: meningkat
c. Pemeriksaan bakteriologis(isolasi & biakan kuman): Kultur darah : positif (negatif pada pemberian antibiotik) Feses: Positif (dilakukan setelah 1 minggu demam) d. Uji serologis:
Widal : (+) titer O≥1/320 atau H≥1/640 diagnosa pasti jika terjadi kenaikan widal 2-4 kali lipat pada pemeriksaan ulang 5-7 hari
39 5. Diagnosis Akhir:
a. Demam Tifoid Tanpa Penyulit
Widal meningkat 2-4 kali pada pemeriksaan serial Single Titer: Widal O ≥ 1/320; Widal H ≥ 1/640 Kultur Darah Positif
Respon pengobatan 3-5 hari setelah terapi empirik b. Demam Tifoid Dengan Penyulit:
Penurunan kesadaran Bronkopneumonia Diagnosa Banding
Demam berdarah dengue
: Demam tinggi mendadak terus menerus, ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni, hemokonsentrasi.
Apendisitis : Disertai nyeri perut terutama dibagian kanan bawah, perut buncit, sulit buang angin Demam dengue : Demam tinggi mendadak disertai
trombositopeni dan hemokonsentrasi Influenza : Demam tinggi disertai batuk, pilek, sakit
tenggorokan, bersin
Malaria : Pola demam hilang timbul disertai keringat dingin berlebihan
Pencegahan
Primer : Jagalah kebersihan badan dan sekitar Anda Jagalah kebersihan sanitasi lingkungan Cucilah tangan sebelum makan
Hindari makan dan minum ditempat yang tidak terjaga kebersihannya
Sekunder : Pemberian vaksin thyphoid jika ingin bepergian ke wilayah endemik
41 Monitoring Pengobatan
Lakukan kontrol 5 (lima) hari setelah pengobatan Komplikasi Perforasi usus Ileus paralitik Syok Anemia hemolitik Pleuritis Hepatitis Pielonefritis Meningitis Daftar Pustaka
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
42
VII. Dermatitis
VII.1 Dermatitis
No. ICPC-2:S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10:L21 Seborrhoeic Dermatitis Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk kelainan inflamasi kulit yang didasari oleh faktor konstitusi tertentu. Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea, sehingga mempunyai predileksi di daerah seborea (kulit kepala, wajah, dada dan punggung atas).
Anamnesis (Subyektif)
Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar pada daerah predileksi. Kelainan awal yang ringan hanya berupa ketombe pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Dermatitis bisa berkembang dan meluas menjadi eritroderma.
Faktor risiko di antaranya adalah genetik, kelelahan, stres emosional, infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, dan kurang tidur.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda patognomonis:
Papul sampai plak eritema
Skuama berminyak agak kekuningan Berbatas tidak tegas
Lokasi predileksi: kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital.
Dermatitis seboroik ringan apabila lesi kulit terbatas dengan eritem ringan dan skuama sedikit. Dikatakan berat bila lesi luas dengan skuama tebal, sampai menjadi eritroderma.
Bentuk klinis berat (pada neonatus): seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap).
43 Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Dermatitis seboroik pada kulit kepala Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding: Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit di sekitarnya), Otomikosis (untuk lesi di liang telinga).
Komplikasi
Pada bayi dan anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan:
Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.
Farmakoterapi dilakukan dengan: Topikal
o Bayi: Diberikan topikal minyak (oleum cocos) pada lokasi skuama, malam hari—esok hari, segera di cuci dengan shampoo bayi. Gunakan kortikosteroid lemah sampai sedang, lebih baik dalam bentuk lotion atau solusio (bila ada,) selama beberapa hari.
44
Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci.
o Anak dan Dewasa: pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis detergent) 5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari.
o Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal lemah sampai sedang selama maksimal 2 minggu
o Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%. (tidak boleh dipakai di wajah dan daerah lipatan dan pada pasien bayi)
o Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%.
Oral sistemik
o Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu, ATAU
o Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mg selama maksimal 2 minggu.
Konseling dan Edukasi
o Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala bayi
o Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia
o Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya. Kriteria Rujukan:
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar selama 2 minggu 2. Pasien dengan komplikasi eritroderma
3. Dermatitis seboroik berat yang didasari penyakit tertentu, misalnya infeksi HIV/AIDS
Rujukan balik:
Pasien yang telah mengalami remisi dan komplikasinya teratasi, dirujuk balik ke pelayanan primer
46 Referensi
1. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta
47 VII.2 Dermatitis Numularis
No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun.
Anamnesis (Subjective)
Keluhan:Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu (kebanyakan di ekstremitas) dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul dan sering kambuh.
Faktor Risiko: riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda patognomonis:
1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, berkelompok membentuk plak berukuran numular seukuran uang logam, eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas, bentuk lesi oval.
48
2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral, atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.
Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan, termasuk punggung tangan.
Gambar Dermatitis numularis Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis: diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding: Dermatitis kontak, Dermatitis atopik, Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain 2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:
Topikal (2 kali sehari)
a. Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama masing-masing 15-20 menit/kali kompres (untuk lesi madidans/basah) sampai lesi mengering
b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu
49
c. Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%) d. Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan
pemberian antibiotik topikal Oral sistemik
a. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu ATAU
b. Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu
c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik. Komplikasi: Infeksi sekunder dan dermatitis autosensitisasi Konseling dan Edukasi
1. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal rumatan
2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya relaps
3. Menganjurkan menghindari faktor risiko yang bisa dilakukan Kriteria Rujukan
1. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar selama 2 minggu
2. Terjadi komplikasi dermatitis autosensitisasi atau infeksi sekunder
3. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi dan/atau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.
50 Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis numularis.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam.
Referensi
Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015
51 ALGORITME
52 VII.3 Dermatitis Popok
Definisi:
Dermatitis yang terlokalisasi paling tidak pada awalnya, pada daerah yang tertutup popok. Keadaan ini hanya terjadi setelah pemakaian popok.
Etiologi:
Etiologi dermatitis popok multifaktorial. Faktor penyebab yang berperan antara lain: hidrasi kulit, peran feses, urin, friksi, suhu, iritan kimiawi and popok itu sendiri. Faktor yang mencetuskan pertama kali adalah peningkatan hidrasi kulit dalam jangka waktu lama. Keadaan ini akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit akibat friksi, penurunan fungsi sawar kulit, dan meingkatkan reaksi terhadap bahan iritan. Fatkror lain yang berhubungan adalah kontak dengan urin dan feses, enzimproteolitik feses, enzim lipolitik pencernaan, peningkatan pH, serta superinfeksi dengan Candida spp. atau bakteri.
Manifestasi klinis:
Bentuk lesi: eritema konfluens, berkilat, disertai papul eritematosa multipel, edema dan skuama
Lokasi lesi: bagian cembung bokong, paha bagian dalam, mons pubis, skrotum dan labia mayora.
Dermatitis popok yang telah berlangsung lebih dari 3 hari, perlu dipertimbangkan adanya infeksi jamur (Candida spp). Lesi kulit berupa plak eritematosa, skuama, berbatas tegas, dan disertai lesi satelit berupa papul dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan lesi yang khas dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH dari kerokan kulit.
Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)
- Dermatitis popok dengan infeksi sekunder (jamur) Pengobatan:
PPK Primer: 1. Edukasi:
a. perawatan kulit di area popok.
b. menggunakan popok sesuai daya tampungnya.
2. Kortikosteroid topikal potensi ringan dapat diberikan dan dioleskan 2 kali sehari.
Obat-obatan: (lihat lampiran)
54 Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan
56
2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat atopi pada first degree relative pada anak usia < 4 tahun)
3. Riwayat kulit kering dalam satu tahun terakhir
4. Dermatitis pada daerah lipatan yang telihat (atau dermatitis pada pipi/dahi dan ekstensor ekstremitas pada anak usia < 4 tahun)
5. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia < 4 tahun).
Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)
1. Infeksi sekunder 2. Eritroderma
3. DA berat dan rekalsitran Pengobatan:
PPK Primer: 1. Edukasi
2. Menghidari dan memodifikasi faktor pencetus: berdasarkan riwayat 3. Fungsi sawar kulit yang optimal:
a. Perawatan kulit:
i. Pembersih: sabun berpelembab, pH 5,5-6,0, surfaktan ringan. ii. Mandi: 1-2 kali/hari, air suam-suam kuku.
iii. Lama mandi:10-15 menit b. Memakai pelembap:
i. Tipe pelembap: humektan, emolien, oklusif, kombinasi humektan, emolien & seramid, atau kombinasi humektan, emolien, antiinflamasi dan antipruritus.
ii. Aplikasi: dalam waktu 3 menit setelah mandi. Penggunaannya bisa seluruh tubuh, dan dapat diulang kapan saja bila diperlukan.
4. Menghilangkan inflamasi: a. Kompres basah
b. Kortikosteroid topikal:
i. potensi terendah yang masih efektif. Dan pertimbangkan sesuai dengan fase, lesi, lokasi dan usia
ii. untuk bayi dan anak: potensi rendah sampai sedang. iii. Untuk dewasa: potensi sedang, kuat dan sangat kuat.
57 5. Menghilangkan siklus gatal-garuk :
a. Antihistamin sistemik (sebagai ajuvan), intermiten, jangka pendek. AH1 atau AH2.
6. Tindak lanjut/Pengamatan : akut: 5 hari, dan kronik: 2 minggu. Obat-obatan: (lihat lampiran)
60 Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan
66 Cefadroxil Dewasa: 2x500/hari sampai 2x1000 mg/hari Anak: 30 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis Cefalexin 40-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari Sefuroxim Dewasa: 2x250 mg/hari sampai 2x500 mg/hari Anak: 2x125 mg/hari sampai 2x250 mg/hari Klorfeniramin Dewasa: 3x4 mg/h Anak: 0,35mg/kgBB/h Setirisin Dewasa: 10 mg/h Anak: 6 bln-2 thn: 2,5 mg 2-5 thn: 2,5-5 mg >5 thn: 5-10 mg Loratadine Dewasa: 10 mg/hari Anak: 1 thn – 12 kg: 2,5 mg 12-30 kg: 5 mg >30 kg: 10 mg
67 Monitoring Pengobatan
Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa pengobatan berhasil. Jika terjadi resistensi pengobatan maka regimen obat harus diganti.
Komplikasi
Scabies induced pioderma
o Impetigo sekunder dan glomerulonefritis poststreptococal
o Sterptococcus pyogenes. Scabies yang berkrusta
o Lymphangitis dan septicemia Pemicu terjadinya bullous pemfigoid Kriteria Rujuk Balik
Jika tidak ditemukan lagi kelainan fisis dan pada pemeriksaan mikroskop tidak ditemukan scabies maka dirujuk kembali ke PPK 1.
Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015
72
Tabel 1. Obat-Obatan
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan Proton Pump Inhibitor
Lansoprazole** 30 mg per oral , maksimum 60 mg/hari
1-2 kali sehari
Diberikan antara 7 – 14 hari; sebelum makan
Omeprazole 20 mg per oral, maksimum 40 mg/hari
1-2 kali sehari
Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan
Esomeprazole** 40 mg 1 kali sehari
Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan Rapeprazole 20 mg 2 kali
sehari
Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan Pantoprazole 40 mg 2 kali
sehari
Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan H2 Antagonis
Cimetidin 400 mg per oral, maksimum 800 mg 2 kali sehari Diberikan 4-6 minggu; sesudah makanan
Ranitidin 300 mg per oral maksimum 600 mg 50 – 200 mg per IV 2 kali sehari 3-4 kali sehari Diberikan 4-8 minggu; sebelum/sesudah makan Antimikroba
Klaritromisin** 500 mg per oral 2 kali sehari
Diberikan selama 14 hari
Amoksisilin 500-1000 mg per oral, maksimal 3000 mg/hari 3- 4 kali sehari
Diberikan selama 14 hari
Metronidazole 500 mg per oral 3 kali sehari
Diberikan selama 14 hari Tetrasiklin 250-500 mg per
oral
3-4 kali sehari
73 Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp
Obat Dosis Durasi
Lini Pertama PPI* Amoksisilin Klaritromisin 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 7-14 hari
Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%: PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin 2x1 2 x 2 tablet 500 mg (3x1) 250 mg (4x1) 7-14 hari
Jika bismuth tidak ada: PPI* Amoksisilin Klaritromisin Metronidazole 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 250 mg (3x1) 7-14 hari
Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang mengandung klaritromisin
PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin 2x1 2 x 2 tablet 500 mg (3x1) 250 mg (4x1) 7-14 hari PPI* Amoksisislin Levofloksasin 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 7-14 hari
75
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helibacter Pylori. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. 2014
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015
4. Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:239-45.
5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68. 6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory. Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A, Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2014.
7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia. Acta Med Indones. 2005;37(2):113-5.
8. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, et al. Management of
Helicobacter pylori infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus Report. Gut 2012;61:646-64.
9. Utia K, Syam AF, Simadibrata M, Setiati S, Manan C. Clinical evaluation of dyspepsia in patients with functional dyspepsia, with the history of Helicobacter pylori eradication therapy in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Acta Med Indones 2010;42:86-93.
80
Risiko Kardiovaskular (CV) & Kerusakan Target Organ
Faktor Risiko Terkait Kardiovaskular
Laki-laki
Usia (laki ≥55 thn, wanita ≥ 65 thn)
Merokok Dislipidemia CT > 190 mg/dL, dan/atau LDL > 115 mg/dL, dan/atau HDL : laki< 40 mg/dL, wanita< 46 mg/dL TGL > 150 mg/dL GDP (102 – 125 mg/dL) Abnormal GD2PP Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2 )
Lingkar Pinggang (laki ≥102 cm, wanita ≥ 88 cm, pada ras Caucasian)
Riwayat keluarga mengalami premature CVD (laki <55 thn, wanita < 65 thn)
Kerusakan Organ Asimptomatik Tekanan nadi (pada lansia) ≥ 60 mmHg
EKG : LVH
PlaK pada arteri Karotis Carotid-femoral PWV >10 m/s Ankle-brachial index <0.9
CKD dengan eGFR 30-60 ml/min/1.73m2 (BSA) Mikroalbuminuria
Diabetes Mellitus
GDP ≥126 mg/dL pada 2 kali pengukuran, dan/atau HBA1C >7%, dan/atau
G2PP >198 mg/dL
Penyakit Jantung & Ginjal
CVD : stroke, TIA,
CHD : angina, MI, revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG Gagal jantung
CKD dengan eGFR< 30 mL/min/1.73m2 (BSA), proteinurin Retinopati: perdarahan,eksudat, papilledema
83 Monitoring Efek Samping Pengobatan
1. Fungsi Ginjal 2. Hiperkalemia 3. Elektrolit 4. Batuk 5. Kaki edema Komplikasi
Hipertropi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis, retinopati, stroke, TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung.
Daftar Pustaka
1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-2572.
2. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al. 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force for the
Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2013;34(28):2159-2219.
3. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. JAMA. 2014;311(5):507-520.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015
85 • Konstipasi
• Riwayat keluarga ISK berulang atau penyakit ginjal
• Riwayat ditemukan kelainan ginjal pada janin saat ibu hamil
• Kehamilan
• Anomali struktur saluran kemih Usia penderita : Semua usia
Pemeriksaan Fisik PemeriksaanTanda Vital
: Suhu: normal atau meningkat (38.5°C-40°C), bisa takikardi
Pemeriksaan Abdomen
: 1. Nyeri tekan suprapubik
2. Nyeri ketok pada sudut kostovertebral (jarang) Pemeriksaan
Colok Dubur (pemeriksaan kelenjar prostat pada pria)
: 1. Nyeri tekan (jarang)
2. Pembesaran kelenjar prostat (jarang)
PemeriksaanPenunjang Pemeriksaan urinalisis rutin
: Positif ,leukosituria: > 10 leukosit/mm3, bisa hematuri
Kultur urin (untuk ISK berulang)
: Positif ≥ 105
CFU/mL
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan IDSA/ESCMID
Kategori Presentasi Klinis Laboratorium ISK-non komplikata
akut pada wanita; sistitis non komplikata akut pada wanita
Disuria, urgensi, frekuensi, nyeri suprapubik, tidak ada gangguan berkemih 4 minggu sebelumnya ≥ 10 leukosit/mm3 ≥ 103 CFU/mL* Pielonefritis nonkomplikata akut
Demam, menggigil, nyeri pinggang;diagnosis lainnya dieksklusikan; tidak ada riwayat atau bukti klinis kelainan
≥ 10 leukosit/mm3 ≥ 104
86 urologis (USG, radiografi)
ISK komplikata Kombinasi gejala ISK non-komplikata akut dan pielonefritis
non-komplikata akut; terdapat faktor yang berhubungan dengan ISK komplikata (ada kelainan struktur dan fungsi saluran kemih, laki-laki, wanita hamil)
> 10 leukosit/mm3 > 105 CFU/mL* pada wanita
> 104 CFU/mL* pada pria, atau urin kateter pada wanita
Bakteria asimtomatik
Tidak ada gangguan berkemih
> 10 leukosit/mm3 > 105 CFU/mL* pada 2 biakan urin porsi tengah yang berurutan > 24 jam
ISK
rekuren*uropatogen pada biakan urin porsi tengah