• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko:

Dalam dokumen buku panduan penanganan 20 kasus non spe (Halaman 45-122)

a. Proses mencuci tangan yang kurang baik b. Sanitasi lingkungan yang tidak bersih c. Penyediaan air bersih yang kurang baik

d. Makan dan minum ditempat jualan yang kurang bersih 3. Usia Penderita:

Bisa dialami semua usia 4. Pemeriksaan Penunjang:

a. Pemeriksaan darah tepi: Leukosit: normal, leukopeni b. Pemeriksaan CRP dan LED: meningkat

c. Pemeriksaan bakteriologis(isolasi & biakan kuman): Kultur darah : positif (negatif pada pemberian antibiotik) Feses: Positif (dilakukan setelah 1 minggu demam) d. Uji serologis:

Widal : (+) titer O≥1/320 atau H≥1/640 diagnosa pasti jika terjadi kenaikan widal 2-4 kali lipat pada pemeriksaan ulang 5-7 hari

39 5. Diagnosis Akhir:

a. Demam Tifoid Tanpa Penyulit

Widal meningkat 2-4 kali pada pemeriksaan serial Single Titer: Widal O ≥ 1/320; Widal H ≥ 1/640 Kultur Darah Positif

Respon pengobatan 3-5 hari setelah terapi empirik b. Demam Tifoid Dengan Penyulit:

Penurunan kesadaran Bronkopneumonia Diagnosa Banding

Demam berdarah dengue

: Demam tinggi mendadak terus menerus, ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni, hemokonsentrasi.

Apendisitis : Disertai nyeri perut terutama dibagian kanan bawah, perut buncit, sulit buang angin Demam dengue : Demam tinggi mendadak disertai

trombositopeni dan hemokonsentrasi Influenza : Demam tinggi disertai batuk, pilek, sakit

tenggorokan, bersin

Malaria : Pola demam hilang timbul disertai keringat dingin berlebihan

Pencegahan

Primer :  Jagalah kebersihan badan dan sekitar Anda  Jagalah kebersihan sanitasi lingkungan  Cucilah tangan sebelum makan

 Hindari makan dan minum ditempat yang tidak terjaga kebersihannya

Sekunder : Pemberian vaksin thyphoid jika ingin bepergian ke wilayah endemik

41 Monitoring Pengobatan

Lakukan kontrol 5 (lima) hari setelah pengobatan Komplikasi  Perforasi usus  Ileus paralitik  Syok  Anemia hemolitik  Pleuritis  Hepatitis  Pielonefritis  Meningitis Daftar Pustaka

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

 Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

42

VII. Dermatitis

VII.1 Dermatitis

No. ICPC-2:S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10:L21 Seborrhoeic Dermatitis Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan

Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk kelainan inflamasi kulit yang didasari oleh faktor konstitusi tertentu. Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea, sehingga mempunyai predileksi di daerah seborea (kulit kepala, wajah, dada dan punggung atas).

Anamnesis (Subyektif)

Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar pada daerah predileksi. Kelainan awal yang ringan hanya berupa ketombe pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Dermatitis bisa berkembang dan meluas menjadi eritroderma.

Faktor risiko di antaranya adalah
genetik, kelelahan, stres emosional, infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, dan kurang tidur.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda patognomonis:

 Papul sampai plak eritema

 Skuama berminyak agak kekuningan  Berbatas tidak tegas

Lokasi predileksi: kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital.

Dermatitis seboroik ringan apabila lesi kulit terbatas dengan eritem ringan dan skuama sedikit. Dikatakan berat bila lesi luas dengan skuama tebal, sampai menjadi eritroderma.

Bentuk klinis berat (pada neonatus): seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap).

43 Pemeriksaan Penunjang

Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Dermatitis seboroik pada kulit kepala Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding:
Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit di sekitarnya), Otomikosis (untuk lesi di liang telinga).

Komplikasi

Pada bayi dan anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan:

฀ Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.

฀ Farmakoterapi dilakukan dengan: Topikal

o Bayi: Diberikan topikal minyak (oleum cocos) pada lokasi skuama, malam hari—esok hari, segera di cuci dengan shampoo bayi. Gunakan kortikosteroid lemah sampai sedang, lebih baik dalam bentuk lotion atau solusio (bila ada,) selama beberapa hari.

44

Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci.

o Anak dan Dewasa: pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis detergent) 5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari.

o Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal lemah sampai sedang selama maksimal 2 minggu

o Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%. (tidak boleh dipakai di wajah dan daerah lipatan dan pada pasien bayi)

o Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%.

฀ Oral sistemik

o Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu, ATAU

o Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mg selama maksimal 2 minggu.

฀ Konseling dan Edukasi

o Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala bayi

o Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia

o Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya. Kriteria Rujukan:

Pasien dirujuk apabila:

1. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar selama 2 minggu 2. Pasien dengan komplikasi eritroderma

3. Dermatitis seboroik berat yang didasari penyakit tertentu, misalnya infeksi HIV/AIDS

Rujukan balik:

Pasien yang telah mengalami remisi dan komplikasinya teratasi, dirujuk balik ke pelayanan primer

46 Referensi

1. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases

of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta

47 VII.2 Dermatitis Numularis

No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun.

Anamnesis (Subjective)

Keluhan:Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu (kebanyakan di ekstremitas) dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul dan sering kambuh.

Faktor Risiko: riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda patognomonis:

1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, berkelompok membentuk plak berukuran numular seukuran uang logam, eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas, bentuk lesi oval.

48

2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan

3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral, atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.

Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan, termasuk punggung tangan.

Gambar Dermatitis numularis Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis: diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding: Dermatitis kontak, Dermatitis atopik, Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan

1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain 2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:

Topikal (2 kali sehari)

a. Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama masing-masing 15-20 
menit/kali kompres (untuk lesi madidans/basah) sampai lesi mengering

b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu

49

c. Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%) d. Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan

pemberian 
antibiotik topikal Oral sistemik

a. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu ATAU

b. Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu

c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik. Komplikasi: Infeksi sekunder dan dermatitis autosensitisasi Konseling dan Edukasi

1. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal rumatan

2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya relaps

3. Menganjurkan menghindari faktor risiko yang bisa dilakukan Kriteria Rujukan

1. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar selama 2 minggu

2. Terjadi komplikasi dermatitis autosensitisasi atau infeksi sekunder

3. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi dan/atau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut.

50 Peralatan

Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis numularis.

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam.

Referensi

฀ Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

฀ Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases

of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta.

฀ Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

51 ALGORITME

52 VII.3 Dermatitis Popok

Definisi:

Dermatitis yang terlokalisasi paling tidak pada awalnya, pada daerah yang tertutup popok. Keadaan ini hanya terjadi setelah pemakaian popok.

Etiologi:

Etiologi dermatitis popok multifaktorial. Faktor penyebab yang berperan antara lain: hidrasi kulit, peran feses, urin, friksi, suhu, iritan kimiawi and popok itu sendiri. Faktor yang mencetuskan pertama kali adalah peningkatan hidrasi kulit dalam jangka waktu lama. Keadaan ini akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit akibat friksi, penurunan fungsi sawar kulit, dan meingkatkan reaksi terhadap bahan iritan. Fatkror lain yang berhubungan adalah kontak dengan urin dan feses, enzimproteolitik feses, enzim lipolitik pencernaan, peningkatan pH, serta superinfeksi dengan Candida spp. atau bakteri.

Manifestasi klinis:

Bentuk lesi: eritema konfluens, berkilat, disertai papul eritematosa multipel, edema dan skuama

Lokasi lesi: bagian cembung bokong, paha bagian dalam, mons pubis, skrotum dan labia mayora.

Dermatitis popok yang telah berlangsung lebih dari 3 hari, perlu dipertimbangkan adanya infeksi jamur (Candida spp). Lesi kulit berupa plak eritematosa, skuama, berbatas tegas, dan disertai lesi satelit berupa papul dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan lesi yang khas dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH dari kerokan kulit.

Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)

- Dermatitis popok dengan infeksi sekunder (jamur) Pengobatan:

PPK Primer: 1. Edukasi:

a. perawatan kulit di area popok.

b. menggunakan popok sesuai daya tampungnya.

2. Kortikosteroid topikal potensi ringan dapat diberikan dan dioleskan 2 kali sehari.

Obat-obatan: (lihat lampiran)

54 Referensi

฀ MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan

56

2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat atopi pada first degree relative pada anak usia < 4 tahun)

3. Riwayat kulit kering dalam satu tahun terakhir

4. Dermatitis pada daerah lipatan yang telihat (atau dermatitis pada pipi/dahi dan ekstensor ekstremitas pada anak usia < 4 tahun)

5. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia < 4 tahun).

Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit dan kelamin)

1. Infeksi sekunder 2. Eritroderma

3. DA berat dan rekalsitran Pengobatan:

PPK Primer: 1. Edukasi

2. Menghidari dan memodifikasi faktor pencetus: berdasarkan riwayat 3. Fungsi sawar kulit yang optimal:

a. Perawatan kulit:

i. Pembersih: sabun berpelembab, pH 5,5-6,0, surfaktan ringan. ii. Mandi: 1-2 kali/hari, air suam-suam kuku.

iii. Lama mandi:10-15 menit b. Memakai pelembap:

i. Tipe pelembap: humektan, emolien, oklusif, kombinasi humektan, emolien & seramid, atau kombinasi humektan, emolien, antiinflamasi dan antipruritus.

ii. Aplikasi: dalam waktu 3 menit setelah mandi. Penggunaannya bisa seluruh tubuh, dan dapat diulang kapan saja bila diperlukan.

4. Menghilangkan inflamasi: a. Kompres basah

b. Kortikosteroid topikal:

i. potensi terendah yang masih efektif. Dan pertimbangkan sesuai dengan fase, lesi, lokasi dan usia

ii. untuk bayi dan anak: potensi rendah sampai sedang. iii. Untuk dewasa: potensi sedang, kuat dan sangat kuat.

57 5. Menghilangkan siklus gatal-garuk :

a. Antihistamin sistemik (sebagai ajuvan), intermiten, jangka pendek. AH1 atau AH2.

6. Tindak lanjut/Pengamatan : akut: 5 hari, dan kronik: 2 minggu. Obat-obatan: (lihat lampiran)

60 Referensi

฀ MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.

฀ James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. ฀ Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan

66 Cefadroxil Dewasa: 2x500/hari sampai 2x1000 mg/hari Anak: 30 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis Cefalexin 40-50 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari Sefuroxim Dewasa: 2x250 mg/hari sampai 2x500 mg/hari Anak: 2x125 mg/hari sampai 2x250 mg/hari Klorfeniramin Dewasa: 3x4 mg/h Anak: 0,35mg/kgBB/h Setirisin Dewasa: 10 mg/h Anak: 6 bln-2 thn: 2,5 mg 2-5 thn: 2,5-5 mg >5 thn: 5-10 mg Loratadine Dewasa: 10 mg/hari Anak: 1 thn – 12 kg: 2,5 mg 12-30 kg: 5 mg >30 kg: 10 mg

67 Monitoring Pengobatan

Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa pengobatan berhasil. Jika terjadi resistensi pengobatan maka regimen obat harus diganti.

Komplikasi

 Scabies induced pioderma

o Impetigo sekunder dan glomerulonefritis poststreptococal

o Sterptococcus pyogenes.  Scabies yang berkrusta

o Lymphangitis dan septicemia  Pemicu terjadinya bullous pemfigoid Kriteria Rujuk Balik

Jika tidak ditemukan lagi kelainan fisis dan pada pemeriksaan mikroskop tidak ditemukan scabies maka dirujuk kembali ke PPK 1.

Referensi

฀MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia. MIMS.

฀James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical

Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

฀Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta. ฀Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun

2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

72

Tabel 1. Obat-Obatan

Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan Proton Pump Inhibitor

Lansoprazole** 30 mg per oral , maksimum 60 mg/hari

1-2 kali sehari

Diberikan antara 7 – 14 hari; sebelum makan

Omeprazole 20 mg per oral, maksimum 40 mg/hari

1-2 kali sehari

Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan

Esomeprazole** 40 mg 1 kali sehari

Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan Rapeprazole 20 mg 2 kali

sehari

Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan Pantoprazole 40 mg 2 kali

sehari

Diberikan antara 7 - 14 hari; sebelum makan H2 Antagonis

Cimetidin 400 mg per oral, maksimum 800 mg 2 kali sehari Diberikan 4-6 minggu; sesudah makanan

Ranitidin 300 mg per oral maksimum 600 mg 50 – 200 mg per IV 2 kali sehari 3-4 kali sehari Diberikan 4-8 minggu; sebelum/sesudah makan Antimikroba

Klaritromisin** 500 mg per oral 2 kali sehari

Diberikan selama 14 hari

Amoksisilin 500-1000 mg per oral, maksimal 3000 mg/hari 3- 4 kali sehari

Diberikan selama 14 hari

Metronidazole 500 mg per oral 3 kali sehari

Diberikan selama 14 hari Tetrasiklin 250-500 mg per

oral

3-4 kali sehari

73 Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp

Obat Dosis Durasi

Lini Pertama PPI* Amoksisilin Klaritromisin 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 7-14 hari

Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%: PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin 2x1 2 x 2 tablet 500 mg (3x1) 250 mg (4x1) 7-14 hari

Jika bismuth tidak ada: PPI* Amoksisilin Klaritromisin Metronidazole 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 250 mg (3x1) 7-14 hari

Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang mengandung klaritromisin

PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin 2x1 2 x 2 tablet 500 mg (3x1) 250 mg (4x1) 7-14 hari PPI* Amoksisislin Levofloksasin 2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1) 7-14 hari

75

Daftar Pustaka

1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helibacter Pylori. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. 2014

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

4. Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:239-45.

5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68. 6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory. Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A, Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2014.

7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia. Acta Med Indones. 2005;37(2):113-5.

8. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, et al. Management of

Helicobacter pylori infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus Report. Gut 2012;61:646-64.

9. Utia K, Syam AF, Simadibrata M, Setiati S, Manan C. Clinical evaluation of dyspepsia in patients with functional dyspepsia, with the history of Helicobacter pylori eradication therapy in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Acta Med Indones 2010;42:86-93.

80

Risiko Kardiovaskular (CV) & Kerusakan Target Organ

Faktor Risiko Terkait Kardiovaskular

Laki-laki

Usia (laki ≥55 thn, wanita ≥ 65 thn)

Merokok Dislipidemia  CT > 190 mg/dL, dan/atau  LDL > 115 mg/dL, dan/atau  HDL : laki< 40 mg/dL, wanita< 46 mg/dL  TGL > 150 mg/dL GDP (102 – 125 mg/dL) Abnormal GD2PP Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2 )

Lingkar Pinggang (laki ≥102 cm, wanita ≥ 88 cm, pada ras Caucasian)

Riwayat keluarga mengalami premature CVD (laki <55 thn, wanita < 65 thn)

Kerusakan Organ Asimptomatik Tekanan nadi (pada lansia) ≥ 60 mmHg

EKG : LVH

PlaK pada arteri Karotis Carotid-femoral PWV >10 m/s Ankle-brachial index <0.9

CKD dengan eGFR 30-60 ml/min/1.73m2 (BSA) Mikroalbuminuria

Diabetes Mellitus

GDP ≥126 mg/dL pada 2 kali pengukuran, dan/atau HBA1C >7%, dan/atau

G2PP >198 mg/dL

Penyakit Jantung & Ginjal

CVD : stroke, TIA,

CHD : angina, MI, revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG Gagal jantung

CKD dengan eGFR< 30 mL/min/1.73m2 (BSA), proteinurin Retinopati: perdarahan,eksudat, papilledema

83 Monitoring Efek Samping Pengobatan

1. Fungsi Ginjal 2. Hiperkalemia 3. Elektrolit 4. Batuk 5. Kaki edema Komplikasi

Hipertropi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis, retinopati, stroke, TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung.

Daftar Pustaka

1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-2572.

2. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al. 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force for the

Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2013;34(28):2159-2219.

3. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. JAMA. 2014;311(5):507-520.

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

85 • Konstipasi

• Riwayat keluarga ISK berulang atau penyakit ginjal

• Riwayat ditemukan kelainan ginjal pada janin saat ibu hamil

• Kehamilan

• Anomali struktur saluran kemih Usia penderita : Semua usia

Pemeriksaan Fisik PemeriksaanTanda Vital

: Suhu: normal atau meningkat (38.5°C-40°C), bisa takikardi

Pemeriksaan Abdomen

: 1. Nyeri tekan suprapubik

2. Nyeri ketok pada sudut kostovertebral (jarang) Pemeriksaan

Colok Dubur (pemeriksaan kelenjar prostat pada pria)

: 1. Nyeri tekan (jarang)

2. Pembesaran kelenjar prostat (jarang)

PemeriksaanPenunjang Pemeriksaan urinalisis rutin

: Positif ,leukosituria: > 10 leukosit/mm3, bisa hematuri

Kultur urin (untuk ISK berulang)

: Positif ≥ 105

CFU/mL

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan IDSA/ESCMID

Kategori Presentasi Klinis Laboratorium ISK-non komplikata

akut pada wanita; sistitis non komplikata akut pada wanita

Disuria, urgensi, frekuensi, nyeri suprapubik, tidak ada gangguan berkemih 4 minggu sebelumnya ≥ 10 leukosit/mm3 ≥ 103 CFU/mL* Pielonefritis nonkomplikata akut

Demam, menggigil, nyeri pinggang;diagnosis lainnya dieksklusikan; tidak ada riwayat atau bukti klinis kelainan

≥ 10 leukosit/mm3 ≥ 104

86 urologis (USG, radiografi)

ISK komplikata Kombinasi gejala ISK non-komplikata akut dan pielonefritis

non-komplikata akut; terdapat faktor yang berhubungan dengan ISK komplikata (ada kelainan struktur dan fungsi saluran kemih, laki-laki, wanita hamil)

> 10 leukosit/mm3 > 105 CFU/mL* pada wanita

> 104 CFU/mL* pada pria, atau urin kateter pada wanita

Bakteria asimtomatik

Tidak ada gangguan berkemih

> 10 leukosit/mm3 > 105 CFU/mL* pada 2 biakan urin porsi tengah yang berurutan > 24 jam

ISK

rekuren*uropatogen pada biakan urin porsi tengah

Dalam dokumen buku panduan penanganan 20 kasus non spe (Halaman 45-122)

Dokumen terkait