• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Analgesik

Dalam dokumen buku panduan penanganan 20 kasus non spe (Halaman 122-159)

Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamo. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

Antibiotik

Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah golongan penisilin dan sefalosporin Ampicilin dengan dosis 4 x 500, dan Amoxicillin 3 x 500 mg. Sefasloporin biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih dianjurkan klindamisin. Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14 hari.

116 7. Monitoring

Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas respon klinik cepat dan respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam beberapa hari dengan terapi yang adekuat termasuk antibiotik, harus dipertimbangkan diagnosis banding. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman yang resisten, adanya abses atau massa padat yang mendasari terjadinya mastitis seperti karsinoma duktal atau limfoma non Hodgkin. Berulangnya kejadian mastitis lebih dari dua kali pada tempat yang sama juga menjadi alasan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya massa tumor, kista atau galaktokel.

8. Komplikasi

Penghentian menyusui dini

Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian menyusui secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras , merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

Mastitis berulang

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.

Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti candida albicans. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

117 Daftar Pustaka

Bland, K.I., Beenken, W.S., Copeland III , E.M. 2005. The Breast. Dalam Schwartz, SpenserShires.Principle of Surgery. 8 Edition. New York : Mc Graw Hill Company. p. 463-466.

De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta : EGC. p. 387-402.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

119 Faktor risiko

1. Berat badan lebih (IMT ≥ 22,9-<25 kg/m2) dan obese (IMT ≥ 25 kg/m2)

2. Riwayat penyakit DM di keluarga

3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)

4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional

5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)

6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

7. Aktifitas jasmani yang kurang

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik

1. Penilaian berat badan, tinggi badan  indeks massa tubuh (IMT) 2. Mata : Kelainan pada retina, katarak dini.

3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen Pemeriksaan Penunjang

1. Gula Darah Puasa

2. Gula Darah 2 jam Post Prandial 3. Urinalisis

Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis

Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:

1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU

2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air 200cc. 4. HbA1C > 6,4 % Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria

normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh

120

Kriteria gangguan toleransi glukosa (pre diabetes):

1. GDPT: ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–125 mg/dl

2. TGT : ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram. 3. HbA1C : 5,7 -6,4%

Gambar 1. Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 Komplikasi

1. Akut

Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia 2. Kronik

Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh darah otak

Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal

3. Neuropati

121 Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan

Terapi untuk Diabetes Melitus didahului dengan melakukan modifikasi gaya hidup, yang meliputi pengaturan makan dan aktivitas fisik dan dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan jika diperlukan. (algoritma pengelolaan DM tipe 2)

Perencanaan Makan

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: 1. Karbohidrat 45 – 65 %

2. Protein 15 – 20 % 3. Lemak 20 – 25 %

Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid, contoh: minyak zaitun, minyak biji bunga matahari), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari: 1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman 2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman Rumus Broca:*

Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %

*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi. BB kurang : < 90 % BB idaman

BB normal : 90 – 110 % BB idaman BB lebih : 110 – 120 % BB idaman Gemuk : >120 % BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): 1. Status gizi:

a. BB gemuk - 20 %

b. BB lebih - 10 %

c. BB kurang + 20 %

2. Umur > 40 tahun : - 5 %

122 4. Aktifitas: a. Ringan + 10 % b. Sedang + 20 % c. Berat + 30 % 5. Hamil: a. trimester I, II + 300 kal b. trimester III / laktasi + 500 kal Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan.

Kriteria Rujukan

Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut: 1. DM tipe 2 dengan komplikasi

2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk 3. DM tipe 2 dengan infeksi berat

123

Gambar 2. Algoritme Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia

124

Gambar 3.1 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik

125

Gambar 3.2 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik (Sumber: Standard of Medical Care in Diabetes-ADA 2015)

126

Gambar 4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

127

128

Gambar 5.2 Obat antihiperglikemia oral

Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral (OHO) dan insulin bersifat individual tergantung kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi obat dengan cara kerja yang berbeda.

Dosis OHO

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahapsesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikansampai dosis optimal.

129

2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. 3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.

4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama. Penunjang

1. Urinalisis 2. Funduskopi

3. Pemeriksaan fungsi ginjal 4. EKG

5. Xray thoraks

Rencana Tindak Lanjut:

Tindak lanjut adalah untuk pengendalian kasus DM berdasarkan parameter berikut:

Table 1. Sasaran Pengendalian DM (berdasarkan konsensus DM 2015)

Konseling dan Edukasi

Edukasi meliputi pemahaman tentang:

1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol

2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan.

130 Peralatan

1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin, ureum, kreatinin

2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa 3. Monofilamen test

Prognosis

Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam.

Daftar Pustaka

1.Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

2.Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015.

3.Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI, 2012)

4.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

133 Kolesterol LDL > 100 mg/dl Kolesterol HDL <40 mg/dl pria, < 50 mg/dL wanita Trigliserida >150 mg/dl Pencegahan

Primer : a. Menerapkan pola makan sehat b. Konsultasi diet pada ahli gizi

c. Kurangi konsumsi makanan berlemak d. Kurangi konsumsi karbohidrat berlebih e. Kurangi garam pada makanan

f. Kurangi makanan yang mengandung banyak gula g. Waktu tidur yang cukup

h. Kurangi / berhenti merokok

i. Kurangi / berhenti konsumsi alkohol j. Olahraga teratur

k. Hindari obesitas / penurununanberat badan bagi yang gemuk

Skrining : Skrining direkomendasikan pada semua pasien usia ≥ 20 tahun, dapat diulang setiap 5 tahun sekali meliputi:  Profil lipid

 Glukosa darah  Kebiasaan merokok  BMI

134

Terapi

10 - 20

136 Pedoman diet menurut NCEP-ATP III Kebugaran

 Capai berat badan ideal  Aktif secara fisik setiap hari Makanan sehat

 Mengacu pada diet seimbang  Konsumsi gandum bervariasi  Konsumsi buah dan sayur setiap hari Pilih makanan secara ketat

 Pilih makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol serta total lemak sedang

 Konsumsi sayur dan makanan dengan kadar gula rendah  Kurangi garam pada makanan

 Kurangi konsumsi alkohol Latihan jasmani

Contoh latihan fisik intensitas sedang pada orang dewasa sehat:  Jalan santai 30-40 menit

 Berenang 20 menit

 Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi 5 mil dalam 30 menit  Bermain voli 45 menit

 Membersihkan rumah

 Bermain bola basket 15-20 menit  Golf

 Menari 30 menit Monitoring Pengobatan

Kadar LDL harus dipantau pada 6 (enam) minggu pertama setelah pemberian obat hingga target penurunan tercapai. Jarak penilaian lipid dapat diperpanjang setiap 6-12 bulan jika target tercapai dan modifikasi gaya hidup dapat dilakukan.

Lakukan evaluasi terhadap fungsi hati saat rencana awal penggunaan statin meskipun tidak perlu dilakukan monitoring fungsi hati secara periodik. Komplikasi

 Sindrom koroner akut  Penyakit Jantung koroner  Penyakit Arteri Perifer  Stroke

137 Daftar Pustaka

1. Pedoman pengelolaan dislipidemia di Indonesia. PERKENI 2015 2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun

2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

138

XIX. Tension Type Headache

No. ICPC-2 : N95 Tension Headache No. ICD-10 : G44.2 Tension-type Headache

Definisi

Tension Type Headache (TTH) adalah rasa nyeri dalam, seperti tertekan berat atau terikat erat, umumnya bilateral yang pada awalnya timbul secara episodik dan terkait dengan stres tetapi kemudian nyaris setiap hari muncul dalam bentuk kronis, tanpa ada lagi kaitan psikologis yang jelas.

Etiologi

Tension type headache didapatkan gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah pada paasi jaringan miofasial perikranial. Impuls nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar ke kepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala. Nyeri akan bertambah pada daerah otot maupun tendon yang tempat insersinya.

Faktor-faktor etiologinya adalah: 1. Disfungsi oromandibular 2. Stress psikologik 3. Anxietas

4. Depresi

5. Nyeri kepala sebagai delusi 6. Stress otot

7. Kelebihan minum obat pereda nyeri kepala tipe tegang

8. Salah satu kelainan dari grup 5-11 menurut klasifikasi IHS (International Headache Society)

139 Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Keluhan (Subjektif) :  Nyeri menyebar di seluruh kepala sampai tengkuk dan bahu

 Rasa nyeri terutama pada bagian frontal atau oksipital

 Nyeri biasanya saat bangun tidur  Rasa nyeri seperti terikat tali kencang  Terasa tidak nyaman pada leher  Nyerinya tidak berdenyut  Tidak mual

Faktor Risiko :  Tingkat stress yang tinggi  Depresi

 Belum makan

 Tingkat kecemasan yang tinggi  Pola tidur tidak teratur

 Posisi tidur yang kurang nyaman  Kurang olahraga

 Lemah, letih

Usia penderita : Umumnya 20 – 39 tahun (usia produktif) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital : tekanan darah normal

Pemeriksaan mata :  Pemeriksaan funduskopi: normal  Pemeriksaan lapang pandang: normal Pemeriksaan neurologis : Normal

Pemeriksaan fungsi kognitif : Normal Pemeriksaan Penunjang : tidak diperlukan

143 Kepustakaan

 Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016.

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

145

Klasifikasi Paralisis Fasialis Berdasarkan House and Brackmann Grade 1 : Fungsi fasial normal

Grade II : Disfungsi ringan:

Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi detail

Simetris normal saat istirahat Gerakan otot dahi hampir sempurna Menutup mata sempurna dapat dilakukan

dengan sedikit usaha

Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan Dapat terjadi sinkinesis ringan

Grade III : Disfungsi sedang:

Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan ringan

Simetris normal saat istirahat

Terdapat gerakan ringan pada otot dahi Menutup mata sempurna dapat dilakukan

dengan usaha

Otot mulut dapat digerakkan sedikit dengan usaha maksimal

Dapat ditemukan sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial

Grade IV : Disfungsi sedang-berat:

Kelemahan dan asimetris terlihat jelas Simetris normal saat istirahat

Tidak terdapat gerakan otot dahi Mata tidak menutup sempurna Otot mulut dapat digerakkan dengan

usaha maksimal,namun asimetris Grade V : Disfungsi berat:

Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan

Asimetri wajah juga terlihat saat istirahat Tidak terdapat gerakan dahi

Mata menutup tidak sempurna Gerakan mulut hanya sedikit Grade VI : Paralisis total:

Asimetri wajah yang jelas Tidak ada gerakan otot wajah

u

Pasien dengan kelemahan wajah unilateral, onset 48 jam Menilai derajat paralisis wajah

Derajat I - IV Derajat V - VI

Kortikosteroid

Proteksi dan obat pelindung mata Obat antivirus, 5-10 hari Facial exercise

Rujuk

Evaluasi 2 minggu dan 4 minggu

Pemeriksaan fungsi n.fasialis

Tidak ada perbaikan

Dan/atau terjadi kekambuhan

Dan/atau komplikasi

149 Monitoring

Lakukan kontrol 1-2 minggu setelah pengobatan untuk memantau keamanan obat, menilai fungsi N.VII dan kondisi mata, untuk menentukan apakah perlu dirujuk atau tidak.

Komplikasi • Mata kering • Ulkus kornea • Ektropion

• Sekuel kelemahan n.fasialis • Hiperlakrimasi

Kepustakaan

 Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016.

 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

 Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri kepala, Konsensus Nasional V Pokdi Nyeri Kepala Perdossi, 2016.

 Diagnosis and management headache in adults – a national clinical guideline, Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008

150

Daftar Kontributor Buku Tatalaksana 20 Kasus Rujukan Non Spesialistik di FKTP

1. Dr. Daeng Muhammad Faqih, SH, MH 2. Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT 3.

Dr. Gatot Soetono, MPH

Dr. R. Maya. A. Rusady, M.Kes, AAK Dr. Fachrurrazi, MM, AAK

Elfanetti, S.Si, Apt, AAK 4.

Dr. Abraham AP Patarai, M.Kes 5.

Dr. H.N. Nazar, Sp.B-K, FINACS, M.HKes 6.

DR.Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB 7.

DR.Dr. EM. Yunir,SpPD-KEMD,FINASIM 8.

Dr. Tri Juli Edi Tarigan,SpPD-KEMD 9.

DR.Dr. Lie Khie Chen,SpPD-KPTI,FINASIM 10.

Dr. Ginova Nainggolan,SpPD-KGH 11.

Dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K) 12.

Dr. Fathiyah Isbaniah,Sp.P(K), Mp.Ked 13.

Dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K) 14.

DR. Dr. Agus Dwi Susanto,SpP(K), FAPSR 15.

Dr. Erlang Samoedro,SpP 16.

Dr. Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-KHOM,FINASIM 17.

Dr. Eiffel Faheri,SpPD-KHOM 18.

DR. Dr.Andhika Rahman, SpPD-KHOM 19.

Dr. Noor Arida Sofiana, MBA 20.

Dr. Didik K. Wijayanto 21.

Dr. Dien Kurtanty, MKM 22.

Dr. Mohammad Kurniawan Sp.S(K), M.Sc, FICA 23.

Dr. Hanny Nilasari, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV 24.

Dr Danang Tri Wahyudi, SpKK, FINSDV, FAADV 25. Dr. Niken Lestari P, SpTHT-KL (K) 26. Dr. Harim Priyono, SpTHT-KL (K) 27. Dr. Vicky Riyadi, SpTHT-KL 28.

Dr. Rifki Effendi Suyono 29.

Dr. Nugroho Jati Dwi Nur Laksono 30. Dr. Yoga Primadi 31. 32. 33. 34. Dr. R. Prabowo HP

Dalam dokumen buku panduan penanganan 20 kasus non spe (Halaman 122-159)

Dokumen terkait