• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURVEI 2005 DENGAN SURVEI 2003

V.3. Faktor Risiko

Umur pertama kali berhubungan seks WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003 (Gambar 21). Lebih dari 60% WPS berhubungan seks pertama kali pada kelompok umur 15-19 tahun. Proporsi WPS yang berhubungan seks pertama kali di bawah umur 15 tahun sekitar 20%. Lebih banyak WPS langsung yang berhubungan seks pertama kali pada umur di bawah 15 tahun. Rincian perbandingan umur hubungan seks pertama WPS langsung dan tak langsung tahun 2005 dan 2003 dapat dilihat di

Gambar 20. Perbandingan Prevalensi Berbagai ISR WPS di 7 Kota tahun 2003 dan 2005

38

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

lampiran 11.

Secara keseluruhan, pada WPS tidak langsung, lama bekerja sebagai WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003 (Gambar 22). Pada WPS langsung, lama bekerja WPS dalam survei 2005 lebih lama dibandingkan dengan dalam survei 2003. Rincian perbandingan lama bekerja WPS langsung dan tak langsung tahun 2005 dan 2003 dapat dilihat di lampiran 12

Gambar 21. Perbandingan Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS di 7 Kota tahun 2003 dan 2005

Secara keseluruhan, pada WPS langsung maupun tak langsung, total median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003, yaitu 7 orang. Dalam survei 2003 maupun 2005, median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS langsung lebih besar daripada WPS tidak langsung.

Dalam survei 2003 maupun 2005, dikaitkan dengan umur WPS, median jumlah pelanggan seminggu terakhir, pada kelompok umur termuda dan pada kelompok umur makin tua, relatif lebih kecil.

Dalam survei 2005, korelasi umur dengan median jumlah pelanggan pada 10 kota berbeda dengan pada 7 kota (tanpa Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya). Pada 10 kota, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5, makin muda umur makin banyak jumlah pelanggan. Namun pada 7 kota, median jumlah pelanggan kelompok termuda (<20 tahun) relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok berikutnya. Penyebab utama perbedaan ini adalah besarnya proporsi WPS kelompok umur <20 tahun di Bandung dan Surabaya,

40

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

VI

DISKUSI

Prevalensi ISR pada WPS langsung dan tidak langsung di 10 kota di Indonesia tahun 2005 tergolong tinggi sebagaimana prevalensi pada tahun 2003. Gambar 23 menunjukkan prevalensi berbagai IMS pada WPS di 7 kota di Indonesia tahun 2003 dan beberapa negara di sekitar Indonesia, yang juga tergolong tinggi.

Tabel 14. Prevalensi 4 IMS Pada WPS di Beberapa Negara di Sekitar Indonesia, 2001-200515,16,17,18,19,20

Dari tabel di atas, tampak bahwa prevalensi gonore dan klamidia di Indonesia tahun 2005 lebih tinggi dari prevalensi pada WPS di Pegunungan Timur Papua Nugini, 5 provinsi perbatasan dan Hanoi – Vietnam, sedangkan prevalensi trikomoniasis dan sifilis di Indo-nesia relatif lebih rendah.

Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis dapat ditularkan tanpa melalui hubungan seksual, tetapi berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina terganggu, yaitu

# ' + " ; " < + ; " 89 + 9 = + *9 + ,$ % " + ,$ + / $ / / / / % / / / / / /

42

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

berkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa, suatu keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV.21 Melihat prevalensinya yang tinggi pada populasi yang diteliti pada survei ini, maka dapat diperkirakan adanya tambahan risiko untuk tertular HIV.

Prevalensi HSV-2 tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi pada tahun 2005 ini sangat tinggi (95% total, 95% WPS langsung, 96% WPS tidak langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah dikutip oleh Ahsley dan Wald bahwa prevalensi serologis HSV-2 pada WPS di berbagai negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%22 namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV-2 pada WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60% dan oleh Davies S (86,9%).23,24 Hasil penelitian ini juga lebih tinggi dari hasil penelitian pada WPS di 5 provinsi perbatasan di Vietnam (27,7%)25, Dhaka – Bangladesh (62,5%)19, Yunnan – China (65,1%)20, Lagos – Nigeria (59%)26, dan Mexico (65,1%)27. Dalam penelitian ini didapatkan hanya 11% WPS langsung dan 14% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV-2 yang menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV positif tidak disertai riwayat gejala.28 Correy dan Simmons melaporkan bahwa 20% kasus herpes genitalis asimtomatis (tidak bergejala), 60% kasus tidak dikenali gejalanya, dan hanya 20% kasus dikenali gejalanya.29

Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi infeksi oportunistis pada orang dengan infeksi HIV). Sifat kambuhan ini merupakan beban kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan seumur hidupnya, walaupun pada kasus sub klinis / tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang disertai gejala klinis berupa lesi dan ulkus herpetik. Namun justru karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual tetap tinggi dan penularan infeksi virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun manifestasi klinis infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang tertular dapat lebih parah. 28,30,31,32

Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Hasil telaah data dari penelitian-penelitian epidemiologis yang dilaporkan oleh WHO dan UNAIDS menyatakan bahwa dari beberapa penelitian observasi longitudinal (Cohort) diketahui bahwa IMS meningkatkan risiko penularan HIV dari 1,5 sampai 8,5 kali tergantung pada jenis IMS. Lebih lanjut dilaporkan bahwa peningkatan probabilitas penularan per hubungan seksual mungkin lebih tinggi. Peningkatan risiko lebih tinggi pada IMS ulseratif, namun pada tingkat populasi dampak peningkatan risiko karena IMS non ulseratif lebih besar karena prevalensinya jauh lebih tinggi.33 Hasil telaah data beberapa penelitian biologis yang dilaporkan oleh WHO dan UNAIDS menjelaskan 2 mekanisme peningkatan risiko penularan HIV dengan adanya IMS, yaitu33:

1. Peningkatan daya tular HIV pada orang dengan IMS dan HIV, karena peningkatan jumlah (konsentrasi) virus dalam cairan sekresi genital

2. Peningkatan kerentanan orang dengan IMS terhadap penularan HIV, karena - disrupsi barier epitel (gangguan epitel sehingga menjadi pintu masuk virus HIV) - peningkatan kemampuan sel untuk menangkap HIV (data in vitro)

- peningkatan jumah sel reseptor

Prevalensi IMS yang tinggi pada WPS di 10 kota di Indonesia ini, merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual WPS dengan pelanggan dan pelanggan dengan isteri/pasangan seks tetapnya.

Ko-infeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS.34

Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai rendahnya perilaku pengobatan yang benar (tabel 12) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun masalah sosial yang cukup besar di kemudian hari akibat komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan serta isteri/anak dari pelanggan, antara lain: infeksi pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa akibat infeksi gonore di mata, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada laki-laki maupun wanita, dan striktura uretra /

44

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

sumbatan saluran kencing pada laki-laki.32,34 Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan pengobatan yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan dan angka pemakaian kontrasepsi sangat rendah, padahal mereka ada dalam usia reproduktif dan sangat aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Program penanggulangan IMS yang efektif sangat diperlukan di Indonesia, khususnya di 10 Kota / Kabupaten lokasi penelitian, mengingat tingginya prevalensi berbagai IMS dan ISR, risikonya terhadap penyebaran HIV, serta beban kesehatan yang ditimbulkan oleh IMS.

Strategi utama pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual meliputi promosi perilaku seks yang lebih aman dan penurunan insidens IMS yang dapat disembuhkan.34

Menurut WHO dan UNAIDS pada tahun 199735, secara umum program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan penguatan komponen pendukung.34,35

Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku seksual berisiko (termasuk mengurangi jumlah pasangan seks, promosi dan jaminan ketersediaan serta keterjangkauan kondom di lokasi transaksi seks), dan menghindari perilaku pencegahan yang keliru.33,34,35

Pencegahan sekunder33,34,35 meliputi tatalaksana klinis IMS pasien yang simtomatis dan asimtomatis. Tatalaksana klinis terdiri dari diagnosis dan terapi yang akurat, konseling, dan rujukan pasangan seks. Pencegahan sekunder harus diprioritaskan bagi kelompok inti (pekerja seks) dan kelompok jembatan (yang menjembatani penularan ke masyarakat umum: semua kelompok laki-laki yang berpotensi menjadi pelanggan pekerja seks) dalam mekanisme penularan IMS – HIV. Di samping itu, harus diprioritaskan pula bagi kelompok yang akan mendapatkan dampak masalah kesehatan terbesar akibat komplikasi IMS, yaitu para wanita secara umum. Diagnosis dalam tata laksana klinis IMS dapat menggunakan pendekatan sindrom, kombinasi pendekatan sindrom dengan pemeriksaan

laboratorium sederhana, dan pemeriksaan laboratorium yang canggih. Untuk meningkatkan cakupan program pencegahan sekunder, diperlukan pula edukasi guna meningkatkan kemampuan untuk mengenali gejala IMS, dan meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar.

Bagi kelompok inti (pekerja seks), di samping tatalaksana klinik bagi mereka yang datang mencari pengobatan karena bergejala, terdapat 2 pendekatan lain untuk mencakup mereka yang tidak bergejala dan mereka yang bergejala namun tidak mencari pengobatan. Hal ini sangat penting guna memotong rantai penularan. Pendekatan yang pertama adalah skrining/penapisan berkala. Dalam pendekatan ini, secara rutin dan berkala dilakukan pemeriksaan, penegakan diagnosis dan pemberian terapi. Pendekatan kedua adalah PPT (periodic presumptive treatment). Dalam pendekatan ini semua anggota kelompok inti di suatu lokasi dianggap terinfeksi IMS dan diberi pengobatan secara periodik.33,36

Pendekatan skrining membutuhkan biaya dan upaya yang cukup besar, terutama untuk bahan habis pakai dan waktu serta sumber daya manusia guna penegakan diagnosis. Hal tersebut merupakan kelemahan pendekatan ini. Namun, kelebihan pendekatan ini dapat mencakup mereka yang tidak bergejala tanpa menyebabkan pengobatan yang berlebihan. Pendekatan PPT tidak membutuhkan berbagai biaya maupun sumber daya lainnya guna penegakan diagnosis, dapat mencakup mereka yang tidak bergejala, dan dapat dengan cepat menurunkan prevalensi IMS; namun dapat menimbulkan pengobatan yang berlebihan, dan persepsi yang keliru bahwa IMS dapat diobati tanpa penegakan diagnosis. Persepsi yang keliru ini dikhawatirkan akan memperkuat perilaku penggunaan antibiotik yang keliru oleh para pekerja seks, baik untuk pengobatan maupun pencegahan, sebagaimana yang telah banyak terjadi di Indonesia.

Para ahli IMS yang berkumpul di London pada bulan September 2005 untuk berbagi pengalaman mengenai pendekatan PPT memberikan beberapa rekomendasi umum yang sangat penting sebagai berikut36:

1. PPT dapat dipertimbangkan sebagai salah satu komponen layanan IMS bagi pekerja seks. Agar berdampak secara efektif, cakupan PPT harus tinggi, mendekati 100%. Strategi DOTS (directly observed therapy), yaitu obat diminum di depan petugas, perlu diterapkan.

46

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

2. Walaupun dapat menurunkan prevalensi IMS secara cepat, PPT tidak boleh dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar yang dapat menyelesaikan masalah IMS. PPT harus dikembangkan dalam kerangka program jangka panjang penanggulangan IMS yang lebih komprehensif sebagaimana diuraikan di atas. 3. PPT harus dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk membuka akses layanan

IMS dan akses intervensi lain bagi pekerja seks. Berbagai hal yang menghambat para pekerja seks untuk hadir di klinik IMS harus dianalisa dan diatasi.

4. Proses perencanaan dan pelaksanaan PPT harus melibatkan para pekerja seks.Para pendidik sebaya (peer educators) dan pendidikan sebaya (peer edu-cation) harus menjadi bagian dari PPT. Petugas kesehatan perlu bersikap yang tidak menstigma dan tidak mendiskriminasikan para pekerja seks.

5. Interval PPT sebaiknya berkisar antara 1-3 bulan sekali, jika prevalensi gonore dan infeksi klamidia sudah di bawah 10% dan proporsi penggunaan kondom telah mencapai 70%, PPT dapat secara bertahap dikurangi frekuensinya bahkan dihentikan sama sekali. Pengurangan frekuensi dan penghentian PPT dapat juga dilakukan jika layanan lain telah tersedia, terjangkau, dan diakses oleh para pekerja seks.

6. Target PPT tidak terbatas pada WPS, namun juga pekerja seks laki-laki, pekerja seks waria, dan para pelanggan pekerja seks.

7. Agar PPT benar-benar efektif, perlu ada mekanisme yang memungkinkan untuk mengobati pasangan seks tetap/non komersial para pekerja seks.

8. Prevalensi IMS, resistensi mikroba penyebab IMS terhadap antibiotik, dan penggunaan kondom perlu terus menerus diamati (surveilans), setidak-tidaknya tiap 2 tahun.

Pelaksanaan pencegahan sekunder membutuhkan sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan. Layanan IMS yang disediakan tidak akan bermakna bagi program penanggulangan IMS-HIV/AIDS apabila tidak dimanfaatkan, terutama oleh kelompok yang berperilaku risiko tinggi (misal: WPS). Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS:33,37

- Sarana dan prasarana fisik harus terawat dengan baik

- Petugas dapat berkomunikasi dengan baik, bersifat ramah, bersikap tidak menghakimi dan tidak menstigma.

- Privasi dan kerahasiaan pasien terjaga - Jam buka sesuai

- Waktu antri tidak terlalu lama

- Lokasi mudah dijangkau secara geografis maupun sosial (tidak menimbulkan rasa takut)

- Biaya terjangkau

Di samping itu, tatalaksana klinis IMS juga sangat membutuhkan komponen pendukung seperti tenaga medis dan paramedis yang berkualitas, akses ke layanan laboratorium, ketersediaan obat yang masih poten secara berkesinambungan. Oleh karena itu, penguatan komponen pendukung merupakan strategi ketiga dalam program IMS.33,34,35

Di samping ketiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk menunjang program penanggulangan IMS-HIV, yaitu pengamatan penyakit/surveilans, dan pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi bahan untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 33,34,35

Penelitian di Mwanza – daerah pedesaan di Tanzania, berupa uji coba komunitas secara acak (Community based randomised controlled trial) melaporkan bahwa penguatan tatalaksana klinis IMS bergejala menggunakan pendekatan sindrom di pusat layanan kesehatan masyarakat menurunkan insiden HIV pada populasi umum usia dewasa sebesar 38% selama 2 tahun. Program ini terdiri dari pelatihan dan supervisi secara periodik bagi tenaga kesehatan, ketersediaan obat-obatan dan bahan habis pakai yang berkesinambungan, kerja sama dengan pusat rujukan, serta promosi perilaku mencari pengobatan yang benar.38 Sebagaimana dilaporkan oleh WHO dan UNAIDS35, penelitian di Kinshasa menunjukkan bahwa pengobatan IMS secara rutin dikombinasi dengan promosi kondom menurunkan insisdens HIV sampai hampir setengah, dan penelitian di Abidjan menunjukkan bahwa penemuan kasus serta pengobatan IMS dengan pendekatan sindrom menurunkan insiden HIV dari 16,5/100 orang tahun menjadi 7,9/100 orang tahun sedangkan dengan pemeriksaan spekulum dan mikroskop sederhana menjadi 5,5/100 orang tahun.

48

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

masih kurang, lebih dari 50% WPS belum pernah terpapar program penjangkauan untuk komunikasi perubahan perilaku (Lampiran 9). Perubahan perilaku juga belum tampak sebagaimana diharapkan. Gambar 17 dan 18 di atas menunjukkan rendahnya pemakaian kondom oleh para WPS ketika melayani pelanggannya. Bahkan masih banyak WPS yang tidak memakai kondom sama sekali.

Program intervensi perubahan perilaku untuk menurunkan risiko perilaku seksual, terutama promosi penggunaan kondom, selain ditujukan kepada WPS, sangat perlu ditujukan kepada kelompok pelanggan WPS, karena pelanggan lebih menentukan apakah kondom akan dipakai atau tidak pada setiap transaksi seks. Apalagi jika jumlah pelanggan relatif sedikit (seperti ditunjukkan pada penelitian ini – gambar 4), kekuatan negosiasi WPS untuk pemakaian kondom makin lemah, karena mereka takut kehilangan pelanggan.39

Berbagai kelompok laki-laki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua berpotensi menjadi pelanggan WPS (tabel 8). Oleh karena, itu kerja sama dengan berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para pelanggan sangat diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan kelompok pasangan seks tetap para WPS yang perlu diperhatikan dalam promosi penggunaan kondom kepada WPS. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami).40

Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi, sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan KB/kontrasepsi agar mereka menawarkan kondom sebagai metode perlindungan ganda terhadap kehamilan maupun penularan IMS-HIV.

Selain promosi kondom, program juga perlu mengoreksi perilaku pencegahan dan perilaku pengobatan IMS yang salah, dan meningkatkan kesadaran akan gejala IMS.33,34,35 Perilaku pencegahan yang salah antara lain minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku minum antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak tepat pilihan maupun tidak tepat dosis) berpotensi menyebabkan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika. Sedangkan cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina sehingga mempermudah

terjadinya luka sebagai pintu masuk IMS-HIV. Selain itu, cuci vagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa ini kondusif untuk pertumbuhan organisme penyebab IMS.41 Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontra produktif terhadap perilaku pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk melindungi diri dari penularan IMS-HIV, karena timbul rasa aman yang semu.

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan hanya sekitar 33% WPS mencari pengobatan yang benar ketika terkena IMS dalam 3 bulan terakhir (tabel 12), sisanya tidak berobat sama sekali, atau membeli obat sendiri, atau berobat tradisional. Pengobatan yang tidak benar akan menimbulkan komplikasi. Membeli obat sendiri dapat berupa un-der treatment dengan abtibiotik yang akan menimbulkan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik. Alasan mengapa lebih banyak WPS yang memilih cara pengobatan yang tidak benar perlu diteliti lebih lanjut agar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan program. Di antara WPS yang memilih mengobati IMS secara benar ternyata sebagian besar memilih layanan klinik swasta dan dokter praktek. Kedua tempat layanan ini perlu diajak bekerja sama untuk meningkatkan cakupan program penanggulangan IMS. Puskesmas ternyata kurang diminati. Upaya-upaya untuk meningkatkan minat WPS memanfaatkan layanan puskesmas perlu dikembangkan.

Terkait cakupan program pencegahan sekunder, penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 50-60% WPS tidak mengikuti program skrining IMS dalam 3 bulan terakhir (Lampiran 9). Setiap WPS selalu terpapar sumber penularan IMS pada saat melayani pelanggannya tanpa menggunakan kondom. Hal itu merupakan risiko pekerjaannya. WPS yang terinfeksi IMS tidak selalu menyadari bahwa dirinya sedang terinfeksi karena tidak mengenali gejalanya atau memang tidak bergejala. Sebagian IMS pada wanita memang tidak bergejala, ditambah lagi dengan seringnya WPS mengkonsumsi antibiotik secara sembarangan gejala IMS makin tidak muncul. Oleh karena itu, WPS perlu dibantu untuk mengenali gejala IMS dan tidak mengkonsumsi antibiotik secara sembarangan. Upaya untuk meningkatkan cakupan program skrining juga sangat diperlukan, melalui sosialisasi dan kerja sama dengan berbagai macam pihak serta pendekatan kepada para WPS.

Program pencegahan sekunder yang telah dilaksanakan di 10 kota telah menggunakan pendekatan pemeriksaan laboratorium sederhana guna mendeteksi IMS tanpa tanda.

50

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Hal ini sesuai dengan kebutuhan sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian ini, banyak ISR tanpa tanda.

Program skrining bagi WPS maupun program tatalaksana IMS lainnya di Indonesia mengacu pada pedoman nasional13 yang merekomendasikan Siprofloksasin 500mg dosis tunggal sebagai terapi gonore, dan Doksisiklin 100 mg 2 kali per hari selama 7 hari sebagai terapi infeksi C. Trachomatis. Dalam lokakarya IMS nasional tahun 2005 dan 2006, berdasarkan laporan-laporan beberapa penelitian, telah disepakati bahwa resistensi N.gonorrhoeae terhadap Siprofloksasin telah tinggi sehingga dipilih Sefiksim 400 mg dosis tunggal sebagai penggantinya.42,43 Rekomendasi ini telah menjadi bahan revisi pedoman nasional baru-baru ini, namun masih perlu sosialisasi bagi para penyedia layanan. Mengingat terapi Doksisiklin selama 7 hari dengan efek samping mual muntah, diduga

Dokumen terkait