• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Faktor Yang Mendorong Ulama Berkontribusi

2. Faktor Isu Sekulerisasi dalam Politik

Kalau persoalan sekulerisasi dalam kehidupan berpolitik tidak jarang didengar oleh telinga. Merujuk dasar kata sekuler dalam bahasa scularism atau secularite (Inggris), laique (Prancis), al-‘ilmāniyyah (Arab) merupakan sebuah gerakan sosial yang mengalihkan pandangan masyarakat dari masalah-masalah akhirat menjadi terfokus pada masalah-masalah duniawi saja.163

Istilah sekularisasi secara semantik memiliki makna dan arti yang beragam dan bervariasi namun memiliki nuansa yang sama. Untuk itulah diperlukan penelusuran makna secara etimologis maupun terminologis agar diperoleh pemahaman arti secara komprehensif.

Sekularisasi yang dipakai dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dalam bahasa Inggris secularization, yang berasal dari bahasa Latin saeculum yang biasanya diartikan sebagai the temporal world (dunia temporal) sebagai lawan dari the Kingdom of God (Kerajaan Tuhan).164 C. William mengartikan Saeculum dengan istilah of this age (yang terkait dengan saat, zaman atau waktu ini).

162Syahrin Harahap, Anggota MUI Sumatera Utara/Cendikiawan Muslim Sumatera Utara/Guru Besar UIN Sumatera Utara Medan, wawancara di kediaman beliau Jl. Bhayangkara Medan Gg. Masjid, tanggal 29 Maret 2019.

163Yusuf al-Qordhawi, al-Islām wal ‘Ilmāniyyah waḥjan īi wajhin, (Maktabah Wahbah: Kairo, cet. 7, 1997), terj. Amirullah Kandu, Islam dan Sekulerisme, (Bandung: Cipta Pustaka, cet. 1, 2007), h. 65.

164 Choirul Fuad Yusuf, Peran Agama Dalam Masyarakat, (Universitas Indonesia, 2000), h. 25.

Bahkan lebih jelas lagi pengertian yang disampaikan oleh Backer yang mengatakan istilah sekular tidak saja sebagai sesuatu yang berkaitan dengan profan, tapi juga dikonotasikan kepada sesuatu yang tidak suci, tidak bertuhan dan sebagainya. Dari beberapa arti di atas, dapat disimpulkan pengertian sekular berarti berhubungan dengan waktu saat ini, waktu sekarang, bersifat profan atau duniawi dan bukan dunia yang akan datang (dalam bahasa agama Islam akhirat).

Berdasarkan penelusuran etimologis dari asal katanya seperti yang sudah dijabarkan di atas, maka didapat suatu pengertian umum dari sekularisasi secara etimologis sebagai suatu proses penduniawian, profanisasi dan pelepasan dari nilai-nilai keagamaan.

Dalam bahasa Arab, kata sekular digunakan istilah lā dīniyyah atau dunyāwiyyah, yang maknanya tidak hanya lawan ukhrawi saja tetapi memiliki makna yang lebih spesifik lagi, yakni sesuatu yang tidak ada kaitan dengan dien (agama), atau sesuatu yang hubungannya dengan agama adalah hubungan lawan.165 Sedangkan menurut Syahrin Harahap, bahwa Bahasa Arab mengadopsi istilah ini dari penggunaan orang-orang Kristen Arab yang menggunakan istilah sekular untuk mengekspresikan gagasan ini sebelum ia menarik perhatian kaum muslimin. Kata yang mereka ciptakan adalah 'alamani atau 'alam (dunia) yang maknanya adalah duniawi, yang dilawankan dengan selain dunia atau spiritual.166

Di dunia Islam istilah sekular ini pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalis Turki. Ini sering kali dipahami dalam pengertian irreligius atau bahkan anti religius, dan tafsiran ini lebih jauh memunculkan kecurigaan yang juga menyertai sikap terhadap gagasan itu.167

Secara terminologi, kata sekular atau faham sekular dalam Ensiklopedi Britania, sebagaimana dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawy, bahwa : Sekularisme adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada

165Harvey Cox, The Secular City, (The Macmillan Company, New York: 1966). h. 2. 166Syahrin Harahap, Al-Qur 'an Dan Sekularisasi, (PT. Tara Wacana, Yogyakarta: 1994), h. 12.

Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil untuk menghadapinya dan untuk membawa kecenderungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang menampakkan ketergantungannya yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan serta kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia.168

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, bahwa isu sekulerisasi politik ini sudah mulai kelihatan di permukaan, oleh karena itu pada perdebatan para tokoh dalam perumusan idologi negara sudah muncul. dikarena pada masa itu ada dua jenis ideologi yang menonjol dalam perbincangan yang hangat tersebut, pertama idologi nasionalis sekuler yang direpresentasikan kepada Soekarno, sedangkan yang kedua, nasionalis religius direpresentasikan kepada Muhammad Natsir.

Kenyataan yang demikianlah menunjukkan masyarakat Indonesia memang memiliki dua kutub yang berbeda dalam menghubungkan agama dan negara. Kondisi seperti ini terus bermunculan dalam memperbutan pengaruhnya di masyarakat, bahkan pada Pilkada Gubernur Sumatera Utara,.

Dalam konteks Pilkada Sumatera Utara, isu politik telah menjadi yang paling menonjol dalam kehidupan berbangsa beberapa tahun terakhir maka ustadz dan para ulama merasa memiliki bahan dalam pembicaraan ini. Jadi mereka bukan sekedar ikutan saja, tapi mereka juga memiliki bahan dalam pembicaraan ini. Hingga pada saat tertentu sebenarnya ulama dan cendekiawan mrnjadi faktor yang sangat menentukan dalam perhelatan Pilkada itu menjadi faktor yang sangat menentukan karena suara rakyat yang dalam hal ini banyak umat dipelihara oleh para ulama.

Kemudian dari masyarakat sebenarnya menghadapi masalah yang gayung bersambut dengan keadaan yang tercipta, yaitu di Sumatera Utara sudah setahun bergulir isu sekularisasi. Saat presiden ketika berbicara di Tapanuli Tengah mengumumkan pentingnya dipisahkan agama dan politik. Jadi masyarakat Sumatera Utara merasa ada ini dalam dunia perpolitikan kita, artinya ingin dipisahkan umat dari dari politik. Dibenak umat ada itu tiba-tiba ada perhelatan politik tingkat Sumatera Utara maka umat pun merasa gayung bersambut ini keadaan ini, dengan apa yang mereka terima apa yang mereka alami.

168Yusuf Qaradhawy, Sekular Ekstrim, Terj. Nabhani Idris, (Pustaka al-Kautsar: Jakarta Timur, 2000), h. 2

Terakhir memang ada pengalaman dari masyarakat yang merasakan suatu kepedihan di tingkat ekonomi di tingkat bawah, jadi kira-kira tidak tersentuhnya ekonomi tingkat bawah secara adil membuat rakyat ingin ada perubahan, dan perubahan itu yang lebih islami seperti itu. Karena hampir tidak ada diskusi yang serius mengenai mengapa ulama terlibat tetapi masyarakat menerima memang itu suatu kondisi yang bukan diciptakan tetapi memang tercipta karena keadaan bangsa dan masyarakat yang memang menghendaki kondisi seperti ini.