• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kontribusi Ulama dalam Politik

5. Ibn Khaldun

Nama lengkap Ibn Khaldun adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Mohammad bin Hasan bin Jabir bin Mohammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun. Beliau dilahirkan pada tahun 732 H – 1332 M di Tunisia, Afrika Utara dari keluarga pendatang dari Andalusia, Spanyol Selatan yang pindah ke Tunisia pada abad ke VII H, dan wafat pada tahun 808 H – 1406 M, dimakamkan

122Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik

di tokoh-tokoh dan ulama terkemuka di luar pintu gerbang Nashr, Kairo. Penisbatan nama Ibn Khaldun diambil dari nama kakeknya kesembilan Khalid bin Usman.123

Ayahnya sebagai guru dalam belajar membaca dan menghafal Alquran sehingga ia menguasai qiro’ah sab’ah (tujuh cara membaca Alquran). Dengan guru lain dari Tunisia beliau belajar Tafsir, Hadis, Fiqh, dan Grametika bahasa Arab. Karena pada saat itu Tunisia merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan bahasa Arab. Kemudian ia secara khusus mendalami ilmu Hadis, dan Fiqh Mazhab Maliki disamping ilmu bahasa, mantik dan filsafat.

Ibn Khaldun langsung terjun ke dunia pemerintahan dan politik sehingga ia pun pernah di penjara selama dua tahun karena situasi politik yang tidak stabil. Jabatan perdana mentri pernah ditolak oleh Ibn Khaldun yang diberikan Abu Hammu, sebagai penggantinya ia mengirimkan adiknya Yahya. Pergulatannya dalam bidang politik membuat dirinya kalab karena sering terlibat dengan percaturan politik yang tidak menentu, akhirnya iapun kembali ke dunia ilmu dengan mengajar dan menulis.

Karya tulisnya yang fenomenal seperti Muqoddimah Ibn Khaldun yang merupakan jilid pertama kitab Al-Ibar, beliau tulis yang jauh dari keramaian serta hiruk pikuk politik. Beliau melanjutkan jilid-jilid berikut pada penelitiannya sehingga pada waktu itu terbentur dengan buku-buku rujukan di tempat terpencil itu, sehingga ia kembali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan yang kaya akan catatan-catatan yang diperlukan dalam menyelesaikan bukunya itu. Akhirnya dia diangkat sebagai hakim agung untuk Mazhab Maliki, kemudian dia diangkat lagi untuk menduduki jabatan sebanyak lima kali.

b. Pemikiran Politik Ibn Khaldun

Di antara ulama pemikir politik klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun dapat dikatakan sebagai tokoh paling banyak berkecimpungan dalam dunia politik praktis. Ini merupakan salah satu kelebihan Ibn Khaldun dibandingkan dengan ulama-ulama sebelumnya.

Dalam kitab Muqoddimah, Ibn Khaldun menegaskan empat perbedaan mendasar antara manusia dengan makhluk lain. Manusia adalah makhluk berfikir

yang dengannya menghasilkan ilmu pengetahuan; makhluk politik yang memerlukan pengaturan dan pengadalian oleh kekuasaan; makhluk ekonomi yang ingin mencari penghidupan dengan berbagai cara dan profesi; dan makhluk berperadaban. Menurut pandangan Ibn Khaldun bahwa Imāmah adalah kewajiban bersama (farḍu kifāyah) dan penegakannya diserahkan pada al-ḥall wa al-‘aqd. Menurut Ibnu Khaldun ada beberapa kriteria orang yang menjabat sebagai khalifah adalah sebagai berikut: (1) Memiliki pengetahuan; (2) Adil; (3) Memiliki skill; (4) Sehat panca indra; (5) Keturunan Quraisy.124

Berbeda dengan pemikiran Sunni sebelumnya yang menekankan syarat Quraisy ini. Ibnu Khaldun memberi penafsiran baru menurutnya suku Quraisy merupakan suku yang kuat dan disegani. Syarat suku Quraisy ini dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dikalangan suku-suku lain, karena suku di sini yang dianggap mampu melakukan tugas ini. Namun pada masa Ibn Khaldun suku Quraisy tidak lagi terlalu dominan karena itu ia memberi tafsir kontekstual bahwa orang yang memiliki kemampuan setara dengan kemampuan yang dimiliki oleh suku Quraisy dapat dikelompokkan dalam syarat ini, memiliki hal demikian karena didukung oleh solidaritas kelompok atau aṣḥabīyah.

Dalam teori aṣḥabīyah yang ditemukan oleh Ibn Khaldun, bahwa teori ini menurutnya memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan maka seseorang pemimpin harus mempunyai solidaritas kelompok yang kuat, tanpa solidaritas kelompok seorang pemimpin akan sulit memperoleh legitimasi dan tidak akan dapat bertahan memimpin kelompok tersebut. Karena itu ia menyimpulkan bahwa kuat atau lemahnya suatu negara sangat tergantung pada perasaan solidaritas kelompok tersebut. Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa sifat aṣḥabīyah ini timbul karena ada beberapa faktor pertalian darah atau pertalian kaum dan rasa cinta seseorang terhadap nasab dan golongan. Hal ini dapat menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta melahirkan kerjasama dalam berbagai bidang.

Menurut Munawir Sjadzali tentang solidaritas kelompok sebagai berikut: Pertama, adanya solidaritas kelompok merupakan suatu keharusan bagi bangunan suatu dinasti yang kuat dan besar. Kedua, seorang kepala negara agar mampu

secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya dari gangguan dan ancaman, harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan fisik. Ketiga, negara hanya akan mampu bertahan dalam solidaritas kelompok apabila ditopang oleh agama.

Menurut Ibn Khaldun ada beberapa faktor yang dapat mempersatukan masyarakat yang homogen. Agama harus digandengkan dengan solidaritas kelompok, sehingga mampu memberi kontribusi yang nyata bagi kekuasaan politik. Sebaliknya, bila agama dan solidaritas kelompok ini dipertentangkan maka yang terjadi adalah disintegrasi. Jadi, kalau solidaritas kelompok merupakan perintis bagi eksistensi suatu negara, maka agama akan menjadi penopang kekuasaan negara tersebut.125

Secara realitas, Ibn Khaldun mengungkapkan bahwa dalam kenyataan terdapat dua bentuk pemerintahan. Pertama, pemerintahan yang berdasarkan pada agama (sīyasah dīnīyah), yaitu menjalankan pemerintahan berdasarkan bingkai agama yang dibawa oleh Nabi-Nya. Kedua, berdasarkan oleh pemikiran manusia (sīyasah ‘aqlīyah) yaitu menjalankan pemerintahan berdasarkan hasil rumusan pemikiran manusia.

Ibn Khaldun membagi lima fase mengenai jatuh dan bangunnya suatu dinasti atau pun suatu negara. Fase pertama, tahap sukses menggulingkan lawan politiknya pasti ini orang yang memimpin negara menjadi model bagi rakyatnya. Ia juga memutuskan suatu masalah dengan melibatkan bawahannya. Fase kedua, tahapan penguasa mulai berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan bertindak otoriter. Fase ketiga, tahap hidup sentosa dan menikmati kesenangan. Pada tahap ini penguasa mulai berfoya-foya membangun monumen-monumen. Fase keempat, puncak kekuasaan suatu dinasti. fase ini penguasa merasa puas dengan apa yang telah dibangun oleh pendahulunya. Fase kelima, merupakan tahap hidup boros dan berlebih-lebihan pada tahap ini penguasa merusak capaian-capaian para pendahulunya ia lebih mementingkan kesenangan dan hawa nafsu Ia juga lebih mengutamakan orang-orang yang tidak memiliki ketulusan sebaliknya

125Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik

orang yang bersikap kritis dipenjara dan dimusuhi. Akhirnya dasar-dasar yang telah dibangun oleh pendahulunya hancur dan dinasti mengalami kehancuran.126

Menurut Muhammad Iqbal ada bebarapa catatan yang perlu dicermati mengenai pemikiran Ibn Khaldun. Pertama, Ibn Khaldun banyak merumuskan teori-teori politinya pada pengalaman dan kiprah politiknya. Ini merupakan kekhasan Ibn Khaldun dibandingkan dengan pemikir-pemikir politik Islam lainnya. Kedua, Ibn Khaldun menyatakan bahwa praktek politik aṣḥabīyah yang diutarakannya merupakan tradisi Jahiliyah, namun beliau meng-frame dengan bingkai agama. Menurutnya tanpa bingkai agama akan menjadi malapetaka bagi sebuah negara. Ketiga, Ibn Khaldun berani keluar dari frame teori bahwa syarat pemimpin itu harus keturunan Quraisy. Penafsiran dari suku Quraisy dalam hadis Nabi itu perlu ditinjau ulang pemaknaannya.