• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Faktor Risiko TB Paru

Faktor risiko kejadian TB paru, secara ringkas digambarkan pada bagan berikut:

Bagan 1

Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru

Transmisi

Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila • Ventilasi dengan HIV:

• Kepadatan • 5-10% setiap tahun • Dalam ruangan • > 30% lifetime Faktor Perilaku

10%

Konsentrasi kuman • Keterlambatan diagnosis

Lama kontak dan pengobatan

• Malnutrisi • Tatalaksana tak memadai • Penyakit DM, • Kondisi kesehatan

Immuno-supresan

Sumber: Kemenkes, 2011

Berdasarkan bagan di atas diketahui bahwa terdapat beberapa faktor risiko kejadian TB paru, diantaranya:

1. Jumlah Kasus TB BTA +

Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan

HIV (+)

PAJANAN INFEKSI TB

MATI SEMBUH

dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).

2. Faktor Lingkungan

Ada beberapa faktor lingkungan yang berisiko terjadinya TB paru, di antaranya:

a. Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah

dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis dalam Ruswanto, 2010).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis dalam Ruswanto, 2010).

Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang tinggal pada rumah dengan kepadatan hunian < 9m2/org berisiko 5,983 kali lebih besar untuk menderita TB dibandingkan dengan orang yang tinggal pada rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Rumah etnis Timor (Naben, 2013) melaporkan bahwa orang yang tinggal pada rumah dengan kepadatan hunian <9m2/org berisiko 9,2 kali lebih besar untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tinggal pada rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org.

b. Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca. Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TB. Jendela luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca (Machfoedz, 2008). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul (Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa penduduk yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko TB paru 9 kali lebih tinggi menderita TB paru dibandingkan dengan penduduk yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan memenuhi syarat kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.

c. Ventilasi

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 2002). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu ventilasi alam (jendela, pintu dan lubang angina) dan ventilasi buatan kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner)) (Machfoedz, 2008). Rumah yang cukup sehat sebaiknya harus mempunyai jalan masuk yang cukup. Jendela luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain (Machfoedz, 2008).

d. Suhu

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20ºC -30ºC dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 30 ºC (Ruswanto, 2010). Mycobacterium Tuberkulosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 250C-400C, akan tetapi bakteri

ini tumbuh secara optimal pada suhu 310C-370C (Kurniasari, 2012; Ruswanto, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008) melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 lebih besar menderita sakit TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur memenuhi syarat

e. Jenis lantai

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya dan dapat menjadi media penular kuman TB. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, atau keramik (Asih, 1995).

Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul (Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 3-4 kali lebih besar menderita TB paru dibanding pada

penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.

f. Kelembaban

Pengukuran tingkat kelembaban udara dalam rumah menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Asih, 1995). Kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan mendukung kehidupan kuman TB. Apabila kelembaban tinggi dalam suatu rumah, maka kuman TB dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik sehingga menjadi mata rantai penularan TB paru (Naben, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008) dengan melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban udara tidak memenuhi syarat berisiko 4,2 kali lebih besar menderita TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban udara memenuhi syarat.

3. Faktor Perilaku

Sebelum membahas faktor perilaku, maka akan dibahas karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu:

a. Umur

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB paru. Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang umur tua. Infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok kasus paling banyak terdapat pada kelompok umur 11-55 tahun (71,1%).

Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB paru, yaitu: 1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua

2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada perempuan.

3) Puncak sedang pada umur lanjut.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki lebih umum terkena, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Risiko TB paru terutama menyerang laki-laki. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010).

Distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrolmelaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010).

Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%.

d. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan

dan umumnya TB paru (Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja yaitu sebesar 11,7%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 % lebih besar dari pada kelompok bukan TB paru.

Setelah mengetahui karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu, berikut adalah faktor perilaku yang menjadi faktor risiko TB paru:

a. Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB aktif). Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes, 2011).

b. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman TB pada paru. Seperti diketahui kuman TB merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit TB (Ruswanto, 2010).

Salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru. Cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2001). IMT mencerminkan tinggi badan, berat badan dan status gizi seseorang. Kategori IMT pada orang dewasa adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa Kategori Keterangan

Underweight <18,5 kg/m2

Normal 18,5-24,9 kg/m2

Overweight 25-29,9 kg/m2

Obesitas >30kg/m2

Sumber : (IOM dan NRC, 2009)

Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:

Berat Badan (Kg)

IMT = --- Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).

Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT

kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi baik.

c. Status Imunisasi BCG

Status imunisasi BCG mempengaruhi kejadian TB. Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat, seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008). Hal ini dikarenakan bayi atau anak masih rentan terinfeksi

Mycobacterium Tuberkulosis penyebab penyakit TB, akibat adanya kontak dengan penderita TB yang ada di sekitarnya, seperti: orang tua, keluarga, pengasuh, dan lain sebagainya (Setiarini, 2008). Berdasarkan yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi penderita TB paru tertinggi terdapat pada orang yang tidak diimunisasi yaitu sebesar 69,6%.

d. Merokok

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah gulungan tembakau kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus daun nipah atau kertas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan yang Mengadung Zat Adiktif berupa produk tembakau mendefiniskan rokok salah satu produk tembakau yang dibakar, dihisap, dan dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana rustica, Nicotiana tabacum, dan spesies lainnya (Kemenkes, 2012).

Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, karbon monoksida (CO), timah hitam dan lain-lain (Kemenkes, 2012). Berikut penjelasannya (Kemenkes, 2012):

1) Nikotin

Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Nikotin bersifat sangat adiktif dan beracun, tidak berwarna. Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik. Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia

yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya berlangsung seketika.

Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan. Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg.

Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah.

2) Tar

Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Sejenis cairan berwarna coklat tua atau hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru sehingga dapat membuat warna gigi dan kuku seorang perokok menjadi coklat, begitu juga di paru-paru. Tar yang ada dalam asap rokok menyebabkan kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi.

Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi

B-limposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara ringkas tar dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).

3) Karbon Monoksida (CO)

Karbon Monoksida adalah suatu zat beracun yang sifatnya tidak berwarna dan tidak berbau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3%-6% dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen.

Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan).

Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012).

4) Timah Hitam

Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari.

Perokok dapat dibagi menjadi beberapa golongan tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Berikut adalah golongan atau klasifikasi perokok yaitu (Kemenkes, 2012):

1) Tidak merokok

2) Merokok ringan (tidak setiap hari)

3) Merokok sedang (merokok setiap hari dalam jangka kecil) 4) Merokok berat (merokok lebih dari satu bungkus tiap hari)

5) Berhenti merokok/pernah merokok.

Berikut adalah jenis perokokyaitu (Kemenkes, 2012): 1) Perokok ringan (1-10 batang perhari)

2) Perokok sedang (11-20 batang perhari) 3) Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari)

Rokok dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (CDC, 2013): 1) Rokok Kretek

Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya.

2) Rokok Putih

Rokok putih adalah jenis rokok yang diartikan sebagai rokok tanpa campuran cengkeh seperti pada rokok kretek. Rokok putih memiliki filter di ujung batang rokok. Rokok putih atau seringkali disebut dengan rokok mild merupakan salah satu dari produk olahan tembakau. Rokok ini memiliki kandungan tar dan nikotin yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok kretek dan rokok pada umumnya.

3) Rokok Linting atau Cerutu

Rokok linting atau cerutu dalah gulungan utuh daun tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan, yang mirip dengan rokok, salah satu ujungnya dibakar dan asapnya dihisap oleh mulut melalui ujung lainnya. Rokok ini dianggap kurang berbahaya oleh masyarakat oleh karena bentuknya kecil dan memiliki rasa yang menarik untuk anak-anak. Tetapi, cerutu ini memiliki bahaya yang sama seperti rokok. Cerutu ini dapat menimbulkan gangguan pernafasan bahkan kanker.

Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang dibakar dan 300C utnuk ujung rokok yang terselip diantara bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri (Kemenkes, 2012).

Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok dapat berisiko mengakibatkan penurunan aktivitas mukosiliar epitel, penurunan bersihan partikel asing oleh epital, dan abnormalitas permeabilitas vaskular, dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TB (PPTI, 2004).

Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke

(asap yang dikeluarkan dari mulut perokok). Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak

Dokumen terkait