• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh:

Laila Romlah NIM: 1111101000022

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI

Skripsi, Juli 2015

Laila Romlah, NIM: 1111101000022

Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

xvii + 91 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 2 lampiran

ABSTRAK

Pendahuluan: Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk. Proporsi suspek TB paru di Puskesmas Setu menurun dari 1,4% dengan kasus BTA Positif 9,1% pada tahun 2013 menjadi 0,8% dengan kasus BTA Positif 8,2% pada tahun 2014. TB paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko seperti merokok, IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. Metode: Studi kasus kontrol dengan menggunakan telaah dokumen TB.06 dan TB.01 serta wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Kasus adalah pasien yang menderita TB paru BTA positif di wilayah kerja di Puskesmas Setu dari tahun 2012 sampai 2015 dan kontrol adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien. Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:3, 45 kasus dan 135 kontrol. Hasil: Sebagian besar kasus adalah perokok (42,2%). Pernah merokok (OR 3,44 95% CI 1,37-8,66), IMT kurang (3,47 95% CI 1,59-7,56) dan tidak sekolah wajib 9 tahun (OR 2,05 95% CI 1,03-4,07) merupakan faktor risiko TB paru. Sedangkan usia mulai merokok, umur dan pekerjaan bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru. Simpulan: Pernah merokok, IMT kurang dan tidak sekolah wajib 9 tahun merupakan faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.

(4)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY

Epidemiology

Undergraduate Thesis, July 2015 Laila Romlah, NIM: 1111101000022

Smoking Relationship With Disease incidence of Tuberculosis in Puskesmas Setu

South Tangerang City

xvii + 91 pages, 7 tables, 4 charts, 2 attachments

ABSTRACT

Introduction: The prevalence of pulmonary tuberculosis globally is still high at 289 per 100,000 population. Proportion of pulmonary TB suspects in Puskesmas Setu decreased from 1.4% to 9.1% of cases of smear positive in 2013 to 0.8% with 8.2% of cases of smear positive pulmonary TB in 2014. Pulmonary TB is caused by several risk factors such as smoking, BMI, age, gender, education level and the type of work. This study aims to look at the incidence of smoking with pulmonary TB disease in the Puskesmas Setu South Tangerang City. Methods: Case-control studies using TB.06 and TB.01 document review and interviews using a structured questionnaire. Cases were patients with smear-positive pulmonary TB in the region Setu working in health centers from 2012 to 2015 and the controls are the families of patients who live at home with the patient. Comparison of cases and controls was 1: 3, 45 cases and 135 controls. Results: Most of the cases were smokers (42.2%). Never smoked (OR 3.44 95% CI 1.37 to 8.66), BMI less (3.47 95% CI 1.59 to 7.56) and 9-year compulsory school (OR 2.05 95% CI 1.03 to 4.07) is a risk factor for pulmonary tuberculosis. While age start smoking, age and occupation is protection against pulmonary TB incidence. Conclusion: Never smoked, BMI less and not compulsory nine-year school is a risk factor for pulmonary tuberculosis in Puskesmas Setu, South Tangerang City.

(5)
(6)
(7)
(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Laila Romlah

Tempat, Tamggal Lahir : Bogor, 1 Maret 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pemuda No. 15 RT 03/07 Pengasinan Gunung Sindur Bogor 16340

Telp/Hp : 08567265854

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Email : romlahlaila@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan

1998-1999 : TK Al Khoiriyah 1999-2005 : SDN Puspiptek

2005-2008 : SMP Latansa

2008-2011 : MAN Serpong

(9)

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. Pengalaman Organisasi

2012 : Staf Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.

2013 : Staf Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta..

2012-2014 : Anggota Paduan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

2013-2014 : Staf Departemen Pengembanagan Sosial Epidemiology Student Association (ESA)

D. Pengalaman Kepanitiaan

2012 : Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta 2012 : Anggota Devisi Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Fakultas

(10)

2013 : Koordinator Acara Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

2013 : Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.

2013 : Koordinator Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

2014 : Anggota Devisi Acara Seminar Profesi Peminatan Epidemiologi.

E. Pengalaman Penelitian

2013 : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Kebon Kopi RT 03/07 Pengasinan Gunung Sindur Bogor Tahun 2013.

2013 : Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Terhadap Masalah Banjir di Kampung Sumur BOR RT 004 RW 012 Kalideres Jakarta Barat.

2013 : Praktik Surveilans Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan Tahun 2013

(11)

Tahun 2013.

2014 : Gambaran Jarak Absolut dan Jangkauan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas dan Posyandu) Terhadap Gizi Buruk dan Gizi Kurang Berdasarkan Faktor Risiko Secara Spasial di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan Keranggan, Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.

2014 : Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan Keranggan, Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 (Pendekatan One Health).

2014 : Masalah Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Pencarian Pengobatan Pada Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014.

2014 : Program Pengendalian Penyakit Campak di Dinas Kesehatan Kota Depok Tahun 2014 (Gambaran Pelaksanaan Surveilans Campak.

F. Pengalaman Kerja

2012 : Paduan Suara di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan 2013 : Praktek Belajar Lapangan I di Kelurahan Buaran, Kota Tangerang

Selatan

(12)

2014 : Praktek Orientasi Kerja Program DBD di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan

2013

2015

: Master of Ceremony Sumpah Dokter, Sumpah Ners, Pelepasan Wisuda dan Yudisium di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Demikian Curriculum Vitae ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, Juli 2015

(13)

Dengan rasa syukur kepada Allah Yang Maha Esa, ku persembahkan tulisan sederhana ini:

Untuk Almarhumah Ibuku tercinta Hj. Siti Umayah “Terima kasihku atas kasih sayang seorang ibu yang hebat sepertimu,,,”

Untuk setiap tetes keringat dan letih Bapak yang tiada pernah terhitung

untukku,,,

Untuk setiap kasih sayang yang tulus kakak-kakak dan adikku

untukku,,,

(14)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul Hubungan Merokok dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada:

1. Kedua orang tua dankeluarga yang telah memberikan dukungan penuh dan motivasi serta do’a yang tiada henti.

2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakulats dan Kedokteran Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Hoirun Nisa M.Kes., Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah sabar dalam memberikan arahan serta bimbingannya.

(15)

6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di salah satu Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

7. Kepala Puskesmas Setu yang telah memberikan izin penelitian dan pengambilan data di wilayah kerja Puskesmas Setu.

8. Seluruh teman-teman peminatan Epidemiologi 2011 yang selalu memberikan semangat dan bantuannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat menyelesaikan skripsi yang lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya skripsi ini akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya penulis serta pembaca.

Jakarta, Juli 2015

(16)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

PERSEMBAHAN ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Ruang Lingkup ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Definisi TB ... 10

B. Etiologi TB Paru ... 10

(17)

D. Gejala TB Paru ... 13

E. Epidemiologi TB Paru ... 13

F. Faktor Risiko TB Paru ... 16

G. Kerangka Teori ... 40

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ... 41

A. Kerangka Konsep ... 41

B. Definisi Operasional ... 45

C. Hipotesis ... 47

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Desain Penelitian ... 48

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

D. Metode dan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data ... 53

F. Pengumpulan Data ... 54

G. Pengolahan Data ... 55

H. Analisis Data ... 56

BAB V HASIL ... 59

A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 59

(18)

C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota

Tangerang Selatan ... 63

D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 64

BAB VI PEMBAHASAN ... 67

A. Keterbatasan Penelitian ... 67

B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 68

C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 77

D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 82

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Simpulan ... 84

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(19)
[image:19.612.113.562.131.531.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa ... 28

Tabel 2 Definisi Operasional ... 45

Tabel 3 Besar Sampel ... 51

Tabel 4 Pengkodean Data ... 55

Tabel 5 Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan ... 61

Tabel 6 Merokok dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ... 63

(20)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 FaktoR Risiko Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ... 16

Bagan 2 Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ... 40

Bagan 3 Kerangka Konsep Penelitian ... 41

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa tuberkulosis paru (TB paru) merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan (Kemenkes, 2011). Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun 2008 di negara-negara anggota Association of Southest Asian Nation (ASEAN) berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk. Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010).

Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh kasus TB paru tahun 2009 di Indonesia sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TB paru baru Basil Tahan Asam positif (BTA positif) (PPTI, 2012). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).

(22)

baru penderita TB paru dan angka kematian TB paru sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Sekitar 75% penderita TB paru adalah kelompok umur yang produktif (15-50 tahun). Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika penderita TB paru meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes, 2010). Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan umur cenderung meningkat dimana umur terbanyak pada kelompok umur lebih dari 64 tahun (prevalensi=0,8%) (Riskesdas, 2013). Perbedaan hasil berdasarkan kelompok umur ini kemungkinan terjadi karena metode pengumpulan data dan sumber data. Data laporan pusat data dan surveilans epidemiologi Indonesia didapatkan dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, sedangkan data Riskesdas 2013 didapatkan dari komunitas.

(23)

15-45 tahun (37,7 %) baik pada kasus maupun kontrol, proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1% dan proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 %. Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.

Penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 berjumlah 1.411.765 jiwa, memiliki 25 Puskesmas yang seluruhnya telah melaksanakan Program TB paru Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang melayani dan menangani penderita TB. Pada tahun 2012 penderita TB paru ditemukan sebanyak 7.151 suspek TB, 1.889 pasien TB paru di obati, 841 kasus TB paru baru BTA positif dan 953 kasus TB paru BTA negatif rontgen

positif. (Dinkes Tangsel, 2013). Puskesmas Setu merupakan salah satu Puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan melaporkan bahwa TB paru BTA Positif pada tahun 2012 adalah 17 kasus (Puskesmas Setu, 2012). Proporsi kasus suspect TB paru tahun 2013 adalah 1,4% dengan kasus BTA Positif sebanyak 9,1% (Puskesmas Setu, 2013). Sedangkan proporsi kasus

suspect TB paru pada tahun 2014 mengalami penurunan kasus, yaitu sebanyak 0,8% dengan kasus BTA Positif sebanyak 8,2% (Puskesmas Setu, 2014).

(24)

akan menjadi TB paru BTA positif. Namun pada kenyataannya, penemuan kasus di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan mengalami penurunan dari 1,4% di tahun 2013 menjadi 0,8% di tahun 2014. Hal ini yang menyebabkan Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan mendapat rapot merah dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan di tahun 2014.

(25)

Faktor lain yang mempengaruhi TB adalah Indeks Masa Tubuh (IMT) (Ruswanto, 2010). Penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5.

Berdasarkan pemaparan di atas, secara umum perokok ternyata lebih sering mengalami penyakit TB paru dan kebiasaan merokok memegang peran penting sebagai faktor risiko penyebab penyakit TB paru. Sampai saat ini di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan belum ada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan TB paru. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan merokok dengan TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.

B. Rumusan Masalah

(26)

menyebabkan TB. Namun, sampai saat ini belum adanya penelitian terkait hubungan antara merokok dengan penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Sehingga, perlu dilakukan penelitian secara khusus terkait hubungan antara merokok dengan penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana proporsi merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan?

2. Bagaimana hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan?

(27)

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya proporsi merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

b. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

(28)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan Program Pengendalian TB paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

2. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi kesehatan pada masyarakat terkait faktor risiko kejadian penyakit TB.

3. Peneliti selanjutnya

Sebagai bahan referensi terkait studi Epidemiologi mengenai faktor risiko kejadian penyakit TB paru.

4. Masyarakat

(29)

F. Ruang Lingkup Penelitian

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi TB

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberkulosis) termasuk dalam family Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacteria Tuberkulosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan beberapa kompleks tersebut, Mycobacteria Tuberkulosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai (Kemenkes, 2011).

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya, namun yang paling sering terkena adalah organ paru (90%) (Suarni, 2009). Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes, 2002).

B. Etiologi TB Paru

(31)

jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).

Apabila seseorang telah terinfeksi kuman TB paru, namun belum menjadi sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB paru selama satu tahun (Suarni, 2009).

C. Cara Penularan TB Paru

(32)

droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB paru masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman TB paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).

Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberkulosis Infection

(33)

D. Gejala TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2011).

Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes, 2011).

E. Epidemiologi TB Paru

TB paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun 2008 di negara-negara anggota ASEAN berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk. Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010).

(34)

Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB paru BTA positif secara Nasional adalah 110 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Sedangkan, Kemenkes melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).

Epidemiologi penyakit TB paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium Tuberkulosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu, mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Achmadi, 2005).

(35)

keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (Machfoedz, 2008).

Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya. Epidemiologi TB paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu (Aditama, 2002):

1. Penyebaran atau penularan dari kuman TB.

2. Perkembangan dari kuman TB yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman TB.

(36)

F. Faktor Risiko TB Paru

Faktor risiko kejadian TB paru, secara ringkas digambarkan pada bagan berikut:

Bagan 1

Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru

Transmisi

Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila • Ventilasi dengan HIV:

• Kepadatan • 5-10% setiap tahun • Dalam ruangan • > 30% lifetime Faktor Perilaku

10%

Konsentrasi kuman • Keterlambatan diagnosis

Lama kontak dan pengobatan

• Malnutrisi • Tatalaksana tak memadai • Penyakit DM, • Kondisi kesehatan

Immuno-supresan

Sumber: Kemenkes, 2011

Berdasarkan bagan di atas diketahui bahwa terdapat beberapa faktor risiko kejadian TB paru, diantaranya:

1. Jumlah Kasus TB BTA +

Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan

HIV (+)

PAJANAN INFEKSI TB

(37)

dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).

2. Faktor Lingkungan

Ada beberapa faktor lingkungan yang berisiko terjadinya TB paru, di antaranya:

a. Kepadatan Hunian Rumah

(38)

dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis dalam Ruswanto, 2010).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis dalam Ruswanto, 2010).

(39)

b. Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca. Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TB. Jendela luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca (Machfoedz, 2008). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

(40)

c. Ventilasi

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 2002). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu ventilasi alam (jendela, pintu dan lubang angina) dan ventilasi buatan kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner)) (Machfoedz, 2008). Rumah yang cukup sehat sebaiknya harus mempunyai jalan masuk yang cukup. Jendela luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain (Machfoedz, 2008).

d. Suhu

(41)

ini tumbuh secara optimal pada suhu 310C-370C (Kurniasari, 2012; Ruswanto, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008) melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 lebih besar menderita sakit TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur memenuhi syarat

e. Jenis lantai

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya dan dapat menjadi media penular kuman TB. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, atau keramik (Asih, 1995).

(42)

penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.

f. Kelembaban

Pengukuran tingkat kelembaban udara dalam rumah menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Asih, 1995). Kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan mendukung kehidupan kuman TB. Apabila kelembaban tinggi dalam suatu rumah, maka kuman TB dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik sehingga menjadi mata rantai penularan TB paru (Naben, 2013).

(43)

3. Faktor Perilaku

Sebelum membahas faktor perilaku, maka akan dibahas karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu:

a. Umur

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB paru. Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang umur tua. Infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok kasus paling banyak terdapat pada kelompok umur 11-55 tahun (71,1%).

Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB paru, yaitu: 1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua

(44)

2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada perempuan.

3) Puncak sedang pada umur lanjut.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki lebih umum terkena, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Risiko TB paru terutama menyerang laki-laki. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010).

(45)

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010).

Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%.

d. Jenis Pekerjaan

(46)

dan umumnya TB paru (Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja yaitu sebesar 11,7%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 % lebih besar dari pada kelompok bukan TB paru.

Setelah mengetahui karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu, berikut adalah faktor perilaku yang menjadi faktor risiko TB paru:

a. Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV)

(47)

b. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman TB pada paru. Seperti diketahui kuman TB merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit TB (Ruswanto, 2010).

(48)
[image:48.612.139.535.114.512.2]

Tabel 1

Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa Kategori Keterangan

Underweight <18,5 kg/m2

Normal 18,5-24,9 kg/m2

Overweight 25-29,9 kg/m2

Obesitas >30kg/m2

Sumber : (IOM dan NRC, 2009)

Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:

Berat Badan (Kg)

IMT = --- Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).

(49)

kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi baik.

c. Status Imunisasi BCG

Status imunisasi BCG mempengaruhi kejadian TB. Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat, seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008). Hal ini dikarenakan bayi atau anak masih rentan terinfeksi

(50)

d. Merokok

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah gulungan tembakau kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus daun nipah atau kertas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan yang Mengadung Zat Adiktif berupa produk tembakau mendefiniskan rokok salah satu produk tembakau yang dibakar, dihisap, dan dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana rustica, Nicotiana tabacum, dan spesies lainnya (Kemenkes, 2012).

Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, karbon monoksida (CO), timah hitam dan lain-lain (Kemenkes, 2012). Berikut penjelasannya (Kemenkes, 2012):

1) Nikotin

(51)

yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya berlangsung seketika.

Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan. Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg.

(52)

2) Tar

Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Sejenis cairan berwarna coklat tua atau hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru sehingga dapat membuat warna gigi dan kuku seorang perokok menjadi coklat, begitu juga di paru-paru. Tar yang ada dalam asap rokok menyebabkan kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi.

(53)

B-limposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara ringkas tar dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).

3) Karbon Monoksida (CO)

Karbon Monoksida adalah suatu zat beracun yang sifatnya tidak berwarna dan tidak berbau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3%-6% dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen.

(54)

Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012).

4) Timah Hitam

Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari.

Perokok dapat dibagi menjadi beberapa golongan tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Berikut adalah golongan atau klasifikasi perokok yaitu (Kemenkes, 2012):

1) Tidak merokok

2) Merokok ringan (tidak setiap hari)

(55)

5) Berhenti merokok/pernah merokok.

Berikut adalah jenis perokokyaitu (Kemenkes, 2012): 1) Perokok ringan (1-10 batang perhari)

2) Perokok sedang (11-20 batang perhari) 3) Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari)

Rokok dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (CDC, 2013): 1) Rokok Kretek

Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya.

2) Rokok Putih

(56)

3) Rokok Linting atau Cerutu

Rokok linting atau cerutu dalah gulungan utuh daun tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan, yang mirip dengan rokok, salah satu ujungnya dibakar dan asapnya dihisap oleh mulut melalui ujung lainnya. Rokok ini dianggap kurang berbahaya oleh masyarakat oleh karena bentuknya kecil dan memiliki rasa yang menarik untuk anak-anak. Tetapi, cerutu ini memiliki bahaya yang sama seperti rokok. Cerutu ini dapat menimbulkan gangguan pernafasan bahkan kanker.

(57)

Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok dapat berisiko mengakibatkan penurunan aktivitas mukosiliar epitel, penurunan bersihan partikel asing oleh epital, dan abnormalitas permeabilitas vaskular, dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TB (PPTI, 2004).

Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke

(asap yang dikeluarkan dari mulut perokok). Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya. Kematian dan kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama merokok pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu ditekankan pada penderita TB (PPTI, 2004).

(58)

dibanding orang yang tidak merokok dan perokok dengan > 20 tahun 3,23 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan di India (Gambhir, 2010) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko 3,53 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok dan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok.

(59)
(60)

G. Kerangka Teori

Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat digambarkan dalam bentuk gambar kerangka teori faktor risiko kejadian penyakit TB paru. Kerangka teori dimodifikasi dari Pedoman Pengendalian TB Paru tahun 2011:

Bagan 2

Kerangka Teori Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru

Transmisi

Jumlah kasus TB BTA+ Faktor Perilaku Karakteristik Individu Faktor lingkungan: • Penyakit HIV • Umur

• Kepadatan hunian • Status gizi • Jenis kelamin • Pencahayaan alami • Imunisasi BCG • Tingkat pendidikan

• Ventilasi • Rokok • Jenis pekerjaan

• Suhu

• Jenis lantai • Status merokok • Kelembaban • Usia mulai merokok

• Jumlah rokok

• Lama rokok

• Jenis rokok

10%

Konsentrasi kuman • Keterlambatan diagnosis

Lama kontak • Malnutrisi dan pengobatan

• Tatalaksana tak memadai

• Kondisi kesehatan

Sumber: (Asih, 1995; Notoatmodjo, 2007; Eisner, 2008; Setiarini, 2008; Mahfoedz, 2008; Rusnoto, 2010; Ruswanto, 2010; Kemenkes, 2011; Kemenkes, 2012)

Imunitas Tubuh

PAJANAN (Kuman TB) INFEKSI TB

[image:60.612.126.543.168.529.2]
(61)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berikut ini adalah kerangka konsep dalam penelitian ini: Bagan 3

Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep atau kerangka pikir merupakan bagian dari kerangka teori yang akan diteliti untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang diteliti (variabel dependen) dan variabel faktornya (variabel independen) (Kemenkes, 2012). Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung sehingga harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel (Notoatmodjo, 2010).

1. IMT 2. Umur

3. Jenis kelamin 4. Tingkat pendidikan 5. Jenis pekerjaan 1. Merokok

a.Status merokok b.Usia mulai

merokok c.Jumlah rokok

yang dihisap d.Lama merokok e.Jenis rokok

Kejadian Penyakit Tuberkulosis

(62)

Variabel dependen yang akan diteliti adalah penyakit TB paru. Variabel independen yang akan diteliti adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, umur mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, IMT dan kepadatan hunian rumah. Ada beberapa variabel independen yang tidak diteliti. Adapun alasannya adalah sebagai berikut:

1. Status imunisasi BCG

Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat, seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008), namun subjek pada penelitian ini adalah responden yang berumur diatas 17 tahun dan variabel ini sulit untuk diteliti karena tidak adanya buku KMS.

2. Kelembaban

(63)

3. Ventilasi

Ventilasi adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik ventilasi tetap maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana pertukaran udara sehingga ruangan menjadi menyenangkan dan menyehatkan dan diukur dengan mengukur perbandingan luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan roll meter. Variabel ini tidak diteliti karena ventilasi rumah harus diukur langsung dan sulit dilakukan.

4. Pencahayaan alami

Pencahayaan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari matahari pagi yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin, jendela, genteng kaca, dan pintu kedalam rumah, yang diukur dengan menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00–12.00. Variabel ini tidak diteliti karena pencahayaan ruangan harus diukur langsung dan sulit dilakukan.

5. Suhu

(64)

6. Jenis lantai

Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, namun pada penelitian ini tidak diteliti, karena masyarakat di di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tidak ada lagi yang menggunakan lantai tanah.

7. Kepadatan penghuni rumah

(65)
[image:65.612.116.595.155.679.2]

B. Definisi Operasional

Tabel 2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur dan Alat Ukur

Hasil Ukur Skala

1. Kasus Penyakit TB Paru

Penderita yang dinyatakan TB paru BTA Positif oleh Puskesmas dan tercatat di formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012, 2013, 2014 dan 2015

Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01)

1. Bukan penderita TB 2. Penderita TB

paru BTA Positif

Ordinal

2. Status merokok

Pernah atau tidaknya responden menghisap rokok sebelum dan sampai terdiagnosis TB paru BTA positif.

Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. Tidak merokok 2. Pernah

merokok 3. Merokok

Ordinal

3. Usia mulai merokok

Usia responden mulai merokok

Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. > 20 tahun 2. 10-19 tahun

Ordinal

4. Jumlah rokok yang dihisap

Banyaknya batang rokok yang dihasap dalam sehari

Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. 1-12 batang 2. > 13 batang

Ordinal

5. Lama merokok Lamanya responden merokok Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. 1-15 tahun 2. > 16 tahun

Ordinal

6. Jenis rokok Jenis rokok yang dihasap responden setiap kali merokok

Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. Rokok putih 2. Rokok kretek

(66)

7. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kondisi berat badan responden dibagi dengan tinggi badan, pada saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.

Telaah dokumen Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)

1.Normal (18,5-24,9 kg/m2) 2.Kurang (< 18,5

kg/m2) 3.Lebih (> 25

kg/m2)

Ordinal

8. Umur Umur responden pada saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.

Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01)

1. > 56 tahun 2. 17-55 tahun

Ordinal

9. Jenis Kelamin Pembagian jenis seksual yang ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki atau jenis kelamin perempuan.

Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01)

1. Perempuan 2. Laki-laki

Nominal

10. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan formal terakhir yang diselesaikan oleh responden saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.

Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

1. Sekolah wajib 9 tahun 2. Tidak sekolah

wajib 9 tahun

Ordinal

11. Pekerjaan Kegiatan responden yang bertujuan untuk memperoleh

penghasilan dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga saat terdiagnosis TB paru BTA Positif. Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner 1. Bekerja 2. Tidak bekerja

(67)

C. Hipotesis

Hasil penelitian yang akan diharapkan oleh peneliti adalah:

1. Karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) berisiko terhadap kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

(68)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain kasus kontrol. Penelitian dengan disain studi kasus kontrol bertujuan untuk melihat proprorsi variabel merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kelompok kasus maupun kontrol serta melihat hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.

B. Lokasi Dan Waktu Dan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan pada bulan April-Mei tahun 2015.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

(69)

2012 sampai 2015. Adapun sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok kasus dan kontrol dimana kelompok kasus merupakan pasien yang menderita TB paru BTA positif dan berdomisili di wilayah kerja di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015, sedangkan kelompok kontrol adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien dan tidak menderita TB paru pada tahun dimana pasien telah terdiagnosa TB paru BTA positif.

Selain itu, penentuan populasi penelitian yang dapat diteliti (eligible population) adalah responden telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus diantaranya adalah:

1. Kriteria inklusi untuk kasus

a. Pasien yang menderita dan tercatat TB paru BTA positif di formulir daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan selama tahun 2012 sampai 2015.

b. Pasien berusia > 17 tahun.

(70)

2. Kriteria eksklusi untuk kasus

a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB Paru BTA negatif b. Pasien meninggal.

3. Kriteria inklusi untuk kontrol

a. Keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien dan tidak menderita TB paru jenis apapun pada tahun dimana pasien telah terdiagnosa TB paru BTA positif.

b. Pasien berusia > 17 tahun.

c. Pasien berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

4. Kriteria eksklusi untuk kontrol

a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB paru BTA negatif.

Untuk menghitung besar sampel dalam penelitian ini, rumus besar sampel yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan :

(71)

Z1-β = Kekuatan uji (0,84) P = Proporsi di populasi

P1 = Proporsi terpapar pada kelompok kasus P2 = Proporsi terpapar pada kelompok kontrol

Dari persamaan di atas dan didasarkan pada peritungan P2 dari hasil penelitian sebelumnya, nilai P1-P2 yang ditentukan sendiri oleh penulis, dimana jumlah sampel setiap variabel dengan α = 0,05, maka dapat dihitung

[image:71.612.138.532.79.472.2]

besar sampel minimal sebagai berikut : Tabel 3 Besar Sampel

No Variabel Peneliti P2 P1-P2 n

1. Status merokok Kollapan (2002) 0,63 10% 175,2

2. IMT Rusnoto (2010) 0,642 10% 130,9

(72)

dijadikan kontrol adalah anggota keluarga kasus yang berada di rumah saat penelitian dan sesuai dengan kriteria inkusi kontrol.

Bagan 4

Alur Pengambilan Sampel

Kriteria eksklusi Kriteriaeksklusi

Bersedia Bersedia

Puskesmas Setu

Kasus Kontrol

Kriteria inklusi (n= 45)

Kriteria inklusi (n= 135)

Eligible population

(n= 45)

Eligible population

(n=135)

Ya

(Respon Rate)

100%

Tidak

(NonRespon)

0%

Ya

(Respon Rate)

100%

Tidak

(NonRespon)

(73)

D. Metode dan Instrumen Pengumpulan data

(74)

E. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Semua variabel independen tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok diketahui dengan melakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner.

2. Data Sekunder

(75)

F. Pengolahan Data

Kuesioner atau lembar hasil wawancara yang telah diisi dikumpulkan kemudian diperiksa kelengkapannya, dimasukkan dan diolah dengan sistem komputerisasi menggunakan SPSS versi 16 dan Microsoft Excel 2010 dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Memeriksa kelengkapan data baik yang telah dikumpulkan melalui daftar pertanyaan pada kuisioner maupun data yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eklusi pada kelompok kasus dan kontrol saat penelitian berlangsung.

2. Pemberian Kode (Coding)

[image:75.612.143.525.163.643.2]

Pengkodean data yaitu memeriksa kuesioner dengan mengklasifikasi data dan memberi kode untuk masing-masing pertanyaan sesuai dengan tujuan pengumpulan data.

Tabel 4 Pengkodean Data

No Variabel Kode

1. Identitas responden IR

2. Riwayat TB A

3. IMT B

4. Merokok C

(76)

3. Pemasukan Data (Data Entry)

Pemasukan data yaitu memasukan data dengan bantuan komputer dengan aplikasi tertentu untuk kemudian dianalisis.

4. Pembersihan Data (Data Cleaning)

Pembersihan data yaitu membersihkan data dari kesalahan memasukkan data. Data-data yang tidak lengkap karena salah memasukkan data akan dilengkapi. Data-data yang aneh, janggal atau ekstrim akan dikeluarkan karena dikhawatirkan akan memberikan hasil yang tidak valid. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Setelah dicek kembali untuk memastikan data tersebut telah bersih dari kesalahan, maka data tersebut siap untuk ditelaah lebih lanjut.

G. Analisis Data

(77)

1. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat proporsi semua variabel yaitu status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi dari setiap variabel. Selanjutnya, hasil analisis univariat ditampilkan dalam bentuk Tabel.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat nilai Odds Rasio (OR) pada masing-masing variabel dengan kejadian TB paru. Uji OR merupakan salah satu uji yang digunakan untuk melihat besar risiko variabel independen. Variabel tersebut diantaranya adalah status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan. Selain itu analisis bivarat bertujuan untuk melihat hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel.

(78)

(OR=1) berarti tidak ada hubungan. Nilai OR lebih kecil dari 1 berarti faktor tersebut bersifat protektif (OR< 1). Sedangkan jika OR lebih dari 1 (> 1) berarti bahwa faktor tersebut merupakan faktor risiko (Meehan, 2003).

Rumus dari OR adalah:

Keterangan :

OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian TB Paru BTA positif a/b : Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang

tidak terpapar.

c/d : Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol yang tidak terpapar.

(79)

BAB V HASIL

A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

UPT Puskesmas Setu merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Wilayah kerja UPT Puskesmas Setu meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Setu dan Kelurahan Muncul dan terletak di wilayah Kelurahan Setu yang mempunyai luas wilayah kurang lebih 3.189,35 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut (Puskesmas Setu, 2013):

Utara : Kecamatan Serpong dan Puskesmas Serpong Barat : Kecamatan Cisauk dan Puskesmas Keranggan Selatan : Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Timur : Kelurahan Babakan dan Puskesmas Bhakti Jaya

(80)

kader yang dimiliki Puskesmas Setu sebanyak + 102 kader (Puskesmas Setu, 2013).

Sumber daya kesehatan yang dimiliki Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan yaitu 2 tenaga struktural, 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 10 bidan, 4 perawat, 1 perawat gigi, 1 pelaksana gizi, 1 analis kesehatan, 1 asisten apoteker, 3 administrasi, 1 supir, 4 petugas keamanan dan 2 petugas kebersihan (Puskesmas Setu, 2013).

(81)

B. Proporsi Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

[image:81.612.141.524.165.704.2]

Distribusi faktor risiko kejadian TB paru pada kasus dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 5:

Tabel 5

Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan

No Variabel Kasus Kontrol

n % n %

1. Status Merokok Tidak merokok Pernah merokok Merokok Jumlah 12 14 19 45 26,7 31,1 42,2 100,0 59 20 56 135 43,7 14,8 41,5 100,0 2. Usia Mulai Merokok

> 20tahun 10-19 tahun Jumlah 9 24 33 27,3 72,7 100,0 16 60 76 21,1 78,9 100,0 3. Jumlah Rokok yang dihisap

1-12 batang > 13 batang Jumlah 28 5 33 84,8 15,2 100,0 63 13 76 82,9 17,1 100,0 4. Lama Merokok

1-15 tahun > 16 tahun Jumlah 20 13 33 60, 6 39,4 100,0 37 39 76 48,7 51,3 100,0 5. Jenis Rokok

Putih Kretek Jumlah 16 17 33 48,5 51,5 100,0 46 30 76 60,5 39,5 100,0 6. IMT

(82)

7. Umur

> 56 tahun 17-55 tahun Jumlah 6 39 45 13,3 86,7 100,0 14 121 135 10,4 89,6 100,0 8. Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki Jumlah 26 19 45 57,8 42,2 100,0 78 57 135 57,8 42,2 100,0 9. Pendidikan Terakhir

Sekolah wajib 9 tahun Tidak sekolah wajib 9 tahun Jumlah 23 22 45 51,1 48,9 100,0 92 43 135 68,2 31,8 100,0 10. Pekerjaan

Bekerja Tidak bekerja Jumlah 21 24 45 46,7 53,3 100,0 53 82 135 40,0 60,0 100,0

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar dari kasus adalah perokok (42,2%) dengan usia mulai merokok 10-19 tahun (72,7%), rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari (84,8%), lama merokok 1-15 tahun (60,6%) dan jenis rokok yang hisap kretek (51,5%). Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan perokok.

(83)

17-55 tahun (89,6%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (68,2%) dan tidak bekerja (60%).

C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

[image:83.612.137.545.179.639.2]

Setelah mengetahui distribusi variabel merokok, selanjutnya dilakukan analisis bivariat. Hasil analisis bivariat yang menggambarkan risiko masing-masing variabel terhadap kejadian TB akan dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 6

Merokok dengan Kejadian TB Paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

No Variabel n+ Odd Ratio (OR) (95% CI) 1. Status Merokok

Tidak merokok Pernah merokok Merokok 12/59 14/20 19/56 1,00 3,44 1,69 Reference 1,37-8,66 0,742-3,35 2. Usia Mulai Merokok

> 20tahun 10-19 tahun 9/16 24/60 1,00 0,71 Reference 0,28-1,83 3. Jumlah Rokok yang dihisap

1-12 batang/hari > 13 batang/hari

28/63 5/13 1,00 1,16 Reference 0,38-3,55 4. Lama Merokok

1-15 tahun > 16 tahun

20/37 13/39 1,00 0,69 Reference 0,30-1,57 5. Jenis Rokok

(84)

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pernah merokok dengan kejadian TB paru dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa responden yang menghisap rokok rata-rata > 13 batang/hari bersiko untuk terjadinya TB paru 1,16 kali lebih besar dibanding responden yang menghisap rokok rata-rata 1-12 batang/hari, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Begitu pula dengan jenis rokok, responden yang menghisap rokok kretek bersiko untuk terjadinya TB paru 1,63 kali lebih besar dibanding responden yang menghisap rokok putih, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sedangkan usia mulai merokok dan lama merokok bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru.

D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

(85)
[image:85.612.138.554.139.485.2]

Tabel 7

Karakteristik dengan Kejadian TB Paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan

No Variabel n+ Odd Ratio OR (95% CI) 1. IMT

Normal Kurang Kegemukan 23/84 19/20 3/31 1,00 3,47 2,83 Reference 1,59-7,56 0,79-10,09 2. Umur

> 56 tahun 17-55 tahun 6/14 39/121 1,00 0,75 Reference 0,27-2,09 3. Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki 26/78 19/57 1,00 1,00 Reference 0,51-1,98 4. Pendidikan Terakhir

Sekolah wajib 9 tahun Tidak sekolah wajib 9 tahun

23/92 22/43 1,00 2,05 Reference 1,03-4,07 5. Pekerjaan

Bekerja Tidak bekerja 21/53 24/82 1,00 0,75 Reference 0,38-1,48 + : Jumlah kasus dan kontrol

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara IMT kurang dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar dibanding responden dengan IMT normal. Responden dengan IMT kegemukan bersiko untuk terjadinya TB paru 2,83 kali lebih besar dibanding responden dengan IMT normal, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

(86)
(87)

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang memiliki potensi terjadinya recall bias. Variabel yang memiliki potensi terjadinya

recall bias adalah IMT. IMT diukur dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan. Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan, beberapa responden tidak melakukan pengukuran karena kondisi kesehatan yang kurang baik, sehingga angka berat badan dan tinggi badan didapatkan berdasarkan pengakuan dari responden tanpa didukung oleh ketersediaan data sekunder hasil pemeriksaan di masa lalu. Namun diupayakan ada tambahan informasi dari orang terdekat responden seperti anak kandung, suami/istri, atau

Gambar

Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa  .............................
Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa
gambar kerangka teori faktor risiko kejadian penyakit TB paru. Kerangka
Tabel 2 Definisi Operasional
+6

Referensi

Dokumen terkait

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama IslamNegeri Tulungagung untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan

Vaksinasi adalah strategi yang dipilih pemerintah sebagai salah satu cara pengendalaian AI di Indonesia. Vaksinasi mampu menginduksi antibodi protektif terhadap virus

2016 pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk kegiatan tersebut diatas, dengan ini ditetapkan perusahaan-perusahaan dibawah ini sebagai Pemenang,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Ekspor neto, investasi asing (PMA) dan investasi dalam negeri (PMDN) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa strategi komunikasi pemasaran yang diterapkan, yakni melalui periklanan (advertising) dan personal selling (penjualan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengintegrasikan pembelajaran ka- rakter dalam mata kuliah Pronunciation me- lalui project-based learning sehingga diha-

Petani Tambak Bandeng di Desa Kedung Pandan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo serta semua pihak yang telah membantu terselesainya karya ilmiah tertulis ini yang tidak

Apabila keempat elemen tersebut dapat dilaksanakan dalam prakteknya memproduksi barang maupun jasa, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan promosi itu dilakukan