• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan

TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberkulosis). Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Seseorang dinyatakan menderita TB paru apabila sudah melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis sebanyak 3 kali pemeriksaan (SPS) di laboratorium (Kemenkes, 2013).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kasus adalah perokok (42,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa proporsi merokok pada kelompok TB paru sebesar 54,7%. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain

kasus kontrol yang menemukan bahwa sebagian besar dari penderita TB paru memiliki kebiasaan merokok (63%).

Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit TB paru. Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, CO, timah hitam dan lain-lain, yang semuanya merupakan zat kimia berbahaya bagi kesehatan (Kemenkes, 2012). Nikotin bersifat sangat adiktif dan beracun. Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik. Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya berlangsung seketika, sehingga membuat orang yang menghisapnya menjadi kecanduan. (Kemenkes, 2012).

Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan. Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg.

Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan

paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Kemenkes, 2012).

Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan sudah memiliki program penyuluhan yang dilaksakan rutin setiap bulannya di Posbindu. Posbindu adalah adalah pos pembinaan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan menjadi sarana pelayanan kesehatan dasar yang penting untuk meningkatkan kesehatan para lansia (Kemenkes, 2013). Pelayanan kesehatan yang ada di Posbindu salah satunya adalah penyuluhan. Penyuluhan disini bisa diberikan dengan beberapa cara, bisa dengan penyuluhan langsung melalui oral maupun penyuluhan dengan menggunakan media seperti poster ataupun leaflet. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.

Pada penelitian ini diketahui bahwa usia mulai merokok sebagian besar kasus adalah 10-19 tahun (72,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol

yang melaporkan bahwa usia mulai merokok kasus TB paling banyak ditemukan pada usia 15-20 tahun.

Usia 10-19 tahun merupakan masa remaja, masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial baru, dikatakan sebagai masa sulit bagi individu karena pada masa ini seseorang dituntut untuk melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk bisa mandiri. Pada masa remaja, ada sesuatu yang lain yang sama pentingnya dengan kedewasaan, yakni solidaritas kelompok dan melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok. Apabila dalam suatu kelompok remaja telah melakukan kegiatan merokok maka individu remaja merasa harus melakukannya juga. Individu remaja tersebut mulai merokok karena individu dalam kelompok remaja tersebut tidak ingin dianggap sebagai orang asing, bukan karena individu tersebut menyukai rokok (Elizabeth, 1999).

Pemberian edukasi mengenai rokok sedini mungkin sangat diperlukan bagi remaja. Pengetahuan tersebut bisa didapatkan melalui keluarga, karena keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seseorang dalam mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Selanjutnya seorang anak mulai bersekolah dimana ia akan memperoleh pendidikan secara formal dari guru/pengajar/pendidik. Oleh karena itu, sekolah merupakan lembaga yang sangat penting didalam pembentukan kepribadian anak dan menentukan mutu

anak tersebut dikemudian hari. Pengetahuan yang cukup akan mendorong seseorang untuk memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (Ruswanto, 2010).

Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan sudah memiliki program usaha kesehatan sekolah (UKS) pada setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas. UKS ini merupakan salah satu upaya preventif yang diberikan Puskesmas melalui sekolah. Salah satu kegiatan di UKS adalah konseling remaja. Pada kegiatan konseling remaja, setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan konseling dari petugas kesehatan, sehingga mendapatkan informasi mengenai kesehatan, salah satunya adalah rokok. Dengan demikian, diharapkan selalu ada kerja sama yang baik antara sekolah dengan Puskesmas, agar setiap anak mendapatkan edukasi sedini mungkin.

Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap kasus 1-12 batang perharinya (84,8%). Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan hasil Riskesdas (2013), rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia adalah 12 batang (setara satu bungkus). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa batang rokok yang dihisap paling banyak sekitar 1-10 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto (Sarwani, 2012)

dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap 10-20 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol.

Salah satu zat kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah timah hitam. Setiap satu batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar timah hitam dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari. Hal ini dapat merusak tubuh apabila dikonsumsi terus menerus. Terpaparnya timah hitam dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal (Kemenkes, 2012). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian kasus memiliki durasi merokok 1-15 tahun (60,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak > 10 tahun baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto (Sarwani, 2012) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak > 20 tahun baik pada kasus maupun kontrol.

Setelah merokok bertahun-tahun, perokok mungkin mengalami dampak buruk yang ditimbulkan dari asap rokok, misalnya keluhan perih di

mata, sesak napas dan batuk. Semakin lama durasi merokok seseorang, semakin semakin besar kemungkinan terserang penyakit. Kebiasaan merokok dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap bahan ini ternyata empat sampai lima kali lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok (Aditama, 1997). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus menghisap merokok kretek (51,5%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa jenis rokok yang dihisap paling banyak adalah rokok putih/filter baik pada kasus maupun kontrol.

Rokok kretek merupakan jenis rokok yang paling berbahaya. Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya, sehingga memberikan efek kecanduan yang lebih besar dibanding jenis rokok lainnya (CDC, 2013). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%). Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di NTB

(Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrolmelaporkan bahwa 63% dari kasus memiliki IMT kurang. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa proporsi status gizi (IMT) kurang pada kelompok TB paru 64,2 % lebih besar dari kelompok bukan TB paru.

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus pertama kali didiagnosa TB paru pada umur 17-55 tahun (86,7%). Umur pertama kali didiagnosa menjadi penting untuk mengetahui kapan biasanya penyakit mulai timbul. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan Kemenkes (2011), dimana diperkirakan 75% penderita TB adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011).

Konsistensi hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa umur pertama kali didiagnosis TB paru paling banyak responden terdapat pada kelompok umur produktif antara umur 11-55 tahun (71,1%). Kelompok umur tersebut merupakan umur dimana seseorang produktif dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila seseorang sakit akibat TB paru, hal tersebut akan berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika Penderita TB paru meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes, 2010).

Tidak merokok merupakan bagian dari perilaku hidup dan sehat (PHBS). Apabila PHBS diterapkan, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun lingkungan, maka kuman TB tidak berkembang dan hidup di lingkungan rumah. Kuman TB akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menerepkan PHBS.

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, baik dari kasus maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas (2013), distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013). Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.

Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena perempuan lebih banyak memiliki kesempatan untuk berobat ke Puskesmas. Karena berdasarkan hasil observasi, kebanyakan kasus merupakan ibu rumah. Sehingga kasus yang terlaporkan di Puskesmas paling banyak adalah perempuan.

Laki-laki lebih umum terkena TB paru, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang

menurunkan resistensi. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok, berada di luar rumah dan faktor pekerjaan sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010).

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden baik pada kelompok kasus maupun kontrol telah menempuh pendidikan 9 tahun dan status tidak bekerja. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas (2013), proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Pada hasil penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan antara variabel pendidikan terakhir dan pekerjaan responden. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar kasus adalah berjenis kelamin perempuan dan menjadi ibu rumah tangga.

C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota

Dokumen terkait