BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Landasan Teori
2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Harga Saham
Menurut Darsono dan Ashari (2005: 57) Return On Equity (ROE) merupakan rasio yang berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Untuk menghitung Return On Equity bisa menggunakan rumus sebagai berikut :
Laba Bersih
Return On Equity = X 100 %
Modal Saham
Berdasarkan contoh dari data laporan keuangan PT. Sepatu Bata, Tbk dapat dihitung analisis ROEnya yaitu:
34.577.678
Return On Equity = X 100 % = 16,64 %
207.699.572
Rasio ini menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham. Dari hasil perhitungan data laporan PT. Sepatu Bata, Tbk, diperoleh nilai ROE sebesar 0,1664 yang berarti perusahaan memberikan kembalian sebesar 16,64 persen kepada pemegang saham.
Return On Equity (ROE) mengukur efektivitas manajemen
berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan dari penjualan investasi.
Return On Equity (ROE) adalah kemampuan perusahaan
menghasilkan laba berdasarkan modal saham (Halim, 2003: 85).
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkan return yang lebih besar pada pemegang saham (Darsono dan Ashari, 2005: 57).
Dalam hal ini investor melihat seberapa jauh kemampuan perusahaan dalam mengelola modal sendiri untuk menghasilkan laba bersih. Semakin besar ROE maka semakin efisien dan efektif manajemen perusahaan sehingga minat para investor terhadap saham perusahaan semakin besar yang akan mendorong kenaikkan pada harga saham. Demikian pula sebaliknya apabila ROE rendah berarti perusahaan tidak menggunakan modalnya dengan efisien dan efektif sehingga hal ini dapat mengurangi kepercayaan investor terhadap nilai perusahaan dan kemudian berdampak pada penurunan harga saham.
Menurut Hanafi dan Halim (2003: 85), Return On Equity (ROE) dapat dirumuskan :
Laba Bersih
Return On Equity = X 100 %
Modal Saham
Teori “Arbritage Pricing Theory”
Teori “Arbritage Pricing Theory” oleh Chea, Roll dan Ross (1986) menggambarkan hubungan antara risiko dan return. Estimasi return yang diharapkan dari sekuritas tidak terlalu dipengaruhi portofolio pasar karena adanya asumsi bahwa return yang diharapkan dari suatu sekuritas bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Dengan demikian,
Arbritage Pricing Theory (APT) mengasumsikan bawa sekuritas yang
berbeda akan mempunyai sensitivitas terhadap faktor-faktor risiko sistematis yang beda pula. Masing-masing investor dapat membentuk portofolio tergantung dari preferensinya teradap risiko, pada masing-masing risiko. Dengan mengetahui harga pasar dari faktor-faktor risiko yang dianggap relevan dan sensitivitas return sekuritas terhadap perubahan pada faktor tersebut, maka investor dapat menentukan estimasi return yang diharapkan untuk berbagi sekuritas (Tandelin, 2001: 105).
2.2.5.3. Current Ratio (CR)
Menurut Darsono dan Ashari (2005: 52) Current Ratio yaitu kemampuan aktiva lancar perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar yang dimiliki. Rumus Current Ratio yang dipergunakan adalah :
Aktiva Lancar
Current Ratio =
Berdasarkan contoh dari data laporan keuangan PT. Sepatu Bata, Tbk dapat dihitung analisis CR nya yaitu :
251.649.304
Current Ratio = = 2,29 X
109.667.229
Dari hasil perhitungan data laporan PT. Sepatu Bata, Tbk diperoleh rasio lancar sebesar 2,29. Nilai ini bisa diinterpretasikan bahwa untuk setiap satu Rupiah kewajiban dijamin dengan 2,29 Rupiah aktiva lancar.
2.2.5.4. Pengaruh Current Ratio Terhadap Harga Saham
Current Ratio (CR) merupakan ukuran yang paling umum
digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek karena rasio ini menunjukkan seberapa jauh tuntutan dari kreditor jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo utang.
Semakin tinggi rasio lancar seharusnya semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek, tetapi rasio lancar yang terlalu tinggi juga menunjukkan manajemen yang buruk atas sumber likuiditas. Kelebihan dalam aktiva lancar seharusnya digunakan untuk membayar dividen, membayar hutang jangka panjang atau untuk investasi yang bisa menghasilkan tingkat return (Darsono dan Ashari, 2005: 52).
Dengan demikian current ratio digunakan untuk menganalisa
posisi modal kerja suatu perusahaan. Semakin besar perbandingan aktiva lancar dengan hutang lancar maka semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya, apabila current ratio mengalami kenaikan, maka harga saham akan mengalami kenaikan atau pengaruh positif. Demikian sebaliknya apabila current ratio turun, maka akan berpengaruh secara negatif dan ini berarti ada yang tidak benar dalam perusahaan tersebut. Jadi current ratio dapat dijadikan sebagai indikator bahan pertimbangan bagi investor dalam menilai kinerja suatu perusahaan dan hal ini akan mempengaruhi nilai suatu perusahaan yang tercermin melalui harga saham.
Menurut Riyanto(1997: 332) Current Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
Aktiva Lancar
CR =
Hutang Lancar
2.2.5.5. Devidend Payout Ratio
Dividend Payout Ratio (DPR), rasio ini menggambarkan
presentase dividen yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh pemegang saham dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Semakin
tinggi rasio akan semakin menguntungkan bagi pemegang saham karena semakin besar tingkat return atas saham yang dimiliki. Untuk menghitung Devidend Payout Ratio bisa menggunakan rumus sebagai berikut (Darsono dan Ashari, 2005 : 52) :
Dividend perLembar
Dividend Payout Ratio = X 100 %
Earning perLembar
Berdasarkan conto dari data laporan kuangan PT. Sepatu Bata, Tbk dapat dihitung analisis DPR nya yaitu :
1.305
Dividend Payout Ratio = = 49,06 %
2.660
Rasio ini menggambarkan persentase dividen kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diterima oleh perusahaan. Dari hasil perhitungan data laporan keuangan PT. Sepatu Bata, Tbk diperoleh nilai DPR sebesar 49,06 persen dari laba bersih perusahaan dibagikan sebagai deviden kas, sedangkan 50,94 persen digunakan sebagai tambahan ekuitas. Jumlah deviden yang dibayarkan pada pemegang saham ini nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menghitung berapa sebenarnya arga saham perusahaan.
2.2.5.6. Pengaruh Dividend Payout Ratio (DPR) Terhadap Harga Saham
Dividend Payout Ratio (DPR) mengukur kemampuan perusahaan
melihaht bagian earning (pendapatan ) yang dibayarkan sebagai dividen kepada investor.
Tujuan investor membeli saham perusahaan pada hakikatnya bertujuan menerima dividen dan capital gain, keduanya haruslah lebih besar atau paling tidak sama dengan return yang dikehendaki. Kebijaksanaan dividen yang dilakukan perusahaan dapat diukur dengan DPR, rasio ini merupakan indikator yang menunjukkan berapa besar dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dibandingkan dengan jumlah laba bersih yang didapat perusahaan atau menunjukkan persentase laba yang dibayarkan sebagai dividen, dengan demikian investor dapat mengetahui berapa besar dividen yang menjadi haknya.
Jadi harga saham dipengaruhi oleh seberapa jauh tujuan investor dalam menginvestasikan sahamnya pada suatu perusahaan. Jika capital
gain menjadi tujuan utama investor dalam jangka panjang maka investor
akan tertarik pada perusahaan yang memberikan capital gain yang lebih besar dari dividen, sehingga walaupun DPRnya rendah kenaikan saham masih dimungkinkan. Tetapi apabila investor mempunyai jangka pendek, maka dividen merupakan bahan pertimbangan penting dalam membeli saham mengingat capital gain yang belum pasti. Jika suatu perusahaan berani membayar tinggi dividen, maka kemingkinan saham ikut naik pula. Dan sebaliknya jika perusahaan dalam pembayaran dividennya rendah, maka penurunan harga saham bisa saja terjadi.
Menurut Hanafi dan Halim (2003: 86) Devidend Payout Ratio (DPR) dapat dirumuskan :
Dividend perLembar
Earning perLembar
Teori yang melandasi : Teori “Bird in Te Hand”
Teori “Bird in Te Hand” oleh Lintner (1962), Gordon (1963) dan Batthacharya (1979). Teori ini menjelaskan bawa investor menyukai dividen yang tinggi karena dividen yang diterima seperti burung ditangan yang resikonya lebih kecil dibandingkan dengan dividen yang tidak dibagikan.akan tetapi kenyataannya investor adalah berbeda-beda dapat berupa investor individual ataupun investor institusi. Investor individual pun berbeda-beda dalam hal umur dan golongan kelas mereka. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan preferensi mereka terhadap tingginya dividen. Investor yang lanjut usia dan penghasilannya hanya tergantung dari dividen mungkin akan lebih menyukai dividend
payout yang tinggi. Akan tetapi investor yang penghasilannya sudah
tinggi mungkin akan menyukai dividend payout yang rendah, karena jika mereka menerima dividen dan akan menginvestasikan kembali dividen ini, mereka harus mengeluarkan lagi biaya transaksi (Jogiyanto, 2000: 253).