• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi

Dalam dokumen Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan (Halaman 60-65)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi

Secara langsung, hujan dengan intensitas yang tinggi dapat berpengaruh sangat nyata akan terjadinya proses erosi tanah. Menurut Arsyad (2000), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan.

Jumlah curah hujan yang ada di PT. Austral Byna antara bulan Juli sampai September dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Curah hujan rata-rata

Stasiun Curah hujan rata-rata (mm)

Pengamatan Juli Agustus September

Sikui 22,76 13,44 51,58

Jupoi 22,83 8,67 12

Mahang 13,4 15,36 0

Berdasarkan pengamatan setiap hari hujan, diperoleh data rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Sikui antara bulan Juli sampai September adalah 22,76 mm, 13,44 mm, dan 51,58 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Jupoi antara bulan Juli sampai September adalah 22,83 mm, 8,67 mm, dan 12 mm. Rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Mahang pada bulan September adalah nol, karena tidak ditemukan sama sekali hujan selama pengamatan pada bulan tersebut. Sedangkan rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Mahang pada bulan Juli dan Agustus adalah 13,4 mm dan 15,36 mm.

Pengambilan data curah hujan dilakukan pada tiga stasiun pengamatan, antara lain stasiun pengamatan Sikui, Jupoi dan Mahang. Stasiun pengamatan Sikui mewakili basecamp Sikui, sedangkan stasiun pengamatan Jupoi dapat mewakili sungai Jupoi, RKT 2007 TPTII, dan kawasan lindung, sedangkan stasiun pengamatan curah hujan yang ada di Mahang dapat mewakili RKT 2007 dan RKT 2008 TPTI. Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa distribusi hujan yang dominan di PT. Austral Byna adalah stasiun pengamatan Sikui dan diikuti oleh Jupoi dan Mahang. Distribusi hujan yang cukup besar didaerah Jupoi mengakibatkan laju erosi di RKT 2007 TPTII menjadi yang tertinggi menurut metode tongkat, yaitu 457,31 ton/ha/tahun.

Gambar 10 Curah hujan rata-rata.

PT. Austral Byna mempunyai intensitas curah hujan yang tinggi dengan persebaran yang hampir merata sepanjang tahun, artinya tidak terjadi musim kemarau atau bulan kering yang panjang. Jumlah hari hujan rata-rata bulanan terjadi dalam bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Maka dari itu, pengukuran curah hujan yang dilakukan pada bulan Juli hingga September tidak begitu besar curah hujannya.

5.3.2. Vegetasi

Selain curah hujan, penutupan berupa vegetasi juga sangat berpengaruh terhadap laju erosi. Jenis penutupan vegetasi yang mendominasi di PT. Austral Byna adalah hutan alam dengan strata yang berlapis-lapis. Laju erosi yang berada di kawasan lindung adalah suatu contoh nyata bahwa hutan alam dapat meminimalisir laju erosi.

Saat terjadi hujan, suatu lahan yang tidak dilindungi oleh vegetasi dapat dengan sangat mudah tererosi. Menurut Rahim (2003), erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara rinci bisa dijelaskan melalui tiga tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah dan pelepasan partikel. Kedua, pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga, pengendapan tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah.

Berdasarkan hasil penelitian Holy (1980) dalam Santosa (1985) mengemukakan bahwa hutan dengan tajuk lebat, tumbuhan bawah yang baik, dan serasah yang tidak terganggu sangat mempengaruhi terjadinya aliran permukaan

0 10 20 30 40 50 60

Juli Agust us Sept ember

m m Bulan Sikui Jupoi M ahang

dan erosi. Pada keadaan hutan seperti itu aliran permukaan tidak lebih dari 10% dari total hujan dan tidak terjadi erosi.

Pada PT. Austral Byna, khususnya di RKT 2008 TPTI sedang dilakukan kegiatan pemanenan kayu. Pemanenan kayu idealnya dilakukan dengan berbagai perencanaan yang matang, dimulai dari peta pohon, perencanaan jalan sarad, dan lain-lain. Namun di PT. Austral Byna hal ini baru saja dilakukan, akibatnya lokasi yang telah dipanen memiliki keterbukaan sebesar 196,85 m²/pohon (Kurniawan, 2009). Kebalikan kondisi yang diharapkan dari hasil penelitian Holy (1980) dalam Santosa (1985) ini menyebabkan laju erosi yang sangat besar di RKT 2008 TPTI. RKT 2007 TPTI adalah blok yang telah ditinggalkan selama setahun sehingga terjadi sedikit proses suksesi dan tajuknya lebih rapat jika dibandingkan RKT 2008 TPTI.

Lain halnya dengan sistem silvikultur TPTI, sistem silvikultur TPTII memiliki 2 buah jalur yang wajib ada, yaitu jalur tanam dan jalur antara. Jalur tanam memiliki syarat bahwa sepanjang jalur tanam diharuskan bersih dari tajuk, sehingga lantai hutan dapat disinari oleh matahari penuh. Tetapi jika jalur ini terkena hujan, maka erosi yang terjadi pun akan menjadi besar. Berbeda dengan sistem silvikultur TPTI dan TPTII, kawasan lindung khususnya KPPN berfungsi sebagai kawasan yang sengaja ditinggalkan demi terjaganya plasma nutfah. Oleh karena itu kawasan lindung memiliki strata tajuk yang lengkap dibandingkan yang lain sehingga laju erosi di kawasan lindung menjadi yang terkecil.

Gambar 11 Keterbukaan areal

Gambar 11 menunjukkan keterbukaan areal hutan diberbagai lokasi. RKT 2008 TPTI memiliki keterbukaan areal terkecil kemudian diikuti RKT 2007

1353 1521 1398 1451 1250 1300 1350 1400 1450 1500 1550

RKT 2008 TPTI RKT 2007 TPTI RKT 2007 TPTII Kawasan Lindung m2

TPTII, kawasan lindung, dan RKT 2007 TPTI. Lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2008 TPTI berada dibawah tegakan yang telah ditinggalkan ± 4 bulan. Lokasi ini dinilai masih menaungi tanah cukup baik, lain halnya dengan lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2007 TPTI yang bersampingan dengan bekas jalan sarad dan padang rumput, sedangkan lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2007 TPTII memotong jalur tanam dan jalur antara.

Hasil dari analisis ini dinilai kurang mewakili karena kegiatan analisis keterbukaan hanya dilakukan tidak jauh dari jalan logging. Untuk itu dilakukan analisis keterbukaan pada peta citra landsat tahun 2008 hasilnya adalah tidak lebih dari setengah penutupan tajuk di RKT 2007 TPTI dan RKT 2007 TPTII yang terbuka. Hal ini disebabkan oleh belum adanya peta pohon saat itu, sehingga kayu tidak dapat diproduksi secara optimal akibatnya penutupan tajuk masih dapat dikatakan baik.

5.3.3. Topografi

Selain curah hujan dan vegetasi, faktor kelerengan juga sangat nyata mempengaruhi proses terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000), faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Dengan demikian, derajat kemiringan dan panjang lereng merupakan dua faktor topografi yang mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kemungkinan terjadinya erosi. Erosi tidak menjadi masalah pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah pencegahan erosi menjadi serius.

PT. Austral Byna memiliki kemiringan lereng lapangan yang cenderung landai. Areal yang memiliki kelerengan lebih besar dari 25% hanya sekitar 2861 ha atau hanya 1% dari jumlah luasan PT. Austral Byna. Namun kemiringan lereng pada RKT 2007 TPTI dinilai memiliki lereng yang besar dan panjang. Hal inilah yang menyebabkan laju erosi di RKT 2007 TPTI menjadi yang tertinggi kedua setelah RKT 2007 TPTII pada metode pengukuran erosi dengan menggunakan tongkat.

Gambar 12 Rata-rata laju erosi dilihat dari segi kelas lereng.

Gambar 12 menunjukkan rata-rata laju erosi yang dilihat dari segi kelas kelerengan yang diambil dari pengukuran metode tongkat. Dilihat dari segi kelas kelerengan, kelas lereng 8%-15% memiliki laju erosi terbesar kemudian semakin menurun pada kelas kelerengan 15% sampai diatas 40% dan laju erosi terendah adalah kelas kelerengan 0%-8%. Keragaman nilai diantara masing-masing kelas lereng disebabkan oleh panjang dan bentuk lereng pada setiap lokasi pengamatan. PT. Austral Byna banyak terdapat kelas kelerengan 8%-15%, yaitu sebesar 277,465 ha atau 96,55% dari luas PT. Austral Byna.

5.3.4. Tanah

Menurut Sjafi’i (1984), sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap permukaan erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan permukaan adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kesarangan, kapasitas lapang, tebal dan sifat horizon serta kadar air tanah.

Namun pada kegiatan di lapangan hanya beberapa sifat tanah yang diperhatikan. Lokasi pengamatan erosi di lapangan umumnya didominasi oleh jenis tanah ultisol. Jenis tanah ultisol memiliki kedalaman tanah yang efektif sedalam 180 cm dengan nilai laju erosi yang diperbolehkan sebesar 97,006 ton/ha/tahun. Melihat nilai laju erosi yang diperbolehkan pada jenis tanah podsolik cukup kecil, maka tanah ultisol di kawasan PT. Austral Byna dapat dikatakan rawan fisik atau memiliki tanah yang rawan akan erosi.

5.3.5. Manusia

1. Cara dan alat eksploitasi yang digunakan. 2. Sistem penanaman.

3. Perusakan oleh penggembalaan, pencarian kayu bakar, kebakaran, dan lain lain.

Kerusakan tanah hutan PT. Austral Byna umumnya disebabkan oleh kegiatan pemanenan kayu. Pemanenan kayu idealnya dilakukan dengan berbagai perencanaan yang matang, dimulai dari peta pohon, perencanaan jalan sarad, dan lain-lain. Peta pohon berguna dalam menentukan pohon yang sudah layak tebang, sehingga tidak terjadi kesalahan pemilihan pohon yang akan ditebang. Sedangkan perencanaan jalan sarad dibuat untuk meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan penyaradan dan memudahkan kegiatan penyaradan. Namun di PT. Austral Byna hal ini baru saja dilakukan, akibatnya lokasi yang telah dipanen memiliki keterbukaan sebesar 196,85 m²/pohon dan keterbukaan hutan di RKT 2008 TPTI akibat jalan sarad adalah sebesar 22,54 % (Kurniawan, 2009).

Penebangan pohon sangat berpengaruh nyata terhadap keterbukaan lahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Sukanda (1996), bahwa peranan faktor jumlah pohon yang ditebang berpengaruh nyata terhadap keterbukaan lahan. Semakin banyak pohon yang ditebang per satuan luas semakin luas pula keterbukaan tanah yang terjadi. Dengan demikian semakin banyak pohon yang ditebang semakin tinggi pula intensitas penyaradan yang mengakibatkan keterbukaan lahan semakin luas.

Dalam dokumen Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan (Halaman 60-65)

Dokumen terkait