• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.6. Falsafah Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba

Struktur sosial dari masyarakat Batak Toba dapat diketahui dari budaya kekerabatan. Budaya kekerabatan Batak Toba terpola dalam apa yang disebut Dalihan Na Tolu (DNT) terbentuk dari tiga kata: Dalihan = tungku, Na = yang/nan; dan Tolu = tiga. Jadi, DNT berarti tungku yang/nan tiga, yang secara tradisional biasanya digunakan untuk memasak. Tiga tungku ini menjadi simbol dari struktur sosial dalam budaya kekerabatan Batak Toba yang terdiri dari: hula-hula, boru, dan dongan tubu. Dalam arti luas, DNT merupakan struktur sosial kemasyarakatan atas dasar hubungan kekerabatan yang menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan-kegiatan kultural dan adat istiadat (Siahaan, dalam Silalahi 2012: 42). Pengelompokan berdasarkan perkawinan untuk hula-hula dan boru dan dasar keturunan kepada orang semarga (Simanjuntak, 2006:100).

Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu dapat dijelaskan sebagai berikut (Vergouwen dalam Yusrina, 2013: 293):

1. Hula-hula, secara harafiah adalah pihak pemberi isteri. Misalnya sebuah keluarga memiliki anak perempuan maka pihak perempuan itu menjadi hula-hula bagi pihak suaminya.

2. Boru, secara harafiah diartikan sebagai pihak yang menerima isteri. Misalnya sebuah keluarga memiliki anak perempuan, marga suami dari anak perempuannya itu menjadi boru bagi marga kepala keluarga tersebut.

3. Dongan tubu, secara harafiah teman yang berasal dari kandungan yang sama atau dalam arti luas disebut sebagai teman semarga. Marga merupakan satuan

kelompok yang berasal dari jalur keturunan yang sama yang berasal dari keturunan pihak ayah.

Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa seorang anggota masyarakat Batak Toba pada suatu waktu atau situasi tertentu dapat menduduki posisi sebagai hula-hula, pada kesempatan yang lain menduduki posisi boru, dan atau sebagai dongan sabutuha. Dengan kata lain, setiap keluarga suku Batak Toba pernah terlibat menduduki ketiga posisi tersebut (Sigalingging dalam Nainggolan, 2011: 37). Dalam struktur masyarakat Batak sistem kekerabatan didasarkan pada Dalihan Na Tolu (Tungku Berkaki Tiga). Sistem ini menciptakan mekanisme yang mengatur kekerabatan maupun adat istiadat yang sudah berlangsung secara turun temurun ini mengandung prinsip:

1. Somba marhula-hula

Somba marhula-hula bersikap hormat kepada marga pemberi istri, penghormatan tersebut harus selalu di tunjukan dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Secara fungsional kerabat hula-hula ibarat cahaya matahari yang diutus oleh Debata (Tuhan) melalui kekuatan tondi (roh) untuk memberi berkat.

Somba akan membawa berkat berupa kesejahteraan dan keselamatan. Jika tidak somba maka akan membawa petaka, tidak mendapat berkat dan pahala. Hula-hula merupakan pangalapan pasu-pasu,pangalapan tua (sumber pahala dan sumber berkat). Kewibawaan hula-hula tergantung pada sejauh mana pihak boru menunjukkan sikap dan perilaku somba kepadanya. Hula-hula harus menjadikan boru sebagai parhata siat (orang yang kata-katanya diterima). Boru berkepentingan untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan. (Marbun &

Hutapea, 2011; Vergouwen dalam Silalahi, 2012).

2. Elek marboru

Pihak hula-hula atau pemberi isteri harus elek marboru kepada pihak penerima istrimengandung makna sikap dan perilaku sayang tanpa pamrih, membujuk, perhatian, menghibur, merangkul, memuji, menyenangkan, dan yang terpenting adalah tidak menyakiti hatinya. Sebab jika boru telah somba marhula-hula, tetapi hula-hula tidak elek terhadap borunya, maka kewibawaan hula-hula menjadi hilang, menyiratkan bahwa secara fungsional boru berkewajiban membantu hula-hulanya dalam memberikan biaya tumpak (sumbangan), tenaga, dalam kegiatan pesta adat, yang nantinya pihak boru akan mendapatkan imbalan berupa berkat yang diberikan oleh hula-hula (Sigalingging, 2011; Silalahi, 2012).

3. Manat mardongan tubu

Pihak yang semarga harus manat satu dengan lainnya. Manat mengandung makna menjaga persaudaraan dan persahabatan dengan sesama kelompok semarga, satu kakek bersama, atau satu bapak agar tidak berseteru.

Untuk itu perlu ada sikap dan perilaku terhadap kerabat semarga dalam suka dan duka, serta mengembangkan rasa solidaritas yang kuat. Hakekat manat dalam hubungan personal di antara semarga mengisyaratkan sikap bijaksana, hati-hati, waspada, santun, dan yang lebih penting saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga perasaan. Kelompok dongan tubu atau semarga diisyaratkan agar marbagi di na otik, mardua di na godang (berbagi yang sedikit, berbagi yang banyak). Di antara orang semarga tidak baik kalau terjadi pertengkaran atau konflik atau perselisihan, diantara mereka harus sama-sama bahagia dan gembira, sama-sama makmur dan sejahtera dan diantara mereka harus satu niat satu tujuan (Silalahi, 2012: 44).

Tatanan Dahlihan Na Tolu memberikan kepastian interaksi tentang kedudukan (tohonan-posisi-jabatan), hak (sijaloon-right), dan kewajiban (sileanon-obligation), sikap dan prilaku (pangalaho-attitude), patik (hukum-law-rule), ruhut (aturan-guidance), parturena (urut-urutan-sequence), tording (batasan-boerder line), Uhum (perbuatan baik-good deeds) dan ugari (wujud perbuatan baik-form of good deeds), partuturan (sistem kekerabatan-kinship, family relationship), tarombo (silsislah-family-tree), ulaon adat (peristiwa adat-sosial gathering), tonggo raja, ria raja, rapot (forum musyawarah), dan sebagainya. Demikian tua-tua pendahulu melakukan rekayasa sosial (sosial engineering) masyarakat batak dengan rinci agar impiaannya terwujud, yaitu menciptakan keteraturan dan ketertiban (rue and order) bermasyarakat bagi keturunannya. Ketiga kelompok tersebut selalu dijumpai berinteraksi selara, seimbang, dan kokoh dengan marga sebagai perekat dan dalihan na tolu sebagai pengikat (Panggabean 2013:22).

Susunan masyarakat Batak Toba tradisional lebih memperlihatkan pelapisan sosial, bukan stratifikasi sosial (social stratification). Oleh sebab itu hubungan antara DNT lebih menunjukkan hubungan fungsional, bukan hirarkhi.

Representasi serta simbolisasi kultural dari tungku maka makna unsur hula-hula,boru, dan dongan tubu merupakan tritunggal yang mempunyai hubungan fungsional. Jadi, ketiga unsur DNT dan nilai perilaku yang semestinya dihadirkan memiliki keseimbangan yang bersifat mutlak, satu unsur didukung atau ditopang oleh dua unsur lain yang terwujud ke dalam suatu kesatuan. Dalam kehidupan ketiga DNT bermakna kerjasama seimbang, dan saling menghormati. Masing-masing memiliki posisi sosial dan melaksanakan fungsi sosial yang berbeda.

Karena itu tiga unsur DNT menciptakan harmoni kehidupan kemasyarakatan yang menghasilkan tertib sosial (social-order) dalam hubungan-hubungan sosial (social-relations) (Silalahi et.al, 2012: 53).

Jadi makna somba, elek, dan manat dalam budaya kekerabatan Batak Toba secara fungsional menunjukkan hubungan dan interaksi seimbang untuk mewujudkan harmoni kehidupan bermasyarakat. Struktur sosial dalam kekerabatan Batak Toba menunjukkan keseimbangan keseimbangan fungsional antara hula-hula dan boru juga jelas yaitu antara elek dan somba. Nilai elek diimbangi dengan nilai somba atau sebaliknya nilai somba diimbangi dengan nilai elek, sementara keseimbangan dongan sabutuha yaitu, bahwa diantara mereka harus menunjukkan perilaku manat, maka ciri yang menonjol dalam kekerabatan DNT yaitu sifatnya total, yang tidak dapat dipandang secara terpisah antara hula-hula, boru, dan dongan tubu sebagai unsur yang membentuknya. Dalam perilaku dan hubungan sosial menunjukkan keselarasan, keseimbangan, dan kerukunan dalam kekerabatan, mengajarkan hak dan kewajiban diantara ketiga unsur yang menempati posisi sentral dalam budaya kekerabatan Batak Toba (Ibid, 2012)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan dari subjek penelitian yaitu individu atau unit sosial tertentu yang dapat berupa kelompok, institusi, atau masyarakat maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu yang hasil penelitian itu memberi gambaran luas dan mendalam. Oleh karena itu penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan satu gambaran yang menjelaskan secara mendalam tentang kedudukan anak perempuan dan laki-laki dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat pada etnis Batak Toba.

Dokumen terkait