• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Pembagian Harta. Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Pembagian Harta. Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba

(Studi Kasus Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan Dalam Pembagian Warisan Berdasarkan

Norma Adat Pada Etnis Batak Toba Di Kota Medan) SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Diajukan Oleh :

HANDY RIO M SIHOMBING 110901012

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016

(2)

ABSTRAK

Berdasarkan sistem patrilineal masyarakat Batak Toba, pada prinsipnya anak laki-laki sebagai penerus silsilah marga sedangkan anak perempuan bukan sebagai penerus silsilah marga. Hal ini mempengaruhi dalam pembagian warisan, kedudukan laki-laki mempunyai hak dalam mewaris sedangkan anak perempuan tidak mempunyai hak dalam mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Semasa hidupnya anak perempuan akan mendapat pemberian pauseang yang dihubungan dengan pernikahan, namun pemberian pauseang tersebut bukan sebagai hak milik perempuan tetapi sebagai hak pakai. Pada anak laki-laki akan mendapat pemberian panjaean yang dihubungkan dengan pernikahan, selain itu anak laki- laki berhak mewarisi peninggalan orangtuanya.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat pada Etnis Batak Toba dan makna warisan pada masyarakat Batak Toba yang diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi, dan studi kepustakaan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor ajaran agama Kristen, migrasi, pendidikan, perkembangan zaman, dan faktor sosial mempengaruhi kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam warisan sehingga saat ini anak laki-laki dan perempuan dipandang mempunyai hak yang sama dalam pembagian warisan, namun warisan yang berada di tanah adat marga hanya diberikan kepada anak laki-laki sebagai hak milik sedangkan anak perempuan hanya sebagai hak pakai.

Kata kunci: Kedudukan, Batak Toba, Warisan

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan berkat dan kasih penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Kedudukan Anak Laki-Laki dan Perempuan Dalam Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba (Studi Kasus Kedudukan Anak Laki-Laki dan Perempuan Dalam Pembagian Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba di Kota Medan)”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana strata 1 dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penulisan skripsi tersebut, penulis telah banyak menerima bimbingan, nasehat,dan dukungan baik itu secara moril ataupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua saya terkasih Erwin Sihombing dan Umi Renata Manullang yang telah banyak memberikan kasih sayang, perhatian, serta doa, tetap berusaha memberikan yang terbaik, dan tidak pernah lelah memberikan dukungan moral dan materil di setiap kebutuhan penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. Demikian juga buat ketiga adik saya nico, deo dan ona yang memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

(4)

3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan ide-ide, saran, dan motivasi dalam membimbing penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini dan telah memberi masukan- masukan dalam perbaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada saya selama kuliah.

6. Drs. Muba Simanihuruk, Msi selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah penulis dapatkan selama duduk di bangku perkuliahan.

8. Ernita dan Bang Abel di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

9. Seluruh informan penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan mendapatkan kemudahan dalam penulisan skripsi.

(5)

10. Teman-teman terbaik saya sejak SMA, Muhammad Reza Azmi, Ade Ramadhana Pulungan, Roihana Azizah Nasution, Rizki Aldhila Lubis, Swingli Tarigan, Faldi Fajar, Nurul Aisyah, dan Alamsyah yang tetap setia memberikan dukungan dan memotivasi penulis agar menyelesaikan skripsi ini secepat mungkin.

11. Teman-teman Naposo, Bram Gultom, Evan Tamaro Munthe, David Tambunan, Ronald Simanjuntak, kak Amanda Napitupulu, Vani Sibarani, Daud Siahaan, Sarah, dan Parlin Febricky Gultom yang memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman Sosiologi Stambuk 2011 atas semua kebersamaan dan solidaritas yang kuat selama kuliah, terutama kepada Hendrik Siahaan, Wawan Simbolon, Victor Manalu, Nahotmaasi Sitohang, Hizbul Gultom, Wahyudi Rambe, Safrillah Nst, Samuel BSP, Angela Manihuruk, Andriyani Ambarita, Sara Purba, Silvia Purba, Ramadona, Natanael ketaren, Abdurrahman, Astra ginting, Maruli Tua, Kathy Sabrina, Ello Tarigan, Devi Sihotang, Vera, Defa Simbolon, Erawati Siagian, Carlina Abrianingsih, Antonius Lase, Ernita, Indah Lestari Hutapea, Dewi Siregar, Gretty, Rency A Saragih, Yusni Voloika Malau, Azhari Lubis, Melda Sembiring, Cristine Siregar, Siti kadhijah Damanik, Emilia Simangunsong, Firda Sitorus, Theo Pilus, Bani Rizki, M Ega Kuntara, Hezron Pardede, dan semua kawan-kawan Sosiologi yang tidak bisa saya sebut satu persatu.

(6)

13. Abang/kakak senior, adik-adik junior Departemen Sosiologi dan Keluarga Besar IMASI (Ikatan Mahasiswa Sosiologi) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

14. Teman-teman kuliah beda jurusan, Habib Nasution (Adm Perpajakan 12’), Bayu Nasution (Adm Negara 11’) dan Jop Martinus Sembiring (Antropologi Sosial 10’).

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Oktober 2015 Penulis

Nim : 110901012 Handy Rio M Sihombing

(7)

DAFTAR ISI Halaman

Abstrak ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Defenisi Konsep ... 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons ... 11

2.2. Teori Gender ... 14

2.3.Ketimpangan Dan Ketidakadilan Gender Di Masyarakat…16 2.4.Kesetaraan Dan Keadilan Gender Di Masyarakat ... 23

2.5.Masyarakat Batak Toba Di Perantauan ... 25

2.6.Falsafah Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 30

3.2. Lokasi Penelitian ... 30

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 3.3.1. Unit Analisis ... 31

(8)

3.3.2. Informan ... ... ... 31

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... ... ... 32

3.6. Interpretasi Data ... ... ... 33

3.7. Keterbatasan Penelitian ... ... ... 34

BAB.IV. DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA 4.1. Profil Kota Meda 4.1.1.Gambaran Umum Kota Medan Secara Geografis... ... 35

4.1.2.Gambaran Umum Kota Medan Secara Demografis .... ... 36

4.1.3.Sarana dan Prasarana Fasilitas Pendidikan ... ... 39

4.1.4.Profil Informan ... ... ... 42

4.2. Intepretasi Data 4.2.1 Kedudukan Anak Laki-laki Dalam Adat Batak Toba .. ... 56

4.2.2 Kedudukan Anak Perempuan Dalam Adat Batak Toba... 58

4.2.3 Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga Batak Toba di Kota Medan Saat Ini ... ... 60

4.2.4 Makna Pemberian Warisan Berdasarkan Norma Adat Batak Toba Kepada Anak Laki-laki Dan Perempuan Semasa Hidup Orangtua ... 63

4.2.5 Pemberian Warisan pada Anak Laki-laki dan Perempuan Semasa Hidup Orangtua di Kota Medan ... ... 71

4.2.6 Pembagian warisan pada masyarakat Batak Toba ... ... 75

4.2.7 Konstruksi Sosial Pada Struktur Patrilineal Masyarakat Batak Toba Dalam Pembagian Warisan ... ... ... 77

4.2.8 Kedudukan Anak Laki-Laki dan Perempuan Dalam Pembagian Warisan di Kota Medan Saat Ini ... ... 78

|

(9)

BAB.V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 88 5.1 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kota Medan Menurut Etnis/Suku ... 37

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama ... 38

Tabel 4.4 Sarana dan Fasilitas Pendidikan Kota Medan ... 39

Tabel 4.5 Penduduk Kota Medan yang Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin ... 40

Matriks Matriks 4.1 Informan Berdasarkan Nama, Jenis Kelamin, Usia, Pekerjaan, dan Agama... 56

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam kehidupan masyarakat ditemukan aturan-aturan untuk bertindak dan berprilaku yang disebut norma. Norma dapat dibedakan berdasarkan kekuatan mengikatnya di masyarakat. Ada norma yang daya ikatnya bersifat kuat, sedang, dan adapula norma yang daya ikatnya lemah. Salah satu norma yang mengikat secara kuat didalam masyarakat adalah norma adat. Norma adat adalah tata kelakuan yang telah menyatu kuat dalam pola-pola prilaku sebuah masyarakat.

Pada umumnya pada kelompok masyarakat atau suku memiliki norma adat yang berbeda-beda. Norma adat berisi perintah dan larangan. Anggota masyarakat yang melanggar norma ini akan mendapat sanksi adat yang berlaku. (Herimanto dan Winarno: 2010)

Norma adat diantaranya mengikat mengenai sistem pembagian warisan.

Sistem pembagian warisan berdasarkan norma adat merupakan salah satu sistem pembagian warisan yang ada di Indonesia yang sangat beraneka ragam dan memiliki ciri khas, dimana masyarakat adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan masyarakat adat menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan garis keturunan (genealogis), dan berdasarkan lingkungan daerah (territorial), kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut (geneologis territorial). (Soerjono Soekamto, 2001).

Berdasarkan norma adat di Indonesia dikenal ada tiga sistem pewarisan, meliputi:

(12)

a) Sistem pewarisan individual yang merupakan sistem pewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain).

b) Sistem pewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat di bagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris (Minangkabau).

c) Sistem pewarisan mayorat:

I. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.

II. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di Tanah Semendo. (Soerjono Soekanto,2001)

Sistem pembagian warisan berdasarkan norma adat tidak terlepas dari susunan sistem kekerabatan masyarakat di Indonesia. Sistem kekerabatan masyarakat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok sistem kekerabatan yaitu :

1. Sistem kekerabatan menurut garis laki-laki (patrilineal) – menarik garis keturunan dari laki-laki (bapak), sistem penarikan garis keturunan atau hubungan kekerabatan dari pihak ayah masuk dalam hubungan kekerabatan, hal ini terdapat dalam masyarakat adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon, dll.

2. Sistem kekerabatan menurut garis perempuan (matrilineal) – menarik garis keturunan dari perempuan (ibu), sistem penarikan garis keturunan

(13)

atau hubungan kekerabatan dari pihak ibu masuk dalam kekerabatan, hal ini terdapat dalam masyarakat adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo, dll.

3. Sistem kekerabatan menurut garis ibu dan bapak (parental/bilateral) – menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun garis perempuan dimana dalam hal ini hubungan kekerabatan dari pihak ibu dan ayah tidak dibedakan, hal ini terdapat dalam masyarakat adat orang Bugis, orang Dayak di Kalimantan, orang Jawa, dll. (Otje Salman Soemadiningrat, 2002: 45-46).

Seiring perubahan waktu, perkembangan pola pikir masyarakat juga terjadi. Sistem ini sering menimbulkan konflik di kalangan masyarakat adat, dimana pandangan bahwa garis keturunan mempengaruhi dalam pembagian warisan, kondisi ini dilihat pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal maupun matrilineal, seperti yang dialami masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, disatu sisi garis keturunan diambil dari pihak laki-laki, perlakuan dalam pembagian warisan anak laki-laki menguasai atas warisan orangtuanya daripada anak perempuan, sama halnya dengan sistem kekerabatan matrilineal, yaitu di satu sisi garis keturunan diambil dari pihak perempuan, perlakuan dalam pembagian warisan anak perempuan menguasai harta warisan orang tuanya daripada anak laki-laki.

Terjadi perubahan dalam masyarakat didukung oleh adanya modernisasi yang merupakan perubahan berupa perkembangan dalam pembangunan ke arah modern atau ke arah yang lebih maju atau positif mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, dengan adanya pergeseran

(14)

pandangan mengenai garis keturunan dalam pembagian warisan dimana terjadi persamaan hak anak laki-laki dan perempuan atas harta warisan. Perubahan didukung oleh faktor agama, dimana agama mengajarkan suatu perasaan yang menganggap derajat manusia adalah sama. Berdasarkan hal ini posisi laki-laki dengan perempuan adalah sama. Faktor utama pendukung perubahan adalah tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Pendidikan dapat berpengaruh untuk memperluas ilmu pengetahuan, serta ilmu pengetahuan telah secara sadar ingin menambah dorongan masyarakat ke arah perubahan yang lebih baik.

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia di mana aturan, kebiasaan, cara, nilai, budaya, norma, dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kegiatan yang diatur dalam budaya dan adat istiadat.

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal), dari garis keturunan ayah sa ama tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga merupakan identitas kelompok kekerabatan yang turun- temurun yang dimulai dari satu kakek sa ompung yang terikat dalam pertalian darah.(Bangun dalam Koentjaraningrat, 2007)

Fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam struktur kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak Toba dalam pembagian warisan pada kenyataannya membedakan hak atas warisan antara anak laki-laki dan perempuan. Ada perumpamaan (umpasa) masyarakat Batak Toba dompak marmeme anak dompak marmeme boru yang artinya bahwa anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dan sama-sama mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Ungkapan dalam umpasa tersebut merupakan sebagai pembelaan dalam perlakuan yang adil

(15)

kepada anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi dalam hal pewarisan arti adil tadi tidak sama antara anak laki-laki dan perempuan.

Semasa hidupnya orangtua memberikan pemberian warisan pada anak laki-laki dan perempuan pada saat menikah. Pemberian warisan kepada anak laki- laki dengan istilah panjaean yang diberikan berupa tanah berbentuk sawah atau ladang, pemberian ini menjadi hak milik anak laki-laki setelah orangtuanya meninggal. Sedangkan saat anak perempuan menikah mendapat pemberian warisan dengan istilah pauseang yang bentuknya sawah, tetapi pemberian sawah tersebut hanya sebagai hak pakai sepanjang hidup anak perempuan bukan sebagai hak milik. Pemberian pauseang merupakan bagian warisan dari peninggalan orangtua pada anak perempuan, tetapi pemberian pauseang tersebut akan dikembalikan kepada saudara laki-laki dari anak perempuan, atau saudara laki- laki dari ayahnya apabila anak perempuan meninggal dengan tidak mempunyai keturunan, atau bercerai dari suaminya.

Selain harta warisan pauseang, anak perempuan juga menerima harta pemberian dari orang tuanya, terdapat beberapa jenis pemberian harta warisan kepada anak perempuan antara lain:

1. Indahan Arian, yaitu pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya apabila anak perempuan tersebut sudah mempunyai anak. Sawah itu adalah untuk indahan arihan (nasi siang) bagi cucunya. Pemberian ini akan di kembalikan jika anak perempuan tidak mempunyai anak laki-laki.

2. Batu Ni Assimun, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak yaitu berupa hewan

(16)

peliharaan dan emas. Maksudnya disini adalah pemberian yang seolah-olah sebagai hadiah kepada cucunya.

3. Don-don Tua, yaitu pemberian seorang ayah kepada anak perempuannya yang telah melahirkan anak berupa sebidang sawah kepada cucunya yang paling besar dan cucunya boleh menerima setelah kakek meninggal dunia.

4. Hauma Punsu tali, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya. Harta pemberian ini adalah pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh si perempuan itu apabila ayahnya sudah meninggal dunia.

5. Ulos Na So Buruk, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya. Harta pemberian ini sebagai modal pertama saat anak perempuannya mulai berumah tangga. (Tiorista, 2008)

Namun saat ini ada kecendrungan terjadi perubahan bentuk pemberian harta warisan pada anak laki dan perempuan di masyarakat Batak Toba yang berada di perkotaan, pemberian warisan tidak lagi berbentuk sawah hal ini dikarenakan kehidupan perkotaan yang bergerak pada bidang industri sehingga digantikan dengan rumah, toko, perusahaan industri, kendaraan bermotor, perhiasan/emas dan tabungan/deposito. Pemberian warisan seperti ini ditemukan pada masyarakat perkotaan, dimana penduduk menekuni kegiatan ekonomi luar- pertanian.

Kota Medan merupakan kota metropolitan, dimana perkembangan masyarakat lebih maju dalam pola pikir, ekonomi, politik, budaya, yang mempengaruhi pandangan masyarakat perkotaan. Dalam hal pembagian warisan

(17)

masih terdapat perbedaan antara kedudukan anak perempuan dan laki-laki, dimana anak perempuan mendapat pemberian warisan dalam pauseang sebagai hak pakai, sedangkan laki-laki mendapat pemberian warisan panjaean sebagai hak milik atas warisan yang diterimanya. Selain itu, pada masyarakat Batak Toba hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi harta peninggalan orangtuanya sedangkan anak perempuan tidak mempunyai hak dalam warisan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian menyangkut keadaaan dan perkembangan Kedudukan Anak Laki-laki Dan Perempuan dalam Pembagian Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba di Wilayah Kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Kedudukan Anak Laki-laki Dan Anak Perempuan Dalam Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Norma Adat Pada Etnis Batak Toba Di Kota Medan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini untuk mengetahui perkembagan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat pada etnis Batak Toba di Kota Medan.

(18)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bagi peneliti maupun bagi orang lain. Khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti tentang bagaimana kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat pada masyarakat Batak Toba.

b) Memberikan manfaat sebagai bahan referensi mahasiswa untuk penelitian yang lebih luas, dalam rangka pengembangan konsep- konsep, teori-teori penulisan, dan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan sosiologi.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan menjadi sumbangan pemikiran terhadap masyarakat Batak Toba untuk memberikan tambahan wawasan serta menjadi referensi dan informasi berkaitan dengan kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat Batak Toba.

1.5 Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, konsep diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan

(19)

ide maupun gagasan untuk mengetahui penjelasan, maksud dan pengertian.

Defenisi Konsep yang digunakan sebagai konteks penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Gender merupakan perbedaan status, sifat, peran, maupun tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya dalam masyarakat.

2. Harta waris adalah semua harta benda (kekayaan) yang di tinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris) baik harta benda tersebut sudah dibagi atau belum dibagi yang akan berpindah tangan kepada anak laki- laki dan perempuan.

3. Harta panjaean dan pauseang merupakan pemberian warisan semasa hidup orang tua kepada anak laki-laki (panjaean) dan perempuan (pauseang) sewaktu menikah sebagai modal awal dalam berumah tangga.

4. Kedudukan yaitu posisi dan tempat seseorang untuk bersikap dan berbuat dalam peranan suatu susunan masyarakat menurut ketentuan norma adat yang berlaku.

5. Norma adat masyarakat Batak Toba adalah aturan yang tidak tertulis tetapi kuat di patuhi dan di yakini, dimana Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia di mana aturan, kebiasaan, cara, nilai, budaya, norma, dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kegiatan yang diatur dalam budaya dan adat istiadat.

6. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang berasal dari wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya sekitar wilayah Danau Toba yang memiliki nilai kebudayaan dan adat istiadat yang khas. Dalam masyarakat

(20)

Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami sebagai berikut :

a) Sub suku Batak Toba berdiam di kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Porsea, Parsoburan, Sigumpar, Serta Ajibata dan sekitarnya; contoh: marga Sitorus, Marpaung, Tampubolon, Silaen, Simanjuntak, Simangungsong, Napitupulu, Pardede.

b) Sub suku Batak Samosir berdiam di kabupaten Samosir yang wilayahnya meliputi Tele, Baneara, Pulau Samosir, dan sekitarnya;

contoh marga: Simbolon, Sagala, Sinaga, Malau.

c) Sub suku Batak Humbang berdiam di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara bagian utara yang wilayahnya meliputi Dolok Sanggul, Siborongborong, Lintongnihuta, serta Parlilitan; contoh:

marga Simatupang, Togatorop, Siburian, Sihombing Lumban Toruan, Silaban, Nababan, Hutasoit.

d) Sub suku Batak Silindung berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Pahae, dan sekitarnya;

contoh: marga Naipospos Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Marbun, Situmeang, Hutagalung, Hutabarat, Hutapea, Panggabean.

Dalam penelitian ini masyarakat Batak Toba yang dimaksud adalah masyarakat Batak Toba yang berasal dari kabupaten Tobasa yang tinggal di Kota Medan.

7. Tambak merupakan tempat kuburan keluarga pada masyarakat Batak Toba yang memiliki anak laki-laki dan perempuan sedangkan bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki maka tidak bisa dikuburkan di tambak keluarga.

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi.

Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons” (Megawangi dalam Marzuki 2007: 3).

Keluarga merupakan sub sistem dari masyarakat yang memiliki struktur sosial dan sistemnya sendiri. Prasyarat dalam struktural-fungsional menjadikan suatu keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga. Levy dalam Megawangi menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi yaitu: (1) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/ tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) Alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku (Puspitawati, 2013: 7).

(22)

Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi dalam Marzuki, 2007:

5).

Karakteristik dari struktur sosial adalah adanya ketidaksamaan atau keragaman antar bagian. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya secara bertingkat (hierarkis). Setiap lapisan disebut strata sosial yang di diferensiasikan ke dalam pengkelasan/penggolongan/pembagian masyarakat dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, gender, dsb (Sambas, 2011).

Keberagaman struktur dan fungsi masyarakat ditandai dengan dua hal yaitu: kedudukan (status) dan peranan (role). Masyarakat pada umumnya memperkembangkan tiga macam kedudukan yaitu: pertama, ascribed status yaitu status/kedudukan yang diperoleh secara otomatis melalui kelahiran misalnya, jenis kelamin, umur, ras. Kedua, achieved status yaitu status/kedudukan yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja dan merupakan perjuangannya sendiri misalnya, harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan. Ketiga, assigned status yaitu status/kedudukan yang diberikan kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat sehingga masyarakat memberikan penghargaan kepadanya, misalnya, pejuang atau pahlawan (Rohman, 2013:5).

(23)

Peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat yang diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Moeis, 2008: 14).

Dalam teori struktural-fungsional, kedudukan dan peranan masing-masing anggota keluarga memiliki fungsi yang berbeda. Kedudukan ayah/suami sebagai kepala keluarga yang memiliki kewenangan dalam keputusan-keputusan keluarga.

Peran tanggungjawab terhadap ekonomi keluarga berada di tangan ayah/suami (instrumental), sementara peran ibu/istri bertanggung jawab secara domestik mengurus rumah tangga (ekspresif) (Widaningsih, 2014: 2).

Selanjutnya perbedaan dalam struktur keluarga ditentukan umur dan jenis kelamin (gender) anggota keluarga. Dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, untuk masyarakat tertentu, ada keistimewaan seorang anak (laki-laki dan perempuan/

atau sulung/bungsu). Selanjutnya jenis kelamin (gender), dalam struktur keluarga, dimana sistem pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan kecenderungan bahwa laki-laki berhak mewarisi lebih dari perempuan, maupun sebaliknya. Hal ini terkait dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana perbedaan usia dan jenis kelamin mendapat prioritas dalam pewarisan atau kekuasaan (Moeis, 2008; Widanigsih, 2014).

(24)

Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban akan tercipta kalau ada struktur dalam keluarga, dimana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai dan norma yang melandasi struktur tersebut.Harmoni dan stabilitas dalam keluarga, menurut teori fungsional stuktural sangat ditentukan oleh efektifitas konsensus nilai dan norma yang diikuti sebagai pedoman dalam bersikap, berprilaku, dan bertindak. Sistem ini senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan (equilibrium) (Aisyah 2013; Sibarani, 2012).

2.2 Teori Gender

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum kaum perempuan dan laki-laki adalah membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Gender sebagaimana yang dituturkan oleh Oakley yaitu, Sex, Gender and Society berarti adalah perbedaan prilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial (socially constructed), yakni bukan kodrat atau ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender (Fakih, 2004).

(25)

Gender adalah suatu bangunan konstruksi sosial yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga atau masyarakat yang terbentuk melalui proses sosialisasi. Kata gender sering dikaitkan sebagai kelompok laki- laki atau kelompok perempuan yang dibentuk bukan oleh karena perbedaan biologis manusia tetapi karena konstruksi sosial. Gender juga sering diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peran, fungsi, tugas, status dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dan dikonstruksikan oleh masyarakat yang disepakati dalam masyarakat serta dapat berubah sesuai dengan zamannya (Agustino, 2007: 227-228).

Dari defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah merupakan suatu konsep yang digunakan untuk memahami perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya dalam kedudukan, fungsi, dan peranan pada masyarakat.Edward Wilson dalam (Sasongko, 2009: 17) membagi beberapa teori tentang gender yaitu :

a) Teori Nurture

Adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b) Teori Nature

Adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini

(26)

memberikan indikasi bahwa diantara dua jenis tersebut memiliki peran kodrat dan tugas yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing.

c) Teori Equilibrium

Terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Hakikatnya, untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada perempuan dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya (Puspitawati,2013: 10).

2.3 Ketimpangan Dan Ketidakadilan Gender Di Masyarakat

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan

(27)

gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih,2008: 12).

Sementara itu menurut Ritzer dan Goodman (2010: 420), ada empat tema yang menandai teori ketimpangan gender. Pertama, laki-laki dan perempuan diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang.

Secara spesifik, perempun memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada yang diperoleh laki-laki yang membagi-bagi posisi sosial mereka berdasarkan kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau berdasarkan faktor sosial penting lainnya. Kedua, ketimpangan gender berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian penting antara laki- laki dan perempuan. Ketiga, meski manusia secara individual memiliki perbedaan ciri dan karakter satu sama lain, namun tidak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pengakuan akan ketimpangan gender berarti secara langsung menyatakan bahwa perempuan secara situasional kurang berkuasa dibanding laki-laki untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama laki-laki dalam rangka pengaktualisasian diri. Keempat, semua ketimpangan gender menganggap laki- laki maupun perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang semakin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara ilmiah. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan akan adanya peluang untuk mengubah situasi.

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun dalam kegiatan pembangunan di

(28)

segala bidang. Tetapi karena adanya konsep perbedaan gender yang masih demikian kuatnya dalam pandangan masyarakat, mengakibatkan adanya perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki di sektor publik yaitu sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan ditempatkan di sektor domestik yaitu sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga (Malau, 2014: 127).

Berbagai persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan). Masyarakat seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan), relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan (Widaningsih, 2014: 2).

Anggapan-anggapan budaya memberikan peran lebih luas kepada laki-laki memperoleh status lebih tinggi dari perempun dalam struktur sosial sehingga relasi gender menjadi tidak setara atau timpang dan menimbulkan persoalan bias gender. Bias gender adalah padangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga,

(29)

masyarakat bahkan negara. Persoalan bias gender inilah yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, tindak kekerasan, dan beban ganda terhadap perempuan (Aisyah, 2013:

9-10).

Ketimpangan dan ketidakadilan gender berkaitan dengan permasalahan sosial harus dihilangkan dan diupayakan adanya kesetaraan (equity) dan keadilan (equality) gender. Kesetaraan yang berkeadilan gender adalah kondisi yang dinamis tanpa diskriminasi, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan menghargai serta membantu di berbagai sektor kehidupan (Mufidah Ch, 2012).

2.4 Kesetaraan Dan Keadilan Gender Di Masyarakat

Kemitraan gender dalam pembagian peran keluarga diwujudkan melalui kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri serta anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan dalam melakukan semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik peran publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan. Kemitraan dalam pembagian peran suami dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, terbentuknya rasa saling ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati, dan terselenggaranya kehidupan keluarga yang stabil, harmonis, teratur yang menggambarkan adanya ’good governance’ di tingkat keluarga (Puspitawati, 2013: 5-6).

Perubahan global dan trend industrialisasi telah menyebabkan transformasi pada institusi sosial, komunitas dan nilai dan norma di masyarakat. Pada akhirnya

(30)

memberikan tekanan, secara sosial, ekonomi, pada tingkatan individu, keluarga, dan masyarakat. Perkembangan ekonomi dan teknologi juga membawa pengaruh pada pergeseran nilai-nilai individu dan keluarga, baik yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup, nilai-nilai keluarga maupun nilai-nilai kebersamaan, termasuk pergeseran peran gender antara laki-laki dan perempuan (Ibid, 2013: 4).

Pergeseran nilai-nilai individu tercermin dari kesadaran bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan adalah sama (equal) meskipun secara biologis memiliki perbedaan. Pergeseran nilai-nilai individu juga tercermin dari persamaan tingkatan nilai antara anak laki-laki dan anak perempuan. Pergeseran nilai-nilai atau norma masyarakat tercermin dari adanya kemitraan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan dan bahwa laki-laki (suami) tidak satu-satunya aktor yang bertanggung jawab pada pekerjaan publik namun sudah menjadi tanggung jawab bersama dengan perempuan (istri). Pergeseran nilai keluarga tercermin dari meningkatnya kemitraan gender (gender partnership) dalam menjalankan fungsi ekonomi keluarga yang ditunjukkan dengan saling dukungan dalam generating income keluarga (Ibid, 2013: 5).

Gender yang mengedepankan kemitraan dalam keluarga yang didasari atas rasa trust, kasih sayang, dan komitment. Gender menempatkan agama, adat, budaya dan norma sebagai panduan yang membatasi (boundary, frame) semua ruang lingkup gender, untuk menyeimbangkan keharmonisan individu, keluarga dan masyarakat. Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam mengkombinasikan gender dan keluarga adalah melalui pendekatan fungsi keluarga dengan kemitraan gender yang harmonis. Pendekatan ini bertujuan untuk mengakomodasi keinginan individu yang beragam dalam keluarga untuk menuju tujuan bersama keluarga.

(31)

Agama

Adat Norma

Budaya

Kemitraan gender yang harmonis dilakukan bersama antara suami, istri dan anak- anaknya dengan semangat mencapai tujuan bersama dan tanggung jawab bersama (Puspitawati, 2015: 12-15).

Sumber: Pentingnya Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender

Pendekatan teoritis yang mampu untuk menjadikan keluarga bertahan di jaman modern ini adalah dengan mengkombinasikan gender dan keluarga.

Mewujudkan keluarga responsif gender dengan menjunjung tinggi upaya pentingnya keadilan dan kesetaraan gender bagi seluruh anggota keluarga termasuk mendidik keluarga agar responsif gender sehingga dapat bertahan hidup di jaman modern ini dengan kegiatan sebagai berikut:

1. Berkaitan dengan proses pemenuhan kebutuhan biologis dan non-biologis.

2. Berkaitan dengan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat terhadap sumberdaya keluarga.

3. Berkaitan dengan kemitraan gender (gender partnerships) untuk menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan keluarga.

4. Menghindari bias gender dengan segala bentuk diskriminasi, stereotype, marginalisasi, subordinasi, tindak kekerasan, dan beban ganda dalam keluarga (Ibid, 2015: 16).

Tawney (dalam Widaningsih, 2014: 6) mengakui adanya keragaman pada manusia, dalam biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan,

Gender

(32)

cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut person-regarding equality. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut kesetaraan kontekstual. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.

Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing- masing individu. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai (Ibid, 2014: 6).

2.5 Masyarakat Batak Toba Di Perantauan

Secara geografis-kultural komunitas Batak. Toba terbagi dalam empat wilayah yaitu, (1) Silindung meliputi daerah Sipoholon, Tarutung, Huta Barat, Pahae, Pansur Batu, Adian Koting, (2) Humbang meliputi daerah dataran tinggi Siborong-borong, Dolok Sanggul, (3) Samosir meliputi daerah Ambarita, Pangururan, Tele, (4) Toba meliputi daerah-daerah di tepian danau Toba seperti Porsea, Balige, Laguboti, Sigumpar. Keempat wilayah ini dikalangan masyarakat

(33)

Batak Toba disebut sebagai Bonapasogit (kampung asal atau kampung halaman).

Dari Bonapasogit inilah komunitas Batak Toba merantau ke berbagai daerah di Indonesia (Purba dalam Tambunan, 2007: 1).

Menurut Naim (dalam Yusrina, 2013: 294) rantau adalah kata benda yang berarti daratan rendah atau aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat pesisir. Jika diberi awalan “pe”, berarti orang yang pergi “merantau”, sedangkan “merantau”

berarti pergi ke rantau. Merantau dapat diartikan buat seorang yang pergi keluar dari daerah kebudayaannya untuk jangka waktu yang lama atau tidak, bertujuan untuk mencari pengalaman untuk penghidupan dengan maksud kembali pulang (Ibid, 2013: 5). Namun jika dipandang dari sudut sosiologis, istilah merantau sedikitnya mengandung enam unsur (Ibid, 2013: 5) yaitu: (1) Meninggalkan kampung halaman, (2) Dengan kemauan sendiri, (3) Untuk jangka waktu yang lama atau tidak, (4) Dengan tujuan mencari penghidupan, pengalaman, atau menuntut ilmu, (5) Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan (6) Merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.

Naim (Ibid, 2013: 294) mengatakan, sifat merantau bagi orang Batak yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal, mengadakan migrasi fisik dengan suatu misi. Misi tersebut adalah meluaskan wilayah mereka yang berada di perantauan.

Orang Batak dalam bermigrasi mempunyai motto yaitu carilah anak dan carilah tanah (halului anak, halului tano). Sedangkan Vergouwen (dalam Yusrina, 2013:

5), mengatakan bahwa misi migrasi orang Batak adalah perluasan teritorial.

Mereka menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari “harajaon”

(kerajaannya). Selain itu Sulistyowati (dalam Hutagaol, 2013: 5) mengatakan aktivitas merantau suku Batak juga didorong oleh adanya motif ekonomi untuk

(34)

mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Hal ini terutama didorong oleh berhasilnya sejumlah perantau yang lebih dulu di daerah asing. Selanjutnya, faktor untuk melanjutkan pendidikan sangat mempengaruhi perantauan suku Batak untuk merantau keluar pulau Sumatera

Masyarakat Batak Toba umumnya tetap terikat dengan adat budaya sukunya dimana pun mereka berada. Sekalipun di daerah rantau, suku Batak berusaha untuk mempertahankan identitas sukunya dengan mendirikan perhimpunan semarga, atau sekampung. Perhimpunan ini dalam bahasa Batak disebut punguan (perkumpulan). Punguan sebagai tempat silahturahmi bagi masyarakat Batak dengan tujuan melestarikan budaya Batak Toba dengan menjalin hubungan kekerabatan serta saling menolong di daerah perantauan (Vergouwen dalam Sitorus, 2013: 2).

Sulistyowati (dalam Hutagaol, 2013: 5) mengatakan banyaknya orang Batak yang telah berpindah dari kampung halamannya di kawasan Danau Toba ke tempat perantauan, baik di desa maupun di kota di berbagai tempat di belahan dunia dan telah banyak berinteraksi dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia ternyata membawa banyak pengaruh, sehingga menyebabkan perubahan dari implementasi nilai-nilai utama. Siahaan (dalam Silalahi, 2012: 6) mengatakan bahwa berbagai pengaruh yang berlangsung bertahun-tahun telah menjadikan akulturasi dalam budaya Batak seperti bahasa, dialek, pakaian adat, nilai anak (termasuk nilai anak laki-laki dan perempuan). Namun demikian ada nilai inti (core values) yang tetap baku dan berlaku bagi seluruh sub suku Batak di wilayah dimanapun ia berada, yaitu adat DalihanNa Tolu, dimana adat ini dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan ke dalam suatu kesatuan sosial.

(35)

2.6 Falsafah Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak Toba

Struktur sosial dari masyarakat Batak Toba dapat diketahui dari budaya kekerabatan. Budaya kekerabatan Batak Toba terpola dalam apa yang disebut Dalihan Na Tolu (DNT) terbentuk dari tiga kata: Dalihan = tungku, Na = yang/nan; dan Tolu = tiga. Jadi, DNT berarti tungku yang/nan tiga, yang secara tradisional biasanya digunakan untuk memasak. Tiga tungku ini menjadi simbol dari struktur sosial dalam budaya kekerabatan Batak Toba yang terdiri dari: hula-hula, boru, dan dongan tubu. Dalam arti luas, DNT merupakan struktur sosial kemasyarakatan atas dasar hubungan kekerabatan yang menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan-kegiatan kultural dan adat istiadat (Siahaan, dalam Silalahi 2012: 42). Pengelompokan berdasarkan perkawinan untuk hula-hula dan boru dan dasar keturunan kepada orang semarga (Simanjuntak, 2006:100).

Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu dapat dijelaskan sebagai berikut (Vergouwen dalam Yusrina, 2013: 293):

1. Hula-hula, secara harafiah adalah pihak pemberi isteri. Misalnya sebuah keluarga memiliki anak perempuan maka pihak perempuan itu menjadi hula- hula bagi pihak suaminya.

2. Boru, secara harafiah diartikan sebagai pihak yang menerima isteri. Misalnya sebuah keluarga memiliki anak perempuan, marga suami dari anak perempuannya itu menjadi boru bagi marga kepala keluarga tersebut.

3. Dongan tubu, secara harafiah teman yang berasal dari kandungan yang sama atau dalam arti luas disebut sebagai teman semarga. Marga merupakan satuan

(36)

kelompok yang berasal dari jalur keturunan yang sama yang berasal dari keturunan pihak ayah.

Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa seorang anggota masyarakat Batak Toba pada suatu waktu atau situasi tertentu dapat menduduki posisi sebagai hula-hula, pada kesempatan yang lain menduduki posisi boru, dan atau sebagai dongan sabutuha. Dengan kata lain, setiap keluarga suku Batak Toba pernah terlibat menduduki ketiga posisi tersebut (Sigalingging dalam Nainggolan, 2011: 37). Dalam struktur masyarakat Batak sistem kekerabatan didasarkan pada Dalihan Na Tolu (Tungku Berkaki Tiga). Sistem ini menciptakan mekanisme yang mengatur kekerabatan maupun adat istiadat yang sudah berlangsung secara turun temurun ini mengandung prinsip:

1. Somba marhula-hula

Somba marhula-hula bersikap hormat kepada marga pemberi istri, penghormatan tersebut harus selalu di tunjukan dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Secara fungsional kerabat hula-hula ibarat cahaya matahari yang diutus oleh Debata (Tuhan) melalui kekuatan tondi (roh) untuk memberi berkat.

Somba akan membawa berkat berupa kesejahteraan dan keselamatan. Jika tidak somba maka akan membawa petaka, tidak mendapat berkat dan pahala. Hula-hula merupakan pangalapan pasu-pasu,pangalapan tua (sumber pahala dan sumber berkat). Kewibawaan hula-hula tergantung pada sejauh mana pihak boru menunjukkan sikap dan perilaku somba kepadanya. Hula-hula harus menjadikan boru sebagai parhata siat (orang yang kata-katanya diterima). Boru berkepentingan untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan. (Marbun &

Hutapea, 2011; Vergouwen dalam Silalahi, 2012).

(37)

2. Elek marboru

Pihak hula-hula atau pemberi isteri harus elek marboru kepada pihak penerima istrimengandung makna sikap dan perilaku sayang tanpa pamrih, membujuk, perhatian, menghibur, merangkul, memuji, menyenangkan, dan yang terpenting adalah tidak menyakiti hatinya. Sebab jika boru telah somba marhula- hula, tetapi hula-hula tidak elek terhadap borunya, maka kewibawaan hula-hula menjadi hilang, menyiratkan bahwa secara fungsional boru berkewajiban membantu hula-hulanya dalam memberikan biaya tumpak (sumbangan), tenaga, dalam kegiatan pesta adat, yang nantinya pihak boru akan mendapatkan imbalan berupa berkat yang diberikan oleh hula-hula (Sigalingging, 2011; Silalahi, 2012).

3. Manat mardongan tubu

Pihak yang semarga harus manat satu dengan lainnya. Manat mengandung makna menjaga persaudaraan dan persahabatan dengan sesama kelompok semarga, satu kakek bersama, atau satu bapak agar tidak berseteru.

Untuk itu perlu ada sikap dan perilaku terhadap kerabat semarga dalam suka dan duka, serta mengembangkan rasa solidaritas yang kuat. Hakekat manat dalam hubungan personal di antara semarga mengisyaratkan sikap bijaksana, hati-hati, waspada, santun, dan yang lebih penting saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga perasaan. Kelompok dongan tubu atau semarga diisyaratkan agar marbagi di na otik, mardua di na godang (berbagi yang sedikit, berbagi yang banyak). Di antara orang semarga tidak baik kalau terjadi pertengkaran atau konflik atau perselisihan, diantara mereka harus sama-sama bahagia dan gembira, sama-sama makmur dan sejahtera dan diantara mereka harus satu niat satu tujuan (Silalahi, 2012: 44).

(38)

Tatanan Dahlihan Na Tolu memberikan kepastian interaksi tentang kedudukan (tohonan-posisi-jabatan), hak (sijaloon-right), dan kewajiban (sileanon-obligation), sikap dan prilaku (pangalaho-attitude), patik (hukum-law- rule), ruhut (aturan-guidance), parturena (urut-urutan-sequence), tording (batasan-boerder line), Uhum (perbuatan baik-good deeds) dan ugari (wujud perbuatan baik-form of good deeds), partuturan (sistem kekerabatan-kinship, family relationship), tarombo (silsislah-family-tree), ulaon adat (peristiwa adat- sosial gathering), tonggo raja, ria raja, rapot (forum musyawarah), dan sebagainya. Demikian tua-tua pendahulu melakukan rekayasa sosial (sosial engineering) masyarakat batak dengan rinci agar impiaannya terwujud, yaitu menciptakan keteraturan dan ketertiban (rue and order) bermasyarakat bagi keturunannya. Ketiga kelompok tersebut selalu dijumpai berinteraksi selara, seimbang, dan kokoh dengan marga sebagai perekat dan dalihan na tolu sebagai pengikat (Panggabean 2013:22).

Susunan masyarakat Batak Toba tradisional lebih memperlihatkan pelapisan sosial, bukan stratifikasi sosial (social stratification). Oleh sebab itu hubungan antara DNT lebih menunjukkan hubungan fungsional, bukan hirarkhi.

Representasi serta simbolisasi kultural dari tungku maka makna unsur hula- hula,boru, dan dongan tubu merupakan tritunggal yang mempunyai hubungan fungsional. Jadi, ketiga unsur DNT dan nilai perilaku yang semestinya dihadirkan memiliki keseimbangan yang bersifat mutlak, satu unsur didukung atau ditopang oleh dua unsur lain yang terwujud ke dalam suatu kesatuan. Dalam kehidupan ketiga DNT bermakna kerjasama seimbang, dan saling menghormati. Masing- masing memiliki posisi sosial dan melaksanakan fungsi sosial yang berbeda.

(39)

Karena itu tiga unsur DNT menciptakan harmoni kehidupan kemasyarakatan yang menghasilkan tertib sosial (social-order) dalam hubungan-hubungan sosial (social-relations) (Silalahi et.al, 2012: 53).

Jadi makna somba, elek, dan manat dalam budaya kekerabatan Batak Toba secara fungsional menunjukkan hubungan dan interaksi seimbang untuk mewujudkan harmoni kehidupan bermasyarakat. Struktur sosial dalam kekerabatan Batak Toba menunjukkan keseimbangan keseimbangan fungsional antara hula-hula dan boru juga jelas yaitu antara elek dan somba. Nilai elek diimbangi dengan nilai somba atau sebaliknya nilai somba diimbangi dengan nilai elek, sementara keseimbangan dongan sabutuha yaitu, bahwa diantara mereka harus menunjukkan perilaku manat, maka ciri yang menonjol dalam kekerabatan DNT yaitu sifatnya total, yang tidak dapat dipandang secara terpisah antara hula- hula, boru, dan dongan tubu sebagai unsur yang membentuknya. Dalam perilaku dan hubungan sosial menunjukkan keselarasan, keseimbangan, dan kerukunan dalam kekerabatan, mengajarkan hak dan kewajiban diantara ketiga unsur yang menempati posisi sentral dalam budaya kekerabatan Batak Toba (Ibid, 2012)

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan dari subjek penelitian yaitu individu atau unit sosial tertentu yang dapat berupa kelompok, institusi, atau masyarakat maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu yang hasil penelitian itu memberi gambaran luas dan mendalam. Oleh karena itu penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan satu gambaran yang menjelaskan secara mendalam tentang kedudukan anak perempuan dan laki- laki dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat pada etnis Batak Toba.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Medan. Lokasi penelitian ini diambil dengan alasan, masyarakat Batak Toba merupakan salah satu etnis yang berasal dari wilayah provinsi Sumatera Utara, sehingga memudahkan akses dalam menggumpulkan data dalam penelitian untuk melihat perkembangan kedudukan

(41)

anak perempuan dan laki-laki dalam pembagian warisan berdasarkan norma adat Batak Toba.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Dalam penelitian biasanya yang menjadi unit analisisnya bisa berupa individu, kelompok yang kemudian disebut sebagai informan atau responden (Hamidi, 2010: 59). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Batak Toba di Kota Medan.

3.3.2 Informan

Informan adalah subjek yang memberikan informasi dan memahami permasalahan dari suatu objek penelitian.(Bungin 2007: 108). Penentuan informan kunci dilakukan dengan teknik snow ball, yaitu informan berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriteria informan sebagai berikut:

a) Masyarakat Batak Toba yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan mengenai norma adat yang merupakan anggota dari persadaan marga- marga Batak Toba yang berdomisili di wilayah Kota Medan.

b) Keluarga Batak Toba yang sudah melakukan pembagian harta warisan di wilayah Kota Medan

(42)

3.4 Teknik Pengumpulan data

Dalam memperoleh data atau informasi penelitian di lapangan, maka diperlukan adanya alat pengumpulan data. Pada tahap penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti dalam mengolah data dan informsi yang diperoleh di lapangan. Data dalam sebuah penelitian digolongkan menjadi dua yakni data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam rangka pengumpulan data primer adalah dengan cara:

a) Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian itu dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Pengamatan dilakukan terhadap hubungan antara pewaris (orang tua) dengan ahli waris (anak perempuan dan laki-laki), anak laki-laki dengan anak laki-laki, anak laki-laki dengan saudara perempuan, anak perempuan dengan anak perempuan, ayah dengan anak laki-laki, ayah dengan anak perempuan serta ibu dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan.

Peneliti mengamati hubungan yang terjadi diantara sesama anggota keluarga guna memperkuat informasi dari informan. Hal ini hal ini ditujukan untuk mendapatkan data yang mendukung hasil wawancara.

b) Wawancara mendalam merupakan proses tanya jawab secara langsung antara peneliti dan informan yang sifatnya terbuka dengan harapan

(43)

informan dapat mengungkapkan informasi atau data yang diharapkan.

Apabila menggunakan panduan atau pedoman wawancara maka hanya sebatas instrumen pembantu bagi peneliti. Wawancara dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan informasi yang akurat dengan menggunakan bantuan alat perekam.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan, pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan penelitian. Literatur-literatur tersebut dapat diperoleh dari buku-buku, penelitian sebelumnya, surat kabar, arsip, dokumen, dan jurnal ilmiah, yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Analisa data dimulai dengan menelaah semua data yang telah di peroleh dari lapangan melalui proses penelitian, kemudian membaca dan mempelajarinya untuk dilakukannya reduksi data yang dilakukan dengan membuat rangkuman atau inti dari permasalahan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian.

Interpretasi data dilakukan melalui upaya mengolah data, memadukan atau menggabungkannya, membuat rangkuman, menemukan apa yang penting untuk di pelajari atau ditafsirkan, dan memutuskan untuk menceritakannya kepada orang lain yang dikomunikasikan melalui penulisan laporan penelitian.

Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Pembahasan

(44)

hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi yang akurat diperoleh dari lapangan.

Data-data yang diperoleh dari lapangan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola, atau uraian tertentu. Disini peneliti mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan sebagainya yang dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik (Moleong, J Lexy 2006:151).

3.6 Keterbatasan Penelitian

Peneliti dalam melakukan penelitian ini menemukan banyak kendala yang menjadi keterbatasan penelitian. Adapun yang menjadi keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Keterbatasan dalam mengumpulkan data penelitian yang bersifat pribadi dan sensitif maka peneliti melakukan wawancara secara bertahap sehingga informan memberikan informasi secara mendalam.

2. Keterbatasan dalam menganalisis dan menyanyikan data yang dirasa cukup rumit sehingga peneliti membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam menyelesaikannya.

(45)

BAB IV

DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Profil Kota Medan

4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan Secara Geografis

Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota Medan memiliki luas wilayah 265,10 km² atau 3,6 persen dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan terletak antara 3º.27’ - 3º.47’ Lintang Utara dan 98º.35’ - 98º.44’ Bujur Timur dengan ketinggian 2,5–37,5 meter di atas permukaan laut.Batas wilayah Kota Medan secara administratif, berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur. Kota Medan dibagi menjadi 21 Kecamatan dan 151 kelurahan.

Kota Medan sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di bagian Utara pulau Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan dilalui oleh dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. Kota Medan memiliki kedudukan dan peranan berbagai fungsi strategis sebagai pintu gerbang utama indonesia bagian barat yaitu, sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat industri, pusat jasa pelayanan keuangan, pusat komunikasi, pusat akomodasi kepariwisataan, berbagai pusat perdagangan barang dan jasa regional dan internasional (ekspor-impor). Sebagai ibukota provinsi, Kota Medan menjadi pusat dari berlangsungnya hampir segala aktivitas, baik di bidang politik, perekonomian, serta sosial-budaya.

(46)

4.1.2 Gambaran Umum Kota Medan Secara Demografis

Berdasarkan data BPS tahun 2013 jumlah penduduk Medan secara keseluruhan adalah 2.135.516 Jiwa yang terdiri dari 1.053.393 jiwa laki-laki dan 1.082.123 jiwa perempuan. Berikut komposisi penduduk kota Medan berdasarkan Kecamatan dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Total

1 Medan Tuntungan 40.097 42.437 82.534

2 Medan Johor 62.331 64.336 126.667

3 Medan Amplas 57.918 59.004 116.922

4 Medan Denai 71.750 71.100 142.850

5 Medan Area 48.054 49.200 97.254

6 Medan Kota 35.422 37.700 73.122

7 Medan Maimun 19.524 20.379 39.903

8 Medan Polonia 26.460 27.413 53.873

9 Medan Baru 17.667 22.150 39.817

10 Medan Selayang 49.525 51.532 101.057

11 Medan Sunggal 55.717 57.927 113.644

12 Medan Helvetia 71.586 74.805 146.391

13 Medan Petisah 29.526 32.701 62.227

14 Medan Barat 34.931 36.406 71.337

15 Medan Timur 52.906 56.539 109.445

16 Medan Perjuangan 45.405 48.683 94.088

(47)

17 Medan Tembung 65.761 68.882 134.643

18 Medan Deli 86.937 85.014 171.951

19 Medan Labuhan 57.635 55.679 113.314

20 Medan Marelan 75.066 73.131 148.197

21 Medan Belawan 49.175 47.105 96.280

Total 1.053.393 1.082.123 2.135.516 Sumber : Medan dalam angka 2014

Penduduk Kota Medan memiliki ciri keragaman (pluralitas) dan kemajemukan baik dari agama, suku etnis, budaya dan adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter penduduk Kota Medan (multietnis) yang bersifat terbuka dan dinamis. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Keberagaman penduduk Kota Medan yang harmonis akan menjadi potensi besar dalam kemajuan pembagunan kota. Berikut komposisi penduduk Kota Medan menurut etnis/suku.

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kota Medan Menurut Etnis/Suku

Etnis Jumlah

Jawa 33,03 %

Batak 20,93 %

Tionghoa 10,65 %

Mandailing 9,36 %

Minangkabau 8,6 %

Melayu 6,59 %

(48)

Karo 4,10 %

Aceh 2,78 %

Sunda ---

Lain-lain 3,95 %

Sumber: (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan) tahun 2012

Mayoritas penduduk Kota Medan adalah suku Jawa dan Batak (Toba, Karo, Mandailing, dll) serta banyak keturunan etnis India dan Tionghoa yang menetap. Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya terlihat dari beragamnya jenis suku bangsa, namun juga dari beragamnya agama yang dianut penduduk.

Suasana kehidupan beragama yang harmonis di lingkungan masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang agama terbangun karena toleransi masyarakat yang saling menghargai adanya perbedaan. Berbagai kegiatan sosial budaya dalam suatu masyarakat dilakukan bersama-sama tanpa melihat golongan, suku bangsa dan agama. Berikut komposisi penduduk kota medan berdasarkan agama yang dianut.

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama

Agama Jumlah

Islam 68,83 %

Protestan 20,27 %

Buddha 8,79 %

Katolik 2,79 %

Hindu 0,44 %

Lainnya 0,85 %

Sumber: (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan) tahun 2012

(49)

Pada dasarnya, kebebasan dan pengakuan terhadap agama bukan sekedar melahirkan sikap toleransi terhadap orang lain, lebih dari pada itu adalah suatu upaya rekonstruksi untuk saling memahami satu sama lain. Dengan semangat toleransi, diharapkan akan terjalin hubungan yang harmonis antar umat beragama, sehingga tercipta sikap saling memahami dan menerima setiap perbedaan yang muncul dalam sendi-sendi kehidupan. Dapat dikatakan, bahwa perbedaan agama bukan merupakan penghalang untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain, tetapi paling utama adalah semangat keberagamaan di tengah kemajemukan bangsa bisa tumbuh dengan seimbang dan berkesinambungan.

4.1.3 Sarana dan Prasarana Fasilitas Pendidikan

Pembangunan dibidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan bangsa yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan sumber daya manusia di suatu kota yang akan menentukan pembangunan ekonomi, sosial dan politik yang merupakan kunci penting bagi pembangunan kota. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan adalah sarana dan fasilitas pendidikan. Berikut sarana dan fasilitas pendidikan di Kota Medan menurut BPS tahun 2008-2013 sarana dan fasilitas pendidikan di Kota Medan.

Tabel 4.4 Sarana dan Fasilitas Pendidikan Kota Medan Sarana fasilitas pendidikan Jumlah

TK (Negri dan Swasta) 321

SD (Negri dan Swasta) 824

SMP (Negri dan Swasta) 355

(50)

SMA (Negri dan Swasta) 211

SMK (Negri dan Swasta) 150

Universitas/Akademi/

Institut/Sekolah Tinggi (Negri dan Swasta)

139

Jumlah 2000

Sumber: Medan dalam angka 2014

Tersedianya sarana fasilitas pendidikan merupakan pendorong bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi guna tercapainya generasi penerus bangsa yang berkualitas. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Kota Medan merupakan salah satu kota sebagai tujuan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.Dengan mengecap pendidikan akan menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing dan berkontribusi dalam memajukan bangsa dan negara. Berikut hasil data menurut BPS Kota Medan tahun 2013 berdasarkan jumlah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin.

Tabel 4.5 Penduduk Kota Medan yang Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin.

Pendidikan tinggi yang ditamatkan

Laki-laki Perempuan Jumlah

1.Tidak/belum pernah sekolah/

Tidak/ belum tamat SD/Sekolah Dasar

80.443 63.267 143.710

Gambar

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kota Medan Menurut Etnis/Suku
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama
Tabel 4.4 Sarana dan Fasilitas Pendidikan Kota Medan  Sarana fasilitas pendidikan  Jumlah
+2

Referensi

Dokumen terkait

M E DA N 2 0 1 0.. Skripsi ini berjudul “Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba, Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna anak perempuan pada ayah Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dengan menggunakan metode fenomenologi dan melibatkan

Upaya hukum yang dilakukan oleh perempuan Batak Toba terkait hak waris dalam masyarakat Batak Toba dengan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt.G/2016/PN MDN

warisan pada masyarakat Batak Toba adalah karena ketidakadilan dalam pembagian tanah.. warisan dalam suatu keluarga, tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga

warisan pada masyarakat Batak Toba adalah karena ketidakadilan dalam pembagian tanah. warisan dalam suatu keluarga, tidak memiliki keturunan laki-laki, sehingga

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 tentang pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut hukum adat Batak Karo sebagai suatu hukum yang positif berlaku

tindak (act) mangolusi pada pernikahan adat Batak Toba, dilakukan datau disimbolkan dengan pemberian kain ulos dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan..

Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pewarisan Anak Perempuan Dalam Adat Batak Toba di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Adat Batak Toba yang ada di Unit 3 Kecamatan Sungai